CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

29 November 2006

Mimpi Yang Indah

Dedi dengan bangga melihat usahanya berkembang dengan bagus, walaupun usaha penjualan ATK dan fotocopynya merupakan usaha rumahaan yang di kelolah oleh istirinya, tetapi hasil yang di dapatkan dari usaha ini tidak bisa di bilang sedikit, dengan adanya mesin fotocopy dan juga beberapa peralatan lainnya, untuk menjilid dan vinil dan lengkapnya seluruh peralatan ATK membuat toko ini terkenal di perkampungan tersebut sebagai toko ATK terlengkap di kampung tersebut.

Dedi bisa menjadi orang kaya seperti ini karena mendapat ganti rugi tanahnya yang di gusur hampi sebesar 1 M, merupakan jumlah yang fantastis, dan sangat berlebih bagi Dedi di mana uang tersebut 70% nya di jadikan deposito untuk menunjang kehidupannya sehari-hari, dan sisanya di gunakan untuk membangun rumah, toko ATKnya dan membeli kendaraan, sehingga sangat jelas perbedaan antara sebelumnya yang merupakan tukang sayur keliling di kampung itu.

Makan yang selama ini seadanya sekarang berubah menjadi kreteria 4 sehat 5 sempurna, karena sudah tercukupi oleh hasil bunga deposito 7 juta sebulan. tidak seperti dahulu yang serba pas-pasan, sekarang kehidupan Dedi memang berubah drastis.

“Bu..allhamdulilah kehidupan kita sudah berubah sekarang ini”…ucap pak dedi yang duduk di kursi goyang kepada istrinya.
“iya pak…sekarang kita tidak susah lagi”..sahut istrinya
“kita juga punya mobil tapi bapak tidak bisa nyetir mobil bu…”….kata Pak Dedi lagi
“kan bisa belajar pak, kalau untuk kemana-mana bisa diantar sopir..” ujar istrinya
 
Sesat mata Dedi tertuju ke pada grobak tua yang ada di samping rumahnya, “Gerobak yang penuh kenangan” ..ucapnya.

Dengan senyuman istrinya meniyakan ucapan suaminya, …..setelah menyediakan teh hangat dan sepiring kue istrinya masuk kedalam, Dedi pun mulai di belai angin sepoi-sepoi di atas kursi goyang yang membuat matanya mengantuk, dan “gubrak”…….. Saat Azan subuh mulai berkumandang di telinga pak Dedi, pada saat itu tidak sadar dan terkejut karena azan pak Dedi jatuh dari bale-bale bambu yang merupakan tempat tidur utama di rumah gubuk tersebut, “Astagfirullah …..”, kejutnya, sesat ia tetap terduduk di lantai rumahnya, dan baru menyadari bahwa mimpi indahnya sudah berakhir.

Selesai sholat subuh ia bergegas keluar dengan menuntun sepeda ontelnya dan lambaian tangan sang istri tercinta untuk berbelanja sayur ke pasar sebagai dagangan pagi ini, ia hanya tersenyum saat melihat bukan mobil yang terparkir di depan rumahnya tetapi hanya gerobak tua sebagai sarana untuk menjajakan sayurnya……….”mimpi yang teramat indah” yang di alami oleh Dedi dalam hati ia berucap “semoga mimpi indah ini mungkin juga merupakan mimpi yang mengisi tidur malam saudara-saudara ku”.

Dodi NP – ” Mimpi Indah Yang Bukan Mimpi, Tapi Mimpi Kecil Kaum Kusam”

26 November 2006

Anugrah Terindah Itu Bernama Ibu

Saat masih di kelas 3 SMP Negeri di kota ini, ibu guru memberikan tugas untuk membuat tulisan yang topiknya tentang “ibu”, jujur saja saat itu saya sangat bingung karena apa yang saya bisa tulis dari seorang ibu yang hanya memiliki warung kecil dan seorang istri dari pegawai negeri rendahaan, sangat berbeda dengan temanku si Hendra yang ibunya seorang Angkatan Udara yang dengan bangganya dia menceritakaan tentang pekerjaan ibunya, atau si Iwan yang ibunya seorang Dokter yang banyak membantu menyembuhkan pasien, atau si Murni yang ibunya mengelolah sebuah show room mobil di salah satu jalan utama kota ini, ataupun ibu-ibu teman sekolah ku lainnya.
 
Kegundahaan hatin ini semakin menjadi karena tulisan harus di kumpulkan pada esok hari padahal setitik inspirasipun belum menyentuk benak ini, pada malam itu hujan sangat deras dan petir dengan beratnya terus bergemuruh dan di tambah dengan lampu yang ikut mati membuat adik-adiku ketakutan, karena kami tidur satu kamar maka adik-adikku kusuruh untuk memejamkan mata, karena kami menunggu Ayah untuk makan malam bersama , tak lama berselang bunyi kenalpot motor ayapun terdengan, ayah pulang dengan basah kuyup tetapi untungnya motor yang di kendaraai ayah tidak mogok, adik-adik ku bergegas bangun , untuk menyongsong ayah, dengan senyuman dan baju yang basah Ayah tersenyum tak lama berselang kami berkumpul di meja makan setelah selesai ayah dari membersihkan diri, ibu pun selesai menyiapkan makanan walaupun sederhana kami dapat makan dengan nikmat, tak lama setelah makan hujanpun masih belum mereda tampak air sudah mulai memenuhi jalanan di depan rumah kami, tepat jam 09 malam kedua adikku ku suruh untuk tidur di kamar dengan berbekal lampu teplok yang ku bawa sebagai sarana penerangan.
Akupun masih berusaha untuk membuat tulisan yang ditugaskan oleh ibu guru, dan akhirnya kuputuskan untuk berbaring walau mata ini tidak terpejam di saat itulah setelah selesai ibu menutup sebagian dari pintu warungnya, ibu menuju kekamar kami, terlihat jelas ibu memperbaiki letak selimut adik-adiku dan ibu membelai lembut rambut adik-adiku dan mencium kening mereka, dan ibu juga membetulkan letak selimutku dan mencium keningku, dan ibu beranjak keluar dari kamar,

“ibu”…………… ibu menoleh kearah ku, dan aku pun berlari memeluk ibu sambil menangis,…. Aku sadar saat itu bahwa ibu bukan orang yang hebat, ibu bukan seorang Dokter, polwan ataupun pengusahaa, ibu juga bukan orang yang istimewa yang memiliki banyak harta tetapi ibu adalah anugrah yang paling berharga yang di berikan oleh yang maha kuasa kepada kami, ibu yang setiap saat memberikan perhatian dan kasih sayang merupakan berkah yang teramat mahal untuk kami yang belum tentu dapat di nikmati oleh teman ku Hendra, Iwan ataupun Murni, tetapi ibu yang selama ini menjaga kami, ibu yang selama ini menjadi dokter di kala kami sakit , ibu yang selama ini menjadi guru bagi kami di dalam madrasah rumah kami, ibu yang menyediakan senyuman saat bersama makan di meja makan dan kehangatan di dalam keluarga dan ibu menjadi panutan bagi kami yang tidak mengeluh menghadapi keadaan, dan selesai kutulis kusimpan hasil tugas ini di dalam tas sekolah dan tak lama beselang akupun tertidur.

Tak terasa air mata ini mengalir sendiri saat tulisan yang kukerjakan semalam mulai kubacakan di depan kelas, kelas pun menjadi hening, tetapi terus kubacakan tulisan ini walaupun tenggorokan ini seperti tercekat, tepuk tangan pun di berikan oleh teman-temanku saat aku selesai membacakan tulisanku. Dan akhirinya terpilihlah tulisan tersebut sebagai tulisan terbaik yang akan di bacakan saat acara reuni beberapa bulan lagi.
Ujian nasional telah selesai kami lalui dan pengumuman kelulusan pun sudah kami terima dan ternyata sekolah kami lulus 100%, saat acara reuni seluruh orang tua di haruskan datang karena untuk penyerahaan secara simbolis ijazah dan aku pun mendapat tugas untuk membacakan hasil tulisanku yang sekarang sudah di vinil dan di masukan kedalam map bercorak batik, Ayah dan ibu juga sudah duduk di kursi undangan tampak beberapa orang tua teman-temanku lainnya, akhirnya giliranku pun tiba, jujur saja grogi juga saat naik keatas panggung dengan napas panjang aku mulai membaca paragraph demi paragraph tulisan tersebut, aku lihat ibu juga meneteskan air mata, dan beberapa undangan lainnya yang di iring riuh tepukan tangan para hadirin saat itu.

Memang aku bukan orang yang jenius ataupun super pintar tapi kulihat senyum kebanggaan orang tuaku menerima secara simbolis untuk ijazah ku di atas panggung, karena aku merupakan peringkat ke 3 umum di sekolah ini dan di pastikan untuk menuju SMA negeri.
Terima kasih Ibu, terima kasih ayah………

Dodi NP – “Untuk Ibu”

23 November 2006

Serenada Terakhir Sang Penggesek Biola

“Nanda”..begitulah nama yang terucap dari bibirnya saat saya berkenalan dengannya sekitar 1 bulan yang lalu, memang baru kali ini Nanda terlihat di komplek perumahaan ini, sejak umur 6 tahun Nanda mengikuti keluarganya di Jogja dan baru saat ini kembali ke Kota ini setelah menyelesaikan study nya, ada hal yang menggelitik nurani ini kepiawaian nanda memainkan dawai biolanya sangat unik karena sangat jarang di kota ada ini ada pemain biola yang memainkan deretan serenda yang menyayat hati.

Memang Nanda belajar biola di kota pelajar saat ia menjalankan study di sana, sejak kedatangan Nanda komplek perumahaan ini pada saat malam menjelang di tambah menjadi syahdu dengan alunan serenada dari biolanya, secara jujur memang saya sendiri kurang mengenal Nanda berbeda dengan keluarganya yang lumayan akrab dengan saya, karena seringnya saya melintas di depan rumah Nanda sakarang ini setiap pergi dan pulang kuliah pasti selalu menyapa Nanda yang duduk di teras rumahnya. 

Suatu hari saat pulang dari kuliah kebetulan aku lihat Nanda sedang duduk dengan keponakan nya yang kecil, terlihat disitu keponakannya asik berlari mengitari Nanda sambil memegang spidol dan tampak juga coretan silang di tangan dan kaki Nanda. tak lama berselang aku pun mampir, “Hai………” sapa ku,
” Andi, baru pulang kuliah ya…”jawabnya
“ia…sekalian mampir ke sini…”..jawabku lagi sambil duduk di teras rumahnya.
“Udah kemana aja selama di sini…?’tanya ku
“Belum kemana-mana di rumah saja, males untuk keluar….enakan di rumah” sahut Nanda
“Kalau mau keliling kota nanti biar aku temani” tawar ku…
“nggak usah,Ndi…sekarang aku sedang mengarang serenda dari biola ini…” jawabnya.
“Boleh di dengar dong lagunya…..”Gurauku

Dengan senyum ia berdiri dan masuk kedalam rumah tak lama berselang datanglah ia dengan biolanya dan duduk di tempatnya semula…setelah menarik nafas panjang ia mulai menggesek dawai biolanya, terdengar sangat merdu dan merasuk kedalam kalbu ini, tampak piawai Nanda mempermainkan biola, gesekan dan lincahnya jari-jemari Nanda memindahkan kunci-kunci di biolanya membuat aku tertegun tetapi ada yang kuperhatikan lain Nanda tampak banyak coretan-coertan di tangan dan kaki seperti tanda silang, aku pikir mungkin saat bermain dengan keponakannya.

Tepukan tangan secara reflek mengiringi saat gesekan biola terakhir dari Nanda, “Bagus…sekali”kata ku, Sambil senyum..Nanda tidak menjawab,…”Apa judulnya…?”tanya ku, “Serenada Terakhir”..jawabnya singkat, setelah beberapa saat kami ngobrol basa-basi akupun beranjak pulang.

Esok harinya aku heran karena Nanda tidak kelihatan duduk di teras seperti biasanya tetapi karena terburu-buru untuk kuliah hal itupun segera berlalu, saat malam sudah menyelimuti kota ini ada yang hilang pada malam ini yaitu lantunan nada biola yang biasa di gesekan oleh Nanda setiap malamnya, ini menjadi pertanyaan di batin, walaupun akhirnya kantuk mengalahkan rasa penasaranku.

Keesokan harinya sama seperti hari ini, Nanda juga tidak tampak di teras rumahnya dan kuberanikan untuk bertanya, sesaat setelah ku ketuk pintu rumahnya kulihat pembantu nya yang keluar, “Bi, Nanda nya ada…?” tanya ku,…si Bibi terdiam, “Nanda Lagi di rumah sakit”ucapnya pelan, aku terkejut saat kutanya sakit apa dan kenapa si bibi hanya diam seribu bahasa dan hanya memberi tahu di rumah sakit dan nomor kamar mana Nanda di rawat inap.

Tak lama berselang akupun langsung meluncur ke rumah sakit, dan tidak terduga saat sampai di ruangan nanda terlihat, sosok yang selama ini aku kenal dengan mata tertutup dan selang oksigen dan jarum infus yang masih melekat di tubuh Nanda.

“Masuk Ndi…..” Kata ibunya sembari menyambut di depan pintu kamar
aku hanya terdiam, bingung kenapa sudah banyak kelurga Nanda berkumpul di dalam kamar dan juga di luar ruangan perawatan.

“Ndi.. ini ada surat dari Nanda, tetapi di bacanya bukan sekarang”kata ibunya sambil menyerahkan amplop surat kepada ku.
Aku bertamba bingung, setelah 5 menit berselang kepanikan terjadi, tekanan jantung nanda turun drastis, bunyi kerongkongan Nanda menambah mencekam suasana, dokter dan para suster bergega memberi pertolongan di antara isak tangis keluarga, tetapi kehendak berkata lain dan Nanda sudah pergi untuk selama-lamanya. Rasa duka di hati ini semakin mengiris saat mengiringi pemakaman Nanda siang itu di salah satu pemakaman umum di kota ini.

Sore itu aku masih termenung di kursi teras rumahku di tangan kanan ku tergenggam erat surat dari Nanda yang di berikan ibunya pagi tadi. perlahan kubuka amplop berwarna hijau lembut tersebut dan kubuka suratnya aku mulai membaca, 

” Andi saat membaca surat ini Nanda mungkin sudah terpisah ruang dan waktu, Andi pasti bertanya-tanya tentang semua ini, tetapi biarlah ini menjadi kenangan di antara kita, Andi yang selama ini mengisi hari-hari ku dalam menghadapi derita “kanker” ini membuat aku tertawa, membuat aku senang dan membuat aku ingin hidup lebih lama, coretan-coretan yang andi lihat di lengan dan kaki aku beberapa hari yang lalu sebenarnya merupakan tanda dari Akar kanker yang sudah menyebar di tubuh ini, memang dokter sudah memvonis kalau umurku tidak berapa lama lagi, itulah sebabnya aku kembali dari Jogja, tetapi satu hal Nanda senang sudah mengenal Andi walau pun tidak terlalu lama tapi sangat berkesan bagi ku dan sebenarnya serenada yang beberapa hari yang lalu adalah untuk mu, sebagai tanda persahabatan kita, semoga Andi tidak melupakan serenada tersebut”.

Aku terdiam dan dan tidak terasa buliran air panas sempat menetes, tenyata selama ini sahabat ku Nanda menanggung beban berat dari penyakit “Kanker” nya tetapi masih bisa untuk berkarya, sahabat tenanglah di alam sana karena persahabatan kita tidak bisa di pisahkan oleh ruang dan waktu.

Dodi NP – “Cerpen Ke Dua”

15 November 2006

Kereta Tiba Pukul Berapa

Ilustrasi kereta api
“Kak, jemput adek besok jam 7 sampe ke Palembang, adek naik kereta malam dari Lampung..jangan sampai telat ya kak”. Begitu sebait sms yang masuk ke inbox hp ini, getaran yang terasa pinggang ini, segurat senyuman menghiasi wajah ini,
 
“oke, jam 7 sudah di sana..salam rindu”,
demikian lincahnya jari jempol ini mengirim balik sms dengan kerinduan hati, motor langsung akau pacu walau tidak akan bisa terlalu cepat karena vespa 1965 merupakan motor lawas dan sesampai dirumah motor langsung di cuci biar “kinclong” untuk menjemput si dia esok hari.

Walau jam di dinding kamar sudah menunjukan pukul 10 malam tetapi mata ini masih susah di pejamkan, teringat hati ini dengan wajahnya yang esok hari akan mulai mengisi hari-hari indah ini lagi, maklum sudah hampir 3 bulan ini tidak bertemu dengan pujaan hati ini, entah pikiran terus menyentuh sudut-sudut plafond kamar dan entah kapan akan terpejam rinai hujan malam ini mulai menutup kelopak mata ini.

Aku di kejutkan dengan bunyi alaram dari HP ku, aku bergegas kekamar mandi setelah selesai “Si Merah” ku keluarkan dari tempanya untuk menjalan kan tugasnya hari ini, sudah kinclong nampaknya BG 8806 AE ini, tetapi saat melirik jam tangan …”mampus… tinggal 1/2 jam lagi, bisa telat nih…” kata ku berujar dalam hati, maka dengan secepat mungkin aku pacu motor lawas ini, jalan yang nampak masih basah karena hujan semalam menjadi tempat yang empuk bagi kaki-kaki motor ini, karena takut telat dan juga hp adek yang tidak bisa di hubungi membuat kecepatan motor ini ku “pecut” terus, terasa dingin smilir angin mengalir melalui tangan jaket ini.

Dengan laju waktu yang rasanya semakin cepat aku tingkatkan RPM di motor ini dan tanpa di sadari “Prittt………………”, jantungku tersentak ternyata PJR Poltabes kota ini, yang membunyikan peluit tadi, “celaka…”ujarku dalam hati dan aku menepikan motorku karena Yamaha 500 CC nya sudah tepat berada di belakang vespa lawasku.

“Selamat Pagi pak.. tolong di perlihatkan sim dan surak kendaraan…”Serya menurunkan tanganya dari posisi hormat.
Dengan lesu ku ambil dompet dan menunjukan Sim dan STNK motor, sesaat setelah melihat surat-surat dia memperhatikan dengan serius motor yang aku bawa, “moga-moga tidak melihat nomor mesin motor ini, karena sudah tidak kelihatan lagi…nanti di kira curanmor”harapku dalam hati.
“Mana Spion & lampu Sen nya..?” Tanya pak polisi yang sudah separu baya ini
” Nggak Ada pak….” jawab ku santai.
“Kenapa Tidak di Pasang ?’ tanya nya lagi
“Tidak ada tempat untuk memasangnya pak, karena ini motor tua” jawab ku lagi
“Kamu tahu kesalahan sudah kamu perbuat” tanya polisi itu lagi
“Apakah Karena tidak punya spion dan lampu sen……”jawab ku heran
“Itu salah satunya, yang lainnya kamu sudah menerobos lampu merah……” jelasnya
 
Astaga aku seperti baru tersadar dari pingsan bahwa karena ingin mengejar waktu aku lupa bahwa lampu sedang merah, dan aku melintas santai begitu saja…jelas ini kesalahan.
” Maaf pak ..terburu-buru…karena harus menjemput ke stasiun” jelas ku memelas
“Jadi harus di tilang” sembari mengeluarkan buku tilang yang sudah terlipat di saku celana coklatnya.
“pak damai….” .sambil mengelurakan selembar uang 10 ribuan yang aku lipat.
“kalau mau damai tidak seperti ini caranya”…sambil membuka lipatan uang 10 ribuan tersebut.
“Jadi bagaimana pak ?” tanya ku lagi…
“Tambahin 5 ribu untuk ngopi…” jawab petugas tersebut.
“Gila juga ni polisi..” grutu dalam hati ku sambil memberikan uang 5 ribuan kepolisi tersebut.
 
Setelah lepas dari “dominasi” PJR yang bermental 15 ribu tersebut langsung ku tancap gas motor menuju stasiun, melintasi jembatan yang menjadi ikon kota ini, dan tak lama berselang akupun sampai di pelataran parkir stasiun yang tampak sudah ramai dengan penunggu yang menunggu keluarga ataupun kerabatnya.
Kuparkir sepeda motor ini dan aku lirik jam “astaga ….sudah lewat 30 menit”…lirih ku….pasti banyak bercengkrama dengan petugas PJR tadi, aku langsung kebagian informasi untuk menayakan kedatangan kereta malam dari Lampung.
 
” Mbak, kereta malam dari Lampung sudah datang atau belum yan mbak ?” tanyaku
“Belum mas….karena terhenti di Prabumuli….ada kereta Babaranjang yang anjlok”jawabnya santai…
“Kira-kira kapan sampai ya Mbak..?” tanya ku lagi
“jam 9 atau jam 10 nanti”…jawab petugas itu lagi.
 
 “Aduh…..”..aku menggerutu dalam hati, sekarang aku hanya terduduk disini dan menunggu, pekerjaan yang paling mengesalkan. mungkin sepertinilah moda trasportasi publik di negeri ini penuh dengan masalah dan permasalahan.
Aku duduk di kursi stasiun sambil menunggu “sang pujaan hati”….sayang i’m comming…walau harus menunggu.…”Kereta Tiba Pukul Berapa”

Dodi NP – “Aku, Mantan Pacar & BG 8806 AE”