CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

12 September 2008

Kesenian Dul Muluk





Kesenian yang sudah tergerus zaman ini sudah sangat jarang untuk di temukan pementasannya terutama di perkotaan, kesenian yang di perkenalkan oleh Wan Bakar ini minim penerus dan peminat.....akankah terus bertahan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pria bertubuh tegap ini dilahirkan di Kampung Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 68 tahun lalu. Dia merupakan adik kandung seorang aktor Dulmuluk yang sekaligus penggubah cerita Zubaidah Siti, yakni Arjo Kamaluddin. Ujuk Saidi, panggilan akrab Saidi ini, pernah mengecap sekolah rakyat namun tak selesai karena Ujuk Saidi lebih mementingkan bermain Dulmuluk ketimbang sekolah. Bapaknya, Kamaluddin, merupakan perintis Dulmuluk di Sumatera Selatan.

Kamaluddin merupakan murid Wan Bakar. Wan Bakar adalah seorang saudagar keturunan Arab yang mepopulerkan Syair Abdoel Moeloek karya Raja Ali Haji. Dari masa Wan Bakar inilah cikal bakal adanya Teater Tradisional Dulmuluk. Pada awalnya, adalah pembacaan syair yang disebut juga teater mula atau teater tutur.

Pada masa sebelum zaman kesultanan Palembang pembacaan syair sangat disukai masyarakat. Di Palembang dikenal dengan pembacaan syair Abdul Muluk. Ternyata pembacaan syair tersebut sangat digemari oleh masyarakat, karena itu pada tahun 1854 dibentuklah perkumpulan pembacaan syair oleh Wan Bakar di kampung Tangga Takat (16 ulu). Sebagai teater tutur, penyampaiannya dibawakan oleh seorang pembaca di hadapan pendengar atau penontonnya di Rumah Wan Bakar yang berbentuk rumah limas Palembang. Rumah limas ini terdiri drai lantai yang bertingkat yang disebut bengkilas. Antara bengkilas yang satu dengan yang lain dibatasi oleh sekeping papan tebal yang dinamai kekejeng. Pembaca syair duduk pada bengkilas yang lebih tinggi dari pendengar atau penonton.


Sebagai calon aktor Dulmuluk saat Ujuk berusia 7 tahun, maka Ujuk Saidi belajar dari abangnya. Di usia delapan tahun Saidi Kamaluddin bermain Dulmuluk untuk pertama kalinya. Tak tanggung-tanggung dia memerankan tokoh perempuan. Di masa itu memang kaum perempuan agak tabu bermain Dulmuluk, itu sebabnya setiap tokoh perempuan, seperti tokoh Siti Rofiah dimainkan oleh pria. “Saat aku maen pertamokali, aku hanya dibayar selawe rupiah,” kenang Saidi yang pernah mendapat anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2001. Di usianya yang sudah tua ini, Ujuk Saidi bahkan masih terus bermain Dulmuluk ke pelosok-pelosok desa. Kesetiaan Saidi terhadap dunia kesenian tradisional itu menjadikan Asosiasi Tradisi Lisan, sebuah lembaga yang konsern terhadap seni tradisi mengajukan Saidi bersama Sailin untuk menerima penghargaan Maestro dari pemerintah pusat. Bakat besarnya di bidang keaktoran kini diikuti oleh anaknya, yakni Yudhi yang beberapa waktu lalu ikut tampil bersama ayahnya di Gedung Kesenian Jakarta. /apb/

No comments:

Post a Comment