CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

25 February 2010

Bangunan Aristektur CIna di 10 Ulu Palembang


Salah satu bangunan di kawasan 10 ulu tepat besampingan dengan kelenteng Chandra Nadi.

Tidak tahu persis kapan pertama kali etnis tionghoa menginjakkan kakinya kali pertamanya ke Palembang, banyak hal yang mesti digali dan diteliti kembali sejarah awalnya etnis tionghoa masuk ke Palembang, jika  berdasarkan silsilah temenggung TJua Ham Hin, sesepuh dari kampong kapitan telah ada sebelum 1850. 

Sejak abad ke 19 “kampung kapitan” di anggap “pendiri” dan sekaligus menjadi  nilai-nilai budaya cina di Palembang, dulu pusat perdagangannya berada di 10 ulu dan itu termasuk wilayah Tjua Ham Hin “china town” atau sekarang menjadi sebutan kampung kapitan. Dengan luas wilayah kala itu adalah 20 hektar dan sepuluh ulu sekarang adalah pusat perdagangannya. Hingga sekarang Peninggalan bangunan dengan arsitektur cina banyak bisa di lihat di kawasan 10 ulu dan sebagaian 7 ulu Palenmbang.

Begitu juga dengan mata pencarian kawasan ini yang kebanyakan berdagang terutama makanan khas ataupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Seperti foto di atas banyak bangunan rumah di kawasan ini yang di bangun sudah lebih dari 80-100 tahun di kawasan 10 ulu, persisnya di samping dari klenteng chandra nadi.

15 February 2010

KM 12 Palembang Update

Kondisi Lalu Lintas di KM 12 Palembang

Angkot Palembang  - Pangkalan Balai
Arus lalu lintas di perbatasan Palembang-Banyuasin mulai pagi hingga sore, selalu macet sepanjang 1-2 kilometer. Hal ini disebabkan, ruas jalan yang sempit dan laju kendaraan lamban.kemacetan dipicu karena arus kendaraan dari Lingkar Barat menuju Betung, Jambi dan Trans Sumatera melintasi di persimpangan Pasar Km 12. Belum lagi jenis kendaraan tergolong besar.

Kondisi ini juga diperparah dengan laju kendaraan dari Jl Kol H Barlian tujuan Betung harus memutar di depan pasar Km 12, sehingga konsentrasi kendaraan terus bertambah dan memperparah kemacetan. Antrean kendaraan terlihat hingga Km 15 di depan persimpangan menuju kawasan Perumahan Griya Asri. 
Kondisi ini diperparah di kawasan pinggiran jalan berdiri Ruko yang sudah menjadi kawasan pergudangan sehingga keluar dan masuk kendaraan dari ruko juga menghambat laju kendaraan. Sementara dua petugas Dishub Palembang yang berjaga di KM 12, hanya untuk menghalau truk masuk kota dan tidak mengatur kelancaran arus lalu lintas.


Imlex 2561 BE di Palembang


Gharu yang di bakar di depan kelenteng Dewi Kwan Im
PALEMBANG, Buana Sumsel- Klenteng Tri Dharma Chandra Nadi atau klenteng Dewi Kwan Im atau dalam bahasa Mandarin disebut Klenteng Soei Goeat Kiang di jalan Perikanan 10 Ulu Palembang menjadi lokasi perayaan Tahun Baru Imlek.
“Klenteng Chandra Nadi memegang peranan penting dalam berbagai upacara keagamaan masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa penganut Buddha, Tao, dan Konghucu, terutama yang mempunyai leluhur di Palembang selalu merayakan Imlek di Chandra Nadi dan dilanjutkan ke Pulau Kemaro,” kata Ketua Yayasan Dewi Pengasih Mahmud melalui bagian logistik Yayasan Dewi Pengasih Budi, Sabtu (13/02/10).
“Persiapan perayaan Tahun Baru Imlek telah dilakukan selama dua minggu menjelang hari puncak.”Semua dipersiapkan secara matang untuk menyambut Imlek dan pergantian tahun macan ini,” kata Budi.

Menurut Budi Selain 1.000 lampion berwarna merah bergelantungan di sepanjang jalan masuk menuju klenteng Chandra Nadin. Pada puncak acara, Sabtu (13/02/10) pukul 00.00 Wib diperkirakan akan ada 1.000 jamaat yang akan datang.


Pantauan Buana Sumsel pada malam puncak perayaan Imlek, ribuan warga Tionghoa yang bukan hanya berasal dari kota Palembang melainkan ada yang datang dari luar provinsi Sumsel, Bahkan dari luar negeri , Menghidupkan kembang api tepat pukul 00.00 Wib, Sehingga langit Palembang yang gelap, tanpa rembulan, dan hujan gerimis menjadi terang. Kilatan kembang api itu terus saja menghiasi langit Palembang hingga pukul 00.30, Minggu (14/02/10) dini hari. Sementara klenteng sendiri tampak terang-benderang lantaran dihiasi 1.000 lampu lampion. (rdn/bra)
Sumber tulisan : http://buanasumsel.com/

02 February 2010

Palembang Tempo 1950-an

Jalan Tengkuruk 1950-an Foto : Kitliv.nl

Membayangkan kembali suasana kota Palembang di era awal pasca revolusi fisik, mengarahkan ingatan para sesepuh yang pernah merasakan masa ini. Suatu penggalan waktu yang menorehkan nostalgia lama. Suasana kota yang jelas masih terasa sepi dibandingkan dengan saat ini. Geliat kehidupan sehari-hari belum sepadat sekarang, dengan jumlah penduduk sekitar 400 ribu jiwa, Palembang masih terasa lengang untuk ukuran masa kini.

Di era awal pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sebagai kelanjutan kebijakan kolonial Belanda di kotapraja atau haminte Palembang, kota ini mulai menunjukkan ciri sebagai kota yang semakin multi etnik. Menurut catatan RHM Akib, secara etnologis suku bangsa Palembang meliputi kurang lebih 50 % dari penduduk kota di atas. Suku bangsa Indonesia lain yang menetap dan mencari hidup di sini dari berbagai pelosok Sumatera seperti Tapanuli, Minangkabau, Jawa dan pedalaman daerah Palembang. Selain itu orang Tionghoa, Arab, India seperti pemilik merk dagang martabak HAR, dan bangsa Barat lain di antaranya Amerika, Eropa, terutama Belanda.

Tidak berlebihan jika pada era ini ciri sebagai kota melting pot atau panci adukan dari berbagai suku bangsa dan keturunan mulai terbangun. Dari bermacam suku bangsa ini mulai tidak lagi membawa simbol kedaerahan justru menjadi satu dengan sebutan wong Palembang atau wong kito. Nama beberapa tokoh pahlawan Sumsel semisal dr AK Gani, Jenderal Bambang Utoyo yang menjadi tokoh masyarakat dapat menguatkan asumsi ini.

Pada masa itu pula konsentrasi pemukiman masih tertumpu pada beberapa titik. Lihat saja kawasan perkantoran Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan di kiri kanan jalan Kapten A Rivai belum ada, kawasan tersebut dalam bentangan peta lama tertulis sebagai daerah pinggiran yang bernama Talang Pangeran Suryo dan Talang Gerunik. Daerah pendidikan di sekitar kampus Universitas Sriwijaya yang baru dirintis di atas tahun 1956 pun masih terekam dalam ingatan pelajar yang menempuh studi di sana sebagai tempat yang belum dilalui angkutan umum. Angkutan umum dari arah depan Mesjid Agung baru sampai si kawasan simpang PHB jalan Cek Bakar. Jadi, untuk sampai di sekolah di arah Bukit masih harus ditempuh dengan jalan kaki.

Apalagi jalan lingkar barat sekarang, baik yang menuju jalan Parameswara dan komplek Polygon Bukit Sejahtera serta jalan Demang Lebar Daun yang mengarah ke Griya Agung, tercatat sebagai talang yang banyak ditanami pohon buah seperti cempedak masih diselingi hutan, rawa dan semak belukar bernama Talang Macan Lindungan. Begitu pula dengan sisi lain kota yang beraroma cuko pempek ini, seperti arah ke bandara lama Talang Betutu masih banyak lahan yang ditanami batang para. Seperti diketahui batas kota saja hingga tahun-tahun awal 1980-an masih sebatas Pasar “Paal limo” KM 5. Akan halnya sebutan Palimo (Paal Limo) karena terhitung dari titik nol pusat kota di kawasan Air Mancur. Bandingkan dengan sebutan Palmerah dan Palmeriam di Jakarta yang menyebut titik kilometer di awal nama kawasan tersebut di Jakarta.

Kapal Mari
Jelas pula, Jembatan Ampera si tengara (landmark) Kota Palembang modern belum terpancang dan melintang di atas alur Sungai Musi. Arus lalu lalang masyarakat dari Seberang Ulu dan ke kawasan Seberang Ilir atau sebaliknya dilayani oleh kapal penyeberangan (veerpont) yang berlabuh di pelabuhan atau boom 16 Ilir dan 7 Ulu. Di antara kapal tersebut bernama lambung Siguntang dan Ario Dillah. Untuk sekali menyeberang ditarik ongkos Rp. 0,25. Bandingkan kalau menumpang perahu tambangan yang dikayuh dengan tangan tarifnya Rp. 0,50. Masyarakat menyebut kapal penyeberangan itu sebagai kapal Mari.

Merasakan lambatnya arus lalu lintas ini membuat jarak yang ditempuh terasa jauh. Jadi jangan heran jika masyarakat di kawasan Plaju ketika hendak menuju pusat kota di Seberang Ilir menyebut rencana perjalanan tersebut sebagai “nak ke Pelembang”. Ucapan tersebut sampai saat ini masih bersisa pada beberapa kalangan. Bahkan penamaan tempat lahir dalam akta kelahiran pun bagi yang dilahirkan di daerah instalasi minyak ini sebagai Plaju bukan Palembang, contoh “tempat/tanggal lahir: Plaju, 1 Januari 1955. Hingga ada seloroh sesama teman sekolah “Plaju itu kota atau bukan?”

Geliat kota yang terasa lebih aktif secara umum baru terjadi di atas tahun 1955 seiring dengan pompa denyut nadi pertumbuhan bisnis. Beberapa pasar mulai dibangun di sekitar Palembang di tahun-tahun ini, cikal bakal pasar Lemabang, pasar Palimo, Pasar Kebon Semai dan pasar lain semakin ramai. Dengan tumbuhnya sentra bisnis ini mendorong pula perluasan kampung hunian yang mengitari pasar-pasar tersebut. Suasana dunia perekonomian yang cenderung identik dengan masyarakat Tionghoa menampakkan wajahnya dengan lebih apa adanya ketimbang era di atas tahun 1966 dan sesudahnya. Kaum Tionghoa menamakan masing-masing usahanya dengan simbol kultur Tionghoanya, baik nama tokonya atau aksara nama toko tersebut.

Lihat saja nama sederet toko dan usaha bisnis berikut: toko Chin Nam Hong, Hok Kim Seng, Ban Sun Lie, atau Optical Nam San, Thong Bieng Kongsie, NV. Soen Kie dan lain-lain. Hal mana berlaku juga pada unit usaha yang masih dimiliki orang Belanda seperti Industriele Handels Vennootschap Engineering J. H. De Bijl, Moluksche Handels Vennotschap, N.V. Borsumij dan nama lain yang jika dituliskan pun justru meletihkan mata untuk membacanya!

Toko De Zon
Di antara unit usaha yang terus menggeliat tersebut ada satu unit usaha toko yang legendaris bagi masyarakat Palembang yang merasakan masa itu, yakni keberadaan toko De Zon di bilangan jalan Tengkuruk di depan Masjid Agung. Toko yang mempraktekkan usaha dagang dengan harga pasti (vaste prijs) supaya pembeli tidak banyak membuang tempo tawar menawar dan orang tidak usah khawatir akan membeli terlalu mahal. Selengkapnya toko ini bernama N.V. Handel Mij “Toko De Zon”. Sebuah toko yang menempati sembilan pintu ini terletak di jalan Tengkuruk 18-26. Jika menggunakan nama toko serba ada alias supermarket, inilah toserba pertama di Palembang. Toko yang berarti Matahari itu berdagang rupa-rupa tekstil, barang kelontongan dan perabot rumah tangga lainnya.

Di dunia hiburan tidak kalah dengan ibukota Jakarta, Palembang juga diramaikan oleh pemutaran film di bioskop-bioskop seperti Capitol di jalan Tengkuruk, Initium di jalan Sekanak, International di jalan Sudirman atau di International Plaza sekarang, Lucky di Taman Pancawarna, Majestic di jalan Sudirman, Merdeka di 10 Ulu, Persatuan di Kertapati, Rex di 28 Ilir Sekanak, dan Saga di jalan Merdeka. Masing-masing bioskop tersebut menyebut dirinya bioskop, theatre, atau cinema. Karena hanya itulah dunia hiburan yang keren di masa tersebut, maka jangan heran jika setiap sore hingga malam hari, orang ramai mengantri di muka loket untuk menonton film. Di sisi lain kebutuhan akan hiburan ini mendorong munculnya aktifitas tukang catut atau ngulo karcis masuk bioskop, yang dilakukan orang tertentu yang mengambil selisih harga dari harga resmi tiket masuk.

Pengorbanan mengantri karcis atau terpaksa membeli tiket masuk bioskop dari tangan ulo menjadi terlupakan tatkala tontonan seperti film Samson and Delilah yang dibintangi oleh Victor Mature dan Heddy Lamar bisa dinikmati di gelapnya ruang bioskop. Film dengan latar western atau koboi pun banyak ditayangkan. Inilah di antara kesan tak terlupakan remaja di tahun 50-an.

sumber : http://palembang.tribunnews.com/

01 February 2010

Flying Fox - Out bound SOL Palembang


Salah Satu peserta melakukan flying Fox


Out bound yang di laksanakan kemarin di kawasan Podomoro, Sukamoro - Banyuasin ini,sangat menarik apalagi ada "Flying Fox", selama ini di Palembang out bound minus Flying Fox, bertambah lagi wawasan dan ilmu ini...... ^_^

Belajar di Sekolah Kehidupan ( School of Life )

Bagi kami, belajar di Sekolah Kehidupan mempunyai makna:
  1. Belajar menjadi (learning to be)
  2. Belajar tentang cara berpikir dan cara belajar (learning to think and learn)
  3. Belajar melakukan (learning to do)
  4. Belajar hidup bersama (learning to live together)

Dengan demikian kami sadar bahwa belajar berarti berubah, mengalami transformasi dari yang lama menjadi yang baru, dari yang potensial menjadi yang aktual. Sehingga kami dapat ikut serta memberikan makna pada Palembang Baru, Palembang yang secara mendasar lebih baik.

Salah satu kegiatan outbond


Palembang adalah Sekolah Kehidupan. Di “Sekolah“ yang satu ini tak ada surat tanda tamat belajar sebelum tubuh berkalang tanah. Di “Sekolah” yang satu ini, perubahan adalah kewajiban sebagai pertanda kehidupan. Bagi mereka yang berhasrat besar untuk terus belajar dan bersedia berubah, kami mengucapkan selamat data