CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

02 July 2012

Palembang Square

Palembang Square Exs Taman Ria di Jalan Angkatan 45

Tempo Doeloe, Dihiasi Taman Ria dan Taman Budaya, Masyarakat metropolis bisa saja dimanjakan dengan hadirnya pusat perbelanjaan terbesar, Palembang Square (PS) sejak tahun 2004 lalu. Di sisi lain,tak banyak mengingat wajah lama  kawasan tersebut. Era tahun 70 hingga memasuki tahun 2000, kawasan tersebut merupakan kawasan taman serta pusat kesenian, tempat seniman nongkrong. Seperti apa wajah PS Tempoe Doeloe?

Sulit membayangkan kondisi PS zaman dulu. Apalagi jika dikatakan kawasan tersebut merupakan bekas sebuah taman, akrab disebut Taman Ria. Saat ini, samasekali tidak ada bekas sedikit pun menunjukan adanya taman tersebut. 

Namun, bagi kalangan seniman seperti Tarech Rasyid, taman tersebut sangat diingatnya. Wajar saja, disebelah taman ria tersebut merupakan arena teater atau teater terbuka, tempat seniman seperti dirinya berkumpul. 

Pria berambut ikal berumur 56 tahun ini menyebut, selain arena teater, di kompleks PS saat ini terdapat Taman Budaya. Ada juga gedung perpustakaan dua lantai, yang diatasnya digunakan sebagai tempat pameran. Sedangkan posisi Hotel Aryaduta berada dalam komplek PS, merupakan tanah kosong.

Hiburan Rakyat Kecil

Kepada Sumeks Minggu ditemui tiga hari lalu, dosen Fakultas Hukum Universitas IBA (UIBA) Palembang ini menceritakan, jika konsep Taman Ria yang diperkirakannya kini berada di ruko PS deretan Palembang TV (Pal TV,red) layaknya pasar malam yang kini bergeser ke pinggiran kota. 

“Dikatakan taman karena tempat itu memang taman. Banyak pohon-pohon besar. Sebagai taman, tempat itu sebenarnya tempat hiburan. Ada roda besar yang berputar, motor-motoran, tempat hantu, banyak juga arena permainan ketangkasan. Kurang lebih seperti arena pasar malam,” ungkap ungkap pria berambut ikal ini. 

Taman hiburan seperti ini ditegaskan Tarech merupakan hiburan bagi masyarakat kecil. Pasalnya, sejak tahun 80 hingga usai reformasi tahun 1998, taman tersebut tergerus, berganti mall. “Kalau mall itu konsepnya untuk mempermudah orang belanja saja. Tapi tetap, saya melihatnya bukan untuk kalangan masyarakat kecil,” ujarnya. 

Alhasil, dalam pandangan pria berkacamata ini, selain Punti Kayu, sebenarnya Palembang kekuarangan tempat hiburan bagi masyarakat kecil. “Sekarang paling cocok buat masyarakat kecil itu punti kayu. Tempat ini (Punti Kayu,red) mirip-mirip seperti taman ria, cuma kawasannya lebih luas lagi. Kalau water boom yang sekarang marak, itukan masih untuk kalangan menengah sama menengah keatas. Kalau BKB, itu namanya ruang publik bukan tempat hiburan,” ujarnya. 

Tergeser Akibat PON
Lalu kenapa pula taman ria sebagai aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel ini hilang begitu saja? Tarech mengingat kejadiannya hampir sama dengan ketika dilaksankannya Sea Games 2011 lalu. Ketika Sea Games hendak digeber, Pemprov melakukan BOT dan membangun Undermall serta RS Siloam. Dengan konsekwensi menghilangkan jejak Lapangan Parkir Bumi Sriwijaya.

Begitu juga Taman Ria. Tergeser oleh rencana Pemprov, ketika hendak menggeber PON tahun 2004 lalu. “Kejadiannya sama persis seperti bangunan Undermall dan RS Siloam itu. Dengan alasan Sea Games Pemprov membangun Undermall dan RS Siloam. Dulu, karena alasan PON, Pemprov mengadakan BOT membangun PS dan menghilangkan Taman Ria,” ujarnya. 

Hanya saja, nasib gedung arena teater serta Taman Budaya oleh Pemprov di pindah ke kawasan Dekranasda Jakabaring. Meski gedungnya lumayan baik, tetap saja, Tarech yang mantan seniman, pernah tergabung dalam Kelompok Studi Kebudayaan Kali Musi menilai, pemindahan atau tukar guling, gedung Taman Budaya serta area teater tidak setimpal. Dalam pandangannya, pusat kesenian, seharusnya sudah tepat berada di kawasan Jl Angkatan 45 serta POM IX. 

Konsep Perjudian, Tak Begitu Dipedulikan

Sementara, Kgs H Roni Hanan, Pengurus Harian Dewan Pembina Adat Kota Palembang yang sempat dihubungi koran ini tak banyak mengingat kawasan Taman Ria. Ketika ditanya, Cek Roni, sapaan akrab Kgs H Roni Hanan sempat berpikir lama, mencoba mengingat kawasan yang cukup lama menghilang tersebut. 

Nah, keterangan Ketua Kerukunan Keluarga Palembang (KKP), tahun 1999 hingga 2009 ini, taman tersebut sudah ada sejak era tahun 70 an. Awal dibuka, taman ria terbilang ramai. Maklum, samasekali tidak ada tempat hiburan lain. 

Konsepnya sama dengan diceritakan Tarech Rasyid. Lebih menyerupai pasar malam yang kini banyak digelar di pinggiran kota. “Cuma taman ria itu permanent. Dari pagi sampai malam. Kalau pasar malam itu berpindah tempat dari kampung ke kampung,” ungkap Cek Roni. 

Berbeda dengan Tarech Rasyid yang menilai taman tersebut sekedar hiburan masyarakat kecil melepas penat bersama keluarga, Cek Roni mengatakan konsep dianut Taman Ria saat itu, sudah mengarah pada judi. 

Pasalnya, selain hiburan roda lambung dan hiburan lain bagi anak, permainan ketangkasan dengan berbagai hadiah, termasuk hadiah uang, dinilainya sudah berbau judi. 

“Cuma tempat itu dulu kan resmi. Masyarakat Palembang juga dulu kurang kritis tak begitu peduli seperti sekarang,” tandasnya.(wwn)

Sumber tulisan : sumeksminggu.com/

Palembang, PS, 0712, Dodi NP

No comments:

Post a Comment