CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

17 January 2014

Pemancing Ulur di Sungai Musi


Para pemancing tidak hanya bisa kita temui di atas Ketek ataupun di pinggiran di sungai musi,  tetapi pada malam hari para pemancing juga bisa di temui di atas jembatan Ampera, atau yang sering masyarakat Palembang menyebunya "Mancing Ulur" di karenan mereka memancing menggunakan tali pancing yang lumayan panjang.

Umumnya mereka yang senang memancing di malam hari selain tidak panas juga lalu lalang kapal di sungai musi sudah mulai berkurang, biasanya pemancing jenis ini memancing  ikan jenis Juaro, patin, baung sungai dan terkadang lele.

Picture
Jenis ikan hasil tangkapan ikan kepala batu, udang sungai, Ikan seluang, Ikan Juaro & ikan tikus
sumber foto : http://bombom94.weebly.com/

Para pemancing di sini baru akan memenuhi jembatan Ampera sekitar pukul 23.00 WIB, sebab saat itu lalulintas sungai Musi mulai sepi, sehingga tali pancing mereka tidak ditabrak perahu atau kapal. jika lalu lintas sungai masih rame cukup kasih tanda pada senar pancing,yaitu mengikatkan beberapa kanton plastik/ Kresek pada senar agar dapat terlihat oleh pengemudi perahu.

Gambar terkait
Para pemancing yang memulai kegiatannya dari atas Jembatan Ampera 

Tetapi untuk menjadi pemancing Ulur ini harus banyak menyiapkan umpan, senar pancing kail atau pun pelampung karena kalau nasib sedang sial, bisa saja senar pancing kita terlilit mesin kapal sehingga putus.

04 January 2014

Mengenal Adat Istiadat Palembang - Baso Pelembang Alus/Bebaso

Oleh Kms H Andi Syarifuddin, SAg


SEBAGAI salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri wong kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (bebaso) saat ini sudah hampir punah Untuk itu perlu adanya usaha melestarikan dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, di antaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamus.

Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak sayang, Tak saya maka tak cinta. Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuklah dalam hal bahasa.

Asal Usul
Baso Palembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, Identitas Palembang sebagai korabolasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa laloe adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan:

Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.


Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN hingga tujuh turun lebih.

Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula.

Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH dikirim ke tanah asalh nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.


Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki, Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.


Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negar Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.


Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan Bahasa.


Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).


Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan koleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua.


Seperti dipakai koleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.


Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A di ujung diganti dengan huruf O. Seperti Apa menjadi Apo, nama menjadi namo dan seterusnya, Karena itu orang-orang datangan di Kota Palembang ini mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel. Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya nya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang yang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan bebaso adalah agak lebih sulit dan berbeda sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromo Inggil).
Sekarang ini sudah tidak banyak lagi wong Palembang yang pandai bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa. Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang.


Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun, sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinan terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga enak didengart dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.


Contoh kedua bahasa Palembang, Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
     (Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)



P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
    (O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang).