CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

06 March 2007

Sejarah Masjid Agung Palembang

Seketsa masjid Agung tahun 1830 foto: Kitlv.nl

Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (memerintah tahun 1724-1758).

Masjid Agung Tahun 1935 Foto Kitlv.nl
Masjid ini pada zamannya adalah masjid yang terindah dan terbesar di Nusantara, dengan arsitektur khas yaitu atap limas. Masjid ini pendiriannya di bawah pengawasan arsitek Eropa, dengan mengimpor sebagian besar materialnya dari luar negeri, seperti marmer dan kaca. Penulis-penulis ataupun pelapor baik bangsa Belanda maupun Eropa lainnya sangat mengagumi perpaduan arsitektur khas dengan sentuhan arsitektur Cina dan teknik dari Barat. Sketsa di atas dibuat oleh pelukis Belanda dan sekarang menjadi salah satu dari koleksi Rijks Archief di 's-Gravenhage di bawah nama J.W. van Zanten (1822). Masjid tersebut dilukis dalam keadaan rusak berat, akibat perang Palembang-Belanda 1819 dan 1821.

Pada awalnya Masjid ini berukuran 1.080 m2 dengan kapasitas jamaah sebanyak kurang lebih 1.200 orang (untuk sirkulasi 20%). Kemudian sejak zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan perubahan-perubahan dan perkembangannya terus diadakan, sehingga keaslian Masjid hilang sama sekali.

Catatan lainnya

Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.

Masjid Agung 1947 Foto Kitlv.nl
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan. 

Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang.

Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.

Arsitektur
Masjid Agung 1867 Foto : kitlv.nl
Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran.

Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter. 

Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Masjid agung dan kambang (kolam) tempat  mengambil wudhu 1935 foto: kitlv.nl

Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.

Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng. Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.

Bangunan Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari candi. 

Masjid Agung 1890 foto : kitlv.nl
Bahan-bahan yang dipergunakan adalah bahan kelas satu eks impor dari Eropa. Sulitnya mendatangkan material bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar.

Setelah 100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric.

Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap.

Setelah kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi.

12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri. 

Bapak Abdul Malik sebagai pimpinan pemerintahaan
di sumatera Selatan saat berada di Masjid Agung
Palembang 1948
Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan. 

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

 http://www.palembang.masjiddigital.info

SMB II, Sang Pahlawan


Sultan Mahmmud Badaruddin II

Tanggal 10 Nopember bagi bangsa Indonesia adalah suatu hari yang khusus diberikan kepada para Pahlawan bangsa Ini, sudah banyak para tokoh negeri ini yang diberikan Tanda jasa sebagai Pahlawan Nasional termasuk Pahlawan Nasional dari Palembang yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II yang dikukuhkan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 063/TK/tahun 1984 tertanggal 29 oktober 1984. Lahir di Palembang pada hari Ahad malam, Jam 9.00 (1 Rejeb 1181 H / 9 Februari 1768 M.). Semasa kecilnya Ia diberi nama Raden Hasan bin Sultan Muhammad Bahauddin, kemudian ditunjuk sebagai pewaris Kesultanan Palembang dengan gelar Pangeran Ratu. Setelah Ia dinobatkan menjadi Sultan Palembang pada tanggal 22 Zulhijjah 1218 H bertepatan tanggal 4 April 1803 bergelar Sultan Mahmud Badaruddin. Selain sebagai Sultan Palembang Beliau adalah Al-Hafiz (Ulama) di Kesultanan Palembang-Darussalam, Namanya kini diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di Palembang, dan Mata uang rupiah pecahan 10.000 yang dikeluarkan Bank Indonesia pada 20 Oktober 2005 yang diawali dengan usulan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diraja.

Ia menjadi Sultan Palembang menggantikan ayahnya di Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) pada tahun 1803-1819, selama masa pemrintahannya telah menanamkan semangat perjuangan yang tak pernah menyerah. Penggambaran sikap ini dikatakan oleh orang Inggris sebagai harimau yang tidak pernah jinak (never a tame tiger) hal ini didasarkan pada pengalaman Inggris yang selalu kewalahan ketika menghadapi SMB II, bahkan Jenderal Meares dari Inggris yang sangat berambisi untuk menangkap SMB II tewas dalam satu pertempuran di daerah hulu kota Palembang tepatnya di desa Buay Langu Kabupaten Musi Banyu Asin pada tanggal 28 Agustus 1812.

Selama masa Perjuangannya untuk menjaga negeri ini tercatat beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, konflikpun dimulai sejak ditemukan Timah di Bangka pada pertengahan abad ke-18. Sejak itu Pulau Bangka menjadi perebutan bangsa Eropa. Sir Thomas Stamford Raffles adalah orang pertama mulai mengadakan pendekatan dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu melalui surat pada 3 maret 1811, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang. Tetapi, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Meseki pun pada akhirnya terjalin kerja sama Inggris-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Tidak berhasil dengan bujukannya Inggris melancarkan strategi lain. Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Inggris yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Inggris menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya. Raffles yang terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, masih berharap dapat berunding dengan SMB II. Tetapi SMB II tidak lagi menghiraukan maksud Ingeris. Akibatnya, Inggris mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Inggris kemudian mengangkat Husin Diauddin Husin_Diauddin menjadi Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II, tanggal 14 Mei 1812. Bangka yang telah dikuasai diganti namanya Duke of Yorks Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen di Bangka membuat ia menjadi semakin berambisi untuk menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812, Ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robinson. Pengganti Merares ini kemudian melakukan serangkaian perundingan. SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813, hingga Agustus 1813. Sementara itu, Robinson dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Setelah Konvensi London Konvensi_London 13 Agustus 1814 yang mengharuskan Inggeris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803, pada. 19 Agustus 1816 Palembang diserhakan kembali pada Belanda.penyerahan ini terjadai setelah Rafles dihanti oleh John Fendal. yang kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah SMB II dengan Husin Diauddin. Setelah berhasil, SMB II naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, dan akhirnya dimenangkan oleh Palembang. Belanda yang tidak menerima kenyataan itu. beberapa waktu berikutnya, tepatnya tanggal 21 Oktober 1819 kembali menyerang Palembang, tetapi juga mengalami kegagalan. Begitu juga pada serangan ketiga mendapatkan kekalahan.

Penangkapan Sultan Mahmmud Badaruddin II oleh Belanda
dan di asingkan ke ternate
Selanjutnya untuk yang ke empat kalinya, pada tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera Merah Putih Biru (rod, wit, en blau) di Kuto Besak Kuto_Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Untuk menghindari konflik dengan keluarganya sendiri ( Husin Diauddin dan Prabu Anom beserta kerabat ) SMB II beserta keluarga dan Kerabatnya lebih memilih untuk tinggal diluar Istana Kesultanan Palembang Darussalam secara diam-diam ( pada akhir Romadhon 1236 H), Ia tinggal dan menetap sementara waktu di Guguk (Kampung) PANGERAN ADIPATI TUO ( sekarang dikenal dengan nama Kampung Depaten / Sekanak / 27 Ilir ). Dalam persembunyian rahasianya SMB II sempat menitipkan beberapa Kunci Istana Kuto Besak/Kutu Anyar kepada PANGERAN PRABU KESUMO ABDUL HAMID dan PANGERAN KRAMA JAYA.

Ketika Belanda Berhasil menyerang masuk ke Istana Belanda tidak berhasil menangkap SMB II dan keluarganya, kemudian ia Menyuruh Husin Diauddin untuk Membujuk SMB II untuk menyerahkan kekuasaannya, hal ini suatu pilihan yang dilematis bagi Husin Diauddin akhirnya Ia menyuruh PANGERAN WIRO KERAMO GOBER untuk menemui SMB II untuk mengambil beberapa benda pusaka yang dianggap penting, namun tidak berhasil PAngeran Wiro Keramo Gober hanya bisa menemui Pangeran Prabu Kesumo Abdul Hamid dan Pangeran Keramo Jayo dan hanya sebagaian kunci Istana yang bisa diambilnya, Meskipun Ia telah dikawal oleh beberapa orang Menteri, Priyai priyai dari laut ( pengikut SUSUHUNAN HUSIN DIAUDDIN dan SULTAN AHMAD NAJAMUDIN PRABU ANOM ) serta dengan pengawalan serdadu Belanda kurang lebih 200 ( dua ratus ) orang.

Pada Hari AHAD / MINGGU tanggal 23 Romaddan 1236 jam 01.00 siang Benteng Besak Kuto Anyar ( Istana Kesultanan Palembang Darussalam ) ditempati / diduduki Letnan Jenderal BARON DE KOCK bersama SUSUHUNAN HUSIN DIAUDDIN bin Sultan Muhammad Bahauddin. Karena merasa belum merasa aman atas kedudukannya di dalan Istana Baron memerintahakan pasukannya untuk menangkap SMB II yang sedang berada di rumah PANGERAN ADIPATI TUO di Kampung Depaten peristiwa terjadi pada Selasa malam tanggal 3 Syawal 1236 (13 Juli 1821), kemudian SRI PADUKA SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN yang dikenal SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II beserta Keluarga dan Kerabatnya dinaikkan ke Kapal oleh Belanda, pada pagi harinya Rabu, 4 Syawal 1236 (14 Juli 1821) SMB II diberangkatkan dari Negeri Palembang Darussalam ke Betawi / Jakarta, kemudian dilanjutkan ke Ternate dengan status tetap sebagai SULTAN PALEMBANG DARUSSALAM, karena SRI PADUKA SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN / SMB II tidak pernah membuat SURAT PERNYATAAN KALAH PERANG MELAWAN BELANDA atau TIDAK PERNAH MENYERAH atau TIDAK PERNAH MEMBUAT SURAT PERJANJIAN KALAH DENGAN BELANDA, yang biasa dilakukan oleh pihak yang kalah dalam Peperangan, baik berupa LANGE VERKLARING maupun KORTE VERKLARING, dengan kata lain TIDAK PERNAH MENYERAHKAN KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM KEPADA SIAPAPUN.Dalam pengasingan di Ternate ia tetap menjadi panutan masyarakat setempat karena di dalam dirinya terdapat karakter yang Ideal yaitu sebagai Ulama dan Umaroh Ideal sampai akhir hayatnya 26 November 1862.

Peristiwa 4 Syawal adalah sebuah momen yang penting bagi kita sebagai anak negeri (masyarakat) Palembang Darussalam. Pada saat itu adalah detik-detik terakhir pemberangkatan SMB II ke Batavia dan dilanjutkan ke Ternate (Maluku Utara). Pada saat ini peristiwa 4 Syawal bisa dijadikan Aset Pariwisata kota Palembang. Untuk mengenang Jasa-jasanya ada baiknya dituliskan kembali sebuah Syair SMB II yang dibuat oleh; cucu SMB II yang juga ikut dibuang ke Ternate yakni RADEN HAJI ABDUL HABIB PRABU DIRADJAH BIN PANGERAN PRABU DIRADJAH BIN SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II, Pada tanggal 9 SYAWAL 1316 H.

SYAIR SULTAN MAHMUD BADARUDDIN

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN YANG PUNYA NEGERI
DATANGLAH MUSUH TIDAK TERPERI
DENGAN TAKDIR TUHAN YANG QOHARI
PINDAHLAH IA KE LAIN NEGERI

DARI PALEMBANG KE TERNATI
DIAMLAH DI SANA BERBUAT BHAKTI
JIKALAU IMAN KURANG MENGERTI
RUSAKLAH BADAN SERTA HATI

RUSAK BADAN PADA ITU KETIKA
KARENA BERPERANG DENGAN KAFIR CELAKA
TETAPI JIKALAU TIDAK DIDAULAT BELAKA

NISCAYA MENANG PULA SRI PADUKA

Oleh : Kemas Ari, S.Pd.
Penulis Adalah : Dosen dan Guru Sejarah
pada Fakultas Adab IAIN Raden Fatah dan MAN 1 Palembang

05 March 2007

Eksistensi Permainan Rakyat Kota Palembang

Permainan Pantak Lele 
Kredit foto by : https://steemit.com/esteem/@wanilay
Kota Palembang sebagai ibukota propinsi Sumatera Selatan, yang tumbuh dan berkembang menjadi barometer pertumbuhan di Sumatera bagian selatan, pernah mengenal berbagai macam jenis permainan tradisional, khususnya yang dimainkan oleh anak-anak. Namun sebagai dampak derasnya kemajuan teknologi dan arus informasi, pada saat sekarang, hampir tidak ditemukan lagi anak-anak di kota Palembang yang memainkan permainan-permainan tradisional tersebut. Padahal didalam permainan tradisonal tersebut banyak terkandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang sangat bagus dalam perkembangan si anak. Meskipun pada umumnya permainan tersebut dimainkan dengan tujuan rekreatif dan pengisi waktu luang, namun secara tidak disadari, permainan-permainan tradisional tersebut dapat melatih keterampilan, ketangkasan, kreatifitas, daya ingat, kekompakan dan mengajarkan anak untuk bersosialisasi serta beradaptasi di dalam lingkungan sosialnya.

Permainan rakyat tradisional merupakan salah satu manifestasi tingkah laku manusia yang dilakukan dalam kegiatan fisik dan mental sebagai bagian dari kebudayaan bangsa dimana setiap suku bangsa yang mempunyai permainan rakyat tersendiri (Yunus, 1992). Permainan rakyat daerah sangat berguna sebagai sumber informasi bagi sejarah dan budaya masyarakat setempat. Hal ini karena pada dasarnya manusia senang dan harus bermain, sudah lama diketahui. Buktinya adalah bahwa setiap kebudayaan memiliki banyak macam permainan dan alat-alat permainan.

Didalam permainan rakyat tradisional terkandung nilai-nilai dan gagasan vital masyarakat pengembangannya, serta merupakan sumber daya manusia yang sangat besar. Dengan kata lain permainan rakyat merupakan suatu tradisi yang mengandung fungsi dan nilai-nilai budaya masyarakat pendukungnya. Menurut sifatnya permainan rakyat dapat dibedakan atas dua golongan besar yaitu permainan rakyat untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game). Golongan yang sifatnya untuk bermain lebih menekankan fungsi untuk mengisi waktu senggang, melepaskan kejenuhan atau rekreasi, sedangkan golongan untuk bertanding yang kedua kurang mempunyai sifat itu tetapi lebih terorganisir, diperlombakan (kompetisi) dan dimainkan paling sedikit oleh dua orang untuk menentukan yang kalah dan yang menang (Subdit Nilai Budaya : 42).

Di tengah gencarnya serbuan teknologi yang semakin hari semakin canggih serta tuntunan zaman yang mengkondisikan penguasaan iptek sedini mungkin, menjadikan eksistensi permainan rakyat tradisional berada pada taraf yang dilematis. Di satu sisi, perkembangan iptek memunculkan berbagai macam jenis permainan digital yang jauh lebih menarik dan atraktif, tidak hanya bagi anak-anak, tetapi juga seluruh golongan usia. Di sisi lainnya, permainan rakyat tradisional ini semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena hadirnya berbagai jenis permainan yang berbasis teknologi, seperti video game yang dihadirkan oleh berbagai perusahaan pembuat konsol game.

Dalam hasil penelitian oleh Moesono dkk (1996 : 26), video game yang dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis yaitu game komputer, dingdong dan nintendo/sega (pada saat sekarang ditambah dengan playstation, x-box dan cyber game), mulai marak di Indonesia semenjak awal tahun 80-an.

Seperti halnya permainan rakyat tradisional di daerah atau di negara lainnya serta di daerah-daerah lainnya di kepulauan Nusantara (Indonesia), bentuk-bentuk permainan rakyat di kota Palembang biasanya berdasarkan gerak tubuh seperti berlari atau kejar-kejaran, lompat, sembunyi-sembunyian, ketangkasan anggota tubuh, kecekatan tangan dan keterampilan menggunakan alat serta berdasarkan matematika dasar. Selain itu ada pula bentuk permainan yang berdasarkan untung-untungan. Sedangkan jenis-jenis permainannya seperti pantak lele, gasing, cup mailang, cak ingkang gerpak, ulo cadang (dang-dangan), yang-yang buntut, perahu bidar dan luk-luk cino buto.

Beberapa jenis permainan rakyat tradisional di kota palembang yang masih eksis di kota Palembang sekarang adalah permainan Pantak Lele, Cup Mailang, Luk-Luk Cino Buto, Cak Ingking Gerpak, Ulo Cadang (Dang-Dangan) dan Engkek-Engkek.

Permainan rakyat, pada umumnya berfungsi sebagai pengisi waktu senggang dan untuk hiburan bagi anak-anak. Oleh sebab itu permainan-permainan tradisional anak biasanya dimainkan pada waktu siang hari yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Selain itu juga untuk mengisi waktu istirahat di sekolah. Jadi pada umumnya permainan-permainan tersebut tidak memerlukan waktu-waktu khusus untuk memainkannya dan bisa kapan saja. Durasi atau lamanya permainan tergantung dari masing-masing jenis permainan, tetapi biasanya berkisar antara 15 (lima belas) menit sampai dengan 1 (satu) jam.

Hasil gambar untuk permainan tradisional palembang
Permainan Cak eng kleng

Disamping itu ada juga permainan rakyat tradisional di kota Palembang yang dimainkan pada waktu-waktu tertentu. Pada waktu tertentu maksudnya adalah bahwa permainan tersebut hanya bisa dimainkan pada saat yang telah ditentukan atau pada waktu even-even khusus. Salah satu permainan yang hanya bisa dimainkan pada waktu-waktu khusus ini adalah permainan Perahu Bidar.

Permainan Perahu Bidar ini sangat dikenal oleh masyarakat di kota Palembang, bahkan oleh seluruh penduduk di daerah Sumatera Selatan karena pada setiap tahunnya yaitu pada tanggal 17 Agusutus, perahu bidat ini dijadikan sebagai tontonan publik sebagai perlombaan perhau di sungai Musi. Bentuk perahunya yang panjang sampai dengan 27 (dua puluh tujuh) meter dan dengan lebar hanya 0, 75 meter, dapat memuat pendayung sampai dengan 57 (lima puluh tujuh) orang. Memang ada yang pendek dan pendayungnya hanya berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang, tetapi yang paling sering ditampilkan adalah yang panjang. Bentuk perahunya yang panjang akan dapat menanmpung jumlah pendayung yang lebih banyak dan sudah tentu kekuatan laju perahu lebih cepat.

Permainan rakyat tradisional yang ada di kota Palembang, hampir keseluruhan bisa dimainkan oleh seluruh lapisan atau golongan masyarakat tanpa memandang status sosialnya orang yang memainkannya. Golongan masyarakat di desa-desa sampai yang ada di pusat kota, bisa memainkan permainan-permainan tersebut tanpa ada larangan dan cemoohan atas dasar status sosial.

Hal ini menggambarkan bahwa dalam permainan-permainan tradisonal anak yang ada di kota Palembang, anak-anak dan remaja dari segala lapisan sosial masyarakat melebur menjadi satu untuk bermain. Disini terlihat rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang tinggi.

Hakekat dan fungsi permainan rakyat di kota Palembang adalah :
  1. Permainan bertanding, karena permainan itu terorganisasi, dimainkan oleh lebih dari 1 (satu) orang, mempunyai kriteria dan peraturan yang diterima oleh seluruh peserta permainan. Salah satu jenis permainan bertanding adalah lomba perahu bidar, karena hanya dapat dipergelarkan pada waktu-waktu khusus saja yaitu pada waktu HUT Kemerdekaan RI dan Hari Jadi Kota Palembang. Selain itu perlombaan perahu bidar ini memerlukan persiapan yang matang dan terencana, terarah dan terkoordinasi.
  2. Permainan yang bersifat rekreatif atau hiburan seperti permainan Cup Mailang. Permainan ini dapat dimainkan pada setiap waktu dan setiap tempat baik oleh anak-anak, remaja bahkan juga oleh orang dewasa. Permainan seperti ini pada dasarnya bersifat rekreasi karena hanya sebagai pengisi waktu luang pada waktu sore hari atau pada hari-hari libur. Permainan ini tidak terlalu menuntut unsur terorganisasi, kompetitif, dan tidak memerlukan kriteria dan peraturan-peraturan khusus. Dengan hanya minimal 2 (dua) orang peserta saja, permainan ini sudah dapat dimainkan. Unsur terpenting dalam permainan jenis ini pada hakekatnya adalah hiburan, pengisi waktu santai dan saling berkomunikasi secara kekeluargaan serta persahabatan.
Baik permainan yang bersifat bertanding maupun permainan yang bersifat rekreatif, mengandung nilai-nilai kepribadian pembangunan seperti nilai-nilai kekompakan atau juga dapat dikatakan nilai persatuan dan kesatuan, kebersamaan, gotong royong. Permainan jenis ini menunjukkan adanya nilai kerukunan hidup, mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban, saling mencintai, mengembangkan sikap tenggang rasa, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mengembangkan sikap hormat menghormati, bangga sebagai bangsa Indonesia, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, rela berkorban, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dan sebagainya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tersebut merupakan nilai budaya bangsa yaitu nilai-nilai Pancasila. Nilai itu merupakan nilai kepribadian pembangunan seperti kesediaan menerima pengalaman baru dan keterbukaan bagi pembaharuan dan perubahan, berpandangan luas, bekerja dengan perencanaan dan organisasi yang ketat, yakni hidup dapat diperhitungkan, yakin akan kemampuan manusia dan imbalan diberikan berdasarkan prestasi.

Keberadaan permainan rakyat yag ada di Sumatera Selatan, khususnya di kota palembang padea saat sekarng, tidk jauh bebeda dengan derah-daerah lainnya di indonesia seperti di Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Masyarakt di Palembang pada umumnya tidak mengenal lagi permainan-permainan rakyat tradisional yang pernah ada dan berkembang di daerahnya. Padahal dalam permainan-permsina rakyat itu, terkandung fungsi-fungsi dan nilai-nilai budeaya yang tinggi peningagalan dari nenek moyang bangsa Indinesia.

Kalau pun masih ada yang memainkn permainan-permainan tersebut, itu hanya ditemukn di diaerah-daerah pinggiran kota dan di desa-desa, itupun sudah sngat jarng( wawancara dengan Bapak Usman Agoes-46 tahun). Faktor-fasktor yang menjadi penyebab hilangnya keberadaan jenis-jenis kesenian rakyat tradisional, di sumatera selatan, khususnya kota palembang, menurut beliau karena banyaknya jenis permainan asing yang lebih modern masuk ke kota palembang. Anak-anak apda mas sekarang lebih senang memainkan permainan modern ketimbang permainan tradisional.

Selain itu juga disebabkan oleh tuntutan zaman saat ini yang menuntut anak-anak menguasai ilmu pengetahuan lebih banyak, tidak hanya melalui pendidikan formal tapi juga melalui pendidikan dan kursus-kursus informal. Hal ini mengakibatkan si anak tidak lagi mempunyai waktu senggang yang banyak untuk bermain, khususnya permainan rakyat tradisional.

Fenomena itu selain mengakibatkan si anak tidak lagi mengenal permainan tradisional, lebih jauh juga menyebabkan kurangnya kreatifitas dan jiwa seni si anak. Karena sebagian besar permainan-permainan rakyat tradisional itu, baik secara langsung maupun tak langsung dapat merangsang kreatifitas dan jiwa seni. Tidak hanya dalam memainkannya, juga dalam membuat peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

Selanjutnya, Bapak Usman Agoes berharap bahwa kalau dapat permainan-permainan rakyat tradisional tersebutapat hidup dan berkembang lagi seperti masa dahulu. Karena permainan-permainan itu dapat menambah daya kreatifitas anak-anak. Selain itu menjadikan anak-anak berpikir, sehingga dapat melatih nalar dan daya ingat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan membuat semacam buku-buku panduan permainan seni tradisional yang berisi panduan permainan-permainan rakyat tradisional.

Diharapkan anak-anak sekarang tertarik mencoba membuat dan memainkan permainan-permainan tersebut, sehingga permainan rakyat tradisional yang merupakan budaya warisan nenek moyang bangsa, dapat hidup kembali serta dilestarikan.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional 2005-2009, Jakarta, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Permainan Rakyat Daerah Sumatera Selatan, Palembang : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983.
Moesono, Anggadewi, Dr, dkk. Manfaat dan Mudarat Video Game Bagi Anak dan Remaja, Jakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 1996.
Ramlan, Eddy, dkk. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat Daerah Sumatera Selatan, Palembang ; PD. Alima Jaya, 1997.
Yunus, Ahmad. Kajian Upacara Tradisional, Cerita Rakyat, Ungkapan Tradisional, Permainan Rakyat dan Naskah Kuno Sebagai Sumber Pengungkapan Nilai Sejarah Dan Budaya. Makalah pada penataran tenaga teknis kesejarahan di Jakarta, 1992.