CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

12 July 2010

Kue Gomak Khas Palembang

Foto : cookpad.com
Ini dia kue kesukaan saya, kue gomak. Bagi anda yang ingin mencari cara membuat kue gomak anda berada di tempat yang tepat karena kali ini kami akan berbagi resep cara membuat kue gomak. Kue gomak adalah kue yang dibuat dari singkong dan di kombinaskian dengan beberapa bahan dan bumbu yang membuatnya enak dan lezat. Berikut ini adalah cara membuat kue gomak.

Bahan
  •         1 kg singkong
  •         2 butir telur
  •         1/2 kaleng susu kental
  •         1 ons gula pasir
  •     1 sendok makan garam
  •          1/4 butir kelapa

Cara membuat
  •  Singkong di kupas, diparut dan diperas untuk dibung airnya.
  •  Kalapa diparut, lalu campurkan dengan parutan dingkong.
  • Kocok telur dan masukkan kedalam adonan tadi, masukkan susu kental dan aduk hingga rata. Buat bulatan bulatan dengan adonan tadi kemudian goreng hingga matang.
  • Demikian tadi resep membuat kue gomak yang enak mudah dan praktis, temukan resep masakan khas daerah, resep kue baik resep kue basah maupun resep kue kering lainnya dengan menuju kategori sesuai dengan anda inginkan.

10 July 2010

Djohan Hanafiah

Djohan Hanafiah dilahirkan di Palembang pada 5 Juni 1939 dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah. Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak remaja Djohan Hanafiah senang berpetualang. Menggunakan kereta api atau kapal laut, Djohan sering mengunjungi banyak tempat di Sumatera dan Jawa. Selama perjalanan itu, dia menikmati segala kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia.

Rasa senangnya akan kebudayaan Indonesia ini dipengaruhi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan di Perguruan Taman Siswa—Djohan Hanafiah sekolah SD, SMP, SMA di Perguruan Taman Siswa. Selain itu, juga didorong pemikiran Bung Karno dan AK Gani mengenai nasionalisme atau Indonesia. Pada zaman revolusi berkisar tahun 1945-1946, Djohan Hanafiah dititipkan ke keluarganya di 26 Ilir, sementara kedua orangtuanya bergerilya ke pedalaman Sumatera Selatan melawan tentara NICA (Nederlandsch IndiĆ« Civil Administratie).  

Ternyata keluarga yang ditumpangi Djohan Hanafiah ini pro kepada Belanda. Hal ini yang menyebabkan jiwa Djohan saat itu memberontak. Dia banyak bermain di luar rumah. Buat mengekspresikan rasa kecewanya, dia bersama anak-anak lainnya di kampung itu, membuat perang-perang. Djohan selalu menjadi pasukan Indonesia yang berperang melawan Belanda.

Mengapa ada keluarga Djohan Hanafiah yang berpihak Belanda? Menurut Djohan, saat itu kaum ningrat di Palembang lebih setuju bergabung dengan Belanda yang akan membentuk Negara Sumatera Selatan. Kenapa? Sebab selama Belanda berkuasa, kaum ninggrat ini, sebagian hidupnya makmur dan tentram, sebab dilindungi oleh Belanda. Saat itu pula Belanda berjanji akan menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam melalui Negara Sumatra Selatan itu. Jadi menurut Djohan Hanafiah, saat itu konflik terjadi pada wong Palembang (kaum ninggratnya) bukan memilih antara Indonesia dengan Belanda, tapi bergabung ke Indonesia atau menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam.

Saat aktif sebagai mahasiswa Universitas Sriwijaya, Djohan aktif di organisasi pemuda (GMNI) dan wartawan di koran Panji Revolusi. Djohan juga dikenal sebagai wartawan yang garis politiknya ke PNI. Selama itu pula Djohan banyak menulis tentang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Palembang. Saat perploncoan mahasiswa baru Universitas Sriwijaya, tahun 1962, Djohan kali pertama bertemu dengan Taufiq Kiemas, yang kemudian diajaknya bergabung dengan GMNI.

Tugas pertama Taufiq Kiemas yakni mengumpulkan sumbangan dana untuk membiayai fakultas kedokteran Unsri yang baru dibuka. Sejak itu Djohan dan Taufiq terus bersama, baik melakukan diskusi maupun aksi-aksi terkait dengan perjuangan GMNI saat itu. Tetapi, saat itu, Djohan juga banyak menulis soal budaya dan sejarah.

Saat transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, Djohan ditangkap selaku wartawan, dan Taufiq ditangkap selaku aktifis GMNI.

Hampir bersamaan, pada era tahun 1970-an, baik Djohan maupun Taufiq lebih banyak aktif di dunia bisnis. Baru di tahun 1980-an, keduanya kembali terjun ke dunia politik. Bedanya Taufiq di PDI—kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan—dan Djohan di Partai Golkar.

Djohan dikenal sebagai teman dan juga “guru” politik dari Taufiq Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Djohan Hanafiah sering disebut sebagai bapak “penggali sejarah dan budaya Palembang”, sebab dialah sosok yang banyak menulis artikel, buku, serta menjadi narasumber mengenai sejarah dan budaya Palembang.

Salah satu teori Djohan Hanafiah yang sudah diterima di kalangan akademisi yakni soal “Palembang buntung”. Ternyata ujaran “Palembang buntung” itu menunjukkan akar budaya Palembang yang arti negatifnya buntung atau tidak selesai, merupakan perwujudan dari perpaduan dua kebudayaan yakni Melayu dan Jawa, secara kebudayaan wong Palembang itu tidak jelas identitasnya, disebut wong Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan.

Sayang, keinginannya untuk menulis sebuah buku tentang kebudayaan Palembang tersebut terhenti. Ini sebagai akibat situasi politik Indonesia berkisar 1965. Baru setelah sekian puluhan tahun kemudian, tahun 1995, kegelisahannya mengenai “Palembang Buntung” diwujudkan dalam sebuah buku berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta.

Di masa awal rezim Orde Baru, Djohan akhirnya lebih banyak bergelut di dunia bisnis. Dia ingin membangun kekuatan ekonomi. Sebab menurut Djohan masyarakat yang selamat dalam perubahan politik adalah mereka yang sebagian besar memiliki kemampuan atau basis ekonomi yang baik.

Tahun 1967-1971, Djohan Hanafiah menjadi Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya pindah menjadi Sales Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun 1973, lalu membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer VOLKSWAGEN di Palembang hingga tahun 1975. Lalu Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia).

Bisnisnya terus berkembang hingga memimpin sejumlah perusahaan di Palembang. Dan, terakhir dia sebagai Direktur Utama PT.Tejacatur Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun ke politik dan memberikan waktu yang lebih banyak buat melacak dan menggali sejarah dan budaya Palembang. Sejak 1992-1997 Djohan Hanafiah menjadi anggota DPRD Sumatera Selatan, dan kembali terpilih menjadi wakil rakyat sejak 1999-2004.

Beberapa tahun menjelang Soeharto turun, Djohan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja kebudayaan. Dia menulis sejumlah buku sejarah dan budaya, termasuk menjadi tokoh penggerak kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.

Basis ekonomi ini pula yang mendukung suami dari Napisah (almarhum) untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah, baik berupa buku maupun dokumen lainnya. Djohan pun melakukan sejumlah perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, maupun perjalanan ke ke luar negeri seperti Belanda, guna mendapatkan dokumen sejarah budaya Palembang.

Setelah mengundurkan diri sebagai pengusaha, Djohan mulai menerbitkan banyak buku, artikel, esai, mengenai sejarah dan budaya Palembang. Bersamaan dengan itu, pelacakan sejarah atau bukti-bukti baru mengenai sejarah Palembang dan Sumatra Selatan terus diburu mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan ini.

Buah dari totalitasnya ini Djohan Hanafiah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004. Penghargaan juga datang dari Malaysia yakni 3rd Malay and Islamic World Convention di Melaka 2002, oleh Dr.M. Mahatir, Prime Minister Malaysia, serta sejumlah penghargaan lainnya. Dapat dikatakan pelacakan kembali sejarah Palembang yang mulai marak tahun 1980-an akhir, semua bermula dari pembacaan atas buku atau artikel sejarah dan budaya yang ditulis Djohan Hanafiah.

Budayawan dan sejarawan Palembang ini meninggal dunia di RSCM Jakarta, Kamis (15/04/2010) sekitar pukul 01.15, lantaran penyakit jantung koroner setelah sempat dirawat selama 12 hari dan dikebumikan di pemakaman keluarga di TPU Puncaksekuning, Palembang pukul 13.30 siang, setelah sebelumnya disemayamkan di rumah orangtuanya di Jalan Talang Semut Lama nomor 3, Palembang. Meninggalkan seorang putra dan tiga orang putri, Revi Vereyanthi, Resi Stantiawati, Reli Everyanti, dan Mohamad Iksan. Sedangkan istrinya, Hj Nafisah, meninggal tahun 2008 lalu.

Bapak Sejarah dan Budaya Palembang

Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan budaya, buat sebagian besar wong Palembang Djohan Hanafiah adalah “bapak penggali sejarah dan budaya Palembang”. Berbagai seminar dan diskusi, baik lokal, nasional, maupun international dihadiri Djohan Hanafiah. Pemikiran atau informasi sejarah yang diungkapkannya membuat sejumlah intelektual, tokoh masyarakat, maupun pekerja seni di Palembang, terinspirasi menggali dan memperkenalkan kebudayaan Palembang.

Misalnya lahirnya organisasi Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) tahun 1997, sebuah organisasi yang menggali seni, adat-istiadat Palembang. Termasuk pula lahirnya organisasi Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Iskandar dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Lalu, mulai muncul mahasiswa di Palembang yang membuat skripsi mengenai sejarah Palembang, termasuk lahirnya sejumlah doctor yang mengupas sejarah dan budaya Palembang. Sejumlah karya seni pun lahir, yang beranjak dari kebudayaan Palembang, baik sastra, teater, musik, maupun seni lainnya.

Pandangan Djohan Hanafiah mengenai sejarah cukup menarik. “Sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah yang jelek secara moral juga harus ditulis, tidak hanya yang baik-baik. Ini penting, sebab ini akan menentukan sejarah selanjutnya. Sejarah di Indonesia banyak ditulis yang baik-baik saja, sehingga sering berbenturan dengan realitas hari ini. Dampaknya orang ragu menjadikannya sebagai pijakan buat menyusun sejarah ke depan,” katanya.

Bermula dari Perang

Buku pertama yang ditulis Djohan Hanafiah yakni mengenai sejarah peperangan antara VOC dengan Palembang pada 1819-1821. Judulnya “Perang Palembang 1819-1821” yang diterbitkan Pariwisata Jasa Utama tahun 1986.

“Saya menulis soal sejarah perang ini, sebab hanya perang itu yang terus membangun rasa nasionalisme wong Palembang,” kata Djohan Hanafiah.

Buku ini mendapat respon cukup bagus dari masyarakat, terutama kalangan akademisi dan pekerja budaya di Palembang. Hal ini terbukti dari sejumlah diskusi mengenai buku tersebut.

Setahun kemudian, 1987, Djohan Hanafiah menulis buku mengenai sejarah pergolakan di Palembang Lamo atau di Kuto Gawang. Judul bukunya, “Kuto Gawang: Pergolakan Politik dalam Kesultanan Palembang Darussalam” yang juga diterbitkan Pariwisata Jasa Utama. “Dari buku ini saya ingin melacak dari awal soal Kesultanan Palembang Darussalam,” katanya.

Masa produktif Djohan Hanafiah tidak berhenti. Tahun berikutnya dia menulis “Masjid Agung Palembang, Sejarah dan Masa Depannya” yang diterbitkanMasagung Jakarta.
Tahun 1989 ada tiga buku Djohan Hanafiah yang diterbitkan. Yakni “82 Tahun Pemerintah Kota Palembang” dan “Palembang Zaman Bari, Citra Palembang Tempo Doeloe”, yang diterbitkan Humas Pemda Kotamadya Palembang. Lalu buku “Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan” yang diterbitkan Masagung – Jakarta.
Setelah itu Djohan Hanafiah melakukan pelacakan sejarah yang baru. Dia memburu sejumlah data, baik di Palembang, Belanda, maupun daerah lain di nusantara. Dia pun melakukan sejumlah diskusi dengan arkeolog, penliti sejarah, dan para pekerja budaya lainnya.

Tahun 1995, bukunya berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta. Buku ini lebih menyoroti soal identitas budaya wong Palembang, yang biasa disebut “wong buntung”, yakni masyarakat yang tidak memiliki akar budaya yang jelas. Disebut Melayu bukan, disebut Jawa juga bukan. “Buku merupakan cermin kegelisahan saya sejak remaja mengenai identitas wong Palembang. Ya, identitas wong Palembang itu yakni Melayu-Jawa,” katanya.
Dari buku inil Djohan Hanafiah mendapat pengakuan sebagai budayawan dari publik di Palembang, dan kemudian meluas secara nasional maupun international. Djohan dinilai telah mampu merumuskan identitas wong atau masyarakat Palembang yang sebelumnya seakan tidak memiliki identitas atau “buntung”.

Tahun berikutnya, 1996, Pemda Sumatra Selatan menerbitkan buku Djohan Hanafiah mengenai “Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Sumatera Selatan”.
Selanjutnya “Sejarah Perekembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tk II Palembang” (Pemerintah Kotamadya Daerah Tk.II Palembang – 1998.), “Perang Palembang Melawan VOC” (Millenium Publisher Jakarta(cet. Ke 2) – 2002.), “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang” (Pemda Kota Palembang – 2001.), “Perkembangan Kota Palembang dari Wanua Sriwijaya menuju Palembang Modern”.

Karya bersama Bambang Budi Utomo & Prof.Dr.Hasan Muarif Ambari (Pemda Kota Palembang – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan – 2005.), “Sejarah Keraton-keraton Palembang – Kuto Gawang” (Pemerintah Kota Palembang – Dinas Pariwisata & Kebudayaan – 2005.), “Dicari Walikota yang Memenuhi Syarat” (Kerukunan Keluarga Palembang – 2005.), “Perkembangan Palembang dari Wanua sehingga kota Modern” (Pemda Kota Palembang – 2006), “Keraton-Keraton Kota Palembang – Kuto Gawang” (Pemda Kota Palembang 2006).

Selain itu Djohan Hanafiah juga menjadi editor sejumlah buku, seperti “Pasemah Sindang Merdika 1821-1866 (Pustaka Asri, Jakarta -1999), “Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad ke 19, Catatan Perang Pasemah 1866” (Millenium Publisher, Jakara – 2000), ”Kesan-Kesan Dalam Kehidupan dan Berkarya H.M.ALI AMIN, Pengalaman Pegawai Tiga Zaman” (Pemda Propinsi Sumsel, Bengkulu dan Pemda Kota Palembang 1999).

Djohan Hanafiah juga menjadi kontributor sejumlah buku, misalnya artikel berjudul “Sriwijaya di antara Mitos, Legenda dan Sejarah” yang dimuat dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah” (Pemerintah Daerah Propinsi Tk.I Sumatera Selatan – 1993.), lalu artikel “Palembang Masa Pasca Sriwijaya” yang ditulis bersama Bambang Budi Utomo di dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah”. (Pemerintah Daerah tk.I Propinsi Sumatera Selatan – 1993.).

Artikel “Palembang: Aspek Sejarah dan Budaya” di dalam buku “Musi Riverside Tourisme Development” (Penerbit ITB – Bandung, 1999.). Artikel “Pembangunan Sumbagsel: Pandangan Masa Depan dengan Refleksi Saat Ini dan Masa Lampau” di dalam buku “Untukmu Negeriku: Sumbagsel Membangun dan Pengabdian Kodam II/Sriwijaya” (Penerbit Universitas Sriwijaya – Palembang 1998.). Artikel “Pulau Berhala, Orang Kaya Hitam dan Si Gunjai: Suatu Mitos Ideologi dan Politik Jambi” dalam buku “Seminar Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992” (Penerbit Pemda Tk.I Propinsi Jambi – 1992.). Artikel “Perjuangkan, Penuhi dan Isilah” dalam buku buku “20 Tahun HIPMI” (HIPMI Jakarta 1992.).

Selanjutnya artikel “Kebudayaan Daerah Sumatera Selatan dalam Kehidupan Masyarakat Pendukungnya” dalam buku “Kongres Kebudayaan 1991, Laporan Penyelenggaraan, Jakarta 29 Oktober – 3 November 1991” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1992/1993.). Artikel “Kebangkitan Rumpun Melayu, Melalui Upaya Kerjaama Budaya dan Pariwisata” pada buku “Prosiding Lokakarya Dunia Melayu Dunia Islam, Kesatuan dan Perpaduan, Palembang 20-23 Mei 2001.” (Penerbit Unsri Palembang.).

Artikel “Potensi Budaya di Sumatera Selatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” di dalam buku “Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan” (Penerbit Universitas Sriwijaya 2001.). Kemudian artikel “Chengho, Pelayarannya ke Nusantara” (PITI dan Dewan Kesenian 2005), dan artikel “Kesenian di Sumatera Selatan” di dalam buku “Direktori Kesenian Sumatera Selatan” (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prop. Sumatera Selatan 2006.)

Sementara buku yang diterbitkan pihak luar atau asing, buku “Guguk, Lembaga Sosial Ekonomi di Kota Palembang Abad 18 dan 19 dalam Jambatan “, Tijdschrift voor de Geschiedenis van Indonesie, jaargang 7, nummer 2. Amsterdam, 1989.

”Tari Zapin Nusantara: Sejarah Perkembangannya di Palembang dalam buku Zapin Melayu di Nusantara (ed.DR.Moh.Anis MD Nor)” (Penerbit Yayasan Warisan Johor, Johor Malaysia – 2000.). “Adat Perkawinan Palembang dalam Buku Adat Melayu Serumpun, Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” (ed. Prof.Dr.Abdul latif Abubakar). (Penerbit Kerajaan Negeri Melaka, Perbadanan Muzium Melaka, 2001.).

”Kesultanan Palembang Darsussalam dalam buku Kesultanan Melayu Nusantara” (Penerbit Museum Negeri Pahang, Kuantan 2005).

Sejak tahun 1988 hingga saat ini, sekitar 288 artikel sejarah dan budaya karya Djohan Hanafiah yang dipublikasikan di media massa dan jurnal.***
Wallahua’lam

***Referensi:
http://www.beritamusi.com – detikNews – beberapa sumber lainnya

Sumber : https://putrasriwijaya.wordpress.com

04 July 2010

Sejarah Perang Menteng

Sketsa Perang Menteng 1819 sumber : Google
PERANG MENTENG

Kemas Said keluar menyerbu
amat gembira di dalam kalbu 
mati sepuluh baris seribu 
dekat pintu kota Kemas nan rubuh 
Datanglah satu opsir mendekati 
membedil Kemas tiada berhenti 
pelurunya datang menuju hati 
di sanalah tempat Kemas nan mati

PETIKAN tersebut adalah bagian dari Syair Perang Menteng. Syair sepanjang 260 bait itu, menurut Muhammad Akib dalam Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II (1979), ditulis oleh RM Rasip, juru tulis pribadi Sultan Mahmud Badaruddin II, dalam bahasa Arab Melayu, seusai Perang Menteng tahun 1819.

Perang Menteng adalah istilah setempat untuk menamai perang yang terjadi antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II dan pasukan Komisaris Edelheer Muntinghe.
Djohan Hanafiah dalam Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan (1989) menyebutkan, babak pertama pertempuran yang terjadi 12-15 Juni 1819 dimenangi secara gemilang oleh Palembang.

Belanda kembali menggempur Palembang dengan kekuatan berganda, yang dipimpin langsung Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda JC Wolterbeek pada 21-30 Oktober 1819.

Akan tetapi, dalam kurun waktu empat bulan, Palembang bersiap dengan baik dan menewaskan 259 tentara dari 1.130 personel Wolterbeek serta ratusan lainnya luka-luka. Untuk kedua kalinya pada tahun itu Belanda kalah telak di Palembang.
Syair Perang Menteng menyebutkan banyak nama tokoh, ulama, bangsawan, dan pemuka dari berbagai kalangan masyarakat yang turut berperan dalam pertempuran itu. Persenjataan dan posisi pertahanan pasukan kesultanan juga digambarkan. Suasana benteng Kuto Besak, benteng pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II, terkesan "hidup" dalam syair tersebut.

Hingga saat ini, tembok benteng Kuto Besak tersisa di jantung Kota Palembang. Tembok benteng setebal dua meter itu terbukti tidak dapat ditembus peluru meriam Belanda.

Kuto Besak pada masa kini merupakan gambaran bagaimana masyarakat dan pemerintah di daerah ini memperlakukan warisan budaya dan sejarah.

KUTO Besak adalah pusat pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini berdiri pada abad ke-17 hingga 19. Wilayah kekuasaan Palembang pada masa itu meliputi kawasan "batanghari sembilan", yakni Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Jambi, Lampung, dan Bengkulu.
Selama dua abad masa kesultanan, keraton sultan berpindah beberapa kali. Kesultanan mula-mula berpusat di kawasan Plaju, dinamai Kuto Gawang. Djohan Hanafiah menjelaskan Kuto Gawang sebagai kota yang dilindungi pagar dinding berstruktur kayu.

Perlawanan Palembang kepada VOC atas kecurangan perusahaan dagang Belanda itu dalam perdagangan timah dan lada berujung pada pengusiran dan pembongkaran loji Belanda di Sungai Aur atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811. Perlawanan itu berujung pada penyerangan keraton.

Pusat kesultanan pun dipindahkan lebih ke arah hulu, antara Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang. Kawasan ini kini dikenal sebagai Beringin Janggut. Namun, jejak keraton di kawasan ini belum banyak ditemukan. Beringin Janggut hanya tersisa pada nama jalan di kawasan tersebut.

Bangunan batu pertama kali digunakan pada Keraton Kuto Lamo yang berada di tepi Sungai Musi. Keraton ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo pada tahun 1737. Pada saat yang hampir bersamaan Jayo Wikramo memulai pembangunan Masjid Agung Palembang. Pembangunan masjid sultan ini selesai pada tahun 1748.

Hingga saat ini, Masjid Agung Palembang menjadi landmark kota ini. Perluasan dan renovasi terus dilakukan. Terakhir, perluasan masjid sekaligus untuk memulihkan bagian-bagian asli dari masjid ini, yang diselesaikan Juni 2003, dan diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Kuto Lamo bukan keraton terakhir Kesultanan Palembang. Pada tahun 1780 Sultan Mahmud Bahauddin, cucu Jayo Wikramo, mendirikan keraton baru yang dikenal sebagai Kuto Besak. Keraton baru ini dibangun berdampingan dengan Kuto Lamo.
Menurut Retno Purwanti, peneliti pada Balai Arkeologi Palembang, pembangunan Kuto Besak lebih dimaksudkan sebagai perluasan keraton. Pembangunan keraton yang sekaligus menjadi benteng pertahanan terkuat ini memakan waktu 17 tahun.

Setelah Kuto Besak selesai dibangun tahun 1797, sultan menempati keraton ini, sedangkan putra mahkota menempati Kuto Lamo. Namun, pada masa kepemimpinan putra Bahauddin, Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821), dua keraton ini tidak lagi seiring sejalan. Kuto Lamo bahkan menjadi kantong pertahanan Muntinghe sebelum diusir oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada Perang Menteng tahun 1819.

Kuto Besak bagaikan dibangun di atas "pulau". Keraton ini menghadap ke Sungai Musi yang berada di sisi selatan. Sungai Sekanak membatasi bagian barat, bagian timur dibatasi Sungai Tengkuruk, dan bagian utara dibatasi Sungai Kapuran.
Kecuali Sungai Musi, tiga sungai yang lain ditimbun menjadi jalan pada masa penjajahan Belanda. Nama sungai-sungai itu pun kini hanya tersisa menjadi nama jalan di lokasi itu.


Kesultanan Palembang mulai runtuh pada tahun 1821, setelah pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal deKock akhirnya dapat "membayar" kekalahan mereka terhadap kesultanan itu, dua tahun sebelumnya.