CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

15 October 2012

Sejarah Rumah SUSUN Palembang

Salah satu blok rumah susun di Palembang
MUSIBAH kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981 menimbulkan dampak yang cukup besar pada wajah kota ini. Sebanyak empat kampung tradisional masyarakat lenyap dari permukaan Bumi Sriwijaya ini. Peristiwa ini, paling tidak, juga telah mengubah pola hidup Wong Pelembang lewat perkenalan dengan rumah bertingkat-tingkat yang di sebut rumah susun (Rusun). Kawasan pertokoan Internasional Plaza (IP) hingga ke IBP paling tidak hingga awal 1980-an, belum memiliki jalan aspal, sementara IP, ketika itu masih merupakan Bioskop Internasional dengan beberapa toko disekitarnya. Di ujung jalan (tanah merah keras) dari Internasional terdapat Pasar Mambo yang dibuka pada malam hari.

Saat ini, bangunan di sekitar kawasan itu umumnya baru kecuali toko foto – copy Remifa. Penghubung kawasan Cinde Welan (Candi Walang) adalah Jl Candi Walang, yang di mulai dari Jl. Jend. Sudirman — Kebon Duku — hingga tembus ke belakang Pasar Cinde saat ini. Di kawasan 24 Ilir itu pula, terdapat Sungai Candi Walang (kini telah ditimbun). Kawasan Candi Walang, ketika itu posisi tanahnya menanjak. Bahkan jauh sebelum itu, pada masa Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda, kawasan ini posisi tanahnya menanjak hingga ke RS RK Charitas saat ini. Karena pembuatan jalan dan sebagian pemukiman, dataran tinggi itu “dipangkas” hingga posisi tanahnya tampak seperti saat ini.

Sebagian kawasan, masih berupa rawa dan aliran sungai. Dengan topografi seperti itu, sebagian besar rumah di kawasan ini berbentuk panggung berbahan kayu. Kondisi ini, paling tidak, dapat kita saksikan dalam karya pelukis asal Sumsel Amri Yahya, yang berjudul Sungai Limbungan (1954). Lukisan bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran 80×50 cm itu menggambarkan suasana Sungai Limbungan (sekarang kawasan Rusun). Lewat lukisan ini dapat di lihat kondisi “almarhum” Sungai Limbungan yang dahulu dapat dilalui perahu dan kini menjadi “sarang nyamuk” itu. Paruh awal 1980-an, Sungai Candi Walang dapat dimasuki perahu. Bahkan, masih terdapat banyak buaya di sungai itu.

Menurut beberapa warga yang berdiam lama dikawasan ini, sepanjang tepian Sungai Candi Walang, masih ditumbuhi pohon para (karet) dan pohon kemang. Saat menyusuri sungai di kawasan Bank Mandiri saat ini. Buaya besar berlumut sering muncul bergaya “kalem” itu diyakini sebagai Raden Tokak. Ini merupakan salah satu tokoh legenda dalam cerita rakyat Palembang yang konon dapat muncul se waktu-waktu. Bahkan, hingga kini pun. Dengan “wilayah kekuasaan” dari 35 Ilir sampai Sungai Sekanak, masyarakat Palembang masih sering melihat penampakannya.

Kampung Yang Hilang

Salah seorang saksi mata dalam kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981, H. Mouthalib Adams menggambarkan, peristiwa kebakaran itu sangat tiba-tiba dang begitu mengejutkan. “Saat itu, pukul 09.00 WIB, saya sedang memfotocopy. Tiba-tiba, saya dengar ada yang mengatakan kebakaran. Begitu sampai di rumah, api telah membesar,” kata Mouthalib, yang saat itu bekerja di Radar Selatan. Api berasal dari salah satu rumah di Gg Buntu, yaitu bedeng pembuat kasur. Api dengan demikian cepat menjalarnya dengan pola menyebar tak hanya kawasan 24 Ilir yang terkena. Api merambat cepat ke 23 Ilir, 22 Ilir, dan 26 Ilir. Pola rembetan api memanjang di kawasan 26 Ilir membuat repot petugas pemadam kebakaran. Kepanikan warga akibat musibah itu, tidak dapat digambarkan lagi. Karena cepatnya api menjalar, Try Sutrisno yang saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV — kini Kodam II — Sriwijaya, membuat “blok” dengan menjatuhkan bom di dua titik kebakaran kawasan 26 Ilir. “Begitu bom dijatuhkan, lokasi kebakaran langsung langsung terpecah dan rembetannya dapat di cegah,” kata Mouthalib. Penggunaan bom untuk pemecah api ini, mengingatkan pada penggunaan TNT (2,4,6-trinitron toluena) yang dipakai Polda Sumsel saat membantu memudahkan pemadaman api dalam “tragedi Heppi.”

Selain menjatuhkan bom, sebagai upaya mempercepat pemadaman api juga dilakukan dengan membongkar dan merobohkan beberapa rumah. Salah satunya rumah limas yang kini berada di salah satu sisi blok Rusun. Api baru dapat dijinakkan sekitar tengah malam. Saat itu, diperkirakan lebih dari 400 unit rumah hangus. Meskipun tak ada korban jiwa, yang jelas empat kampung ludes dari permukaan tanah. Hilanglah empat kampung tradisional Palembang. Sebagian dari kampung itu, kini berubah menjadi “kampung modern” dengan rumah tinggal bersusun-susun.

Yudhy Syarofie, Sriwijaya Post — Sabtu, 13 Juli 2002

05 October 2012

Jalan Selero Palembang

Jalan Selero. Selain dikenal sebagai pusat percetakan, kawasan ini juga sering dianggap sebagai tempatnya one stop wedding. Lantas seperti apa sejarahnya sampai kawasan ini bisa berkembang seperti sekarang?

Kalau punya waktu menyusuri Jalan Serelo atau kini disebut Jalan AKBP HM Amin, Anda pasti akan langsung disuguhi petakpetak kios percetakan. Mulai dari skala kecil hingga besar, semua bercampur baur menjadi satu di tempat ini.

Keberadaannya pun menyebar tak hanya di Jalan AKBP HM Amin tapi juga sampai ke Jalan Cek Syeh dan Jalan Faqih Jalaludin. Diperkirakan tak kurang ada ratusan percetakan yang beroperasi di tempat ini. Hidayat Senen,56, salah seorang pengusaha sekaligus perajin yang cukup lama mendiami kawasan itu mengatakan, terbentuknya pusat percetakan di lokasi tersebut terjadi begitu saja.Seingatnya, kios percetakan mulai muncul sekitar akhir tahun 80- an. Sebelumnya, kawasan itu merupakan perkampungan biasa layaknya jalan-jalan lain di Kota Palembang.

Selain keluarga besar Mir Senen, di lokasi itu sepengetahuannya banyak juga didiami oleh keluarga Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet SBY. Namun sebelum ramai oleh pengusaha percetakan seperti sekarang ini, kawasan itu hanyalah merupakan kampung biasa. Selanjutnya oleh seniman alm Gathmyr Senen,kawasan itu dibuat menjadi tempat mengumpulkan para seniman. Baik itu seniman lukis, perajin laker maupun kaligrafi.

”Saat itu, usaha kerajinan dan seni Mir Senen lagi naik daun. Jadi setiap ada tamu gubernur dari dalam dan luar selalu diajak berkunjung di sentra kesenian ini,”ujar Hidayat. Khusus untuk kerajinan laker, kata Hidayat, di lokasi ini menjadi tempat finishing saja. Usaha kerajinan itu didominasi para pendatang dari Kota Padang. Nama Jalan Serelo itu sendiri lanjutnya sudah diganti beberapa kali. Dimana Jalan Serelo terkenal pada tahun 70-an. Karena dianggap belum resmi, nama itu kemudian diubah oleh pemerintah menjadi Jalan Abdullah dan terakhir menjadi AKBP HM Amin.

Dia memperkirakan, ramainya pengusaha percetakan ini lantaran pengaruh galeri seni yang dibuka oleh Mir Senen. Sebab selain melestarikan seni kontemporer, tarian, dan kerajinan ukiran Palembang, almarhum juga mulai memperkenalkan usaha pelaminan pengantin menggunakan laker Palembang. Bahkan di galerinya almarhum Mir Senen juga menyediakan jasa penari untuk keperluan pesta pernikahan. ”Saya pikir itu juga memengaruhi. Soalnya banyak pasangan pengantin yang menggunakan jasa EO-nya pada waktu itu. Jadi mulai banyak yang datang kesini,”kata dia.

Nah saat itu,almarhum Mir Senen memiliki bengkel seni. Di tempat itu pula almarhum Mir Senen membuka kios-kios kecil sisa tanah untuk disewakan. Awalnya satu dua percetakan saja yang hadir di tempat ini. Namun karena langsung direspon oleh konsumen yang memanfaatkan jasa wedding di Galeri Seni milik Mr Senen. Lama kelamaan, usaha percetakan khususnya untuk undangan dan hajatan pun mulai ramai.”Belum terlalu lama, sekitar tahun 1989. Setelah itu baru tambah ramai,” ujar dia.

Konsumen galeri Senen pun terbantu, sebab mereka tak perlu repot-repot membuat undangan untuk keperluan hajatan mereka. Karena semakin ramai dan diketahui masyarakat luas, pemilik usaha percetakan pun ikut mengembangkan usaha. Tak hanya undangan pernikahan, kini di tempat tersebut semua jenis bahan cetak bisa dibuat misalnya kalender, nota, banner hingga buku dan Yasin,semua tersedia lengkap. Bahkan belakangan ini, banyak juga pengusaha yang menyediakan aneka suvenir pernikahan. Tak heran kawasan ini kerap disebut sebagai one stop wedding.

”Konsumen banyak yang tanya. Makanya pengusaha mulai mengembangkan usaha. Konsumen juga makin terbantu sebab mereka tak perlu repot-repot lagi mencari kebutuhan untuk keperluan pesta pernikahan,”jelasnya. Hidayat mengatakan, saking banyaknya orderan, tingginya aktivitas bisnis di tempat ini bahkan kerap dijadikan para “pengulo” dengan sistem simbiosis mutualisme dengan pedagang. ”Yang ngulo juga banyak. Jadi mereka yang cari order buat kita. Mereka gak punya kios tapi bisa dapet untung.Mereka ini datangnya siang dan kumpul di salah satu kios depan,” katanya.

Sementara itu, salah seorang pengusaha percetakan, Syahril Edi mengatakan, kawasan tersebut memang sangat menjanjikan bagi pengusaha seperti mereka. Karena kawasan serelo sudah sangat terkenal. Sehingga selalu banyak didatangi konsumen. Dengan begitu mereka tak perlu repot-repot lagi mencari orderan. ”Selain ramai, toko kertas terbesar juga dekat dari tempat ini. Jadi kami lebih mudah menjalankan usaha,”jelas pria yang sudah membuka percetakan sejak tahun 80-an di lokasi ini.

Saking banyaknya konsumen, setiap bulan tak kurang ada puluhan ribu eksemplar undangan pesanan konsumen dicetaknya di tempat ini.Jenis percetakan itu bermacam-macam datangnya, baik dari kebutuhan pribadi maupun instansi pemerintahan. Sementara itu,menurut pengamat budaya di Sumsel Yudi Syarofi, kawasan Serelo bisa dijadikan salah satu unsur kebudyaan, mengingat di kawasan itu bukan hanya industri percetakan yang berkembang tapi banyak juga kerajinan seperti ukiran Palembang.

Menurut dia,lebih tepatnya kawasan itu cocok disebut sebagai cikal bakal industri kreatif di palembang. Karena dari tempat ini banyak lahir handycraft- handycraft bernuansa seni dan kerajinan yang punya nilai jual. ”Lebih tepatnya ini bisa kita sebut cikal bakal industri kreatif di Palembang. Untuk itu pemerintah harus jeli memanfaatkan ini sebagai salah satu potensi wisata,”katanya. Posisinya yang strategis, kata yudi, bisa saja dimaksimalkan dengan bantuan dana dari pemerintah.

Sehingga ke depan, kawasan itu bisa disulap jadi sentra kerajinan Palembang. ”Tinggal promosinya. Kita bisa berdayakan masyarakat di sana untuk membuka usaha serupa dengan sistem lintas sektor. Jadi kawasannya bisa lebih lengkap dan sempurna,”pungkasYudi. komalasari 

Sumber tulisan : www.seputar-indonesia.com/