Dari satu buku yang ditulis oleh Hj Anna Kumari berjudul Tujuh Hari Tujuh Malam, rangkaian adat nikahan masyarakat Palembang di zaman Kesultanan Palembang Darussalam dimulai dengan sebutan akad nikah, yang oleh masyarakat Palembang Darussalam biasanya dilangsungkan Jumat. Akad nikah dilangsungkan di rumah mempelai pria. Calon mempelai wanita hanya boleh diwakilkan ayah atau wali pria yang lain. Begitu penghulu menasbihkan sah, resmilah si pria menikahi wanita pujaannya.
Malam hari setelah akad nikah, dilangsungkan upacara ngarak pacar. Dalam acara ini, mempelai pria mengajak keluarga dan kerabat berkunjung ke rumah mempelai wanita sembari membawa nampan beralaskan kain sutera yang berisikan keris pusaka nenek moyang. Rombongan mempelai pria diarak dengan musik gambus menuju rumah mempelai wanita. Nampan ini diserahkan ibu mempelai pria kepada mempelai wanita, yang sudah menanti kedatangan di dalam kamar pengantin. "Menurut masyarakat zaman dulu, keris dan bunga merupakan lambang pertemuan yang disebut dengan istilah nemuke perkawinan. Keris simbol pria, dan bunga simbol wanita," kata Anna di dalam bukunya.
Engkak adalah sajian kue dari campuran bahan tepung ketan, santan kelapa dan beberapa bahan lainnya yang kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam loyang lalu dipanggnag secara berlapis-lapis dengan melewati beberapa tahapan.
Kue engkak ini adalah sajian kue lezat yang berasal dari Sumatera Selatan lebih tepatnya Palembang , Lampung juga beberapa kota lainnya di sekitar sumsel yang memiliki sajian rasa jempol alias top markotop atau enak bangeut. Karena melewati tahap pemanggangan dalam penyajiannya menjadikan kue engkak ketan lapis, begitu sebutannya, kue yang tergolong tahan lama atau bisa disimpan dan disantap kembali di lain waktu.
Untuk membuat sajian kue engkak ketan lapis ini ada beberapa bahan yang harus disiapkan terlebih dahulu dan semuanya dapat didapat dengan mudah di warung-warung, mini market atau juga swalayan. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kue engkak ketan lapis serta cara pembuatannya dapat dilihat dalam sajian resep cara membuat kue engkak ketan lapis rasa jempol berikut ini.
Resep Kue Engkak Ketan Lapis
Bahan-bahan
Gula pasir 1 kg
Tepung ketan 1 kg
Santan kelapa 1.5 liter, didihkan
Susu kental manis 1 kaleng
Mentega 250 gr, lelehkan
Telur ayam 10 butir
Vanili sesuai kebutuhan
Cara Mudah Membuat Kue Engkak Ketan Lapis Rasa Jempol
Larutkan tepung beras ketan ke dalam santan kelapa, aduk merata kemudian sisihkan.
Sementara itu pecahkan telur dalam wadah kemudian taburi dengan gula lalu kocok lepas dengan menggunakan whisk.
Setelah itu, campurkan kocokan telur ke dalam campuran tepung beras ketan dan santan kemudian saring sampai tak tersisa.
Selanjutnya tuangkan sebagian campuran bahan ini ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan taburan tepung sebelumnya juga bentangan kertas roti pada bagian bawahnya.
Masukkan ke dalam pemanggangan, tunggu sampai setengah matang kemudian tumpuk lagi dengan sebagian adonan yang masih ada kemudian panggnang kembali sampai setengah matang dan lakukan hal yang sama sampai menjadi kue engkak yang berlapis-lapis dan matang.
Selesai sudah pembuatan kue engkak dengan beberpa lapisan adonan yang disajikan. Sekarang saatnya bagi anda untuk mencobanya di rumah.
PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian
melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi
ciri khas daerah ini.
Sekalipun
untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di
kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan
raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah
dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan
anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama
bagi yang baru pertama kali datang ke sini.
Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah
menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat
simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar
negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan
penelitian tahun 1992.
”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak
menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian
mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan
Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.
Sumber : Youtube
Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan
Kesenian Batanghari Sembilan. Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari
keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang
semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama
kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.
Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari,
mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi,
sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan
iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu
penuh ratapan. Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca
mata hitam untuk menutup matanya yang buta.
Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung
Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat
penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang
buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya. Pedih
dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.
Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang
keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk
Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk
tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua)
ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini.
Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu
Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang
mencapai 20-30 bait.
Gitar
dari Ayah
Bakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet
yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang. Pemberian gitar ayahnya menjadi
kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang.
Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia
menghibur diri dengan bermain gitar.
”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main
gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini,
mengenang. Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun
lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan.
Dari
sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya
sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab,
Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.
Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton
terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari
Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi
menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.
“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di
tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih
menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.
Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja
bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21),
Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran
5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding
pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin
dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.
Sahilin - Ikon
Seni Batanghari Sembilan
/Ilham
Khoiri / Kompas
Umak-umak
belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah
malas tiduk dewek.
Lemak
pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali
lah meluk bantal.
Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian
di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II,
Palembang, Sumatera Selatan.
Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan
Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil
tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.
Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda
yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan
istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian.
Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas
Palembang.
Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini
menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan
petikan gitar tunggal.
Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian
karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun
bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari
sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel)
sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari
setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit,
salah satunya Sahilin.
Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut
tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan
gitarnya yang unik.
Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang
berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima
nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan
perkusi yang ritmis dan agak monoton.
Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun
berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral,
atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan
yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai,
Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.
"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat
merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering
terlupa," katanya.
Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan.
Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan
yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon
seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak
orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut
melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung
Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.
Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari
budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas
pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari
Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.
Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang,
sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua
matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap,
dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.
Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari
sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari
sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan
mendengar dari sana-sini.
Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari
sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang.
Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman
yang tenar.
Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset
album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga
Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun.
Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset
kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk
menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi
keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.
Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing
berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti
Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe.
Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari
sembilan yang telah meninggal.
Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di
berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia
rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an,
penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.
Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang
punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih
atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.
Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak
lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun
batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek
moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.
"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan
panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari
sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis
telah berubah menjadi hujan yang deras.