|
Masjid Syech Muhammad Azhari di Pulau Seribu Palembang |
Di Pulau Seribu, Kertapati, Bantu Musafir Beribadah,
Tak Masuk Peta Kota Palembang
Menyebut nama Pulau
Seribu, ingatan kita pastilah melayang ke kepulauan yang menjadi kawasan objek
wisata di Jakarta. Padahal, di metropolis memiliki kawasan dengan nama serupa.
Sayangnya, Pulau Seribu yang ada di Palembang berada di Kelurahan Ogan Baru,
Kecamatan Kertapati, tidak banyak diketahui orang. Seperti apa tempatnya?
Menyambangi Pulau Seribu tidak begitu sulit. Masuk
dari dermaga pasar induk Jakabaring, masyarakat dengan mudah dapat sampai ke
sana menggunakan ketek. Ongkos dipatok pun tidak begitu tinggi. Ketika Sumeks
Minggu menggunakan jasa angkutan air tradisional ini, pengemudi ketek hanya
meminta biaya Rp2.000 hingga Rp3.000.
Tiba di tujuan, bayangan pulau seribu seperti
objek wisata yang ada di Jakarta sirna. Bahkan, pulau-pulau seperti yang ada di
pulau seribu di Jakarta dan sempat dibayangkan koran ini juga tidak terlihat.
Berdasarkan cerita masyarakat, didapat secara
turun menurun, nama Pulau Seribu melekat di kawasan ini, karena dulunya
terdapat gundukan-gundukan tanah menyebar di tempat mereka. Gundukan tanah
tersebut cukup besar dan tinggi. Dari tiap gundukan tanah dikelilingi air
sungai membuat gundukan tanah yang sangat banyak tersebut ibarat pulau.
“Itu cerita dari orang-orang tua kami. Gundukan
tanah itu sempat ditanami pohon jeruk dan masih terlihat. Sekarang sudah hilang
dirubah dengan tanaman padi,” ungkap H Munir (53), salah seorang warga di Pulau
Seribu.
Saat ini, Pulau Seribu tetap menjadi pulau besar,
dikelilingi empat sungai. Dibagian depan dibatasi dengan sungai Ogan. Sebelah
kanan sungai Tapa, sebelah kiri sungai Sungki, dibelakangnya sungai Remis.
Sempat sedikit berkeliling di kawasan tersebut,
Sumeks Minggu melihat daerah tersebut dikelilingi rawa. Jumlah penduduk yang
ada tidak begitu banyak, mayoritas berada di pinggiran sungai Ogan. Menurut
Munir, jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya 29, dibawah naungan satu Rukun
Tetangga (RT).
Meski telah dibangun jalan setapak, cor beton
menghubungkan daerah tersebut ke kawasan Sungki Kertapati, hingga kini
masyarakat di Pulau Seribu masih begitu dekat dengan perahu dan ketek. Untuk
mencapai pusat kota Palembang, mereka masih menggunakan transportasi air.
Selain jalan darat yang masih terlalu kecil, tidak
begitu banyak masyarakat memiliki kendaraan (motor,red). Lain dari itu,
masyakarat setempat terlihat banyak membuat perahu jukung. Pembuatan perahu ini
sudah cukup lama dilakukan.
Sejak lama tempat ini sudah dialiri listrik. Hanya
saja, kesan terpencil dan tertinggal masih begitu terasa. Nah, cerita Munir
pada masa Kesultanan Palembang, tempat ini sebenarnya tidak ditinggali
masyarakat.
Tempat Persembunyian Perompak Hingga
SMB II
Tempat ini hanya didiami para perompak sebagai
persembunyian. Bahkan, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II diyakini pernah
bersembunyi ditempat ini. Hal ini diketahui Munir setelah para zuriat SMB II
yang ada di Ternate datang ke Pulau Seribu beberapa tahun lalu.
“Dari catatan SMB II
yang dibaca para zuriatnya, SMB II pernah bersembunyi dari kejaran Belanda di
Pulau Seribu. Zuriat SMB II sudah puluhan tahun mencari pulau ini. Tapi, yang
terpikir oleh mereka sejak lama, Pulau Seribu yang ada di Jakarta,” jelas
Akhmadi (26), anak dari H Munir.
Ketika satu dua keluarga yang awalnya mantan
perompak mulai tinggal di Pulau ini, Munir mengatakan seorang ustad besar, Syeh
Muhammad Azhari (1860-1938) yang giat menyiarkan Islam sempat singgah di rumah
seorang mantan perompak yang tengah sakit untuk menumpang sholat. “Namanya juga
mantan perompak, dia gak punya sajadah. Terus, Syeh Azhari mengobati perompak
itu hingga sembuh,” jelas Munir.
Setelah sakitnya disembuhkan Syeh Azhari itulah,
mantan perompak itu bertobat dan hendak belajar agama. Ia pun menghibahkan
tanah miliknya untuk dijadikan masjid. Tawaran itu cepat diterima Syeh Azhari
yang memang ingin membangun sebuah masjid.
Selain masyarakat Pulau Seribu, saat ini memang
tak begitu banyak masyarakat yang datang ke masjid dibangun Syeh Azhari. Namun
saat itu, ketika masyarakat Sumsel mengandalkan transportasi air, masjid yang
dinamakan dari orang yang membangunnya (Syeh Muhammad Azhari,red) ini ramai
dikunjungi. Dibangunnya masjid ini sangat membatu para musafir beribadah,
menunaikan sholat.
“Orang-orang dari Indralaya dan Sumsel yang mau ke
Palembang banyak lewat sini. Mereka mampir untuk sholat di sini,” jelas Munir.
Siapa Syeh Azhari? Munir mengatakan, ia merupakan
kakek almarhum KH Zen Syukri. Ia merupakan ulama besar yang sempat menimba ilmu
di Arab, Mesir hingga India. Cerita-cerita seputar Syeh Azhari ini, didapat
Munir dari almarhum Zen Syukri.
“Saya pernah belajar dengan Abah Zen. Pernah juga
jadi pembantunya ketika Abah menjadi anggota DPRD Palembang. Cerita Abah,
sedari kecil ia sering main ke Masjid dibangun kakeknya ini. Waktu dia masih
sehat, Abah rajin mengajar dan mengisi acara Islam di Masjid Syeh Azhari,” urai
Munir.
Sedikit berbeda dengan keterangan Kgs HM Ibnu A SH
MSi. Menurut anak ke-13 dari istri kedua almarhum KH Zen Syukri, jika Syeh
Azhari sebenarnya adalah mertua ayahnya. Sehingga, dirinya sendiri memanggil
Syeh Muhammad Azhari dengan sebutan kakek.
Nah, selama ini kitab-kitab tauhid yang pernah
dibuat oleh Syeh Muhammad Azhari banyak dibawa penjajah Belanda ke Negerinya
usai kemerdekaan. Keterangan Ibnu ada Sembilan kitab tauhid ditulis Syeh
Muhammad Azhari.
Sedangkan wajah Syeh Azhari sendiri baru
dilihatnya beberapa tahun lalu. Itu setelah salah seorang keluarganya mengambil
copy wajah Syeh Azhari dari Museum di Belanda. “Banyak arsip kita memang dibawa
oleh orang Belanda. Masalah ini, zuriat seperti kami tidak cukup. Ini masalah
nasional. Pemerintah yang harusnya turun tangan,” tandasnya.
Kayu Kapuk Penopang Masjid Jadi Unglen
Dilihat dari arsitektur aslinya, masjid Syeh
Azhari bisa dikatakan sebagai salah satu masjid tertua di Palembang. Berada di
pinggiran sungai, masjid berada di atas air. Hingga bangunan harus ditunjang
dengan kayu.
Namun kini, hal tersebut tak lagi terlihat. Sejak
tahun 1993, bagian depan masjid sudah ditimbuni tanah. Tahun 2005, dengan
bantuan Walikota Palembang, Ir Eddy Santana Putra, bagian dalam ditimbuni pasir.
Nah, sejak satu bulan lalu, masjid direhap. Bagian
dinding kayu masjd yang sudah mulai ambruk diganti beton. Hanya bagian atas
dipertahankan pengurus Masjid. Bagian atasnya sepintas terlihat mengadopsi
culture China. Persis seperti masjid Lawang Kidul dan Kyia Merogan.
“Kalau ingin dibongkar dan dibangun baru secara
keseluruhan, sudah ada yang bersedia. Tapi, pesan Abah Zen, bagian atas harus
dipertahankan,” urai Akhmadi yang kini menjadi Ketua Pengurus Masjid Syeh
Muhammad Azhari.
Orang yang ingin memberikan bantuan dengan
membangun masjid dimaksud Azhari merupakan zuriat Syeh Azhari di Arah serta
Zuriat SMB II di Ternate. Bantuan mereka pun ditolak dengan alasan pesan
almarhum Zen Syukri. Alhasil, para pengurus harus mengandalkan dana swadaya
untuk merehab masjid.
Dana didapat telah dikumpulkan sejak tujuh tahun lalu.
Uang didapat mencapai Rp21 juta. Berjalan satu bulan, uang didapat samasekali
tidak cukup. Hingga kini sudah Rp55 juta dikeluarkan pengurus Masjid. “Banyak
yang bantu. Dari uang hingga material. Yang pasti, kita sudah sampaikan
proposal bantuan sama Allah SWT. Itu ajaran Abah Zen,” jelas Akhmadi.
Cerita menarik dan diyakini warga sekitar seputar
tiang penyangga atap masjid. Dari empat tiang utama, satu diantaranya diyakini
warga merupakan kayu kapuk. Karena dibagian atasnya terdapat duri.
Hanya saja dari serat dan warna kayu, warga
menyakini tiang tersebut merupakan kayu unglen. Hingga kayu tersebut dijuluki
warga kayu kapuk yang berubah menjadi kayu unglen.
Bagaimana bisa? Ditanya seperti itu H Munir
menjawab seadanya. “Orang besar seperti Syeh Azhari merupakan orang yang dekat
dengan Allah SWT. Tentu saja kami yakin beliau memiliki kharomah,” tandasnya.
Sementara Camat
Kertapati Zaini dikonfirmasi Kamis (17/5) tak banyak mengetahui sisi sejarah
pulau seribu serta masjid Syeh Azhari. Pun begitu ia tak mengelak jika Pulau
Seribu yang berada di wilayahnya termasuk terpencil, bahkan sedikit terbelakang.
Diakui Zaini, pulau yang satu ini tidak setenar
Pulau Kemarau atau Pulokerto. Hingga tidak banyak diketahui oleh masyarakat
luas. Tempat ini terpencil karena memang belum banyak sarana yang masuk.
Bahkan, diperkirakannya, pulau ini tidak masuk dalam peta kota Palembang.
“Kalau mau pasti, di cek saja di Bapedda. Mereka
yang buat peta kota Palembang,” tukasnya.
Benar juga. M Syafri HN Kepala Bapedda Palembang
samasekali tidak mengetahui tempat ini. Meski meminta koran ini menghubungi
bawahannya Nur Hendratama ST MT di bagian Tata Ruang, Pulau ini juga tidak
diketahui. (wwn)
Written by: Samuji Selasa, 22 Mei 2012 11:18 WIB |
Sumeks Minggu