CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

23 December 2006

Aku & Kamu

Angin lembut terus menerpa muka ini dengan hangatnya pelukan dari si dia yang duduk rapi di jok belakang motor. di sepanjang perjalanan ini kami hanya terdiam hanya relung hati ini yang bicara. Sambil menyusur keramaian di sepanjang jalan di kota ini, indahnya lampu yang berwana-warni menambah sejuk hati ini.
Lega rasanya hati ini saat tahu jawaban mu yang sesuai dengan harapan, impian untuk terus terbang bersama mu semakin tertanam di hati,

“Dik, maukah menikah dengan ku….?” kataku pelan dan cemas.
Hening sesaat tanpa ada jawaban, matanya menatap tajam ke arah mata ku seperti anak panah yang melesat dari busurnya dan langsung menghujam jantung ini.

Aku kegilisah dengan kehieningan ini, aku ingin segera mendapat jawaban yang pasti …tetapi dengan suasana seperti ini, keringat secara otomatis membasahi badan ini walaupun malam itu suasanya agak dingin.
“Gimana……………? desak ku biar aku bisa menyudahi suasana tegang ini.

Jujur saja aku mulai tidak nyaman dengan suasana ini, tetapi di luar dugaan ku sambil menatap tajamnya tatapannya ia mengangguk kecil, bertanda setuju, tetapi aku belum puas dengan hanya jawaban anggukan.
“jadi jawabannya….? tanyaku lagi..

“iya…” suaran merdunya keluar dari bibirnya yang mungil.
Seperti karang es yang mencair ataupun seperti turunya hujan di musim kemarau hal itulah yang ku rasakan saat itu, selesai sudah seluruh pertanyaan yang pernah di lontarkan dan jawaban malam ini merupakan rangkuman dari seluruh pertanyaan yang pernah ada.

Aku tahu dengan munculnya komitmen ini langkah ke depan bukan hal yang ringan bagi kami, tetapi roda vespa ini terus bergulir kedepan dan terus bergulir kedepan tanpa pernah ingin kembali kebelakang, sama seperti kami untuk menuju matahari kebahagiaan yang bahagia walaupun kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan….terima kasih cinta.

Dodi NP - " Selamat Menempuh Hidup Baru Bro...."

21 December 2006

Ujang Dan Fenomena Rutan Palembang

Ilustrasi Rutan
Ujang hanya tertunduk lesu di sudut kamar sambi memperhatikan si Amat yang sedang menulis di dinding sel, kasus pengeroyokan seperti itulah yang di kenakan kepadanya kasus yang di karenakan darah mudanya yang tidak terkontrol menyebabkan laki-laki yang baru 6 bulan menikah ini berkelahi dengan pemuda yang juga tinggal 5 gang dari tempat si ujang tinggal dengan dalih harga diri, di mana berujung kepada dinginnya pelukan kamar di salah satu rumah tahanan di kota ini.

Dengan menghuni kamar ukuran tidak lebih dari 5 X 5, Ujang di tempatkan di kamar tersebut dengan belasan penghuni lainnya dari berbagai macam masalah dan latar belakang yang berbeda., banyak masalah yang di hadapi dari menghadapi si “Roin” si kepala kamar yang menguasai beberapa blok yang ada di Rutan tersebut penah beliau berkelahi dengan si penguasa rutan ini tetapi yang di hadapi nya justu penganiayaan yang di lakukan oleh pengikut-pengikut si Roin, yang membuat ujang babak belur dan di masukan ke dalam kamar isolasi untuk beberapa hari.

Di dalam rutan ini banyak hal yang sudah terjadi, seperti yang namanya makanan pastilah di sudah di siapkan oleh Negara tetapi berbeda dengan yang di sini yang namanya makanan harus di beli oleh setiap napi di mana para tahanan harus membayar minimal 350 ribu Rupiah per tahanan per bulan, apabila tidak membayar maka kepala kamar mengkoordinir beberapa pengikutnya untuk menyiksa dan tidak habis di situ biasanya tahanan hanya di berikan nasi kering (nasi aking) yang untuk orang-orang yang berumur tidak akan bisa menggigitnya.

Tetapi ternyata di tahanan mereka juga membuat pertahanan sendiri juga untuk menghadapi serangan-serang seperti ini, seperti mereka mengasah ujung sendok dan ujung sikat gigi biar di buat tajam agar bisa menusuk,atau membuang bagian tengah dari garpu dan mengasah nya, jika tidak ketahuan mereka bisa mendapatkan pisau lipat kecil saat jam besuk ataupun dari sipir penjara yang sudah mereka bayar, sehingga tidak mengherankan dengan peralatan yang sederhana inilah terkadang mereka bisa meloloskan diri dari rumah tahanan tersebut, karena secara mistis walaupun kebal maka ilmu kebal yang di punyai para tahanan tidak akan berlaku di sini karena di setia kamar ada yang namanya “pecah kulit” ini seperti yang di informasikan teman dari fakultas hukum saat riset untuk skripsi yang objeknya adalah rumah tahanan .

Hidup di dalam rutan tidak seperti yang kita bayangkan, udara yang pengap, kamar yang gelap dan panyiksaan piskologis lainnya di dalam rutan tersebut terdapat juga para penjual makanan baik dari kopi, mie, nasi walaupun harganya harus di tebus dengan uang yang cukup mahal. Jadi di dalam tidak ada anggapan akan tersiksa hanya badan saja terkurung, di sinilah kelihatan dengan jelas kalau uang berperang penting.

Bagi tahanan yang banyak uang mereka dapat membeli segalanya di sini seperti kamar “VVIP”, TV, radio, laptop + jaringan internet, hp, makanan tidak kurang, kasur empuk ruang tahanan yang tidak di kunci bahkan pelayanan “batinia” dari wanita-wanita “undangan” juga bisa di dapatkan asal dengan syarat membayar uang tertentu kepada pihak penjara dan beberpa pihak lainnya yang berkepentingan di dalam tersebut, sehingga tidak heran kalau kaum miskin yang masuk kedalam tahanan pulangnya banyak koreng-koreng di badan mereka karena jeleknya sanitasi di dalam rumah tahanan tersebut.

Berbeda dengan Ujang yang tidak mempunyai uang di mana saat ini saat sang istri tercinta membesuk ujang, celakanya istrinya pun harus mengeluarkan sejumlah uang untuk melewati beberapa meja dari petugas penjara dan jika di total jumlahnya berkisar antara 20-25 ribu Rupiah, jumlah yang sangat besar bagi si istri si ujang yang saat ini berprofesi sebagai tukang cuci pakaian. Dan bagi si ujang sendiri bertemu dengan istri nya merupakan kebahagian sendiri, dia bisa melepaskan rindu walaupun harus membayar beberapa puluh ribu rupiah dan pemeriksaan petugas yang terkadang tidak terlalu sopan.

Setelah waktu berlalu si istri pun berpamitan dengan si ujang sembari menyelipkan selembar uang 50 ribuan, tetapi celakanya saat akan kembali ke kamar para sipir menjara memeriksanya kembali dan menemukan uang tersebut dan langsung menyitanya dengan alasan sebagai uang keluar kamar.

Tidak berbeda dengan Ujang kasus Amat agak sedikit berat yaitu tertangkap tangan sebagai pengedar narkoba dan saat ini keputusan sidang dari pengadilan negeri belum juga turun, tetapi dengan adanya dia bukannya kebiasannya menggunakan psikotropika bisa berhenti malahan menjadi , mengapa bisa begini ?, hal ini di karenakan di dalam sini sangat mudah mendapatkan barang-barang seperti itu seperti sabu, putau, ganja dan ekstasi, petugas bukanya tidak tahu kerjaan tahanan yang seperti ini sepertinya mereka tutup mata di karenakan sebagian dari mereka sudah tebalut lembaran-lebaran Rupiah dari para tahanan.

Seperti yang baru-baru ini seorang istri tahanan ikut di penjara karena ketahuan saat di periksa di dalam BHnya di temukan beberapa gram sabu, di mana sabu tersebut akan di berikan kepada suaminya yang ada di dalam penjara. Sungguh tragis memang padahal saat itu si ibu sedang membawa anak kecil yang umurnya kurang dari 3 tahun.

Banyak lagi fenomena yang di hadapi oleh Ujang dan Amat saat mereka mendekam di dalam penjara, ada setetes penyesalan di wajah si ujang untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi, mungkin rumah tahanan di “negeri impian” yang benar-benar bisa membina para tahanan tanpa kekerasan, tanpa kolusi , tanpa korupsi, tanpa premanisme merupakan harapan Ujang Ujang lainnya yang terus berjuang melawan hidup di dalam rutan.

Dodi NP – “Fenomena Rutan”

20 December 2006

Kojek And The Gank


Malam belum lagi larut. Pertokoan di pusat kota ini masih memamerkan dagangannya. Lima bocah ingusan tampak memadati sudut lorong. Bergulat, berebut, saling tarik. Seorang diantaranya yang berkepala botak terjungkal masuk kedalam tong sampah. Kakinya diatas yang menggantikan posisi kepala itu, ditarik empat bocah lainnya.

Saat tong sampah terguling, terbebaslah si Botak. Dengan telanjang kaki, tubuh mungil itu sigap melesat diantara orang yang melintas ditrotoar jalan. Sepertinya si Botak membawa sesuatu dalam dekapannya. Ke empat bocah lainnya tidak kalah gesit mengejar.

“Gila.” Dengan kepala sedikit bergeleng, kembali kuarahkan pandangan kepada perempuan cantik dihadapanku. “Anak-anak itu, An.” Aku jelaskan kepada Ana, yang terlihat sedikit bingung.

“Iya. Anak anak itu. Tapi kenapa gila, kan sekedar mencari dan berebut makanan.” Sergap Ana lantas menyedot minuman bersoda.

“Maksudku, kalau masa kecilku seperti itu, mungkin aku jadi orang gila sekarang. Memangnya kau bisa tidak gila, kalau seperti itu?”

“Mereka sepertinya menikmati, tuh.” Ana kembal mengarahkan pandangan ke seberang jalan. Terlihat kelima bocah itu sedang asik menyantap makanan. Ana kembali memandangku sambil tersenyum manis.

Duh, manisnya senyum itu. Dua potong ayam dan satu paket potongan kentang goreng berukuran panjang dihadapanku, sudah habis kumakan. Punya Ana belum, ia kembali menyantap makanannya. Ah, sambil makan Ana masih terlihat manis. 

Bocah-bocah itu pun sedang lahap menyantap temuannya. Mereka makan makanan dari tong sampah. Kami makan makanan yang biasa orang sebut junk food alias makanan sampah, khas negeri paman sam. Gelitik dalam benakku ; dimana keponakan paman sam ya ?.

“Ayo.” Ana beranjak dari bangkunya dan mengikuti ku. Keluar dari rumah makan khas paman sam yang berdinding kaca itu. Sebuah kantong plastik ia bawa. Berisikan satu paket hemat ; ayam dan kentang serta segelas minuman, yang sudah kami pesan sebelumnya.

“Pasti adikmu senang ya, An.”

“Iya lah. Sudah lama ia merengek ingin dibelikan ini. Gara-gara melihat di TV.”

“Lebih senang lagi, kalau adikmu nanti jadi adek iparku ya,” kataku dibalas Ana dengan pukulan manja kebahuku. Duuh, lagi-lagi senyum manis itu.

Kugandeng tangan Ana, kami menyusuri malamnya kota. Pedagang kaki lima masih menuai harapan. Pasti rasa capek akan terasa kalau berjalan sejauh ini tanpa menggandeng Ana disisi. 

Ah Ana. Kuliah sudah kau selesaikan. Kerja pun sudah kau dapatkan. Tetapi masih saja, dalam hati kasihmu menyisakan tempat untukku, serorang mahasiswa semester akhir, yang entah bisa tamat atau drop out. Ana, empat tahun sudah kita mengukir janji. Berharap berikrar sumpah disuatu hari.

“Minta pak.” Seorang bocah botak menghalangi langkah kami. “Belum makan pak.” Bocah itu mengulangi pintanya dengan lebih mengiba.

“Kau rupanya.” Kupegang kepalanya. Dia pun terkejut seketika. “Tadi kau sanggup berlari kencang. Kenapa sesudah makan malah loyo seperti ini?” kataku bukan maksud bertanya.

Si Botak tambah terkejut. Tidak berucap, pun berlari, hanya menengadahkan wajah memandangku kemudian Ana. Aku lebih terkejut lagi. Tanganku yang tadinya menggenggam halus kulit Ana, jadi lengket terkena keringat kepala botak bocah ini. Dasar botak. Kutarik bahunya. Kami menepi dari trotoar.

“Siapa nama kau?”

“Kojek pak.” Kembali kepala botaknya tertunduk.

“Pantas,” kataku sembari memperhatikan kepalanya yang memang mirip permen kojek. “Panggilan kau, jek,” walau pakai ac atau cuma e, kedengarannya hampir sama. “Keren juga.”

Ana hanya tersenyum kecil memandangi tingkah Kojek. Senyum Ana kali ini berbeda. Yang jelas, berbeda dengan senyum yang biasa Ana lepaskan untukku. Itu pasti.

Kojek tetap membisu. Kepala botaknya menoleh kiri kanan. Matanya yang tidak jelas hendak melihat apa, seakan memancarkan sinyak pangilan kepada kawan-kawannya.

Belum berapa lama ku ceramahi Kojek. Ternyata sinyal Kojek berhasil memanggil kawannya. Satu demi satu datang. Lengkap sudah 4 bocah berada dihadapanku. Mereka punya nama panggilan yang lucu ; Cil, Det, Ler, dan Cang.

Sangat mudah mengenalinya. Cil merupakan nama pangilan yang berasal dari kecil, karena tubuhnya yang paling kecil dari mereka berlima. Det, pasti berasal dari codet yang terlihat di pipi kirinya bagian bawah. Cang ?, oh entah kenapa jalan bocah yang satu ini sedikit pincang. Ler, uhh ingusnya selalu meler itu.

Umur mereka sepertinya tidak jauh berbeda, tidak ada yang melebihi 10 tahun. Selisihnya pun satu dua tahun.

Kami tidak lagi berdiri. Kojek tepat dihadapanku. Acil disebalah kiriku. Meler dan Acang disebelah kiri Kojek. Sedang Ana, disebelah kiri belakangku, duduk beralas tas ranselku yang sengaja ku kaparkan untuknya. Dan Codet, di belakang kananku dekat dengan Ana. Kami duduk membentuk lingkaran tidak beraturan di depan sebuah ruko yang sudah tutup sebelum malam menjelang.

“Bapak kamu dimana? Jek,” tanya Ana dari belakangku.

“Biasanya mangkal disimpang sana.” Kojek menunjuk perempatan jalan pasar yang tidak ada rambu lampu merahnya itu. “Tidurnya juga biasa di atas becak simpang itu. Tapi, sudah lama bapak tidak kelihatan.” Datar Kojek menjawab, sambil mencibirkan bibir.

“Kalau Bapak Acil mati ditabrak mobil,” kata Codet tiba-tiba seakan merasakan rasa ingin tahu kami masih jauh dari cukup. “Ibunya hilang,” Codet meneruskan.

“Ibunya atau Acil yang hilang,” setangah bertanya kepada Acil dan Codet.

“Kak Codet itu pak, yang mengajakku tinggal dijalan,” jawab Acil. “Dari pada dibedeng sama ibu, sudah disuruh meminta-minta dijalan, kadang dipukuli.” Acil memandang Codet yang ternyata kakak kandungnya sendiri.

Codet hanya diam. Menundukan kepala sambil mengendus edus sesuatu yang ia pegang di balik kaosnya yang kusam. Aku dan Ana memperhatikan. Kaleng kecil berisi lem rupanya.

“Ya sudah. Selain meminta-minta, apa yang kalian bisa?” tanyaku.

“Nyopet Pak.” Acuh Kojek menjawab.
“Tidak takut ketahuan dan dipukuli orang?” tanyaku kembali tidak membenarkan jawaban Codet. “Dan jangan pangil aku pak lagi. Namaku Sapta, ini pacarku Ana.”

“Tidak takut kau, jek?” ku ulangi pertanyaan tadi.

“Kepalaku kuat.” Seakan rasa takut sudah hilang dari benak Kojek.

“Benar…?” Aku tidak percaya.

“Kata bapakku ; yang penting berani.” Lanjut Kojek tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun. “Hanya itu yang ku ingat dari bapak.”

“Memang harus berani dalam menjalani hidup ini. Tapi aku yakin, maksud bapakmu itu ; keberanian yang kau miliki bukan untuk mencopet atau berkelahi.” Mulai lagi ceramahku.

Kojek sudah menunjukan keberaniannya, setidaknya ; berani hidup di jalan, tanpa malu meminta-minta, berkelahi dan mencopet. Sedang aku sendiri?. Menghadapi wajah sangar Pak Wardi, bapak Ana itu saja, lutut ku kerap bergetar.

“Jam berapa ini?” Aku bertanya dan langsung melihat jam di tangan. Sebentar lagi tengah malam. Pasti kumis sangar itu sudah keriting menunggu anaknya pulang.

Aku berdiri. “Ayo Ana !” Ana, Kojek dan yang lain ikut berdiri, kecuali Codet yang masih asik dengan kaleng lem-nya yang memabukkan itu.

“Aku ke sini lagi nanti.” Kuambil tas ku dan juga kantong berisi makanan yang sebelumnya dibawa Ana.

“Jangan berebut.” Kuambil minuman bersoda dan uang Rp10 ribu, kuberikan kepada Kojek and The Gank.

Aku menggandeng Ana bergegas menuju terpian jalan raya. Ku sempatkan menoleh kembali. Kojek and The Gank tidak berebut. Memang, mereka tidak lapar lagi. “Nanti aku kesini lagi !” teriakku.

Jalan sudah mulai lengang. Sebuah mobil angkutan umum, membawa suara menggembirakan ; “Pati, Pati,…..”. Ya, mobil itu akan melewati jalan rumah Ana.

Aku gandeng tangan Ana menaiki mobil. Ana mengikuti saja, tidak bersuara. Mungkin kepala Ana sudah terkontaminasi kumis sangar bapaknya juga. Kami hanya berdua, bersama supir dan keneknya.

“Langsung saja pir. Aku bayar empat kali lipat. Tidak usah menunggu penumpang lain.” Mendengar suaraku yang mengagetkan bak kelakson kereta api itu, Supir mobil langsung tancap gas tanpa komentar.

Dalam perjalann ku ketahui. Diamnya Ana bukan karena otaknya yang terkontaminasi bayangan kumis bapaknya. Melaikan, tanpa sepengetahuanku, Ana sempat mencicipi beberapa endusan kaleng si Codet yang berisi lem itu. Duh Ana, pastilah otakmu sedikit mengkerut.

Tiba dirumah Ana, lima menit lagi tanggal di jam tanganku bertambah satu. Ku dapati pintu yang belum lagi tertutup. Ana masuk terlebih dahulu.

“Selamat malam Pak.” Suaraku tak karuan. Indra mataku lebih dominan berfungsi. Pak Wardi memang belum mencukur kumis, tebal dan sedikit berantakan. Sambil memetikkan gitar perlahan, ia sandarkan tubuh gembulnya di bangku ruang tamu tepat menghadap pintu masuk yang tidak tertutup itu. Salam ku tak berjawab.

Ana yang sudah melepaskan sepatu dan meletakkan kantong plastik pesanan adiknya di meja ruang tamu, langsung menghampiriku yang masih terpaku.

“Aku langsung pulang Pak.” Sambil menyatukan kepalan tangan didepan selangkangan, kepala sedikit ku tundukkan.

“Ya.” Tanpa menoleh, gitarnya dipetik perlahan.
Lekas ku jauhi bibir pintu itu, melewati teras dan mencapai halaman depan. Ana membuntuti. Sial benar, Ana belum sanggup tersenyum, apalagi kecupan yang biasa ku dapati sabelum pulang, tak ada malam ini. Ana melambaikan tangan, kubalas dengan garukan di kepala ku yang tidak gatal ini. Bukan kiranya, tapi pasti otak Ana masih mengkerut karena lem tadi.

Kurang ajar kau Kojek, Codet, kurang ajar kalian semua. Merusak malam mingguku. Sudah menambah pusing otakku dengan permasalahan jalananmu, juga otak Ana kalian kerutkan. Akan kupenuhi janjiku ; untuk datang lagi. Kalau perlu, kepala botak itu akan merasakan kepalku. Perjalanan pulangku penuh dengan caci maki.

Kalian memang pemberani walaupun salah. Aku juga berani. Sayang, cuma kepalan tangan ini yang dapat kuberikan. Akan ku hajar kalian, Kojek and The Gank, agar tidak lagi meminta-minta tanpa malu, apalagi merampas milik orang lain. Dan Pak Wardi, setidaknya akan ku cukur rapih kumis itu saat ia mensakralkan sumpah sehidup semati ku dengan Ana nanti.

Aku akan datang lagi. …………..

19 December 2006

Cek Mat Ke Pasar


Sambungan dari “GESAH CEK MAT”

 Tak lama setelah menghabiskan teh dan bakwan maka berangkatlah ia ke pasar dengan senyum kemenangan , setiba di pasar tepat di depan pedagang sayur ia mulai memainkan aksinya kembali
“Cek berapo …kangkung seiket..?” tanyo cekmat penjual sayur
“500 cek” jawab pedagang sayur ramah

“Alangke mahalnyo cek..biso kurang dak,…sebenernyo akuni dak hobi makan kangkung tapi kelinci di rumah tu kalau dak di enjuk kangkung, dak galak makan….” Lobi cek mat.

“dak pacak cek,….sudah murah nian …di tempat laen dak dapet  hargo cak ini” jelas pedagang itu..
“Iyolah ….aku ambek sekebet” sambil cekmat mengeluarkan uang pecahan 25 rupiah…

setengah terkejut pedagang tersebut “cek, ado duit lain dak………madaki pake selawean galo…”.
“Katek kando namonyo untuk makanan kelinci jugo……” jawab cek mat sambil menghitung uang tersebut sejumlah 20 buah.

 Tak lama berselang cekmat pun berjalan lagi kali ini sasaran nya toko ikan asin yang terletak di tengah pasar.

“Cek berapo kepalak balur ni..” Tanya cekmat sambil menunjuk ikan asin pedo yang ingin di belinya.
“2000 semato..” jawab pedagang ikan asin tersebut.
“be alangke mahalnyo, Cuma palak iwak cak ini, aku tu Cuma untuk makanan kucing bae di rumah tu, kalau dak makan iwak asin pedo, kucing di rumah tu dak galak makan”…jelas cekmat panjang lebar.
“itulah hargonyo”…jelas pedagang tersebut

“2000 tu sudah termasuk badan ikanyo apo Cuma palaknyo bae….” Tanya cekmat lagi.
“itu galo galonyo, kalu palaknyo bae Cuma 1000” sambil pedagang tersebut menunjuk kepala ikan asin tawar

“Sudahlah aku ambek yang kepalak iwak bae semato…..biar kucing aku galak makan..”, sambil menyerahkan uang  ke pedagang tersebut.

Merasa belum lengkap yang di belinya yatiu minyak goreng maka ia pun ke toko kelontongan di pojok pasar sambil merapikan letak handuk kecil yang ada di lehernya,

“ Cek berapo sekilo minyak ni…” sambil ia agak menunduk di dekat drum minyak sayur pedagang tersebut
“5000 sekilo” kata pedagang tersebut sambil sibuk membungkus minyak sayur dalam kantung ukuran 1 kilo
“ mahal cek….aku tu nak mintak dikit bae untuk kerokan untuk wong rumah ” kata Cek mat

“jadi nak berapo?” tanyo pedagang tersebut.
“mintak 1000 bae lah” kata cekmat sambil menyerahkan selembar uang seribuan dan dengan sengaja ia menjatuhkan anduk kecil nya.

“nah gawat cek, anduk aku campak ke dalam minyak itu, padahal anduk itu banyak keringat aku,….maaf cek ye..” sambil tanganya mengambil kantong asoy yang terselip di kantong jeans nya, dan memasukan handuk kecilnya yang sudah berlumuran minyak goreng tersebut.

“Maaf nian cek dak sengajo”…..sambil ia meninggalkan pedagang minyak goreng yang bengong melihat tingkah cek mat.

Sesampai di rumah cek mat ,
“ Dindo, masak ke hari ini tumis kangkung dan gorengan “daging’ kepalak ikan pedo….” Ujar cek mat
“ Minyak gorengnyo mano kando..?’ Tanya istrinya.

“Ini dio”..seraya menunjukan kantung kresek yang berisi handuk yang sudah basah oleh minyak goreng.
“@$#%^&&@” pikir istrinya…

16 December 2006

Gesah Cek Mat

Dengan nuansa tahun 80-an di kota Palembang, Bukan “lagu” baru kalau Cek Mat saat pergi kepasar akan selalu terlihat seperti memborong seluruh baraang yang ada dipasar, seperti yang terjadi hari ini sudah sejak pagi ia keluar dengan berbekal handuk kecil dan kantong kresek bermerek “Assoy” yang terselip di kantong jeans cekmat yang lumayan lusuh, tetapi sebelum kepasar Cek Mat singgah dulu ke warung kopi Cek da,  dimana warung kopi tersebut yang terletak tidak jauh dari pasar sekanak
 
“Cek, teh manis separo…….?’ Kata Cekmat sambil makan bakwan goreng yang masih panas, tak lama kemudian datanglah teh manis separo yang di letakan oleh Cek da.
Sambil mengaduk teh manis tersebut Cek Mat bertanya “Cek,  si Ujuk sudah datang belum ?”,

“Belum Cek..”, jawab Cek da singkat.
Sambil menghirup tehnya…..” Ai Cek, alangkah manisnyo teh ini….cuba tambah dengan air lagi ……….?”, kata Cek mat sambil menyodorkan gelas tehnya, dan Cek da dengan sigap menambahkan lagi air di gelas cek mat,……dan kembali cekmat mengaduk air teh manis nya yang sekarang penuh menjadi 1 gelas..dan meminumnya kembali…”Ai, ngapo jadi teh tawar ini…….” Serunya lagi.

“Yang bener bae cek…?’ sahut Cek da
“Iyo ….kalu kurang gulo….cubo tambai lagi, cek…” kata cek mat
dan gelas teh pun sudah berpindah tangan dan di beri 1 sendok gula oleh Cek da……
“Cek cubo tambah sesendok lagi………..” kata cek mat..

“Rugi cek kalau cak ini……….”bersungut cekda  sambil menambahkan sesendok gula ke gelas teh cek mat.

“ Ini baru mantap…..cek…..pas nian rasonyo..” sambil tersenyum cek mat setelah meminum setegukan teh tersebut.

Padahal ini hanya akal-akalan dari cek mat saja di mana karena uang nya hanya cukup untuk  membayar 2 bakwan dan separoh teh tetapi karena akal-akalannya ia bisa minum 1 cangkir penuh teh manis………dasar..cek mat “ ujung lapan lancip”.

Bersambung ke CEK MAT KE PASAR

Dodi NP "Ujung 8"

05 December 2006

Radio 2 Band

Tukang Koran
“Koran….koran….koran “…teriak Yudi lantang menjual dagangannya di antara bus-bus,angkot dan kendaraan pribadi yang ada di salah satu simpang empat lampu merah di kota ini.

“Mad, sepertinya uang hasil penjualan ini akan saya belikan radio 2 band kecil untuk ibu, biar ada yang menunggu ibu saat ibu pulan mencuci”..ujar Yudi,

Madi hanya tersenyum, “ada uang berapa yud..? tanya nya
“kurang lebih 75 ribu termasuk hasil penjualan koran hari ini”…kata yudi
“nanti kalau sudah cukup temani aku untuk membeli radio, ya mad”..ujar yudi bersemangat
hanya anggukan dari Madi yang mengisyaratkan kesediaannya, karena Madi juga sedang menghitung uang hasil penjualannya hari ini.

Yudi memang di lahirkan dari keluarga yang tidak mampu, Bapaknya sudah mendinggalkan dia dan ibunya semenjak umur 6 tahun sehingga Yudi sendiri tidak tahu muka dari Bapaknya, ia hanya di asuh sendiri oleh sang ibu yang bekerja keras sebagai buruh cuci di tempat dia tinggal, di mana mereka tinggal di dalam gubuk yang reot yang merupakan warisan dari kakenya Yudi.

Mereka berdua yang tinggal di dalam gubuk tersebut dengan keterbatasan yang ada tidak membuat Yudi dan ibunya menyerah dalam kerasnya kota ini, Madi merupakan teman terdekat dari Yudi yang rumahnya tidak seberapa jauh, dan dengan Madi inilah Yudi sering bercerita mengenai impian dan angan-anganya.
“Mad, Lusa adalah hari ulang tahun emak, aku mau beri kejutan ke emak….” kata Yudi.
“kejutan apa ?’, jalan-jalan, beli kue, emang kamu punya uang..?. tanya Madi Panjang.
tanpa menjawab Yudi tersenyum…”Aku mau memberikan emak Radio 2 band,”..jawabnya
“Mad, lusa tolong temenin aku kepasar untuk membeli radio” kata Yudi lagi.
“Oke tetapi sehabis Jualan koran ya..” jawab Madi.
“Ayo….dagang lagi…biar banyak duit” kata Yudi dengan semangat.

Segera beranjak dan menjajakan koran di antara sela-sela kendaraan yang berhenti di persimpangan tersebut, terlihat benar semangat yang ada pada Yudi untuk mewujudkan mimpinya membelikan radio untuk emak, memang selama ini ulang tahun hanya sebagai pergantian hari tidak ada yang special tidak ada kue ulang tahun apalagi pesta yang meriah, tetapi tahun ini ada yang ingin Yudi ciptakan secara berbeda.
Sore harinya setelah mengembalikan sisa koran yang tidak terjual, Yudi dan Madi menuju toko elektronik tempat radio 2 band tersebut di jual, hari ini mereka rencanya melihat-lihat dulu warna dan harga yang pas, setelah di lihat ada 1 yang pas dan cocok harganya, tetapi Yudi terdiam dan di luar toko dia berkata kepada Madi

“Mad, kalau radio itu uang ku kurang 15 ribu” ucapnya
“Nanti aku tambahin Yud” kata Madi
“Emang kamu ada uang ?”, tanya Yudi
“Kalu segitu tabungan aku ada, kamu nggak usah banyak pikir, ini juga kan untuk emak” ucap Madi kembali
Tampak keceriaan di muka Yudi mendengar hal itu, satu hal yang Madi lihat pada hari itu, keceriaan untuk membahagiakan emak tercinta.

Keesokan harinya mereka berdagan seperti bisa, mendung menggelayuti kota ini dan sesekali di iringi oleh gerimis kecil, tetapi tidak membuat Yudi dan Madi kehilangan semangat untuk menjual koran, walau harus membungkus kepala mereka dengan kantong plastik agar tidak basah.

Menjelang sore mereka pun menggembalikan koran dan bergegas ke toko elektronik tak lama berselang tampaklah bungkusan plastik kresek yang berisi radio 2 band untuk emak, Yudi berceloteh sepanjang jalan bahwa emak pasti akan bahagia.

Tepat di arah seberang jalan gang menuju rumah Yudi, ia menyerahkan bungkusan radio tersebut ke Madi sambil berkata

“Mad, kamu nyebrang saja dulu, aku mau beli makanan untuk emak”..katanya
Sambil menyerahkan bungkusan radio tersebut ke Madi, dan sesaat kemudian Madi sudah berada di seberang jalan, dan terlihat oleh Madi, Yudi pun bergegas masuk ke salah satu rumah makan dan tak lama berselang keluarlah Yudi dari rumah tersebut.

Tetapi saat mau menyebrang menyusul Madi tanpa sadar dengan cepat sebuah sedan menghatam tubuh kecil itu, dan terpentalah Yudi hampri 5 meter kedepan dan dari kejahuan Madi melihat Yudi sudah tidak bergerak lagi.

“Yudi…………………………” teriak Madi yang di ikuti oleh larinya mobil penabrak.
Orang berkumpul pun melihat si Yudi tergeletak di Aspal muka dan beberapa bagian dari tubuhnya di penuhi dengan luka, “Yudi….Yudi Bangun….Bangun” teriak Madi, tetapi Yudi tidak bergerak sedikitpun.
“Yudi……..” Teriakan Madi berubah menjadi tangisan, ia tahu sahabat baik nya sudah di panggil oleh yang esa.

Tak ayal lagi pertemuan hari itu merupakan pertemuan terakhir Madi dan Yudi untuk selama-lamanya.
Setelah 3 hari penguburan jasad Yudi, Madi pun bertandang ke rumah Yudi, emak yang masih merasakan kesedihan atas hilangnya buah hati tercinta dan bukan hal yang mudah untuk di lupakan,
“Mak, emak jangan sedih terus” kata Madi

Tanpa berkata emak memeluk Madi dan meneteskan air mata.
“Mak, ini ada Hadiah dari Yudi” kata Madi sambil menyerahkan bungkusan tersebut dan sambil bercerita mengenai hadia tersebut, saat di buka bungkusan tersebut semakin meledak lah tangisan emak.

“Yudi……” tangis emak sambil memeluk radio 2 band pemberian yudi, Madi pun terdiam hanya buliran air mata juga mebasahi pipinya.

“Assalamualaikum” terdengar ucapan
“Walaikum salam” jawab Madi sambil menghapus air mata.
bergegas madi ke pintu depan dan di dapatinya sesosok pria 50 tahunan yang tampak lusuh sambil membawa tas ransel berwarna hijau.

“Bapak…………” Lirih emak yang berada di ruang tengah.
“Emak…”kata bapak tersebut sembari bersujud di pangkuan emak Yudi.
Madi Bingung, tidak tahu siapa Bapak tersebut….

“Maafkan Bapak, mak…selama ini telah mentelantarkan emak dan Yudi, Bapak salah, Bapak khilaf, ……..” tangisan Bapak itupun meledak di ikuti dengan tangisan emak.

Tak lama beselang,
“Itu Yudi ya mak……? tanya Bapak itu
“Bukan pak ..itu Madi…teman Yudi…..ceritanya panjang….pak “jawab emak
“Jadi Yudi kemana ?” tanya Bapak itu lagi..
Tanpa berkata dan menangis Emak menunjukan radio 2 band hadiah dari Yudi.

Madi baru tahu kalau Bapak tersebut adalah Bapak kandung Yudi yang sudah 10 tahun ini meninggalkan dia, sambil menarik nafas Madi mengada ke langit…..”Bahagialah engkau di sisinya Yudi……Sahabat Sejatiku”.

29 November 2006

Mimpi Yang Indah

Dedi dengan bangga melihat usahanya berkembang dengan bagus, walaupun usaha penjualan ATK dan fotocopynya merupakan usaha rumahaan yang di kelolah oleh istirinya, tetapi hasil yang di dapatkan dari usaha ini tidak bisa di bilang sedikit, dengan adanya mesin fotocopy dan juga beberapa peralatan lainnya, untuk menjilid dan vinil dan lengkapnya seluruh peralatan ATK membuat toko ini terkenal di perkampungan tersebut sebagai toko ATK terlengkap di kampung tersebut.

Dedi bisa menjadi orang kaya seperti ini karena mendapat ganti rugi tanahnya yang di gusur hampi sebesar 1 M, merupakan jumlah yang fantastis, dan sangat berlebih bagi Dedi di mana uang tersebut 70% nya di jadikan deposito untuk menunjang kehidupannya sehari-hari, dan sisanya di gunakan untuk membangun rumah, toko ATKnya dan membeli kendaraan, sehingga sangat jelas perbedaan antara sebelumnya yang merupakan tukang sayur keliling di kampung itu.

Makan yang selama ini seadanya sekarang berubah menjadi kreteria 4 sehat 5 sempurna, karena sudah tercukupi oleh hasil bunga deposito 7 juta sebulan. tidak seperti dahulu yang serba pas-pasan, sekarang kehidupan Dedi memang berubah drastis.

“Bu..allhamdulilah kehidupan kita sudah berubah sekarang ini”…ucap pak dedi yang duduk di kursi goyang kepada istrinya.
“iya pak…sekarang kita tidak susah lagi”..sahut istrinya
“kita juga punya mobil tapi bapak tidak bisa nyetir mobil bu…”….kata Pak Dedi lagi
“kan bisa belajar pak, kalau untuk kemana-mana bisa diantar sopir..” ujar istrinya
 
Sesat mata Dedi tertuju ke pada grobak tua yang ada di samping rumahnya, “Gerobak yang penuh kenangan” ..ucapnya.

Dengan senyuman istrinya meniyakan ucapan suaminya, …..setelah menyediakan teh hangat dan sepiring kue istrinya masuk kedalam, Dedi pun mulai di belai angin sepoi-sepoi di atas kursi goyang yang membuat matanya mengantuk, dan “gubrak”…….. Saat Azan subuh mulai berkumandang di telinga pak Dedi, pada saat itu tidak sadar dan terkejut karena azan pak Dedi jatuh dari bale-bale bambu yang merupakan tempat tidur utama di rumah gubuk tersebut, “Astagfirullah …..”, kejutnya, sesat ia tetap terduduk di lantai rumahnya, dan baru menyadari bahwa mimpi indahnya sudah berakhir.

Selesai sholat subuh ia bergegas keluar dengan menuntun sepeda ontelnya dan lambaian tangan sang istri tercinta untuk berbelanja sayur ke pasar sebagai dagangan pagi ini, ia hanya tersenyum saat melihat bukan mobil yang terparkir di depan rumahnya tetapi hanya gerobak tua sebagai sarana untuk menjajakan sayurnya……….”mimpi yang teramat indah” yang di alami oleh Dedi dalam hati ia berucap “semoga mimpi indah ini mungkin juga merupakan mimpi yang mengisi tidur malam saudara-saudara ku”.

Dodi NP – ” Mimpi Indah Yang Bukan Mimpi, Tapi Mimpi Kecil Kaum Kusam”

26 November 2006

Anugrah Terindah Itu Bernama Ibu

Saat masih di kelas 3 SMP Negeri di kota ini, ibu guru memberikan tugas untuk membuat tulisan yang topiknya tentang “ibu”, jujur saja saat itu saya sangat bingung karena apa yang saya bisa tulis dari seorang ibu yang hanya memiliki warung kecil dan seorang istri dari pegawai negeri rendahaan, sangat berbeda dengan temanku si Hendra yang ibunya seorang Angkatan Udara yang dengan bangganya dia menceritakaan tentang pekerjaan ibunya, atau si Iwan yang ibunya seorang Dokter yang banyak membantu menyembuhkan pasien, atau si Murni yang ibunya mengelolah sebuah show room mobil di salah satu jalan utama kota ini, ataupun ibu-ibu teman sekolah ku lainnya.
 
Kegundahaan hatin ini semakin menjadi karena tulisan harus di kumpulkan pada esok hari padahal setitik inspirasipun belum menyentuk benak ini, pada malam itu hujan sangat deras dan petir dengan beratnya terus bergemuruh dan di tambah dengan lampu yang ikut mati membuat adik-adiku ketakutan, karena kami tidur satu kamar maka adik-adikku kusuruh untuk memejamkan mata, karena kami menunggu Ayah untuk makan malam bersama , tak lama berselang bunyi kenalpot motor ayapun terdengan, ayah pulang dengan basah kuyup tetapi untungnya motor yang di kendaraai ayah tidak mogok, adik-adik ku bergegas bangun , untuk menyongsong ayah, dengan senyuman dan baju yang basah Ayah tersenyum tak lama berselang kami berkumpul di meja makan setelah selesai ayah dari membersihkan diri, ibu pun selesai menyiapkan makanan walaupun sederhana kami dapat makan dengan nikmat, tak lama setelah makan hujanpun masih belum mereda tampak air sudah mulai memenuhi jalanan di depan rumah kami, tepat jam 09 malam kedua adikku ku suruh untuk tidur di kamar dengan berbekal lampu teplok yang ku bawa sebagai sarana penerangan.
Akupun masih berusaha untuk membuat tulisan yang ditugaskan oleh ibu guru, dan akhirnya kuputuskan untuk berbaring walau mata ini tidak terpejam di saat itulah setelah selesai ibu menutup sebagian dari pintu warungnya, ibu menuju kekamar kami, terlihat jelas ibu memperbaiki letak selimut adik-adiku dan ibu membelai lembut rambut adik-adiku dan mencium kening mereka, dan ibu juga membetulkan letak selimutku dan mencium keningku, dan ibu beranjak keluar dari kamar,

“ibu”…………… ibu menoleh kearah ku, dan aku pun berlari memeluk ibu sambil menangis,…. Aku sadar saat itu bahwa ibu bukan orang yang hebat, ibu bukan seorang Dokter, polwan ataupun pengusahaa, ibu juga bukan orang yang istimewa yang memiliki banyak harta tetapi ibu adalah anugrah yang paling berharga yang di berikan oleh yang maha kuasa kepada kami, ibu yang setiap saat memberikan perhatian dan kasih sayang merupakan berkah yang teramat mahal untuk kami yang belum tentu dapat di nikmati oleh teman ku Hendra, Iwan ataupun Murni, tetapi ibu yang selama ini menjaga kami, ibu yang selama ini menjadi dokter di kala kami sakit , ibu yang selama ini menjadi guru bagi kami di dalam madrasah rumah kami, ibu yang menyediakan senyuman saat bersama makan di meja makan dan kehangatan di dalam keluarga dan ibu menjadi panutan bagi kami yang tidak mengeluh menghadapi keadaan, dan selesai kutulis kusimpan hasil tugas ini di dalam tas sekolah dan tak lama beselang akupun tertidur.

Tak terasa air mata ini mengalir sendiri saat tulisan yang kukerjakan semalam mulai kubacakan di depan kelas, kelas pun menjadi hening, tetapi terus kubacakan tulisan ini walaupun tenggorokan ini seperti tercekat, tepuk tangan pun di berikan oleh teman-temanku saat aku selesai membacakan tulisanku. Dan akhirinya terpilihlah tulisan tersebut sebagai tulisan terbaik yang akan di bacakan saat acara reuni beberapa bulan lagi.
Ujian nasional telah selesai kami lalui dan pengumuman kelulusan pun sudah kami terima dan ternyata sekolah kami lulus 100%, saat acara reuni seluruh orang tua di haruskan datang karena untuk penyerahaan secara simbolis ijazah dan aku pun mendapat tugas untuk membacakan hasil tulisanku yang sekarang sudah di vinil dan di masukan kedalam map bercorak batik, Ayah dan ibu juga sudah duduk di kursi undangan tampak beberapa orang tua teman-temanku lainnya, akhirnya giliranku pun tiba, jujur saja grogi juga saat naik keatas panggung dengan napas panjang aku mulai membaca paragraph demi paragraph tulisan tersebut, aku lihat ibu juga meneteskan air mata, dan beberapa undangan lainnya yang di iring riuh tepukan tangan para hadirin saat itu.

Memang aku bukan orang yang jenius ataupun super pintar tapi kulihat senyum kebanggaan orang tuaku menerima secara simbolis untuk ijazah ku di atas panggung, karena aku merupakan peringkat ke 3 umum di sekolah ini dan di pastikan untuk menuju SMA negeri.
Terima kasih Ibu, terima kasih ayah………

Dodi NP – “Untuk Ibu”

23 November 2006

Serenada Terakhir Sang Penggesek Biola

“Nanda”..begitulah nama yang terucap dari bibirnya saat saya berkenalan dengannya sekitar 1 bulan yang lalu, memang baru kali ini Nanda terlihat di komplek perumahaan ini, sejak umur 6 tahun Nanda mengikuti keluarganya di Jogja dan baru saat ini kembali ke Kota ini setelah menyelesaikan study nya, ada hal yang menggelitik nurani ini kepiawaian nanda memainkan dawai biolanya sangat unik karena sangat jarang di kota ada ini ada pemain biola yang memainkan deretan serenda yang menyayat hati.

Memang Nanda belajar biola di kota pelajar saat ia menjalankan study di sana, sejak kedatangan Nanda komplek perumahaan ini pada saat malam menjelang di tambah menjadi syahdu dengan alunan serenada dari biolanya, secara jujur memang saya sendiri kurang mengenal Nanda berbeda dengan keluarganya yang lumayan akrab dengan saya, karena seringnya saya melintas di depan rumah Nanda sakarang ini setiap pergi dan pulang kuliah pasti selalu menyapa Nanda yang duduk di teras rumahnya. 

Suatu hari saat pulang dari kuliah kebetulan aku lihat Nanda sedang duduk dengan keponakan nya yang kecil, terlihat disitu keponakannya asik berlari mengitari Nanda sambil memegang spidol dan tampak juga coretan silang di tangan dan kaki Nanda. tak lama berselang aku pun mampir, “Hai………” sapa ku,
” Andi, baru pulang kuliah ya…”jawabnya
“ia…sekalian mampir ke sini…”..jawabku lagi sambil duduk di teras rumahnya.
“Udah kemana aja selama di sini…?’tanya ku
“Belum kemana-mana di rumah saja, males untuk keluar….enakan di rumah” sahut Nanda
“Kalau mau keliling kota nanti biar aku temani” tawar ku…
“nggak usah,Ndi…sekarang aku sedang mengarang serenda dari biola ini…” jawabnya.
“Boleh di dengar dong lagunya…..”Gurauku

Dengan senyum ia berdiri dan masuk kedalam rumah tak lama berselang datanglah ia dengan biolanya dan duduk di tempatnya semula…setelah menarik nafas panjang ia mulai menggesek dawai biolanya, terdengar sangat merdu dan merasuk kedalam kalbu ini, tampak piawai Nanda mempermainkan biola, gesekan dan lincahnya jari-jemari Nanda memindahkan kunci-kunci di biolanya membuat aku tertegun tetapi ada yang kuperhatikan lain Nanda tampak banyak coretan-coertan di tangan dan kaki seperti tanda silang, aku pikir mungkin saat bermain dengan keponakannya.

Tepukan tangan secara reflek mengiringi saat gesekan biola terakhir dari Nanda, “Bagus…sekali”kata ku, Sambil senyum..Nanda tidak menjawab,…”Apa judulnya…?”tanya ku, “Serenada Terakhir”..jawabnya singkat, setelah beberapa saat kami ngobrol basa-basi akupun beranjak pulang.

Esok harinya aku heran karena Nanda tidak kelihatan duduk di teras seperti biasanya tetapi karena terburu-buru untuk kuliah hal itupun segera berlalu, saat malam sudah menyelimuti kota ini ada yang hilang pada malam ini yaitu lantunan nada biola yang biasa di gesekan oleh Nanda setiap malamnya, ini menjadi pertanyaan di batin, walaupun akhirnya kantuk mengalahkan rasa penasaranku.

Keesokan harinya sama seperti hari ini, Nanda juga tidak tampak di teras rumahnya dan kuberanikan untuk bertanya, sesaat setelah ku ketuk pintu rumahnya kulihat pembantu nya yang keluar, “Bi, Nanda nya ada…?” tanya ku,…si Bibi terdiam, “Nanda Lagi di rumah sakit”ucapnya pelan, aku terkejut saat kutanya sakit apa dan kenapa si bibi hanya diam seribu bahasa dan hanya memberi tahu di rumah sakit dan nomor kamar mana Nanda di rawat inap.

Tak lama berselang akupun langsung meluncur ke rumah sakit, dan tidak terduga saat sampai di ruangan nanda terlihat, sosok yang selama ini aku kenal dengan mata tertutup dan selang oksigen dan jarum infus yang masih melekat di tubuh Nanda.

“Masuk Ndi…..” Kata ibunya sembari menyambut di depan pintu kamar
aku hanya terdiam, bingung kenapa sudah banyak kelurga Nanda berkumpul di dalam kamar dan juga di luar ruangan perawatan.

“Ndi.. ini ada surat dari Nanda, tetapi di bacanya bukan sekarang”kata ibunya sambil menyerahkan amplop surat kepada ku.
Aku bertamba bingung, setelah 5 menit berselang kepanikan terjadi, tekanan jantung nanda turun drastis, bunyi kerongkongan Nanda menambah mencekam suasana, dokter dan para suster bergega memberi pertolongan di antara isak tangis keluarga, tetapi kehendak berkata lain dan Nanda sudah pergi untuk selama-lamanya. Rasa duka di hati ini semakin mengiris saat mengiringi pemakaman Nanda siang itu di salah satu pemakaman umum di kota ini.

Sore itu aku masih termenung di kursi teras rumahku di tangan kanan ku tergenggam erat surat dari Nanda yang di berikan ibunya pagi tadi. perlahan kubuka amplop berwarna hijau lembut tersebut dan kubuka suratnya aku mulai membaca, 

” Andi saat membaca surat ini Nanda mungkin sudah terpisah ruang dan waktu, Andi pasti bertanya-tanya tentang semua ini, tetapi biarlah ini menjadi kenangan di antara kita, Andi yang selama ini mengisi hari-hari ku dalam menghadapi derita “kanker” ini membuat aku tertawa, membuat aku senang dan membuat aku ingin hidup lebih lama, coretan-coretan yang andi lihat di lengan dan kaki aku beberapa hari yang lalu sebenarnya merupakan tanda dari Akar kanker yang sudah menyebar di tubuh ini, memang dokter sudah memvonis kalau umurku tidak berapa lama lagi, itulah sebabnya aku kembali dari Jogja, tetapi satu hal Nanda senang sudah mengenal Andi walau pun tidak terlalu lama tapi sangat berkesan bagi ku dan sebenarnya serenada yang beberapa hari yang lalu adalah untuk mu, sebagai tanda persahabatan kita, semoga Andi tidak melupakan serenada tersebut”.

Aku terdiam dan dan tidak terasa buliran air panas sempat menetes, tenyata selama ini sahabat ku Nanda menanggung beban berat dari penyakit “Kanker” nya tetapi masih bisa untuk berkarya, sahabat tenanglah di alam sana karena persahabatan kita tidak bisa di pisahkan oleh ruang dan waktu.

Dodi NP – “Cerpen Ke Dua”

15 November 2006

Kereta Tiba Pukul Berapa

Ilustrasi kereta api
“Kak, jemput adek besok jam 7 sampe ke Palembang, adek naik kereta malam dari Lampung..jangan sampai telat ya kak”. Begitu sebait sms yang masuk ke inbox hp ini, getaran yang terasa pinggang ini, segurat senyuman menghiasi wajah ini,
 
“oke, jam 7 sudah di sana..salam rindu”,
demikian lincahnya jari jempol ini mengirim balik sms dengan kerinduan hati, motor langsung akau pacu walau tidak akan bisa terlalu cepat karena vespa 1965 merupakan motor lawas dan sesampai dirumah motor langsung di cuci biar “kinclong” untuk menjemput si dia esok hari.

Walau jam di dinding kamar sudah menunjukan pukul 10 malam tetapi mata ini masih susah di pejamkan, teringat hati ini dengan wajahnya yang esok hari akan mulai mengisi hari-hari indah ini lagi, maklum sudah hampir 3 bulan ini tidak bertemu dengan pujaan hati ini, entah pikiran terus menyentuh sudut-sudut plafond kamar dan entah kapan akan terpejam rinai hujan malam ini mulai menutup kelopak mata ini.

Aku di kejutkan dengan bunyi alaram dari HP ku, aku bergegas kekamar mandi setelah selesai “Si Merah” ku keluarkan dari tempanya untuk menjalan kan tugasnya hari ini, sudah kinclong nampaknya BG 8806 AE ini, tetapi saat melirik jam tangan …”mampus… tinggal 1/2 jam lagi, bisa telat nih…” kata ku berujar dalam hati, maka dengan secepat mungkin aku pacu motor lawas ini, jalan yang nampak masih basah karena hujan semalam menjadi tempat yang empuk bagi kaki-kaki motor ini, karena takut telat dan juga hp adek yang tidak bisa di hubungi membuat kecepatan motor ini ku “pecut” terus, terasa dingin smilir angin mengalir melalui tangan jaket ini.

Dengan laju waktu yang rasanya semakin cepat aku tingkatkan RPM di motor ini dan tanpa di sadari “Prittt………………”, jantungku tersentak ternyata PJR Poltabes kota ini, yang membunyikan peluit tadi, “celaka…”ujarku dalam hati dan aku menepikan motorku karena Yamaha 500 CC nya sudah tepat berada di belakang vespa lawasku.

“Selamat Pagi pak.. tolong di perlihatkan sim dan surak kendaraan…”Serya menurunkan tanganya dari posisi hormat.
Dengan lesu ku ambil dompet dan menunjukan Sim dan STNK motor, sesaat setelah melihat surat-surat dia memperhatikan dengan serius motor yang aku bawa, “moga-moga tidak melihat nomor mesin motor ini, karena sudah tidak kelihatan lagi…nanti di kira curanmor”harapku dalam hati.
“Mana Spion & lampu Sen nya..?” Tanya pak polisi yang sudah separu baya ini
” Nggak Ada pak….” jawab ku santai.
“Kenapa Tidak di Pasang ?’ tanya nya lagi
“Tidak ada tempat untuk memasangnya pak, karena ini motor tua” jawab ku lagi
“Kamu tahu kesalahan sudah kamu perbuat” tanya polisi itu lagi
“Apakah Karena tidak punya spion dan lampu sen……”jawab ku heran
“Itu salah satunya, yang lainnya kamu sudah menerobos lampu merah……” jelasnya
 
Astaga aku seperti baru tersadar dari pingsan bahwa karena ingin mengejar waktu aku lupa bahwa lampu sedang merah, dan aku melintas santai begitu saja…jelas ini kesalahan.
” Maaf pak ..terburu-buru…karena harus menjemput ke stasiun” jelas ku memelas
“Jadi harus di tilang” sembari mengeluarkan buku tilang yang sudah terlipat di saku celana coklatnya.
“pak damai….” .sambil mengelurakan selembar uang 10 ribuan yang aku lipat.
“kalau mau damai tidak seperti ini caranya”…sambil membuka lipatan uang 10 ribuan tersebut.
“Jadi bagaimana pak ?” tanya ku lagi…
“Tambahin 5 ribu untuk ngopi…” jawab petugas tersebut.
“Gila juga ni polisi..” grutu dalam hati ku sambil memberikan uang 5 ribuan kepolisi tersebut.
 
Setelah lepas dari “dominasi” PJR yang bermental 15 ribu tersebut langsung ku tancap gas motor menuju stasiun, melintasi jembatan yang menjadi ikon kota ini, dan tak lama berselang akupun sampai di pelataran parkir stasiun yang tampak sudah ramai dengan penunggu yang menunggu keluarga ataupun kerabatnya.
Kuparkir sepeda motor ini dan aku lirik jam “astaga ….sudah lewat 30 menit”…lirih ku….pasti banyak bercengkrama dengan petugas PJR tadi, aku langsung kebagian informasi untuk menayakan kedatangan kereta malam dari Lampung.
 
” Mbak, kereta malam dari Lampung sudah datang atau belum yan mbak ?” tanyaku
“Belum mas….karena terhenti di Prabumuli….ada kereta Babaranjang yang anjlok”jawabnya santai…
“Kira-kira kapan sampai ya Mbak..?” tanya ku lagi
“jam 9 atau jam 10 nanti”…jawab petugas itu lagi.
 
 “Aduh…..”..aku menggerutu dalam hati, sekarang aku hanya terduduk disini dan menunggu, pekerjaan yang paling mengesalkan. mungkin sepertinilah moda trasportasi publik di negeri ini penuh dengan masalah dan permasalahan.
Aku duduk di kursi stasiun sambil menunggu “sang pujaan hati”….sayang i’m comming…walau harus menunggu.…”Kereta Tiba Pukul Berapa”

Dodi NP – “Aku, Mantan Pacar & BG 8806 AE”

10 October 2006

Pemulung Dan Anaknya


Ilustrasi pengemis foto : sumselheadline.com

Hujan memang merupakan hal yang sedikit menggangu terutama bagi para bikers seperti kami, tetapi ada hikmah yang di ambil saat hujan hari ini tadi. Seorang ibu dengan gerobaknya juga ikut berteduh dari derasnya rinaian air hujan, gerobak yang berisi banyak barang-barang bekas hasil pulungannya hari ini di mana di dominasi oleh kertas dan beberapa karung plastik, tetapi yang membuat terenyuh saya melihat anaknya yang masih berumur 3.5 tahun ikut serta menjadi pemulung, siapa pun yang melihat ibu dan anaknya yang kecil ini pasti akan iba dan terenyuh, anaknya pun turun dari gerobak dan bermain dengan tetasan air hujan.

Saya sempatkan untuk bicara dengan ibu itu, dan ternyata ibu yang asli jawa ini tersebut memiliki ketrbatasan mental juga karena dalam menjawab pertanyaan dari saya juga lama, kata-kata yang di sebutnya pun kurang jelas, “suaminya kerja sebagai tukang batu” jawabnya terbata-bata, sambil memeluk anak nya yang tidak mau diam untuk bermain air.

Iba hati ini melihat kehidupan sang ibu yang seperti ini terutama dengan anaknya yang sudah masuk dalam lingkaran kemiskinan seperti ini, tiap hari beliau rutin memulung barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai lagi di temani dengan si buah hatinya, di mana anak-anak yang lainnya bermain tetapi anak ibu ini dari usia dini sudah berusaha keras untuk betahan dengan hidup, entah bagaimana nasib yang akan di jalaninya kedepan.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan hanya memberi lembaran Rupiah yang saat itu ada di kantung saya, dalam perjalanan pulang saya semoga saja ada pihak-pihak lain yang secara tulus bisa meberikan perhatian kepada masyarakat kelas bawah yang cenderung mayoritas ini.


Ya Allah....izinkan hambamu ini untuk dapat selalu berbagi dengan ciptaanmu yang lain.

05 October 2006

Ketupat Lebaran Buat Andi

Ilutrasi Ketupat
Andi terus memandangi hujan yang membasahi jendela kamarnya, sudah hampir satu jam hujan belum reda juga, hari sudah menjelang sore seharian ini Andi hanya berada di kamar saja, jenuh juga menghadap komputer seharian dengan temannya dan orang tua Andi yang sekarang sedang berada di negeri paman sam, padahal besok merupakan hari lebaran tetapi kedua orang tua Andi tidak bisa berada di rumah.

Sudah dari kecil Andi di tinggal terus oleh kedua orang tua nya karena kesibukan mereka yang memiliki perusahaan multi nasional yang mulai merambah kenegeri orang, Andi terlahir dari keluarga yang berada, dengan rumah mewah , kendaraan roda 4 selalu siap di garasa, uang yang juga tidak ada kurangnya dan fasilitas-fasilitas cangih lainnya lainnya yang selalu ada di sekelilingnya , tetapi Andi kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang selalu sibuk, di mana kedua orang kakaknya juga sedang mencari ilmu di benua yang berbeda, kakaknya yang tertua belajar di Amerika dan kakak perempuannya sedang menuntut ilmu di Australia, sehingga Andi bisa berhubungan dengan keluaganya melalui “internet “ dan fasilitas “webcam” nya, dari tahun ketahun seperti itulah yang di lakukan oleh Andi, sangat jarang ia bisa berkumpul dengan keluarganya dan belum tentu dalam setahun ia bisa berkumpul bersama dengan keluargannya tersebut, tidak heran kalau Andi besar di tangan Bik Sum dan Mang Ali yang merupakan suami istri yang bekerja sebagai pembantu dan sopir keluarga Andi.

Sejak dari belajar berjalan Andi sudah di asuh oleh Bik Sum dengan penuh kasih sayang di mana saat itu kedua orang tua Andi sedang sibuk-sibuknya menangani bisnis mereka yang baru berkembang, di mana menuntut kedua orang tua Andi untuk sering bepergian keluar kota ataupun ke luar negeri.

Di sini lah Andi bertumbuh besar dan meranjak dewasa di mana Andi didik dengan penuh kesederhanaan oleh Bik Sum dan Mang Ali, dan mereka sudah menganggap Andi seperti anak sendiri, walaupun Andi anak orang kaya tetapi sejak di SMP dia lebih senang naik sepeda ketimbang di antar oleh Mang Ali sebgai Supirnya, begitupun di SMA saat ini Andi lebih suka menggendarai “Vespa” lawasnya ketimbang harus di antar dia beranggapan lebih santai, banyak pelajaran berharga yang ia dapatkan dari suami istri pembantunnya tersebut, baik itu tentang etika, agama ataupun pelajaran-pelajaran lainnya, memang Bik Sum dan Mang Ali semua anaknya sudah besar dan melanjutkan ke perguruan tinggi di luar kota yang seluruhnya di biayai oleh orang tua Andi, seperti saat ini padahal besok lebaran tetapi orang tuannya dan keluarga Andi yang lain tidak bisa pulang, sehingga kesendiria lagi yang akan menerpa Andi pada lebaran kali ini, melihat ini Bik Sum pun menawarkan Andi untuk ikut kerumahnya biar lebaran pada tahun ini Andi tidak kesepian, kerena biasanya saat lebaran Andi hanya sendirian di rumah dan setelah di bujuk Andi pun mau ikut ke rumah Bik Sum.

Rumah Bik Sum bukanlah rumah yang mewah tetapi rumah biasa yang sebagian dari dindingnya terbuat dari kayu, kebetulan pada saat itu anak-anak Bik Sum pulang kerumah karena juga sedang kuliahnya sedang libur, jadi suasana rumah tersebut menjadi sedikit ramai, Andi memang tidak canggung karena sudah mengenal dengan seluruh keluarga tersebut, Andi melebur di dalam keluarga tersebut saat berbicara di ruang tamu sambil diselingi dengan canda membuat senyuman di wajah Bik Sum dan Mang Ali tidak pernah pupus, ini yang Andi cari selama ini kehangatan di dalam keluarga yang tidak ia dapatkan dari keluaganya, pada malam itu saat takbir mulai menggema setelah sholat magrib mulailah mereka berkumpul di meja makan karena ada tradisi di rumah Bik Jum yaitu “Makan Ketupat”, di rumah yang sederhana inilah Andi merasakan kehangatan yang namanya keluarga, dirumah yang tidak mengenal teknologi computer atau internet inilah terjalin kebersamaan yang erat yang tidak di dapatkan di rumahnya yang mewah saat bik Jum menyodorkan sepiring ketupat yang sudah di beri kuah opor ayam betapa senang hati Andi karena baru kali pertama menerima sepiring ketupat sayur dari orang yang menyayangi dia di dalam kehangatan keluarga, Andi berdoa di dalam hati biar lebaran tahun depan keluarganya bisa di berkumpul dalam kehangatan keluarga seperti di rumah Bik Sum dan Mang Ali.

Malam sebelum terlelap sayup terdengan takbir yang terus mengalun, tak terasa air mata Andi mengalir di sudut matanya dia sangat berterima kasih dengan kedua orang yang sudah mengasuhnya selama ini yaitu Bik Jum Dan Mang Ali sehingga sampai detik ini ia bisa merasakan kehangatan keluarga dan lezatnya ketupat buatan Bik Jum. Dalam tidurnya yang lelap guratan mukanya menunjukan wajah yang berseri-seri karena kebahagiaan yang baru di temuinya .…….terima kasih Bik Jum.


“20 Biji Ketupat Lebaran”

03 October 2006

Baim dan Lenggang Palembangnya

Ilustrasi Lenggang
Baim begitulah laki-laki berumur sekitar 40 tahun-an ini di panggil di lingkungan sekitar tempat dia, lelaki yang sehari-hari ini berjualan “Lenggang” yang merupakan salah satu makanan khas masyarakat yang ada di kota ini.

Setiap hari baim keluar untuk menjual lenggang, dimana dia menyewa petak kecil di sudut warung Mang Suryana yang juga menjual makanan dan kopi di warung tersebut, setiap pagi beliau berjualan yang dapat menghabiskan +/- 5 kg Telur ayam setiap harinya.

Dengan adonan yang sudah di buat oleh sang istri dan tumpukan daun pisang yang sudah di potong kecil-kecil, baim pun bersiap untuk melangkah menuju tempat nya berjualan, dimana para pelanggan setia sudah menunggu.

Dari berjualan lenggang ini lah Baim dapat menghidupi istri dan 4 anaknya, anaknya yang terbesar sudah duduk di kelas 1 SMA dan yang lainnya masih SMP dan SD sedangkan yang kecil baru berumur 5 tahun.

Berhadapan dengan panasya bara api dari batok kelapa yang terbakar sudah membuat Baim terbiasa akan panas, dengan cekatan kedua tangannya mencampur adukan dengan telor di atas panggangan, kalau nasib lagi apes, pembeli sangat sedikit sekali sehingga tak jarang telur dan adonan tidak tersetuh sama sekali, dengan mematok harga 8 ribu Rupiah harga yang cukup pas dengan kantong masyarakat kota ini.

Tetapi ada hal yang mendukung Baim dalam berjualan ini adalah lingkungan tempat dia berjualan kebanyakan berasal dari orang-orang Palembang di mana jika sarapan dengan Lenggang sudah cukup tidak perlu makan nasi lagi atupun makan sore sama seperti itu, sehingga pagi hari pesananpun sudah menanti.

Pernah beberapa pengusaha mengajak kerja sama dengan Baim agar lenggang yang ia jual berpindah ke tokonya tetapi Baim tidak mau ia lebih betah di tempat ia berjualan sekarang, walau hasilnya pas-pasan tetapi tidak ada beban di hati, karena ujarnya ia di sini bisa bebas kapan ia bisa berjualan dan tidak.

Sudah cukup lama juga Baim berjualan makanan khas kota ini, salah satu bentuk pelestarian terhadap tradisi, tetapi dengan himpitan ekonomi dan kerasnya perjuangan hidup apakah Baim akan dapat terus bertahan tanpa di iringi perubahaan, mungkin sedikit perubahaan akan membuat nya terkenal…………………………………..i wish.


“Ngipas Lenggang……Panas”

01 October 2006

Silat sejati dahlan

Ilustrasi Silat
Sebenarnya Dahlan bisa saja mematahkan kaki ataupun tangan para pereman-pereman yang memalaknya tetapi ia tidak melakukannya walaupun para preman tersebut kocar-kacir di hantam jurus-jurus silat Dahlan dan tidak tahu juga alasannya mengapa, Dahlan memang sudah di kenal di kampungnya sebagai pelatih pencak silat di kampungnya di mana sudah sedari kecil Dahlan, tetapi baru sekali ini melihat Dahlan bertarung seperti sinetron laga yang ada di TV.

Dahlan memang di kenal sebagai orang yang ramah dan mudah dalam pergaulan banyak siapa yang tak kenal dengan dengan guru silat Dahlan di lingkungan tempat di tinggal, pada setiap malam Sabtu dan malam Selasa banyak murid-muridnya berkumpul di sepetak tanah di dekat rumahnya tempat mereka berlatih.

Silat dalam keseharian Dahlan bukan barang yang baru, dengan pekerjaan sehari-hari penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di salah satu pasar tradisional di kota ini sudah cukup untuk menghidupi istri dan 3 orang anaknya, dulu silat di dapatkannya dengan belajar dari pamannya yang memang jawara silat pada masa itu, setelah selesai sholat Ashar paman dahlan mengajari pencak silat kepada Dahlan keci dan itu berlangsung +/- 15 tahun sampai akhirnya paman Dahlan pun wafat.

Dari sinilah keahliannya di sebarkan kepada para murid-muridnya saat ini yang sudah banyak menjadi atlet yang menjadi asset kota ini, tetapi si Dahlan ini masih seperti yang saya kenal dulu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kenapa ilmu pencak silatnya sangat jarang di gunakan.

Dahlan hanya tersenyum, sembari berucap “silat sejati itu terletak di sini sambil beliau menunjukan hatinya bukan di sini sambil dia menggenggam telapak tangannya” memang perkataan yang mudah untuk di ucapkan tetapi sangat susah dalam pelaksanaannya menurut saya, ia pun berujar lagi “ didalam kekuatan yang besar terkandung tanggung jawab yang besar begitu juga keahlian yang kita punya juga mempunyai tanggung jawab yang besar”, kalau seandainya saya menggunakan keahlian saya untuk menyakiti atau membunuh orang lain apakah itu tujuan dari silat, bukan silat bukan alat atau teknik untuk membunuh, silat merupakan alternative terakhir saat memang kita harus membela diri, sesaat saya terdiam, dimana kepulan asap rokok.

“Sebenarnya kalau mau menggunakan silat ini untuk gagah-gagahan itu bisa, atau menjadi jawara seakalian juga bisa tetapi sekarang ini sudah tidak zaman lagi, ada harmonisasi antara silat dan kehidupan”, Dahlan terhenti sejenak,
“Kalau masalah masih bisa di selesaikan dengan kata-kata , kenapa harus menggunakan kepalan tangan atau kalau masalah masih bisa di selesai kan dengan tingkah laku mengapa harus menggunakan tendangan, silat sesungguhnya adalah bagai mana kita bisa mengalahkan diri kita sendiri untuk menyerang, menyakiti ataupun membunuh sesama mahluk tuhan” ucapnya lagi.

Saya terdiam di dalam batin, wajar kalau setiap sebelum latihan dia berkata bahwa yang sulit dari latihan silat adalah memahami bahwa ilmu pencak silat bukan sebagai sarana kejahatan tetapi menjadi sarana untuk keselarasan kehidupan.

Banyak yang dapat di ambil sejak berteman dengan Dahlan ini, pada intinya tidak perlu menggunakan otot untuk menyelesaikan suatu masalah tetapi gunakan pendekatan hati, karena kalau otot berbicara bukan menyelesaikan masalah tetapi mengalihkan masalah.

Dibalik pakaian silatnya Dahlan tampak gagah tetapi terbersit kekawatiran akankah generasi yang akan datang akan terus melestarikan budaya bangsa seperti yang di lakukannya saat ini.


“Salam IPSI”

08 September 2006

Mendengar Dahulu Sebelum Berkata

Sering melihat orang yang bicara secara terus menerus seperti tanpa ada habisnya kata, mungkin sering di panggil "Ember"atau comel, tetapi orang yang seperti itu banyak terdapat di sekeliling kita, terkadang kita di buat senang karena selalu meriah terpati terkandang omongan berlebihan juga membuat kita jengkel.

Banyak keributan yang terjadi di karenakan salah ucapan ataupun perkataan oleh lidah yang memang bentuknya sangat lentur tanpa tulang ini. banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan terjadi oleh benda yang kita sebut dengan Saat membaca salah satu buku keperibadian baru terpikir juga oleh saya mengapa sang pencipta memberikan kita 1 otak yang besar, 2 telinga yang lebar, 2 mata yang jernih dan 1 mulut yang mungil, sebenarnya kalau di telah nasehati untuk mendengar dan berpikir dulu sebelum bicara.

Kalau di ibaratkan dengan alat input telinga dan mata merupakan alat input yang sangat akurat melihat dan mendengar merupakan perpaduan yang tiada duanya, dengan informasi yang di dapatkan ini akan di rekam dan di terjemakan makna di dalam otak kita, dan salah satu lagi alat yang palinng vital adalah "hati" yang bisa meneruskan ke Output kita yaitu mulut. seperti bayi pada awalmulanya yang berfungsi adalah organ telinga dan mata, mereka hanya mendengar dan melihat dan setelah beberapa tahun mulai berbicara, dan bertindak seharusnya seperti itulah konsep kehidupan manusia.

Bagi sebagian orang sepertinya proses ini tidak berlaku mereka tanpa menggunakan otak dan hati yang terkadang berbicara senaknya yang terkadang juga menyakiti hati orang lain, memang hal seperti ini tidak dapat dilakukan perbaikan hanya dalam hitungan hari tetapi perlu latihan yang rutin, dan juga pembersihan atas hati sendiri.

Memang orang bilang semakin tinggi ilmu yang sudah di dapat seseorang maka akan semakin bijak orangnya, tetapi hal itu tidak seluruhnya benar karena kalau kita lihat di daerah-daerah yang masih jauh di sebut moderen kadang mereka memiliki sifat bijak melebihi orang yang berpendidikan tinggi di kota-kota besar.

Terkadang apa yang keluar dari mulut kita merupakan cerminan dari hati kita, semakin "sembarangan" mulut kita mungkin semakin kotor hati kita, dan bahkan sebaliknya. tetapi kita tidak juga untuk memendam apa yang kita terima sebagai 'input", bisa bisa menjadi pikiran karena terjadinya "overload" di otak kita, dan kata orang bisa menjadi penyakit.

Jadi sebenarnya mendengar dahulu sebelum berkata membuat kita bisa menjadi lebih tenang dalam berpikir akan ada jedah waktu yang menghasilkan output yang lebih berkualitas. belajarlah Mendengar Dahulu Sebelum belajar Berkata.


"Berfikir"

06 September 2006

Yai Nain Penjual Sarung Bantal Keliling


Sarung..sarung..sarung...sarung bantal, sarung kasur.....sarung..sarung, teriakan seperti inilah yang sering di dengar di kawasan Rumah Susun di mana sesosok lelaki renta bersama cucunya berkeliling mengelilingi komplek perumahaan susun 26 ilir di kota ini.

Dengan langkah yang masih tegar di usia yang sudah merenta si kakek yang akrab di sapa Yai Na'in ini terus menawarkan dagangannya, bukan pemandangan asing bagi penduduk yang tinggal di rumah susun tersebut melihat kakek renta yang memanggul dagangannya.

Dari sarung bantal tidur, bantal guling dan sarung kasur di bawa oleh si kakek yang sekarang sudah hampir menginjak usia 80 tahun ini, tetapi semangat untuk mencari tanpa mengharap belas kasih orang lain yang patut di tiru, setiap hari kakek yang di temani si cucu keliling kawasan 26 ilir setelah tengah hari saat si cucu pulang sekolah, dengan langkah pasti di tengah matahari yang terik tidak membuat semangat si Kakek dan cucu meredup untuk mencari lembaran Rupiah, beruntung jika dalam hari itu sarung-sarung yang di bawa si kakek ada yang laku dengan membawa beberapa lembar uang ribuan untuk pulang kerumah, tetapi jika nasib lagi sial tidak satupun barang dagangannya yang laku.

Dulunya kakek ini berjualan di K5 di kawasan pasar 16 ilir tetapi karena sudah tidak kuat dengan seringnya pengusiran dan umur yang terus bertamabah membuat kakek ini beralih profesi menjadi penjual sarung bantal dan kasur ini.

Saat lelah menerpa tak jarang kakek dan cucu ini duduk di pinggiran jembatan ataupun di tempat umum untuk melepaskan lelah, satu hal yang menjadi prinsip kehidupannya "Tidak mau bergantung dengan orang lain selama nafas masih mengaliri tubuh ini".

Beginilah sedikit cerita tentang sosok penjual sarung bantal dan kasur yang berjuang di antara kerasnya hidup ini dan terus berjuang tanpa ada kata menyerah, apakah kita juga memiliki daya juang seperti Yai Na'in ini.


 "Terus Berjuang"