CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

10 October 2006

Pemulung Dan Anaknya


Ilustrasi pengemis foto : sumselheadline.com

Hujan memang merupakan hal yang sedikit menggangu terutama bagi para bikers seperti kami, tetapi ada hikmah yang di ambil saat hujan hari ini tadi. Seorang ibu dengan gerobaknya juga ikut berteduh dari derasnya rinaian air hujan, gerobak yang berisi banyak barang-barang bekas hasil pulungannya hari ini di mana di dominasi oleh kertas dan beberapa karung plastik, tetapi yang membuat terenyuh saya melihat anaknya yang masih berumur 3.5 tahun ikut serta menjadi pemulung, siapa pun yang melihat ibu dan anaknya yang kecil ini pasti akan iba dan terenyuh, anaknya pun turun dari gerobak dan bermain dengan tetasan air hujan.

Saya sempatkan untuk bicara dengan ibu itu, dan ternyata ibu yang asli jawa ini tersebut memiliki ketrbatasan mental juga karena dalam menjawab pertanyaan dari saya juga lama, kata-kata yang di sebutnya pun kurang jelas, “suaminya kerja sebagai tukang batu” jawabnya terbata-bata, sambil memeluk anak nya yang tidak mau diam untuk bermain air.

Iba hati ini melihat kehidupan sang ibu yang seperti ini terutama dengan anaknya yang sudah masuk dalam lingkaran kemiskinan seperti ini, tiap hari beliau rutin memulung barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai lagi di temani dengan si buah hatinya, di mana anak-anak yang lainnya bermain tetapi anak ibu ini dari usia dini sudah berusaha keras untuk betahan dengan hidup, entah bagaimana nasib yang akan di jalaninya kedepan.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan hanya memberi lembaran Rupiah yang saat itu ada di kantung saya, dalam perjalanan pulang saya semoga saja ada pihak-pihak lain yang secara tulus bisa meberikan perhatian kepada masyarakat kelas bawah yang cenderung mayoritas ini.


Ya Allah....izinkan hambamu ini untuk dapat selalu berbagi dengan ciptaanmu yang lain.

05 October 2006

Ketupat Lebaran Buat Andi

Ilutrasi Ketupat
Andi terus memandangi hujan yang membasahi jendela kamarnya, sudah hampir satu jam hujan belum reda juga, hari sudah menjelang sore seharian ini Andi hanya berada di kamar saja, jenuh juga menghadap komputer seharian dengan temannya dan orang tua Andi yang sekarang sedang berada di negeri paman sam, padahal besok merupakan hari lebaran tetapi kedua orang tua Andi tidak bisa berada di rumah.

Sudah dari kecil Andi di tinggal terus oleh kedua orang tua nya karena kesibukan mereka yang memiliki perusahaan multi nasional yang mulai merambah kenegeri orang, Andi terlahir dari keluarga yang berada, dengan rumah mewah , kendaraan roda 4 selalu siap di garasa, uang yang juga tidak ada kurangnya dan fasilitas-fasilitas cangih lainnya lainnya yang selalu ada di sekelilingnya , tetapi Andi kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang selalu sibuk, di mana kedua orang kakaknya juga sedang mencari ilmu di benua yang berbeda, kakaknya yang tertua belajar di Amerika dan kakak perempuannya sedang menuntut ilmu di Australia, sehingga Andi bisa berhubungan dengan keluaganya melalui “internet “ dan fasilitas “webcam” nya, dari tahun ketahun seperti itulah yang di lakukan oleh Andi, sangat jarang ia bisa berkumpul dengan keluarganya dan belum tentu dalam setahun ia bisa berkumpul bersama dengan keluargannya tersebut, tidak heran kalau Andi besar di tangan Bik Sum dan Mang Ali yang merupakan suami istri yang bekerja sebagai pembantu dan sopir keluarga Andi.

Sejak dari belajar berjalan Andi sudah di asuh oleh Bik Sum dengan penuh kasih sayang di mana saat itu kedua orang tua Andi sedang sibuk-sibuknya menangani bisnis mereka yang baru berkembang, di mana menuntut kedua orang tua Andi untuk sering bepergian keluar kota ataupun ke luar negeri.

Di sini lah Andi bertumbuh besar dan meranjak dewasa di mana Andi didik dengan penuh kesederhanaan oleh Bik Sum dan Mang Ali, dan mereka sudah menganggap Andi seperti anak sendiri, walaupun Andi anak orang kaya tetapi sejak di SMP dia lebih senang naik sepeda ketimbang di antar oleh Mang Ali sebgai Supirnya, begitupun di SMA saat ini Andi lebih suka menggendarai “Vespa” lawasnya ketimbang harus di antar dia beranggapan lebih santai, banyak pelajaran berharga yang ia dapatkan dari suami istri pembantunnya tersebut, baik itu tentang etika, agama ataupun pelajaran-pelajaran lainnya, memang Bik Sum dan Mang Ali semua anaknya sudah besar dan melanjutkan ke perguruan tinggi di luar kota yang seluruhnya di biayai oleh orang tua Andi, seperti saat ini padahal besok lebaran tetapi orang tuannya dan keluarga Andi yang lain tidak bisa pulang, sehingga kesendiria lagi yang akan menerpa Andi pada lebaran kali ini, melihat ini Bik Sum pun menawarkan Andi untuk ikut kerumahnya biar lebaran pada tahun ini Andi tidak kesepian, kerena biasanya saat lebaran Andi hanya sendirian di rumah dan setelah di bujuk Andi pun mau ikut ke rumah Bik Sum.

Rumah Bik Sum bukanlah rumah yang mewah tetapi rumah biasa yang sebagian dari dindingnya terbuat dari kayu, kebetulan pada saat itu anak-anak Bik Sum pulang kerumah karena juga sedang kuliahnya sedang libur, jadi suasana rumah tersebut menjadi sedikit ramai, Andi memang tidak canggung karena sudah mengenal dengan seluruh keluarga tersebut, Andi melebur di dalam keluarga tersebut saat berbicara di ruang tamu sambil diselingi dengan canda membuat senyuman di wajah Bik Sum dan Mang Ali tidak pernah pupus, ini yang Andi cari selama ini kehangatan di dalam keluarga yang tidak ia dapatkan dari keluaganya, pada malam itu saat takbir mulai menggema setelah sholat magrib mulailah mereka berkumpul di meja makan karena ada tradisi di rumah Bik Jum yaitu “Makan Ketupat”, di rumah yang sederhana inilah Andi merasakan kehangatan yang namanya keluarga, dirumah yang tidak mengenal teknologi computer atau internet inilah terjalin kebersamaan yang erat yang tidak di dapatkan di rumahnya yang mewah saat bik Jum menyodorkan sepiring ketupat yang sudah di beri kuah opor ayam betapa senang hati Andi karena baru kali pertama menerima sepiring ketupat sayur dari orang yang menyayangi dia di dalam kehangatan keluarga, Andi berdoa di dalam hati biar lebaran tahun depan keluarganya bisa di berkumpul dalam kehangatan keluarga seperti di rumah Bik Sum dan Mang Ali.

Malam sebelum terlelap sayup terdengan takbir yang terus mengalun, tak terasa air mata Andi mengalir di sudut matanya dia sangat berterima kasih dengan kedua orang yang sudah mengasuhnya selama ini yaitu Bik Jum Dan Mang Ali sehingga sampai detik ini ia bisa merasakan kehangatan keluarga dan lezatnya ketupat buatan Bik Jum. Dalam tidurnya yang lelap guratan mukanya menunjukan wajah yang berseri-seri karena kebahagiaan yang baru di temuinya .…….terima kasih Bik Jum.


“20 Biji Ketupat Lebaran”

03 October 2006

Baim dan Lenggang Palembangnya

Ilustrasi Lenggang
Baim begitulah laki-laki berumur sekitar 40 tahun-an ini di panggil di lingkungan sekitar tempat dia, lelaki yang sehari-hari ini berjualan “Lenggang” yang merupakan salah satu makanan khas masyarakat yang ada di kota ini.

Setiap hari baim keluar untuk menjual lenggang, dimana dia menyewa petak kecil di sudut warung Mang Suryana yang juga menjual makanan dan kopi di warung tersebut, setiap pagi beliau berjualan yang dapat menghabiskan +/- 5 kg Telur ayam setiap harinya.

Dengan adonan yang sudah di buat oleh sang istri dan tumpukan daun pisang yang sudah di potong kecil-kecil, baim pun bersiap untuk melangkah menuju tempat nya berjualan, dimana para pelanggan setia sudah menunggu.

Dari berjualan lenggang ini lah Baim dapat menghidupi istri dan 4 anaknya, anaknya yang terbesar sudah duduk di kelas 1 SMA dan yang lainnya masih SMP dan SD sedangkan yang kecil baru berumur 5 tahun.

Berhadapan dengan panasya bara api dari batok kelapa yang terbakar sudah membuat Baim terbiasa akan panas, dengan cekatan kedua tangannya mencampur adukan dengan telor di atas panggangan, kalau nasib lagi apes, pembeli sangat sedikit sekali sehingga tak jarang telur dan adonan tidak tersetuh sama sekali, dengan mematok harga 8 ribu Rupiah harga yang cukup pas dengan kantong masyarakat kota ini.

Tetapi ada hal yang mendukung Baim dalam berjualan ini adalah lingkungan tempat dia berjualan kebanyakan berasal dari orang-orang Palembang di mana jika sarapan dengan Lenggang sudah cukup tidak perlu makan nasi lagi atupun makan sore sama seperti itu, sehingga pagi hari pesananpun sudah menanti.

Pernah beberapa pengusaha mengajak kerja sama dengan Baim agar lenggang yang ia jual berpindah ke tokonya tetapi Baim tidak mau ia lebih betah di tempat ia berjualan sekarang, walau hasilnya pas-pasan tetapi tidak ada beban di hati, karena ujarnya ia di sini bisa bebas kapan ia bisa berjualan dan tidak.

Sudah cukup lama juga Baim berjualan makanan khas kota ini, salah satu bentuk pelestarian terhadap tradisi, tetapi dengan himpitan ekonomi dan kerasnya perjuangan hidup apakah Baim akan dapat terus bertahan tanpa di iringi perubahaan, mungkin sedikit perubahaan akan membuat nya terkenal…………………………………..i wish.


“Ngipas Lenggang……Panas”

01 October 2006

Silat sejati dahlan

Ilustrasi Silat
Sebenarnya Dahlan bisa saja mematahkan kaki ataupun tangan para pereman-pereman yang memalaknya tetapi ia tidak melakukannya walaupun para preman tersebut kocar-kacir di hantam jurus-jurus silat Dahlan dan tidak tahu juga alasannya mengapa, Dahlan memang sudah di kenal di kampungnya sebagai pelatih pencak silat di kampungnya di mana sudah sedari kecil Dahlan, tetapi baru sekali ini melihat Dahlan bertarung seperti sinetron laga yang ada di TV.

Dahlan memang di kenal sebagai orang yang ramah dan mudah dalam pergaulan banyak siapa yang tak kenal dengan dengan guru silat Dahlan di lingkungan tempat di tinggal, pada setiap malam Sabtu dan malam Selasa banyak murid-muridnya berkumpul di sepetak tanah di dekat rumahnya tempat mereka berlatih.

Silat dalam keseharian Dahlan bukan barang yang baru, dengan pekerjaan sehari-hari penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di salah satu pasar tradisional di kota ini sudah cukup untuk menghidupi istri dan 3 orang anaknya, dulu silat di dapatkannya dengan belajar dari pamannya yang memang jawara silat pada masa itu, setelah selesai sholat Ashar paman dahlan mengajari pencak silat kepada Dahlan keci dan itu berlangsung +/- 15 tahun sampai akhirnya paman Dahlan pun wafat.

Dari sinilah keahliannya di sebarkan kepada para murid-muridnya saat ini yang sudah banyak menjadi atlet yang menjadi asset kota ini, tetapi si Dahlan ini masih seperti yang saya kenal dulu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kenapa ilmu pencak silatnya sangat jarang di gunakan.

Dahlan hanya tersenyum, sembari berucap “silat sejati itu terletak di sini sambil beliau menunjukan hatinya bukan di sini sambil dia menggenggam telapak tangannya” memang perkataan yang mudah untuk di ucapkan tetapi sangat susah dalam pelaksanaannya menurut saya, ia pun berujar lagi “ didalam kekuatan yang besar terkandung tanggung jawab yang besar begitu juga keahlian yang kita punya juga mempunyai tanggung jawab yang besar”, kalau seandainya saya menggunakan keahlian saya untuk menyakiti atau membunuh orang lain apakah itu tujuan dari silat, bukan silat bukan alat atau teknik untuk membunuh, silat merupakan alternative terakhir saat memang kita harus membela diri, sesaat saya terdiam, dimana kepulan asap rokok.

“Sebenarnya kalau mau menggunakan silat ini untuk gagah-gagahan itu bisa, atau menjadi jawara seakalian juga bisa tetapi sekarang ini sudah tidak zaman lagi, ada harmonisasi antara silat dan kehidupan”, Dahlan terhenti sejenak,
“Kalau masalah masih bisa di selesaikan dengan kata-kata , kenapa harus menggunakan kepalan tangan atau kalau masalah masih bisa di selesai kan dengan tingkah laku mengapa harus menggunakan tendangan, silat sesungguhnya adalah bagai mana kita bisa mengalahkan diri kita sendiri untuk menyerang, menyakiti ataupun membunuh sesama mahluk tuhan” ucapnya lagi.

Saya terdiam di dalam batin, wajar kalau setiap sebelum latihan dia berkata bahwa yang sulit dari latihan silat adalah memahami bahwa ilmu pencak silat bukan sebagai sarana kejahatan tetapi menjadi sarana untuk keselarasan kehidupan.

Banyak yang dapat di ambil sejak berteman dengan Dahlan ini, pada intinya tidak perlu menggunakan otot untuk menyelesaikan suatu masalah tetapi gunakan pendekatan hati, karena kalau otot berbicara bukan menyelesaikan masalah tetapi mengalihkan masalah.

Dibalik pakaian silatnya Dahlan tampak gagah tetapi terbersit kekawatiran akankah generasi yang akan datang akan terus melestarikan budaya bangsa seperti yang di lakukannya saat ini.


“Salam IPSI”