CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

01 June 2007

Mobil Ketek, Angkot Sisa Orde Lama

"Hai oplet tua, dengan bapak sopir tua/ cari penumpang di pinggiran Ibu Kota/ sainganmu mikrolet, bajaj dan bis kota/ kini kau tersingkirkan oleh mereka..."("Barang Antik", Iwan Fals)

SELAIN angkot dan bus kota yang full music, Palembang punya alat transportasi lain yang unik, berupa jip kuno merk Willis dan Mitsubishi. Masyarakat setempat menyebutnya mobil ketek, karena angkot-angkot itu berjalan lambat, laiknya perahu ketek yang hilir-mudik di sungai Musi.
Dari wujudnya saja, terlihat betapa angkutan tersebut sudah teramat renta. Suara mesinnya terdengar kasar, sementara lajunya perlahan seperti menahan beban. Sebagian bodi mobil-mobil ketek sudah diganti dengan kayu, baik atap, tempat duduk, sampai lis kaca depan. Manakala berjalan, acap terdengar suara berderit-derit. Posisi bangkunya menyamping berhadap-hadapan. Sekali jalan mampu mengangkut sembilan sampai 10 orang penumpang.
Jip-jip tua itu itu rata-rata dibuat pada masa Orde Lama, atau bahkan pendudukan Jepang. Mesinnya empat silinder, dengan onderdil bandrekan di sana-sini. Beberapa tangki bensin mobil ketek bahkan sudah diganti dengan jerigen.
Sehari-hari, angkutan ini beroperasi pada tiga jalur, yaitu Ampera 7 Hulu-Kertapati, Ampera 7 Hulu-Simpangsuki, serta Plaju-10 Hulu. Jarak trayek-trayek itu tak terlampau jauh. Rata-rata tak lebih dari 5 Km.
Menurut Zainal Abidin (43), seorang sopir mobil ketek jalur Ampera 7 Hulu-Simpangsuki, angkutan kuno ini sudah ada sebelum Jembatan Ampera dibangun. "Dulu mobil ketek mangkalnyo di Seberang Ilir dekat Pasar 16," tuturnya dengan logat Palembang yang kental.
Penumpang Setia
Meski berumur, mobil ketek ternyata punya penumpang setia, yakni ibu-ibu rumah tangga yang pulang-balik dari dan menuju pasar. Kendaraan yang dikemudikan Zainal misalnya, banyak bergantung ibu-ibu yang belanja di Pasar Klinik.
Kesempatan untuk menutup setoran Rp 15.000 sehari dia kejar dari pukul 07.00-12.00, waktu buka pasar tersebut. Selepas itu, kata Zainal, penumpang sepi.
Pemkot Palembang sebenarnya pernah berencana menghapuskan mobil ketek dan menggantinya dengan jenis angkutan lain. Namun mengingat sepinya penumpang, tidak ada perusahaan angkutan yang mau mengoperasikan armadanya pada jalur tersebut. Para sopir pun sebenarnya berkeinginan sama.
Dengan menjalankan mobil ketek, mereka mengaku hanya mengantongi pendapatan bersih Rp 10.000-Rp 15.000 per hari. Para sopir berharap mendapat kredit ringan angkutan kota dari Pemkot. "Seperti sopir bajaj PON itu yang mendapat kredit murah," lanjut Zainal.
Tapi apalah daya, mobil ketek tetap harus beroperasi di pinggiran Kota Palembang, mengangkut ibu-ibu yang setiap hari belanja di pasar. Maka, seperti kata Iwan Fals: "Tunggu nanti di tahun 2001, mungkin opletmu jadi barang antik yang harganya selangit." Tapi sayang, tahun 2001 sudah lewat.(Rukardi-22http://www.suaramerdeka.com/