CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.
Showing posts with label Seni Budaya. Show all posts
Showing posts with label Seni Budaya. Show all posts

03 January 2018

Pakaian Songket Wanita Palembang Tempo Dulu

foto : palembangbatangharisembilan.blogspot.com/
Ada banyak perbedaan pendapat dari para ahli tentang Kain Songket Palembang, dari sekian banyak pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada dua pendapat mengenai sejak kapan Kain Songket ada dalam kehidupan masyarakat Palembang, yaitu:
  • Pendapat pertama menyatakan bahwa Kain Songket telah ada di Palembang sejak ratusan tahun silam. Semasa Kerajaan Palembang belum dikenal sebagai sebuah Kesultanan, 1455-1659. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kerajinan kain songket telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didukung dari motif-motif yang terdapat dalam Kain Songket Palembang yang menggunakan binatang sebagai bagian dari motif. Hal ini dikatakan jelas merupakan peninggalan dari masa sebelum Islam berkembang di Palembang.
  • Pendapat kedua menyatakan bahwa Songket telah ada bersamaan munculnya Kesultanan Darusalam (1659-1823). Berdasarkan catatan sejarah yang berhak dan pantas memakai Songket pada waktu itu adalah para istri dan kerabat keraton. Songket yang dipakai oleh para sultan di Palembang merupakan pelengkap pakaian kebesaran. Kain (Sewet) songket ini merupakan kerajinan tradisional yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi sejak dahulu kala hingga kini. 

Pada waktu itu belum ada songket berbentuk kain (Sewet) karena songket pada masa itu hanya berbentuk selendang yang dalam istilah Palembang disebut kemben. Songket/kemben ini difungsikan sebagai kerebong, yang cara memakainya dengan diselempangkan di bahu yang kedua ujungnya nampak berjuntaian ke arah dada. Pada masa sekarang bentuk pemakainannya seperti syal yang dipakai oleh ulama dalam kegiatan keagamaan.

Barulah setelah era tahun 1900-an selendang songket tersebut dibuatkan padanannya berupa kain, maka namanya berubah menjadi Kain Songket. Dahulu awal pembuatan kain songket dibuat dari bahan dasar benang emas yang langsung didatangkan dari Cina begitu juga benang sutera yang digunakan juga didatangkan dari Cina hal ini dikarenakan hubungan Sriwijaya dengan Cina sangat erat terutama di bidang perdagangan dan pendidikan Agama Budha. Aktivitas menenun songket berkembang menjadi banyak varian, perkembangan Kain Songket lebih luas terjadi pada masa Kesultanan Palembang, karena pakaian ini dijadikan simbol kebesaran dari raja-raja di Kesultanan Palembang.

Sumber tulisan : http://www.fbrs14.com/

14 February 2017

Musik Jidur Masa Kini





Musik "Jidur" yang Terpinggirkan


SEKITAR 20 tahun lalu, jenis musik tanjidor tak terpisahkan dari kegiatan pesta masyarakat di kawasan Kecamatan Sanga Desa dan Babat Toman, Musi Banyuasin, dari pesta sunatan, naik haji, sampai pernikahan. Namun seiring waktu, kini musik tradisional -- yang oleh warga setempat disebut "musik jidur" mulai terpinggirkan. 

Acara-acara yang digelar pun tidak lagi mengundang "musik jidur", tapi sudah beralih ke orkes melayu, yang lebih atraktif dan menggoda setiap pendengarnya untuk bergoyang. Bahkan, sejak sepuluh tahun terakhir musik jidur ini pun makin "terjepit", lantaran maraknya orgen tunggal.

Menurut Komar, warga Desa Ngulak, Sanga Desa, kian terdesaknya musik jidur cukup memprihatinkan. Padahal jenis musik ini pun sebenarnya tidak kalah aktraktif dengan orgen tunggal, karena pemainnya pun bisa mengikuti irama lagu-lagu terkini. "Ini mestinya menjadi perhatian pemerintah, karena ini aset budaya lokal," katanya. 

sumber tulisan : http://palembang.tribunnews.com/
Sumber Foto : facebook Urip Anwar

22 March 2016

Pencak Silat Palembang


Pencak Silat merupakan warisan budaya asli nenek moyang kita. Pencak silat adalah sejumlah gerak gerik dan langkah budaya dg gaya yg indah dan harmonis yg bertujuan sbagai pembelaan diri dan disertai dg penyerangan pd lawan. Sifatnya adalah secara ksatria menjaga kehormatan diri, keadilan & kebenaran.

Pd masa Rasul SAW cara membela diri telah diajarkan disamping mempertebal IMTAQ. Saat itu laskar kaum muslimin sangat piawai menggunakan senjata pedang, tombak, tameng, panah & senjata lainnya. Bahkan dlm menghadapi musuh Nabi SAW sendiri langsung bertindak selaku panglima perang & berada dibarisan terdepan.

Pd jaman Kesultanan Palembang, pencak silat asli keraton ini masih terus diajarkan dan dilestarikan. Sebagai guru besarnya ialah Pangeran Ratu Purbaya Abubakar bin Sultan Muhammad Mansur (w.1710).

Pd masa kolonial dibentuklah organisasi "Priayi Fonds" th 1929 sebagai wadah pelestarian pencak Palembang ini. 

Sedang dimasa kemerdekaan berdiri pula "Persatuan Priayi Palembang" (PPP) dlm th 1951 yg juga salahsatu visi misinya melestarikan pencak asli Palembang. Sebagai guru besarnya adalah Raden Abdul Hamid bin R.Adnan atau lebih dikenal dg sebutan Cek Mid Ternate (w.1969). 

Saat ini Upaya pelestarian pencak silat Palembang yg sebagai warisan khazanah budaya kita tempo doeloe harus terus dilakukan.

Sumber foto & narasi : andi.s.kemas

Untuk lebih lengkap mengenai silat Palembang bisa klik : 

17 June 2015

Melacak Musik Asli Palembang

Senin, 13 April 2015

Group musik tempo dulu di Palembang sumber : andi.s.kemas

Ada suatu pertanyaan yang mengusik benak saya, adakah “musik asli bagi wong kito Palembang” soalnya istilah musik asli ditelinga wong Palembang nyaris tak terdengar. Padahal daerah lain ada musik yang disebut kolintang daerah Menado, Musik atau alat nyanyian bagi masyarakat Flores disebut “sasando”, masyarakat Bandung Jawa Barat mempunyai alat musik yang disebut “angklung” dll. Di Kota Palembang nyaris tak terdengar atau populer soal seni musik dan nyanyian ini. Ada apakah gerangan sehingga bisa disebut “palembang tidak mempunyai musik” atau yang sering dalam olokan disebut “Palembang buntung” buntung disegala bidang. Oleh karena penasaran maka inilah yang menyebabkan penulis melacak atau mencari jejak musik tertua didaerah ini.

Mulailah saya berkelana mencari jawabnya, mulai dari tokoh mantan pejabat hingga siapa saja yang bisa saya ajak berdikusi mengenai keberadaan musik Palembang asli ini. Sebut saja mantan walikota dan gubernur pertama Bengkulu, RHM Ali Amin, SH tidak saja ia sebagai tokoh masyarakat Sumsel tetapi bagi saya beliau adalah sesepuh masyarakat wong Palembang terutama keluarga besar saya yang berasal dari daerah 2 Ulu Perigi Besak. Kalau tidak salah pertemuan saya dirumah kediamannya Talang Semut, beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa kota Palembang ini, tidak ada seni musik atau nyanyian begitupun dengan jenis tarian. Alasannya bahwa kota Palembang adalah mantan daerah Kesultanan Palembang Darussalam yang sudah tentu bernuansa Islami. Budaya Islam jelas tidak memperbolekan jenis musik atau tari-tarian, yang dihindarinya adalah mempertontonkan aurat terutama kaum wanitanya, jelasnya (wawancara, 1992).

Saya merasa tidak puas dengan jawaban bpk RHM Ali Amin,SH, saya pun mencari tokoh masyarakat lainnya yaitu tokoh budaya bpk RM Husin Natodirajo dan Djohan Hanafiah, jawabannya hampir sama dengan RHM Ali Amin,SH. Saya mulai linglung dan putus asa mencari akar sejarah musik di Kota Palembang ini. Secara kebetulan tahun 1992 itu juga saya menonton pertunjukan Wayang Palembang di acara TVRI Palembang, kalau tidak salah dalam rangka acara “Cakrawala Budaya Nusantara” pak dalangnya adalah HA Syukri Ahkab yang menariknya iringan musik Wayang Palembang sepertinya adalah musik khas asli Palembang, ketika saya tanya jawabnya adalah ini jenis musik kromongan. Begitupun saya melihat pertunjukan pencak asli Palembang juga memakai iringan musik yang disebut “kromongan pencak”. Jadi disini bisa disimpulkan bahwa ada dua musik kromongan yaitu “kromongan wayang” dan “kromongan pencak” yang dalam istilah lainnya disebut “seni betanggem”. Musik kromongan ini terdiri dari canang (gong kecil), laron, gendang dan rebab. Jawabanya bpk HA Sukri Ahkab inilah yang menjadi dasar saya kalau Palembang juga mempunyai musik asli yaitu kromongan. Apalagi RRI Palembang juga memberitakan bahwa musik asli Palembang itu tidak berbeda dengan musik Lampung yang disebut Gamelan.

Sampai saat ini saya terus mencari dan melacak akan keberadaan musik asli Palembang ini, apakah ia berbentuk Gending, Kromongan atau apa yang jelas kita harus didefenisikan yaitu dengan melakukan suatu proyek penelitian. Wancik AN.BE dan bpk Kiagus Ujang Kailani mengotot keras bahwa musik asli Palembang itu adalah “Ronggeng Melayu” yang banyak didasari dari musik irama Semenanjung (kini Malaysia). Kiagus Ujang Kailani adalah pimpinan orkes jidur (drumband) yang ia beri nama kelompok musik blas (musik sebelas yang terdiri dari sebelas orang dan sebelas alat musiknya) ia mulai beraktifitas musik menurutnya sudah lama sekali, dari kecil sudah ikut orang tuanya yang jenis musiknya adalah “Ronggeng Melayu” itu tediri dari alat musik seperti biola, gendang, seruling, gong kecil/canang dan piano gendong.

Perkembangan Musik Palembang dari Masa ke Masa

Menurut kronologis sejarah kota Palembang, yang terdiri dari zaman Sriwijaya, Kesultanan, penjajahan Belanda (pengaruh eropa) hingga masa kemerdekaan. Saya kira perkembangan musik dan jenis musik dikota Palembang ini sangat dipengaruhi “situasi zaman” yang melingkupinya. Sebut saja dimasa Sriwijaya saya kira banyak dipengaruhi oleh unsur musik India, Cina dan musik lokal. Nuansa musiknya mungkin sekali banyak dipengaruhi unsur agama Budha yang ketika itu adalah agama resmi Kerajaan Sriwijaya. Pada masa Kesultanan Palembang, yang sudah tentu banyak pengaruh/unsur budaya Islam dan Arab, jadi nuansa musik dan jenis musik pun bernuansa keislaman dan kearab-araban, contoh musiknya mungkin gambus, terbangan syarofalanam, kasidahan dll. Group gambus yang terkenal sekitar tahun 1950-an adalah group musik gambus “Sri Palembang” pimpinan Wak Neng.

Pada masa penjajahan Belanda, mulai diperngaruhi unsur musik eropa yang kata orang ketika itu adalah musik modren/baru. Seperti kroncongan adalah musik dari kebudayaan Portugis, yang berkembang dari Batavia (daerah tugu) kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Musik Tonil adalah jenis musik yang sangat populer di awal abad ke-20, unsur musiknya adalah jazz dan dansa salsa. Di kota Palembang ini sendiri sempat “trend” jenis musik ini dan sempat membangun gedung tonil (saat ini adalah kantor Dispenda kota Palembang Jl.Merdeka) dengan group musiknya yang terkenal “Bintang Berlian” pimpinan Haji Gong. Selain itu juga ada musik jidur (drumband) yang diambil dari unsur musik meliter, yaitu korp musik meliter Belanda.

Sampailah dimasa penjajahan Jepang, perkembangan musik Palembang cukup dinamis, yang ketika itu adalah group musik pimpinan Ahmad Dahlan Muhibat berhasil menciptakan sebuah lagu yaitu “Gending Sriwijaya” saya kira tokoh sentral musik Palembang ketika itu (tahun 1943-1945) adalah Ahmad Dahlan Muhibat, selain ia seorang komponis juga ia adalahg seorang Biolis yang handal. Ditahun 1950-an saya kira jenis musiknya adalah pengaruh unsur musik Semenanjung/Melayu pop dengan tokoh terkenalnya adalah almarhum P.Ramlee. Sejak tahun 1950-an kesadaran seniman daerah ini menciptakan dan mempopulerkan lagu-lagu bernuansa daerah seperti Kebile-bile, Dirut, Cup Mailang dll dengan group band yang terkenal seperi Arulan yang sempat membuat pringan hitam di Jakarta.

Tahun 1960-an, tidak hanya mempopulerkan lagu daerah disini timbul group musik melayu yang disebut irama candrabuana, dipopulerkan oleh stasion radio amatir Candrabuana alamat 14 Ilir Palembang. Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Palembang mempopulerkan group musik yang disebut “Orkes Studio RRI” pimpinan Haji Mahmudin dengan penyanyinya yang terkenal Masnun Toha. Perkembangan musik Palembang saya kita cukup dinamis dan mengafresiasikan zamannya, tahun 1970-an berdiri group musik Golden Wing yang penyanyi/vokalisnya adalah Carel Simon, terkenal karena membawakan lagu” Mutiara Palembang”. Disini juga didukung bermunculan studio rekaman sepeti Palapa Record, yang menghasilkan banyak penyanyi lagu daerah seperti Sahilin, yang terkenal dengan lagu irama Batanghari Sembilannya. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. 

Sumber Tulisan : http://iriziki03.blogspot.co.id/

04 January 2014

Mengenal Adat Istiadat Palembang - Baso Pelembang Alus/Bebaso

Oleh Kms H Andi Syarifuddin, SAg


SEBAGAI salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri wong kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (bebaso) saat ini sudah hampir punah Untuk itu perlu adanya usaha melestarikan dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, di antaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamus.

Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak sayang, Tak saya maka tak cinta. Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuklah dalam hal bahasa.

Asal Usul
Baso Palembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, Identitas Palembang sebagai korabolasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa laloe adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan:

Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.


Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN hingga tujuh turun lebih.

Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula.

Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH dikirim ke tanah asalh nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.


Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki, Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.


Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negar Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.


Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan Bahasa.


Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).


Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan koleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua.


Seperti dipakai koleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.


Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A di ujung diganti dengan huruf O. Seperti Apa menjadi Apo, nama menjadi namo dan seterusnya, Karena itu orang-orang datangan di Kota Palembang ini mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel. Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya nya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang yang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan bebaso adalah agak lebih sulit dan berbeda sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromo Inggil).
Sekarang ini sudah tidak banyak lagi wong Palembang yang pandai bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa. Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang.


Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun, sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinan terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga enak didengart dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.


Contoh kedua bahasa Palembang, Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
     (Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)



P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
    (O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang).

02 June 2010

Sahilin, Pelestari Irama Batanghari Sembilan

Oleh Muhamad Nasir (Sinar Harapan).

PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi ciri khas daerah ini.

Sekalipun untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini. 

Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan penelitian tahun 1992.

”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.

Sumber : Youtube 

Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan Kesenian Batanghari Sembilan. Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.

Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari, mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi, sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu penuh ratapan. Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca mata hitam untuk menutup matanya yang buta.

Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya. Pedih dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.
Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua) ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini. 
Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang mencapai 20-30 bait.

Gitar dari Ayah

Bakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang. Pemberian gitar ayahnya menjadi kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang. Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia menghibur diri dengan bermain gitar.

”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini, mengenang. Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan.

Dari sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab, Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.

Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.

“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.
Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21), Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran 5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.


Sahilin - Ikon Seni Batanghari Sembilan
/Ilham Khoiri / Kompas

Umak-umak belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah malas tiduk dewek.
Lemak pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali lah meluk bantal. 

Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Sumatera Selatan.

Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.

Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian. Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas Palembang.

Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.

Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit, salah satunya Sahilin.

Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan gitarnya yang unik.

Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.

Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai, Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.

"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering terlupa," katanya.

Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.

Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.

Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang, sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap, dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.

Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan mendengar dari sana-sini.

Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang. Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman yang tenar.

Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun. Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.

Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe. Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari sembilan yang telah meninggal.

Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.

Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.

Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.


"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras.

11 March 2009

Latihan Teater di Depan Museum SMB II



Latihan teater yang berlangsung di depan Museum SMB II yang di prakarsai oleh Dewan Kesenian Palembang, termasuk kegiatan rutin walaupun di tengah-tengah sepinya peminat teater dan penonton tetapi semoga konsistensi untuk berlatih tetap ada.

05 December 2008

Tari Tanggai





Tari tanggai yang di tampilkan pada Festival Busana Nusantara 2008 yang di selenggarkan di atrium PS Mal beberapa waktu yang lalu di bawakan oleh gadis-gadis dari sanggar tari, tarian ini di tampilkan sebagai bentuk penghormatan dan bentuk salam selamat datang kepada tamu dan undangan yang hadir.

19 November 2008

Festival Teater Tradisional - Dul Muluk





Seni budaya yang sudah berumur ini tanggal 17-18 kemaren di pentaskan kembali di Atrium PIM dari seluruh kota yang ada di Sumsel ini hanya 10 group teater yang ikut dan yang masih mendominasi adalah Dul Muluk dari kawasan ogan ilir dan sekitarnya yang sekarang ini memang menjadi image Dul Muluk karena seniman dul muluk banyak yang berasal dari sana. Tetapi sangat sulit melihat pertunjukan ini akan berkembang karena generasi muda sendiri enggan untuk belajar dan pada festival ini pun masih di dominasi oleh muka muka lama seperti wak Pet dan Wak Yeng (Anwar), apakah budaya yang indah ini juga akan pupus oleh waktu ?

Tari Beremas




Tarian ini merupakan tarian khas pada saat pembukaan atau pun penutupan dan juga jedah waktu saat pertunjukan Dul Muluk di adakan tarian ini untuk setiap daerah berbeda-beda tergantung dengan gerakan yang sudah di ciptakan dan bahasa juga menggunakan dialek daerah masing-masing, tari beremas ini saya lihat lagi kemaren setelah sekian lama tidak melihatnya saat festival teater tradisional Dul Muluk di atrium PIM 17-18 Nov 2008 yang di ikuti oleh 10 group teater.

10 November 2008

Pagelaran Seni Budaya Kabupaten 4 Lawang





Pagelaran seni budaya yang di selenggarakan di atrium PIM ini pada 8-9 November 2008langsung di buka oleh Bupati 4 lawang yaitu Bpk H Sofyan Jamal dan beberapa unsur pejabat daerah lainya, seperti pagelaran yang sebelumnya di sini banyak di tampilakn tarian dan lagu-lagu yang berasal dari kabupaten 4 lawang.

05 November 2008

Puade




Puade atau pelaminan seperti inilah yang mungkin merupakan Pakem/Standar dari puade Palembang lengkap dengan Payung dan Tombak genderang yang di sertai dengan beberapa aksesoris lainnya, tetapi saat ini puade di tampilkan lebih ringkas dan sederhana walaupun mewah tetapi selama mengikuti acara pernikahan di Palembang belum ada yang menggunakan puade yang lengkap seperti di dalam Museum SMB II.

26 September 2008

Jidur






Musik yang di sebut juga dengan Musik Blass mulai kurang di minat kalah dengan musik-musik saat ini seperti pop atau rock, tetapi masih ada juga yang berminat pada musik ini terutama kalangan tua, kedepan belum tahu nasib musik ini ke depan.

16 September 2008

Wayang Kulit Palembang

Karakter wayang kulit Palembang

Kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatera Selatan, sekarang ini sudah punah karena tidak ada lagi generasi baru yang meneruskannya. Para dalang tua yang menguasai wayang dengan dialog berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi. Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.
Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) R Amin Prabowo mengatakan, generasi muda tidak berminat untuk menekuni seni tradisi wayang Palembang karena dinilai kurang menarik, ketinggalan zaman, tidak menjanjikan penghasilan yang layak, serta kurang diapresiasi publik.
Wayang Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 Masehi, memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa. Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Adapun wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik.
Kondisi wayang Palembang memang hampir mati.Pihaknya akan berusaha melestarikan dengan cara menyelamatkan aset- aset peninggalan wayang itu dalam museum. Jika sudah didukung dalang ahli, wayang tradisional itu akan dihidupkan kembali dengan melakukan pelatihan bagi yang berminat.
Wayang merupakan kekayaan seni tradisi lokal yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2004. tim peneliti UNESCO, Karen Smith (wanita asal Australia menetap di Amerika) dan Yushi Simishu (pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO), berkunjung ke Sanggar Sri Wayang Palembang, pimpinan Agus Amiruddin, di Jl PSI Lautan, RT 10, 16 Ceklatah, 36 Ilir.
Langkanya pendalang yg menyebabkan susah
berkembangnya kesenian wayang kulit Palembang
Sanggar itu sudah menjadi binaan UNESCO satu-satunya di Palembang. Tim UNESCO ke Sanggar Sri Wayang tidak sendirian. Melainkan dibarengi pimpinan Yayasan Senawangi Jakarta Sumari SSn MM, Ketua Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) pusat Eko Cipto SH, Ketua Pepadi Sumsel HR Amin Prabowo SE, Ketua Pepadi Kota Palembang Suparno Wonokromo dan wakil Murdoko Muro Carito, serta Kasubdin Kebudayaan Dinas Pariwisata Kota Palembang, Nurhayati Syafidin.

Pedalang muda dari Sanggar Sri Wayang Palembang, Wirawan (37), anak dari pedalang senior asli Palembang, Rusdi Rasyid (alm), sempat menampilkan lakon sejarah pertarungan antara Pindropuro dengan Citraksi dan Udawa. Juga ada pemain peran (wayang kulit) Jago Arit dan Joko Ketu. Semuanya nama tokoh lokal. (sumber tulisan : Sumeks)

12 September 2008

Kesenian Dul Muluk





Kesenian yang sudah tergerus zaman ini sudah sangat jarang untuk di temukan pementasannya terutama di perkotaan, kesenian yang di perkenalkan oleh Wan Bakar ini minim penerus dan peminat.....akankah terus bertahan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pria bertubuh tegap ini dilahirkan di Kampung Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 68 tahun lalu. Dia merupakan adik kandung seorang aktor Dulmuluk yang sekaligus penggubah cerita Zubaidah Siti, yakni Arjo Kamaluddin. Ujuk Saidi, panggilan akrab Saidi ini, pernah mengecap sekolah rakyat namun tak selesai karena Ujuk Saidi lebih mementingkan bermain Dulmuluk ketimbang sekolah. Bapaknya, Kamaluddin, merupakan perintis Dulmuluk di Sumatera Selatan.

Kamaluddin merupakan murid Wan Bakar. Wan Bakar adalah seorang saudagar keturunan Arab yang mepopulerkan Syair Abdoel Moeloek karya Raja Ali Haji. Dari masa Wan Bakar inilah cikal bakal adanya Teater Tradisional Dulmuluk. Pada awalnya, adalah pembacaan syair yang disebut juga teater mula atau teater tutur.

Pada masa sebelum zaman kesultanan Palembang pembacaan syair sangat disukai masyarakat. Di Palembang dikenal dengan pembacaan syair Abdul Muluk. Ternyata pembacaan syair tersebut sangat digemari oleh masyarakat, karena itu pada tahun 1854 dibentuklah perkumpulan pembacaan syair oleh Wan Bakar di kampung Tangga Takat (16 ulu). Sebagai teater tutur, penyampaiannya dibawakan oleh seorang pembaca di hadapan pendengar atau penontonnya di Rumah Wan Bakar yang berbentuk rumah limas Palembang. Rumah limas ini terdiri drai lantai yang bertingkat yang disebut bengkilas. Antara bengkilas yang satu dengan yang lain dibatasi oleh sekeping papan tebal yang dinamai kekejeng. Pembaca syair duduk pada bengkilas yang lebih tinggi dari pendengar atau penonton.


Sebagai calon aktor Dulmuluk saat Ujuk berusia 7 tahun, maka Ujuk Saidi belajar dari abangnya. Di usia delapan tahun Saidi Kamaluddin bermain Dulmuluk untuk pertama kalinya. Tak tanggung-tanggung dia memerankan tokoh perempuan. Di masa itu memang kaum perempuan agak tabu bermain Dulmuluk, itu sebabnya setiap tokoh perempuan, seperti tokoh Siti Rofiah dimainkan oleh pria. “Saat aku maen pertamokali, aku hanya dibayar selawe rupiah,” kenang Saidi yang pernah mendapat anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2001. Di usianya yang sudah tua ini, Ujuk Saidi bahkan masih terus bermain Dulmuluk ke pelosok-pelosok desa. Kesetiaan Saidi terhadap dunia kesenian tradisional itu menjadikan Asosiasi Tradisi Lisan, sebuah lembaga yang konsern terhadap seni tradisi mengajukan Saidi bersama Sailin untuk menerima penghargaan Maestro dari pemerintah pusat. Bakat besarnya di bidang keaktoran kini diikuti oleh anaknya, yakni Yudhi yang beberapa waktu lalu ikut tampil bersama ayahnya di Gedung Kesenian Jakarta. /apb/

11 September 2008

Bermula dari Syair Raja Ali Haji - Dul Muluk

Dul muluk

Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.

Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, Selasa (28/2), mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.

Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.

Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk sempat menjadi alat propaganda Jepang.

Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu,” kata Anwar Putra Bayu.

Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.

Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.

”Dulmuluk terlambat beradaptasi dengan zaman yang berubah begitu cepat. Hanya bermodalkan cerita yang monoton dan manajemen ala kadarnya, dulmuluk sulit bersaing dengan hiburan modern,” katanya.

Sebenarnya, beberapa kelompok seniman berusaha melestarikan dan membina generasi muda menekuninya. Beberapa acara digelar: festival, pelatihan, siaran di televisi, dan pementasan dulmuluk secara terbuka. Namun, sedikit generasi muda yang tertarik, sedangkan generasi tua terus berkurang.


”Kalau mau bertahan, dulmuluk hendaknya memperbarui diri dengan menciptakan kreasi cerita, pendekatan, dan tema yang lebih sesuai dengan kehidupan sekarang. Pakem lama tidak sakral sehingga bisa diadaptasikan dengan perubahan zaman,” kata Zulkhair Ali, dokter spesialis penyakit dalam di RS Muhammad Hoesin, Palembang. Dokter yang dikenal sebagai ZA Nara Singa ini aktif menghidupkan spirit dulmuluk dalam teater modern pada berbagai pementasan. (ilham khoiri) Kompas