CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.
Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

29 November 2016

Sidang Pleno Pertama DPRD Sumatera Selatan di Gedung Nasional Curup

Sidang DPRD Propinsi Sumatera Selatan yang pertama dilaksanakan di kota Curup tanggal 20-23 Oktober 1948. Pada waktu itu, Curup menjadi ibukota propinsi Sumatera Selatan, karena Palembang dikuasai oleh Belanda
Foto : http://rejanglebong.blogspot.co.id/

Pada tanggal 13 Desember 1948 untuk pertama kalinya dilantik anggota DPRD Tingkat I Sumatera Selatan yang bertempat di Tapak Tuan, yang anggota-anggotanya berasal dari masing-masing sub Provinsi terdahulu. Dengan Undang-Undang No. 24/1956 dibentuklah Provinsi Palembang di bekas Keresidenan Palembang, dengan demikian Provinsi Sumatera Selatan otomatis menjadi tersendiri dari Keresidenan Sumatera Selatan. Sebagai pelaksana Undang-Undang No. 10/1974 dan Undang-Undang tertanggal 15 april 1948 tentang Penetapan Komisariat Pemerintahan Pusat di Sumatera yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 42/1948 maka komisariat ini menjalankan tugas Gubernur Sumatera sehingga tugas-tugas tersebut diserahkan kepada pelaksananya. Komisariat Pusat di Sumatera yang berkedudukan di Palembang dipimpin oleh Ketua DPRD.

Sekertariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekertaris DPRD memegang peranan yang sangat penting dan Strategis karena diangkat dan diberhentikan oleh Keputusan Gubernur atas persetujuan DPRD.dalam alat kelengkapan DPRD, peranan sekertaris DPRD adalah sebagai Sekertaris Badan Musyawarah bukan Anggota, Sekertaris Badan Anggaran Bukan Anggota, Sekertaris Badan Kehormatan bukan anggota dalam hal komunikasi dan Konsultasi Sekertaris DPRD berperan pula untuk berkonsultasi dan komunikasi dalam suatu wahana Forum Komunikasi Pimpinan dan Sekertaris DPRD se-Indonesia dan Forum Komunikasi dan Konsultasi Sekertariat DPRD kabupaten/kota se-Sumatera Selatan. sumber : http://merinaastuti.blogspot.co.id/

17 November 2016

Konflik Elit Politik Kesusltanan Palembang Darussalam Tahun 1803-1821

Lukisan yg menggambarkan perang menteng

PERISTIWA PERANG 1819

Babak I (Perang Menteng)
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali semua koloninya di seberang lautan kepada Belanda (Hanafiah,1989:72). Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall (Mahruf,1999:9). Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badaruddin  II dan Ahmad Najamuddin II. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik tahta kembali. Sementara itu, Ahmad Najamuddin II yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur (PemProv,1986:39).
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas, ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota (Mahruf,1999:13).
Ultimatum Muntinghe untuk menyerahkan Putra Mahkota diikuti dengan mendaratnya pasukan tambahan Belanda dari Batavia sebanyak 209 orang di bawah pimpinan Mayor Tierlam dengan kapal Elizabet. Palembang telah menyiapkan diri dengan memobilisasi persenjataan dan pasukan. Sebanyak 242 puncak artileri yang terdiri dari 105 pucuk meriam dan 139 pucuk lela (meriam kecil) dan rantak siap dibidikkan. Dengan alasan, tidak ada tempat penampungan bagi pasukan Mayor Tierlam di seberang Hulu maka pasukan tersebut ditempatkan di Keraton Lama, bersebelahan dengan Kraton Dalam jantungnya pertahanan Palembang. Membaca situasi ini, maka Sultan Mahmud Badarudin II menggambil taktik segera menyerahkan Putra Mahkotanya, asal pasukan tersebut di tarik dari Keraton Lama pernyataan ini dikeluarkannya tanggal 11 Juni 1819. Kesiagaan Palembang, mencapai puncaknya dilihat penempatan pasukan berserta penanggungjawabnya. Di keraton di setiap sudut (Baluarti) ditentukan orangnya, yaitu Komandan Baluarti sebelah Ilir, adalah Panggeran Karamajaya, sebelah Ulu (Barat) adalah Pangeran Keramadiraja, sedangkan Baluarti sebelah Utara adalah Panggeran Citra Saleh (Hanafiah,1989:75-77).

01 October 2016

Film G30 S-PKI


Sumber : Youtube

Kenapa Film G30SPKI Tidak Tayang Lagi?

Entah sudah berapa tahun Film Penghianatan G30S PKI tidak ditayangkan kembali oleh TVRI. Pada zamannya, film G30S PKI pasti diputar di akhir bulan September. Dan untuk beberapa kesempatan, Saya melihat dan menontonnya di televisi hitam putih milik tetangga. Bahkan murid-murid sekolah sebelah rumah saya tempo doeloe, sempat dianjurkan untuk ikut menonton film Penghianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia itu. Ada juga yang menyebut dengan istilah Gestok atau Gerakan Satu Oktober 1965.

Film-film bernuansa heroisme kepahlawanan perjuangan dan kejuangan lain seperti Serangan Fajar, Janur Kuning, Naga Bonar, Kereta Api Terakhir, Pasukan Berani Mati, Tjut Nya’ Dhien, Soerrabaja 1945, Lebak Membara, Komando Samber Nyawa dan lain sebagainya, juga tidak pernah lagi ditayangkan di TV swasta yang ada di Indonesia, atau ditayangkan, tapi saya ketinggalan menontonnya. Pada momen-momen tertentu, televise swasta lebih sering menayangkan Film Komedi ala Wakop Dono Kasino Indro, atau TPI yang sampai saat ini masih sering sekali menayangkan Film Rhoma Irama.

Setelah melakukan searching secukupnya, ternyata saya juga belum menemukan alasan yang tepat dibalik penghentian penayangan film Penghianatan G30S PKI tersebut. Alasan-alasan yang berserakan tersebut saya kumpukan jadi beberapa alasan berikut ini:
  • Film Penghianatan G30S PKI sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman sekarang. Banyaknya kritik yang masuk –baik dari politisi, sejarawan maupun budayawan— terkait dengan kepentingan politik Rezim Soeharto di balik Film tersebut.
  • Materi dan isi Film Penghianatan G30S PKI sarat dengan nuansa kekerasan. Pengulangan demi pengulangan kekerasan melalui film ini menyebabkan memori masyartakat tidak tersentuh oleh misteri dibalik tragedi G30SPKI, bahkan sampai sekarang
  • Film Penghianatan G30S PKI tidak cukup untuk membangkitkan nasionalisme dan sikap-sikap kejuangan rakyat, karena justeru dijadikan media dan propaganda untuk melestarikan kekuasaan (saat itu) dengan brand image Soeharto
  • Film Penghianatan G30S PKI, baik langsung maupun tidak langsung, justeru bisa dianggap membuka peluang tumbuh berkembangnya ideologi komunis dan bibit bibit komunisme di Indonesia.
  • Film Penghianatan G30S PKI berhenti ditayangkan seiring dengan pamor TVRI yang memudar dan menurun dengan beralihnya pemirsa TV ke chanel-chanel televisi lain yang secara audio visual lebih enak ditonton, meski hanya sekedar menonton sinetron.
Kadang rindu juga untuk melihat kembali film tersebut. Tapi, biarlah, keputusan untuk menghentikan penayangan Film G30SPKI mungkin sudah tepat. Film yang menggambarkan sejarah pertumpahan darah tersebut telah dan akan menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.

#wahw33dblogspot

03 March 2014

Al-Quran Tulisan Tangan di Palembang


Dibuat Demang Jaya Laksana, Gunakan Mesin Batu Dari Singapura

Kitab suci umat muslim, Al-Qur'an ternyata telah dicetak menggunakan mesin sejak 164 tahun lalu di Palembang. Tepatnya tahun 1848, dimotori Demang Jaya Laksana. Satu dari 105 Al-Qur'an yang sempat dicetak pada masa Kolonial Belanda tersebut hingga kini masih disimpan keturunannya, Baba Azim Amin MHum, dosen IAIN Raden Fatah. Lainnya, diyakini telah menyebar di negara-negara Melayu.

Sebelum mengenal mesin cetak, Al-Qur'an selama ini di produksi secara manual.Para khot atau ahli tulis kaligrafi menulis Al-Qur'an menggunakan tangan. Cara seperti ini diyakini membutuhkan waktu cukup lama.

Kelemahan mushaf (Al-Qur'an dengan tulisan tangan, red) lama kelamaan tentu saja tulisannya terus memudar. Sedikit saja terkena air atau berada di tempat lembab, tinta digunakan akan memudar. Ini juga terlihat dari enam mushaf milik Kms Andi Syarifudin, Imam Masjid Agung.

Ketika memperlihatkan mushaf miliknya, didapat secara turun menurun dari leluhurnya, lembaran-lembaran Al-Qur'an terlihat jelas telah memudar. Padahal, dilihat dari ornamennya cukup indah. Ornamennya menggunakan hiasan kembang berwarna emas, sering kita lihat pada hiasan furniture khas Palembang.

Secara umum, umur mushaf disimpan Andi berusia lebih dari 150 tahun. Tertua, bahkan mencapai 250 tahun dengan lempengan emas 18 karat. “Zaman dulu, Al-Qur'an merupakan barang yang sangat berharga. Karena itu, orang dulu memberikan lempengan emas di cover bagian depan serta belakang,” jelasnya.

Pada perkembangannya, jebolan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Raden Fatah angkatan 1990 ini mengatakan, Al-Qur'an kemudian dicetak secara masal. Di Palembang, pencetakan Al-quran pertama kali dilakukan di lorong Jaya Laksana tahun 1848 lalu. Jumlah cetakan Al-Qur'an pertama kali sebanyak 105 buah. “Yang masih menyimpan Al-Qur'an cetakan pertama itu Pak Azim,” tandas Andi.

Baba Azim Amin MHum, dosen IAIN Raden Fatah dimaksud Andi membenarkan cerita tersebut. Ditemui Sumeks Minggu di kediamannya semalam (15/9) di kawasan Lorong Jambangan Darat, Rt 13, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan SU I, Azim mengatakan, dari keterangan dalam Al-Qur'an cetakan pertama yang masih dipegangnya terdapat keterangan jelas. Bahkan, tanggal dibuatnya Al-Qur'an tersebut ditulis dalam lima kalender berbeda. Karena tulisan Al-Qur'an cetakan ini masih sangat jelas, samasekali tidak memudar.

Diterangkan Azim, jika pembuatan Al-Qur'an tersebut merupakan ide dari leluhurnya, Demang Jaya Laksono yang aslinya bernama Baba M Najib bin Demang Wiro Laksono. Lahir tahun 1808, Demang Jaya Laksono sejak berumur 11 tahun telah menjadi anak yatim. Ayahnya Wiro Laksono, ditembak mati penjajah. Pasalnya, Wiro Laksono merupakan seorang petinggi setingkat Menteri dibawah komando Sultan Mahmud Badaruddin (SMB II).

Setelah itu, Jaya Laksono muda dibawa pamannya ke kawasan Tanjung Lubuk, Kabupaten OKI. Saat ia dewasa, ia belajar di Batavia, belajar ilmu pemerintahan serta ilmu agama. Saat usia masih cukup muda, ia kembali ke OKI dan diangkat Demang Jaya oleh Menteri Prabu Anom. Itulah mengapa ia lebih terkenal dengan nama Demang Jaya Laksana.

Tahun 1836, oleh Belanda ia diangkat menjadi Kepala Divisi. Ia kemudian pindah ke Palembang dan membangun rumah limas besar yang kini masih ada di kawasan 3 Ulu, tepatnya di lorong Jaya Laksana. Rumah itupun hingga kini masih berdiri tegak.

Sekitar tahun 1838, ia berkenalan dengan Syeikh M Azhari yang baru saja menimba ilmu di Mekah. Satu orang adiknya, bernama Nona Zaleha kemudian dinikahkannya dengan Syeikh M Azhari. Dari perkenalan inilah, Demang Jaya Laksana memiliki ide untuk mencetak Al-Qur'an secara massal.

“Tujuannya untuk menjaga jati diri bangsa melayu yang mayoritas Islam dari bangsa penjajah,” ungkap Azim Amin.

Syeikh M Azhari sendiri merupakan penulis khot (kaligrafi, red) untuk dicetak. Sedangkan mesin serta tenaga pencetaknya, diyakini Azim didatangkan dari Singapura. Alasannya, pencetak Al-Qur'an bernama Ibrahim Sohib seperti tertera dalam keterangan dalam cetakan Al-Qur'an merupakan murid dari Abdullah bin Abdul Munsyi asal Singapura.

“105 Al-Qur'an itu dicetak di rumah Demang Jaya Laksana di Lorong Jaya Laksana Palembang ini. Tapi mesinnya sekarang tidak ada lagi. Saya yakini, mesin itu dibawa dari Singapura. Atau mungkin disewa. Setelah selesai mencetak Al-Qur'an, mesin dikembalikan,” jelasnya.

Kebanyakan Al-Qur'an yang ada, menurut Azim telah disebar di negara-negara Melayu. Seperti Malaysia, Singapura, Filiphina dan lainnya. Satu tersisa miliknya, didapatnya secara turun menurun. Pasalnya, Azim merupakan keturunan kelima dari Demang Jaya Laksana.

Yang mengejutkan, Azim menyatakan jika cetakan Al-Qur'an pertama di Palembang merupakan cetakan Al-Qur'an pertama di nusantara. Itu diyakininya setelah sempat bertemu dan berdiskusi bersama beberapa kalangan sejarawan dari berbagai pelosok Indonesia.

“Harusnya, Al-Qur'an ini mendapat perhatian dari Kementrian Agama,” tandasnya.(wwn)
Written by: Samuji Selasa, 18 September 2012 12:12 WIB | Sumeks Minggu

04 January 2014

Mengenal Adat Istiadat Palembang - Baso Pelembang Alus/Bebaso

Oleh Kms H Andi Syarifuddin, SAg


SEBAGAI salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri wong kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (bebaso) saat ini sudah hampir punah Untuk itu perlu adanya usaha melestarikan dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, di antaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamus.

Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak sayang, Tak saya maka tak cinta. Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuklah dalam hal bahasa.

Asal Usul
Baso Palembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, Identitas Palembang sebagai korabolasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa laloe adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan:

Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.


Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN hingga tujuh turun lebih.

Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula.

Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH dikirim ke tanah asalh nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.


Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki, Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.


Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negar Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.


Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan Bahasa.


Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).


Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan koleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua.


Seperti dipakai koleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.


Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A di ujung diganti dengan huruf O. Seperti Apa menjadi Apo, nama menjadi namo dan seterusnya, Karena itu orang-orang datangan di Kota Palembang ini mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel. Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya nya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang yang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan bebaso adalah agak lebih sulit dan berbeda sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromo Inggil).
Sekarang ini sudah tidak banyak lagi wong Palembang yang pandai bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa. Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang.


Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun, sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinan terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga enak didengart dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.


Contoh kedua bahasa Palembang, Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
     (Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)



P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
    (O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang).

03 September 2012

Hotel Smit / Hotel Sehati Palembang

Hotel Smit / Hotel Sehati Tahun 1950 Foto : Plamboom.Divise.nl
Hotel yang termasuk berkelas di zamannya ini terletak di kawasan talang semut dimana kebanyakan warga Belanda yang tinggal di sini, dengan mengandalkan kenyamanan dan ketersediaan air panas dan dingin.

13 August 2012

Sekilas Sejarah Perss di Palembang

Harian umum Sumatera Ekspress tahun Maret 1984

TIDAK banyak catatan mengenai sejarah pers di Palembang. Tapi, sangat dipercaya pers di Palembang sudah ada sejak pertengahan abad 19. Buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Kompas, 2002), menyebutkan pada masa kolonial Hindia Belanda di Palembang telah terbit surat kabar Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang, Djambie en Banka pada 1893.

Surat kabar ini disebutkan terbit dua kali dalam sepekan dan diperuntukan kepentingan perusahaan minyak di Palembang. Menurut Tribuana Said dalam bukunya Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (1988, halaman 26) disebutkan pada 1830 adalah seorang pengusaha pribumi pertama di Indonesia yang memiliki mesin cetak. Namanya Kemas Mohammad Asahari. Tapi, berbeda dengan Tirto Hadisoerjo alias Djokomono di Bandung dan Serikat Tapanoeli di Medan, Kemas Mohammad Asahari tidak menerbitkan koran atau surat kabar.

Siapa Kemas Mohammad Asahari? Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, Kemas Mohammad Asahari seorang konglomerat pada masanya. Dia memiliki banyak rumah dan usaha.

Diperkirakan Djohan, Kemas Mohammad Asahari ini menetap di kampung, yang kini disebut kampung 22 Ilir, di Palembang. “Anak-anaknya banyak sekolah hingga ke Belanda. Salah satunya Ali Asahari yang pernah menjadi dosen saya di Universitas Sriwijaya. Dan keluarganya banyak menetap di Bandung,” kata Djohan.
Tribuana Said yang mengutip dari arsip Perpustakaan Nasional, menyebutkan di Palembang pada 1919 telah terbit surat kabar Teradjoe yang diterbitkan Sarekat Islam Palembang.

Lalu, menurut Basilius, dalam artikelnya Media Cetak Jaman Penjajahan, yang dimuat www.forumbebas.com pada 2 Juni 2008, pada tahun 1920-an, di Palembang telah terbit Obor Rakjat, Tjahaya Palembang, dan Pertja Selatan. Dan, masa kejayaan pers di Palembang berlangsung dari tahun 1926 hingga 1939. Kejayaan tersebut dapat diwakili dari surat kabar Pertja Selatan.

Pada 1 Juli 1926 di bawah bendera N.V. Peroesahaan Boemipoetra Palembang terbitlah surat kabar Pertja Selatan.
Pada masthead tercantum KM. Adjir sebagai direktur, dan administrateur (administrasi) Kiagoes Mas’oed. Lalu sebagai redacteur (redaktur) atau penanggung jawab redaksi adalah Raden Mas Ario (R.M.A) Tjondrokoesoemo.

Sejak awal, Pertja Selatan menjadi satu-astunya surat kabar yang beredar di Palembang, yang berani mengkritik pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Wartawan maupun korannya beberapa kali diperingati atau mendapat sanksi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Tjondrokoesoemo, seorang wartawan yang berani, terpaksa diganti oleh Mas Arga, setelah mendapat tekanan dari pemerintahan colonial tersebut.
Pertja Selatan berakhir setelah Jepang masuk ke Indonesia, khususnya di Palembang.Sebab hampir semua surat kabar yang terbit di masa colonial Hindia Belanda diberangus atau dibubarkan oleh Jepang.

Di masa pendudukan Jepang, di Palembang terbit surat kabar Shimbun Palembang. Surat kabar ini tentu saja dibuat untuk kepentingan para Jepang, sehingga selama proses pembuatan, pencetakan, hingga penyebaran di bawah pengawasan para penguasa Jepang.

Nungcik Ar tercatat sebagai pimpinan Shimbun Palembang. Setelah Indonesia merdeka, Nungcik Ar bersama sejumlah wartawan lainnya yang sebelumnya bekerja di Shimbun Palembang menerbitkan Soematra Baroe pada 5 September 1945, kemudian pada Juni 1946 namanya berganti menjadi Obor Rakjat yang salah seorang pemimpin redaksinya Adnan Kapau (AK) Gani, yang kemudian menjadi tokoh PNI, dan menteri dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta di Jakarta (Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, 1988).

Sama seperti Pertja Selatan, surat kabar Obor Rakjat juga dikenal sebagai media yang melawan atau kritis. Para redakturnya pada masa pendudukan Inggris (NICA) di Palembang, beberapa kali dipanggil dan diperingatkan oleh NICA. Bahkan, pada masa Agresi Meliter Belanda I, tahun 1947, kantor Obor Rakjat ditembaki oleh serdadu Belanda.

Meskipun Obor Rakjat berganti nama menjadi Harian Oemoem, dan terakhir menjadi Soeara Rakjat, mereka tetap mendapat tekanan pihak Belanda maupun kaum sparatis proBelanda. Bahkan seorang wartawan Soeara Rakjat yakni Idrus Nawawi ditahan pihak meliter Belanda.

Pasca Agresi Meliter Belanda II, pers di Palembang, seperti juga kondisi umum pers nasional saat itu, mulai melakukan apiliasi dengan organisasi politik, dan tumbuh sesuai aliran atau ideology masing-masing. Sejak itu pula pers di Palembang mengalami polarisasi. Misalnya koran-koran yang diterbitkan kekuatan Masyumi, PKI, dan PNI.
Beberapa surat kabar yang terbit per 15 Juli 1948 di Palembang, antara lain Soeara Rakjat yang terbit harian, Fikiran Rakjat yang terbir tiga kali dalam sepekan, Kesatoean Indonesia dan Soeasana yang terbit mingguan, serta Obor Rakjat yang terbit berkala.
Di akhir tahun 1950-an, terjadi pembreidelan sejumlah surat kabar di Palembang.

Pembridelan ini tentu saja dinilai telah bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Soekarno. Pada 12 April 1959, surat kabar Pembangunan Palembang dibriedel, 29 April 1959 Suara Rakyat Sumatra juga dibriedel dan penahanan terhadap wartawannya Idrus Nawawi. Pada 2 Agutus 1959, Obor Rakjat dibridel. Setahun sebelumnya, di Jakarta, surat kabar Indonesia Raja yang dipimpin Mochtar Lubis juga dibriedel, menyusul pula Pedoman dan Abadi.

Menjelang peristiwa 30 September 1965, wartawan yang dikenal antikomunis yakni B. Yass dan Hamdani Said, yang memimpin surat kabar Batang Hari Sembilan, dipecat sebagai anggota PWI pada 13 Mei 1965. Satu hari setelah peristiwa 30 September 1965, PWI memecat dan membrediel wartawan dan surat kabar yang dinilai terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 atau pada masa Orde Lama berada dalam satu kelompok dengan pihak komunis. Surat kabar yang dibridel atau dilarangan terbit itu adalah Fikiran Rakjat dan Trikora dilarang terhitung sejak 1 Oktober 1965. Beberapa hari kemudian, 23 Oktober 1965, 16 wartawan harian Fikiran Rakjat dipecat oleh PWI. Di antaranya, M Uteh Riza Yahya, H.H. Syamsuddin, R. Abubakar H. R, dan Abdullah Hasan.
Setahun kemudian, suhu politik terus meningkat. Beberapa pendukung Soekarno tetap melakukan perlawanan, Termasuk para wartawannya. Djohan Hanafiah, yang tercatat sebagai wartawan surat kabar Panji Revolusi sempat ditahan, lantaran dirinya dan beberapa wartawan dari media yang berapiliasi ke PNI itu dituduh merusak atau merobek surat kabar yang mendukung Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Tahun 1970-an, surat kabar yang terkait dengan masa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia tampaknya sudah mati. Beberapa surat kabar yang baru muncul, seperti Suara Rakyat Semesta, Sumatera Ekspres, dan Garuda Post.

Digambarkan Soleh Thamrin, pendiri harian Sriwijaya Post atau disingkat namanya menjadi Sripo, campur tangan pemerintah terhadap pers di Indonesia di masa Orde Baru tidaklah berbeda di masa colonial Hindia Belanda, Jepang, maupun Orde Lama. Beberapa pers di nasional merasakan “tangan besi” pemerintahan Soeharto. Misalnya yang dialami harian Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis yang kembali dibridel pada tahun 1974.

Bersama pula dibriedel sejumlah surat kabar seperti Kami, Abadi, The Jakarta Times, dan mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia. Pembriedelan ini terkait masalah Malari (Malapetaka Limabelas Januari).

Pascapembriedelan itu, pers di Indonesia, termasuk di Palembang, seakan “mati”. Banyak surat kabar tidak berani mengkritik secara terbuka kepemimpinan Soeharto. Dapat dikatakan kehidupan pers, seperti hanya melayani kemauan dari pemerintah.
Lebih jauhnya, profesionalitas para wartawan menurun. Mereka yang “frustasi” lantaran kebebasannya tersumbat, akhirnya lebih memilih menjadikan profesi wartawan sebagai alat “pemeras” buat para pejabat atau pengusaha yang bermasalah. Para wartawan ini bekerja sama dengan para pemegang kebijakan atau pemegang hukum dalam menjalankan fungsi negatifnya tersebut. “Masyarakat benar-benar tidak mendapatkan informasi yang benar atau meluas. Mereka seakan hanya boleh membaca informasi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Soleh.

Kondisi tersebut diperparah, banyaknya surat kabar di Palembang, penerbitannya tidak sehat. Dapat dikatakan penerbitan sangat tergantung dari pemasukan dana iklan yang minim, atau adanya bantuan dari pemerintah. Tahun 1980-an akhir hingga 1990-an, muncul sejumlah wartawan muda yang bermimpi ingin melahirkan surat kabar yang benar-benar berfungsi sebagai media massa.

Soleh Thamrin sendiri salah satu wartawan muda di Palembang yang memiliki keinginan tersebut. Dia pun memulai tahun 1986 dengan menerbitkan harian Radar Selatan bersama sejumlah wartawan. Harian ini berusia 11 bulan. Harian Radar Selatan terbit bersama Sumatera Ekspres, Garuda Post, dan Suara Rakyat Semesta, yang lebih dulu terbit di Palembang.

Selanjutnya dengan dukungan teman-teman baru yang dinilai lebih idealis, tahun 1987, Soleh Thamrin menerbitkan surat kabar Sriwijaya Post. Tak lama kemudian, surat kabar ini bekerjasama dengan harian Kompas.

Selama kurun waktu 1980-an akhir hingga awal 1990-an, Sriwijaya Post menjadi satu-satunya harian di Palembang yang paling digemari masyarakat Palembang. Sebab selain berpenampilan bagus dengan kualitas cetak terbaik, pemberitaan di Sriwijaya Post juga lebih kritis, khususnya terhadap sejumlah kebijakan yang dijalankan pemerintah.
Memang, kritik-kritik yang disajikan Sriwijaya Post sedikit lebih elegan atau halus.

Jurnalisme yang dijalankan seperti jurnalisme sastra, yang mana banyak menggunakan narasi, perumpanan dan gambaran, tanpa menggunakan kalimat-kalimat langsung seperti halnya surat kabar di Palembang yang sebelumnya dikenal keras seperti Pertja Selatan atau Obor Rakjat. Di sisi lain, para pimpinan Sriwijaya Post, juga treys melakukan komunikasi dengan oara pejabat sehingga mereka terhindar dari jeratan pembriedelan.
Sepandai-pandainya belut berkelit, akhirnya terkena juga.

Harian Sriwijaya Post digoyang melalui penyusupan ke dalam tubuh perusahaan. Melalui karyawannya isu kritenisasi dan pembagian saham akhirnya membuat harian itu terhenti terbit selama satu tahun lebih. Selanjutnya mereka mencoba bertahan hidup hingga hari ini. Lawannya bukan lagi kekuasaan, tapi kekuatan modal.

Pesaing Sriwijaya Post yakni Sumatera Ekspres yang sebelumnya hidupnya tak menentu, akhirnya mendapatkan nasib baiknya setelah dikelola Harian Media Indonesia, dan kemudian dibeli dan dikelola oleh Jawa Pos.

Setelah Soeharto jatuh, 1998, Sumatera Ekspres dan Jawa Pos banyak melahirkan sejumlah surat kabar baru seperti Palembang Pos, Radar Palembang, Palembang Ekspres, dan Mingguan Monica.

Kejatuhan Soeharto yang disusul bubarnya Departemen Penerangan dan gugurnya SIUPP, memang membuat insan pers di Indonesia seperti mendapatkan durian runtuh. Mereka pun ramai-ramai membuat surat kabar baru. Baik harian, mingguan, tabloid atau majalah.

Di Palembang, juga terjadi booming surat kabar. Sejumlah wartawan yang sudah berpengalaman atau baru, berkolaborasi dengan sejumlah pengusaha kuat atau sedang, membuat sejumlah surat kabar. Surat kabar yang diterbitkan baik berupa harian, mingguan, majalah, tabloid, hingga “tempo terbit, tempo tidak”.

Namun, sejalan dengan persaingan bebas itu, tampaknya yang memiliki modal kuat yang tetap bertahan. Harian yang dikelola Jawa Pos mungkin yang dapat bertahan dengan baik. Sementara harian milik pemodal lemah, seperti yang dibangun wartawan Afdhal Azmi Djambak, sebelumnya bekerja di Sriwijaya Post, yakni Transparan, dapat dikatakan sebagai satu-satunya surat kabar yang lahir setelah Soeharto jatuh yang tetap bertahan.
Kalaupun ada surat kabar baru yang bertahan baik adalah Berita Pagi, sebuah surat kabar yang didirikan oleh Alex Noerdin, kini menjadi gubernur Sumatra Selatan.
Selain persoalan modal, di masa era kebebasan pers ini, ancaman kekerasan terhadap pers datangnya bukan hanya dari pemerintah. Tetapi dari kelompok sipil. Mulai dari preman, sipil bersenjata, organisasi massa, mahasiswa, hingga aktifis LSM.

Sriwijaya Post, Transparan, atau Sumatera Ekspres, pernah merasakan bagaimana kantor mereka diseruduk preman lantaran memberitakan soal perjudian illegal. Sementara di lapangan, juga banyak terjadi aksi kekerasan terhadap wartawan.

Masa reformasi juga melahirkan banyak organisasi wartawan. Bila sebelumnya hanya PWI yang menjadi organisasi wartawan, maka organisasi semacam Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) yang di masa Soeharto disebut sebagai organisasi terlarang mendapatkan pengakuan legalnya. AJI Palembang sendiri berdiri beberapa bulan sebelum Soeharto lengser. Pada saat BJ Habibie menjadi presiden, beberapa organisasi wartawan lainnya lahir, seperti PWI Reformasi, Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJT), dan lainnya.

Di sisi lain, booming surat kabar tersebut menyebabkan profesionalitas wartawannya rendah. Banyak wartawan yang diterjunkan di lapangan, sebelumnya tidak diberikan pelatihan ilmu jurnalistik maupun etika sebagai jurnalis oleh perusahaan tempat wartawan itu bekerja. “Banyak wartawan yang tidak dibekali ilmu jurnalistik dan etika profesi wartawan, sehingga saat di lapangan mereka berperilaku tidak baik, dan tidak mengetahui batasan informasi publik dan privasi sehingga terjadi gesekan antara mereka dengan sumber berita atau masyarakat,” kata Soleh Thamrin.

Memasuki abad millennium ketiga, surat kabar di Palembang bukan hanya menghadapi persaingan modal, ancaman kekerasan, profesionalitas pekerjanya, juga perkembangan teknologi yang menyebabkan persaingan penyediaan informasi kian meningkat.
Keberadaan internet dan televisi, misalnya, menyebabkan surat kabar harus mampu menyajikan berita lebih mendalam dan menarik, sebab media internet atau media online dan televisi telah memberikan penyajian berita secara cepat.

Dari puluhan media massa di Palembang dan sekitarnya, tampaknya hanya Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres yang memanfaatkan secara optimal atau serius. Sriwijaya Post dengan www.sripoku.com dan Sumatera Ekspres dengan situs ww.sumeks.co.id.

Persaingan di dunia internet ini juga tidak gampang. Surat kabar selain mengimbangi media online, juga harus berhadapan dengan weblog atau situs pribadi, serta jejaringan social, yang terkadang memberikan pertukaran informasi antarmasyarakat lebih cepat dari media massa online sekalipun.

Lalu, bagaimana surat kabar di Palembang akan bertahan di masa mendatang? Mungkin terlalu sulit buat menebaknya.

*Taufik Wijaya adalah Kontributor Majalah PANTAU

Sumber tulisan :  oleh taufik wijaya  tavernpalembang.blogspot.com

12 August 2012

Kelenteng 10 Ulu Palembang 1947

Kelenteng Candra Nadi di kawasan 10 Ulu 1947 Foto : palmboom.devise.nl

Klenteng yang dibangun di kawasan 10 Ulu pada tahun 1733, sebagai ganti klenteng di kawasan 7 Ulu yang terbakar setahun sebelumnya itu, menyimpan banyak cerita melalui berbagai masa.

Menurut Princeps, Sekretaris III Yayasan Dewi Pengasih Palembang, selaku pengelola klenteng Chandara Nadi, klenteng itu digunakan umat dari tiga agama dan kepercayaan untuk berdoa. Ketiga agama dan kepercayaan yang diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu.

Memasuki Klenteng Chandra Nadi, aroma hio wangi langsung menusuk ke hidung. Hio-hio itu dipasang di altar Thien. Thien secara harfiah berarti ’langit’. Namun oleh sebagian penganut Konghucu dan Buddha, thien juga disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Melangkah masuk ke dalam, di altar Dewi Maco Po atau penguasa laut (juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut. Di altar Dewi Maco Po sering diadakan upacara Cio Ko untuk meminta izin membuka pintu neraka agar dapat memberi makan kepada arwah yang kelaparan.

Setelah altar Dewi Kwan Im, para pengunjung klenteng dapat melihat altar Sakyamoni Buddha (Sidharta Buddha Gautama), altar Bodhisatva Maitreya (calon Buddha), altar Dewi Kwan Tee (pelindung dharma), altar Dewi Paw Sen Ta Tee atau dewi uang dan pemberi rezeki. Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang atau Dewi Mak Kun Do, altar Giam Lo Ong (raja neraka), dan altar Dewa Toa Pek Kong berbentuk macan. Di bagian belakang klenteng terdapat satu altar yang berisi kumpulan berbagai patung titipan umat dan altar Ju Sin Kong, pelindung Kota Palembang dan diyakini beragama Islam.

Dewi penyembuh

Bagi mereka yang percaya, Dewi Kwan Im di klenteng ini dapat dimintai tolong untuk penyembuhan penyakit. Menurut Princeps, ada seorang umat yang menderita kanker rahang dan berdoa ke Dewi Kwan Im, lalu umat itu minta obat kepada petugas klenteng.

Obat diberikan dengan cara mengocok sekumpulan batang bambu kecil yang diberi nomor. Nomor yang terambil akan ditulis di kertas semacam resep untuk ditukarkan dengan racikan obat di toko obat yang ditunjuk.Menurut Princeps, obat itu ternyata manjur dan mampu menyembuhkan umat yang menderita kanker rahang.

Sementara di altar Dewi Mak Kun Do, biasanya, disinggahi para wanita untuk meminta anak. Riana, warga Kenten, Palembang mengatakan, dia berdoa di altar Mak Kun Do untuk meminta anak laki-laki karena ia sering mendengar banyak doa minta anak dikabulkan.
Salah satu keunikan klenteng itu adalah ramalan nasib. Seperti untuk

mendapatkan kesembuhan, umat perlu bersembahyang lebih dahulu sebelum mengocok ramalan nasib. Ramalan itu terdapat di bambu kecil yang diberi nomor. Setiap nomor yang keluar dari tempatnya, akan diambil dan dicocokkan dengan buku petunjuk ramalan.

”Selain itu Klenteng Chandra Nadi memegang peranan penting dalam berbagai upacara keagamaan masyarakat Tionghoa. Pada zaman para kapitan masih memegang kendali, semua upacara hari raya besar, termasuk Imlek, diadakan di klenteng Chandra Nadi, dan diteruskan ke klenteng di Pulau Kemaro di Sungai Musi,” kata Princeps.

Bahkan, tradisi itu masih tetap diteruskan hingga sekarang. Masyarakat Tionghoa penganut Buddha, Tao, dan Konghucu, terutama yang mempunyai leluhur di Palembang selalu merayakan Imlek di Chandra Nadi dan dilanjutkan ke Pulau Kemaro.

Meskipun tetap berdiri utuh sampai sekarang, keberadaan klenteng Chandra Nadi bukan tanpa gangguan. Menurut Princeps, pada zaman Jepang, dua pesawat Jepang pernah mencoba mengebom klenteng itu karena dianggap sebagai basis gerakan bawah tanah masyarakat Tionghoa. Namun, tidak ada bom yang mengenai sasaran.

Pascatahun 1966, ketika kebencian terhadap masyarakat Tionghoa

memuncak, sepertiga lahan klenteng diambil paksa untuk dijadikan Pasar 10 Ulu. Para pengurus klenteng tidak dapat berbuat apa-apa karena ada tekanan politik masa itu.
Ketika kerusuhan rasial pecah pada tahun 1998, massa juga sudah mulai bergerak untuk membakar klenteng tertua di Palembang itu. Namun, polisi dan masyarakat setempat berhasil menghadang gerakan massa sehingga mereka tidak sempat membakar apa pun.

Klenteng Chandra Nadi tetap terbuka bagi setiap umatnya untuk beribadah. Sayang, jalan masuk ke klenteng itu melalui pasar tradisional yang kumuh dan macet sehingga turis akan kesulitan untuk mendatangi klenteng itu. (sumber:kompas.com/IM)

11 August 2012

Boom 7 Ulu Palembang 1947

Hasil gambar untuk Boom 7 Ulu Palembang 1947
Boom 7 Ulu Palembang 1947 Foto : Plamboom.Divise.NL
Gambar terkait
Boom 7 Ulu Palembang 1947 Foto : Plamboom.Divise.NL
Suasana di lokasi penyebrangan BOOM 7 ulu palembang, tampak banyak kendaraan dan poster bioskop "ELITE" juga menghiasi suasana saat itu.

10 August 2012

Boom 7 Ulu Palembang 1947 1950

Hasil gambar untuk Boom 7 Ulu Palembang 1947
Boom kapal Marrie 7 Ulu Palembang 1947 Foto : Palmboom.Divie.NL
kapal marie kapal penyeberangan yang menghubungkan seberang ulu dan seberang ilir sebelum tahun 1963, foto ini diambil pada tahun 1947.

Foto Boom atau dermaga di kawasan 10 ulu ini sudah tidak ada lagi pada saat ini di karenakan menjadi bagian dari pembangunan jembatan Ampera, pada saat itu kapal marrie merupakan salah satu transportasi penghubung antara seberang ilir dan seberang ulu, jembatan pun yang di miliki baru jembatan Ogan (kertapati) yang di bangun oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Ada dua jenis angkutan yang ada di sungai musi yaitu kapal marrie (perahu roda lambung) dan perahu tambangan, untuk perahu tambangan sendiri hanya bisa mengangkut perorangan dalam jumlah sedikit sedangkan, kapal marrie (kapal roda lambung) bisa mengangkut banyak penumpang berikut kedaraan baik roda 2 maupun roda 4 , seperti kapal feri pada saat ini. Deramaga seperti ini selain di 7 ulu juga terdapat di kawasan 10 Ulu, 16 ulu, di pasar 16 ilir, kertapati dan tangga buntung tetapi seiring perkembangan pembangunan jembatan Ampera maka boom/ dermaga kapal marrie ini juga tidak di gunakan lagi.

Dirangkum dari berbagai sumber