Oleh Kms H Andi Syarifuddin, SAg
SEBAGAI salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati
diri wong kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (bebaso) saat ini sudah
hampir punah Untuk itu perlu adanya usaha melestarikan dan mendokumentasikannya
sebagai wujud kepedulian kita, di antaranya dengan mengadakan kursus atau
menerbitkan buku kamus.
Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak sayang, Tak saya maka tak cinta.
Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu
kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuklah dalam hal
bahasa.
Asal Usul
Baso Palembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu
banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa.
Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, Identitas Palembang
sebagai korabolasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari
sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal,
Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat
dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit,
Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa
laloe adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Dalam
manuskrip sejarah Palembang diceritakan:
Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah
seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing
bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat,
sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia
digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.
Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari
kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka
putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit
Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari
dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama
Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan
oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN
hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit,
bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula.
Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH
dikirim ke tanah asalh nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan
anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat
kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang
diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan
seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar
Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.
Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar
kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang
saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan
Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan
Demak melarikan diri ke Palembang.
Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing
Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat
itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan
Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi
Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki,
Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing
Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin
Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III
Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan
(1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652),
Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin
VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur
(1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I
(1724-1757), dst.
Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan
yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666
memproklamirkan Palembang menjadi negar Kesultanan beliau bergelar Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan
demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan
pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya
Kesultanan Palembang pada tahun 1823.
Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat
kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan
Bahasa.
Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa
dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang
sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan
bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan
Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab
(Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).
Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama merupakan bahasa
sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau
disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan koleh kalangan
terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya
lebih tua.
Seperti dipakai koleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid
kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling
menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.
Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah,
dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari
(pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan
beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A di ujung diganti
dengan huruf O. Seperti Apa menjadi Apo, nama menjadi namo dan seterusnya,
Karena itu orang-orang datangan di Kota Palembang ini mudah sekali mempelajari
dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi
seluruh daerah di Sumbagsel. Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari
itu ada gaya nya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang
yang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan bebaso adalah agak lebih
sulit dan berbeda sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromo Inggil).
Sekarang ini sudah tidak banyak lagi wong Palembang yang pandai
bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan
banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa. Sehingga seolah-olah
sekarang ini bebaso itu hampir hilang.
Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari
kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun,
sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinan
terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga
enak didengart dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan
halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.
Contoh kedua bahasa Palembang, Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
(Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah
Pak Awang?)
P: O, idak jao, parak ruma
aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
(O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak
Awang).
No comments:
Post a Comment