CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

02 December 2010

Srikaya/ Srikayo Palembang

Foto : cookpad.com

Srikayo atau biasa disebut srikaya asli palembang by by oldy. Hijaunya asli dari daun suji dan pandan makanan favorit suami. Cara mengetahui telur 1 gelas caranya dipecahin saja dulu bun satu-satu telurnya. Kalau sudah pas satu gelas, stop. Kalau tanya berapa butir tentunya nggak bisa jawab soalnya ukuran beda-beda. Resep di bawah ya bunda.

Resep Srikaya Asli Palembang

Bahan:
  • 1 gelas telur
  • 1 gelas gula pasir
  • 1 gelas santan
  • Daun suji dan daun pandan secukupnya
    (Iris tipis-tipis campur air sedikit blender, lalu saring ambil airnya)

Cara Membuat Srikaya Asli Palembang

  1. Campur semua bahan diatas, diaduk perlahan sampai tidak bergerindil.
  2. Masukkan ke dalam cetakan, kukus dengan api sedang 10-15 menit.
    (Jangan terlalu lama dikukus).
  3. lebih enak di nikmati dengan ketan..
sumber resep : http://www.resepkafe.com/

03 November 2010

Model Ikan Palembang

Hasil gambar untuk resep model palembang
Model Ikan Palembang

Bahan-bahan untuk 20 porsi
Bahan Model


  1. 500 gram daging ikan tenggiri
  2. 200 gram tepung sagu
  3. 50 gram tepung terigu
  4. 200 ml air
  5. 2 sdm minyak
  6. 5 buah Tahu putih uk 5 cm, belah menjadi 2 segitiga (tahu dapat digoreng dahulu sebentar)

  7. BUMBU :
  8. 5 butir bawang putih halus
  9. 1/2 sdm garam halus, sesuai selera

  10. BAHAN KUAH MODEL :
  11. 250 gram Udang segar
  12. 1 buah Bengkoang ukuran sedang
  13. 100 gram Jamur kuping kering
  14. 100 gr Bunga sedap malam kering
  15. minyak goreng
  16. 2 liter Air
  17. BUMBU KUAH MODEL :
  18. 8 siung Bawang putih
  19. 1/2 sdt Merica bulat
  20. BAHAN PELENGKAP :
  21. sohun
  22. irisan daun seledri
  23. bawang goreng
  24. kecap manis
  25. sambal cabe rawit

Langkah

  1. Campur Daging ikan tenggiri, air, garam aduk rata, masukkan bawang halus, campur rata, Tepung terigu dicampur dengan air panas, aduk rata sampai seperti bubur, sisihkan.Campur bubur tepung terigu dengan daging ikan tenggiri halus hingga rata, masukkan tepung sagu uleni dengan jari jari tangan. Jangan menggunakan telapak tangan saat menguleni. Ambil adonan, isi dengan tahu, sehingga tahu tertutup adonan seluruhnya. Goreng dalam minyak panas hingga Tidak lengket.
  2. Cara membuat kuah Model :Kupas udang segar, cincang dagingnya. Kulitnya direbus ambil airnya saja. Bumbu dihaluskan. Panaskan minyak goreng, tumis bumbu halus hingga harum, masukkan cincangan udang, masak hingga udang matang, tambahkan air rebusan kulit udang, sisihkan.Bengkoang dikupas, cuci, lalu potong bentuk korek api, sisihkan.Jamur kuping kering direndam hingga mekar, cuci, potong sesuai selera, sisihkan. Bunga sedap malam dibuang benang sarinya, diikat, lalu dicuci, sisihkan.Didihkan air, setelah mendidih masukkan bumbu yang sudah ditumis, bengkoang, jamur, bunga sedap malam, pempek isi tahu. Didihkan kembali, masukkan garam dan gula. Jika suka boleh ditambahkan penyedap rasa.Model dinikmati dengan pelengkapnya.
  3. SARAN PENYAJIAN MODEL IKAN ASLI PALEMBANG : Tambahkan pempek tahu yang telah dipotong-potong, lalu siram dengan kuah model, taburi soun, irisan daun seledri, bawang goreng. Jika suka tambahkan kecap manis dan sambal cabe rawit. Enak disantap hangat. 

    sumber resep : https://cookpad.com/

01 October 2010

Resep Cara Membuat Mie Celor 26 Ilir Palembang

Foto : sumsel.tibunews.com
Resep Cara Membuat Mie Celor 26 Ilir Palembang– Kuliner Palembang tidak hanya identik dengan pempeknya saja, salah satunya adalah Mie Celor. Mie Celor ini sendiri mirip seperti mie rebus, akan tetapi kuahnya kental yang merupakan perpaduan antara udang ,santan dan telur. Mie nya berukuran besar dan lurus seperti spaghetti dan disajikan bersama serpihan daging udang, potongan telur rebus dan bawang goreng. Rasanya yang asin dan gurih yang aduhai langsung menyergap disuapan pertama serta aroma udang dan telur begitu terasa.
Rahasia untuk kelezatan Mi Celor ini terletak pada penggunaan udang sebagai pelezat utama kuah nya. Yaitu pada kaldu udang dan daging udang (terutama udang galah atau udang satang) yang di lembutkan sehingga dapat menghasilkan adonan kuah yang lembut, kental, gurih dan memiliki warna agak kemerah mudaan. Nah apakah anda tertarik untuk membuatnya, berikut ini saya akan memberikan bahan dan cara membuat Mie Celor 26 Ilir Palembang yang lezat, sebagai berikut :

Resep Cara Membuat Mie Celor 26 Ilir Palembang

Bahan untuk mie celor Palembang :
  • 300 grm udang, dikupas, sisakan ekor nya lalu kerat punggung nya (ambillah kulitnya untuk kaldu)
  • 100 grm taoge, seduh
  • 3 butir telur, rebus lalu potong-potong
  • 6 batang kucai, iris halus
  • bawang goreng 5 sendok makan
  • 1 sendok teh air jeruk limau
  • 250 grm mei telur, seduh
Bahan untuk kuah mie celor palembang :
  • 1 sendok teh air jeruk limau
  • 2 sendok makan tepung terigu encerkan dengan 50 ml air
  • 2 butir telur, kocok lepas
  • 1250 mli kaldu udang
  • 250 mli santan dari ½ btr kelapa
  • ¼ sendok teh gula pasir
  • ½ sendok teh merica bubuk
  • 1 sendok makan garam
Cara membuat Mie Celor Palembang :
  1. Pertama aduk udang dan air jeruk limau lalu diamkan selama 15 menit.
  2. Didihkan 1500 mli air, masukkan lah kulit udang lalu angkat. Kemudian ukur kaldunya 1250 ml.
  3. Selanjutnya didihkan kaldu udang, tambah kan santan, gula, merica, garam dan udang kupas, lalu rebus sampai matang ( untuk udang bisa utuh, dapat pula dihancurkan dulu dengann dicincang halus, ataupun kombinasi keduanya).
  4. Masukkan juga telur mentah sambil diaduk sampai menjadi berbutir-butir, tambah kan air jeruk limau, aduk hingga matang. Kental kan dengan larutan tepung terigu sambil diaduk hingga meletup-letup.
  5. Yang terakhir sendokkan mie dan juga taoge ke dalam mangkuk, tambah kan potongan telur rebus, siramlah dengan kuah panas, tabur kan kucai dan bawang goreng. Tambahkanlah sambal cabe rawit bila ingin pedas. (untuk khas Palembang, biasanya sambal cabe rawit hijau yg diberi air matang)
  6. Nah Mie Celor 26 Ilir Palembang siap disajikan untuk 4 orang.
Demikian Resep Cara Membuat Mie Celor 26 Ilir Palembang, yang merupakan salah satu makanan khas palembang, resep ini dari kresep.com

07 September 2010

Asal Mula Gelar Kebangsawanan Palembang Darussalam

Masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal berbagai macam gelar kebangsawanan yang diwarisi turun temurun semenjak zaman Indonesia masih berbentuk kerajaan.Beberapa diantaranya adalah gelar yang saat ini masih digunakan oleh para keturunan priyai dari Palembang Darussalam.
Adapun sistem pewarisannya menganut garis patrilineal (ayah/laki-laki). Artinya gelar tersebut hanya boleh diwarisi seseorang jika ayahnya merupakan keturunan dari si pemegang gelar tersebut.

Gelar-gelar yang dipakai adalah sebagai berikut:
•Raden disingkat (R) gelar laki-laki dan Raden Ayu (R.A) gelar wanita.
•Masagus disingkat (Mgs) gelar laki-laki dan Masayu (Msy) gelar wanita.
•Kemas disingkat (Kms) gelar laki-laki dan Nyimas (Nys) gelar wanita.
•Kiagus disingkat (Kgs) gelar laki-laki dan Nyayu (Nya) gelar wanita.

Ditinjau dari beberapa teori-teori yang telah berkembang, maka akan timbul pertanyaan, Sejak Kapan adanya gelar-gelar kebangsawanan Palembang? Siapa yang mempeloporinya? Bagaimana sistem kekerabatannya?

Asal-usul Pemakaian Gelar Palembang

Dari beberapa temuan silsilah serta catatan mengenai sejarah Palembang, maka dapat dilihat bahwa gelar kebangsawan Palembang telah ada sejak masa awal terbentuknya Kerajaan Palembang yang dipakai oleh para Priyai-priyai yang sebagian berasal berasal dari tanah Jawa.

Pada masa awal Kerajaan Palembang, gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede disingkat (Ki Gede). Dalam struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau memiliki asal usul keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai (Nyi). Gede/Ageng artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti bahwa beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam golongan elit bangsawan.

Gelar ini digunakan oleh Ki Gede Ing Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan beserta saudaranya Ki Gede Ing Ilir. Mereka inilah peletak dasar pertama sistem kerajaan Islam Palembang. Sepeninggalnya Ki Gede Ing Suro, tahta kerajaan jatuh kepada keponakannya yang bernama Kemas Anom Dipati Jamaluddin bin Ki Gede Ing Ilir. Pemberian nama Kemas/Ki Mas/Kyai Mas di mulai pada masa ini. Mas berarti Yang Mulia. Seluruh putra-putri Kemas Anom Dipati Jamaluddin diberi nama sesuai dengan nama orang tuanya. Namun ketika Kemas Anom Dipati Jamaluddin naik tahta ia masih diberi gelar mengikuti gelar pamannya yaitu Ki Gede Ing Suro (Mudo) untuk menghormati pamannya tersebut. Inilah masa terakhir digunakannya gelar Ki Gede sebagai gelar pembesar kerajaan.

Kemudian setelah itu Ki Gede Ing Suro (Mudo) atau Kemas Anom Dipati Jamaluddin mewariskan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Kemas Dipati. Namun gelar Kemas untuk penguasa kerajaan Palembang ini pun tidak bertahan terlalu lama. Ketika Palembang mulai berada dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, gelar yang digunakan oleh pewaris tahta kerajaan adalah gelar Pangeran. Gelar Pangeran berarti yang memerintah. Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki dari Raja. Tetapi gelar ini tidak otomatis, artinya gelar hanya diberikan atas perkenan Raja. Oleh karena itu gelar ini sering juga diberikan raja kepada orang yang dikehendakinya. Sementara putra-putra raja yang lain masih tetap diberikan gelar Kemas.

Perlu menjadi catatan, bahwa pada masa itu tradisi pemakaian gelar berdasarkan sistem “Bilateral” yaitu sistem kekerabatan yang memakai salah satu dari dua garis keturunan dari Bapak/Ibu (garis Laki-laki/Wanita) tradisi dan Budaya Jawa.
Perubahan gelar penguasa dan keturunan palembang mulai terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) bin Tumenggung Manco Negaro. Sebagai keturunan dari penguasa Jawa, yaitu Prabu Satmata Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku) ia mulai menggunakan pemberian gelar Raden dan Raden Ayu kepada sebagian putra-putrinya. Apalagi ditunjang pernikahannya dengan keturunan Panembahan Kalinyamat yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Kesultanan Mataram. Meskipun begitu, sebagian putra-putrinya yang lain masih diberikan gelar Kemas maupun Masayu.

Puncaknya perubahan gelar dan struktur kerajaan Palembang terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim (Kemas Hindi). Karena merasa bahwa dukungan dari Kesultanan Mataram sudah mulai berkurang dalam menghadapi serbuan kerajaan lain, maka beliau mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari kekuasaan Kesultanan Mataram serta memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan. Lalu kepada anak-anaknya beliau memberikan gelar Raden dan Raden Ayu. Sedangkan untuk Putra Mahkota gelar yang Tertinggi adalah Pangeran Ratu (Biasanya anak laki-laki tertua dari Sultan). Namun demikian pernah terjadi Sultan memberi gelar anak laki-lakinya yang tertua dengan gelar Pangeran Adipati atau Prabu Anom .

Pangeran Adipati dipakai oleh anak tertua dari Sultan Abdurrahman yang tidak sempat menjadi raja, dan kedudukannya digantikan oleh adiknya Pangeran Aria (Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago) dan pada tahun 1821-1825 pemberian dan pemakaian gelar Prabu Anom dilakukan Oleh Sultan Ahmad Najamuddin II (Husin Dhiauddin). Hal ini dilakukan karena anak laki-laki dari saudaranya yang tertua (anak Sultan Mahmud Badaruddin II) yang masih hidup telah memakai gelar Pangeran Ratu. Gelar Prabu adalah gelar yang diberikan kepada anak laki-laki Sultan ketika sultan sedang berkuasa.

Mengenai pemakaian gelar Ratu, gelar ini biasanya diberikan kepada Putri Raja yang naik tahta atau Permaisuri (Istri raja) yang disebut dengan Panggilan Ratu Agung atau Ratu Sepuh. Selain itu gelar ini juga diberikan kepada keempat isteri pendamping, karena pada umumnya raja memiliki istri lebih dari satu tetapi bukan selir.Selain Ratu Sepuh ratu-ratu yang lain diberi gelar tambahan/memiliki panggilan tersendiri seperti Ratu Gading, Ratu Mas. Ratu Sepuh Asma, Ratu Ulu, Ratu Ilir, dsb).

Selain gelar untuk para pemegang kekuasaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di Palembang juga ada gelar-gelar kebangsawanan lain yang masih menunjukkan hubungan antara pemilik gelar tersebut dengan kalangan penguasa baik melalui hubungan keturunan maupun hubungan saudara.
Diantara gelar tersebut adalah sebagai berikut:
• Masagus disingkat (Mgs) gelar laki-laki dan Masayu (Msy) gelar wanita.
Gelar Masagus (Mgs) berarti berharga banyak. Gelar ini diperkirakan mulai muncul dan dibakukan di zaman kekuasaan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Bahwa apabila para Pangeran atau Raden menikah dgn wanita yang tdk memiliki gelar atau berasal dari golongan rakyat maka anak-anaknya kelak diberikan gelar Masagus dan Masayu.
• Kiagus disingkat (Kgs) gelar laki-laki dan Nyayu (Nya) gelar wanita.
Kiagus asalnya Ki Bagus, singkatan dan Kyai Bagus, sebuah gelaran yang diberikan Sultan Demak pada seorang Ulama asal negeri Arab (keturunan Hadramaut) yang bernama Abdurrohman bin Pangeran Fatahillah. Setelah Kiai Bagus menikah dengan seorang salah seorang keluarga Keraton juga diberi gelar Bodrowongso (ada versi lain Bondowongso) dan isteri Kyai Bagus dipanggil dengan sebuatan Nyai Ayu, disingkat Nyiayu, dan di Palembang sering disebut dengan Nyayu.

Kyai Bagus Abdurrohman ini ditenggarai hijrah ke Palembang pada gelombang kedua setelah rombongan pertama yang dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan. Ia mengabdi menjadi Panglima Pasukan Kerajaan Palembang di masa kekuasaan Pangeran Sedo Ing Kenayan. Ketika terjadi huru hara yang menyebabkan terbunuhnya Pangeran Sedo Ing Kenayan beserta seluruh anggota keluarganya akibat ulah Jaladeri, Kyai Bagus Abdurrohman menjadi pahlawan yang berhasil membalaskan dendam keluarga Kerajaan dengan membunuh Jaladeri.
Sebetulnya pada waktu itu Kyai Bagus Abdurrohman memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa Kerajaan Palembang, mengingat tidak tersisa lagi keturunan dari penguasa sebelumnya. Namun karena ia khawatir bahwa keturunannya kelak akan saling berebut kekuasaan maka tampuk kepemimpinan beliau serahkan kepada saudara misan Pangeran Sedo Ing Kenayan yaitu Pangeran Muhammad Ali (Sedo Ing Pasarean).

Atas dasar jasanya tersebut, lalu diamanahkan oleh penguasa Palembang kepada para keturunannya untuk selalu menghormati keturunan dari Kyai Bagus Abdurrohman dan menganggap mereka sebagai keluarga sendiri.
Dalam catatan yang kami temukan, Kyai Bagus Abdurrohman diketahui memiliki beberapa orang putra, diantaranya adalah:
1. Ki Panggung
2. Ki Mantuk
3. Kiagus Muhammad (Khalifah Gemuk)
4. Kiagus Abdul Ghani
5. Ki Bodrowongso Mudo

Dari catatan tersebut, yang diketahui menurunkan zuriat Kiagus adalah dari jalur Kiagus Muhammad (Khalifah Gemuk). Sementara putra-putra Kyai Bagus Abdurrohman yang lain kami masih belum menemukan catatannya.
Catatan: Ada beberapa tulisan sejarah yang menceritakan bahwa gelar Masagus dan Kemas juga berasal dari jalur keturunan Kyai Bagus Abdurrohman. Tapi dari beberapa naskah catatan yang kami temukan tidak terdapat bukti bahwa ada keturunan Kyai Bagus Abdurrohman yang bergelar Masagus ataupun Kemas.
Kyai Bagus Abdurrohman diketahui juga memiliki kakak kandung yang bernama Kyai Mas Abdul Aziz (Tumenggung Nagawangsa) bin Pangeran Fatahillah. Kelak dari jalur Kyai Mas Abdul Aziz ini juga menurunkan gelar Kemas dan Nyimas di Palembang.

Catatan: Selain gelar Kiagus yang diturunkan dari jalur Kyai Bagus Abdurrohman terdapat juga jalur lain. Silahkan baca artikel saya yang berjudul “Nasab Keluarga Besar Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam”.

Oleh: Megatian Ananda Kemas, S.psi

Sumber: dirangkum dari berbagai sumber

09 August 2010

Perkembangan Benteng Kuto Besak

Kuto Besak adalah pusat Kesultanan Palembang Darussalam.Sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya mnenuju zaman baru di abad ke-19, baik perubahan nilai-nilai tradisional maupun encekamnya doktrin Barat tentang kapitalisrne dan kolonialisme, yang saling bertentangan dan berkepentingan, menjadikan sejarah Kuto Besak mempunyai keunikan sendiri.

Benteng Kuto Besak terletak di belahan sisi utara sungai Musi, pada bidang tanah yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang-Darussalam yang ketiga setelah Kuto Gawang dan Beringin Janggut. Pada saat Kuto Besak dibangun, di sebelah timurnya terdapat bangunan keraton Kuto Lama. Kompleks keraton ini dikelilingi oleh sungai dan parit. Di sebelah selatan terdapat sungai Musi, di sebelah barat mengalir sungai Sekanak, di sebelah utara mengalir sungai Kapuran yang bersambung dengan sungai Sekanak di sisi barat dan sungai Tengkuruk di sisi timur, dan di sebelah timur mengalir sungai Tengkuruk.

Sungai Tengkuruk pada tahun 1928 ditimbun, dan pada saat ini telah menjadi Jl. Jendral Soedirman yang bersambung ke Jembatan Ampera. Pada lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai tersebut, pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-18-20) terdapat bangunan Kuta Lama (Kuta Tengkuruk), Masjid Agung, dan Kuta Besak. Sementara itu, di sisi utara dari Kuto Lama dan Kuto Besak serta di sisi barat Mesjid Agung merupakan tanah kosong (lapangan). Peta situasi ini dapat dilihat pada peta yang dibuat tahun 1811.


Hasil gambar untuk sketsa kota palembang 1811  

Sketsa Kota Palembang tahun 1811 oleh Jaekes. Di sebelah kanan tampak gapura pintu masuk Kuta Lama dan di sebelah kiri gapura pintu masuk Kuta Besak. Di sebelah kanan gapura Kuta Lama tampak bagian puncak menara Masjid Agung

Sebagaimana umumnya kota-kota yang bernuansa Islam, di dekat keraton biasanya terdapat bangunan masjid. Pada keraton di Jawa, di sebelah utara terdapat alun-alun, dan bangunan masjid biasanya terletak di sebelah barat alun-alun. Bangunan keraton menghadap ke arah utara. Di Palembang keadaannya berbeda dengan di Jawa. Bangunan keraton di jaman Kesultanan Palembang dibuat di tepi utara sungai Musi (bangunan keraton menghadap ke selatan), sedangkan bangunan masjid terletak di sebelah timur laut keraton.

Mesjid Agung Palembang pada mulanya disebut Mesjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian mesjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa yang sampai kepada kita, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana mesjid-mesjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.

Bentuk mesjid yang sekarang dikenal dengan nama Mesjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo sebelum membangun Mesjid Agung, beliau membangun keraton Kuta Lama atau dikenal juga Kuta Tengkuruk. Entah pada tahun berapa keraton ini mulai dibangun karena tidak ada data sejarah yang menyebutkan awal pembangunannya. Keberadaan bangunan fisik keraton ini berlangsung hingga tahun 1821. Akibat kekalahan Palembang pada perang besar tahun 1819 dan 1821, bangunan keraton Kuta Lama dihancurkan Belanda.

Hasil gambar untuk Sketsa Masjid Agung Palembang tahun 1848. Sketsa ini dibuat setelah renovasi oleh Belanda pada tahun 1823
Sketsa Masjid Agung Palembang tahun 1848. Sketsa ini dibuat setelah renovasi oleh Belanda pada tahun 1823 (Sumber: Cultureel Indie 1939)
Di atas runtuhan puing keraton dibangun rumah Komisaris (regeering commisaris) Belanda. Bahan bangunannya seperti lantainya diambil dari lantai bekas keraton. Komisaris Belanda yang pertama kali menempati bangunan ini pada tahun 1825 adalah J.L. van Sevenhoven. Pada saat ini bangunan ini telah berubah fungsi menjadi bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Kuto Besak pembangunannya dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 21 Februari 1797. Hingga saat ini belum diketahui arsiteknya karena data tertulis yang sampai kepada kita belum ditemukan. Pemrakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I, tetapi pelaksanaan dan penyelesaian pembangunannya dilakukan oleh Sultan Muhammad Bahauddin. Biaya pembangunannya cukup besar dan harus dikeluarkan
sendiri oleh Sultan dari perbendaharaannya.
 
Lawang Buratan (gerbang sisi barat) Benteng Kuto Besak yang masih tersisa

Foto : gahetna.nl
Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa tinggal satu buah ada di sisi barat. Istana tempat tinggal Sultan yang disebut dalem atau rumah sirah terletak di bagian dalam benteng. Untuk mencapainya harus melalui beberapa pintu lagi. Selain bangunan dalem di dalam lingkungan benteng terdapat bangunan lain, yaitu pemarekan (pendopo), kaputren (tempat putri), segaran (kolam), taman, dan nudan (alun-alun). Di bagian luar dinding Benteng Kuto Besak terdapat bangunan-bangunan lain, misalnya pemarekan (gedung tempat menerima tamu asing), dan pendopo pemarekan. Kedua bangunan ini terletak di sebelah kanan (timur) lawang kuto. Di samping itu ada bangunan lain yang belum diketahui namanya.

Ketika Kesultanan Palembang-Darussalam diperintah oleh Sultan Mahmud Badaruddin II (putra Sultan Muhamad Bahauddin), di Palembang terjadi perang besar melawan Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin II membuktikan ketangguhan kekuatan Benteng Kuto Besak dalam perang Menteng (1819), yaitu sewaktu peluru korvet-korvet armada Belanda tidak dapat menggetarkan dinding-dinding Kuta Besak tersebut. Bukan itu saja, bahkan pada kelanjutan perang ini melalui benteng dan benteng pendukung lain di Pulau Bangka dan Plaju, armada Belanda berhasil dipukul mundur. Pada akhirnya di tahun 1821, setelah dipertahankan mati-matian benteng ini jatuh ke tangan Belanda. Kuta Besak tidak diruntuhkan, tetapi Kuta Lama diratakan dengan tanah untuk dibangun rumah kediaman Komisaris Belanda.

Keadaan Masjid Agung Palembang setelah renovasi tahun 2000. Bentuk asli bangunan masjid masih dipertahankan, tetapi letaknya seolah-olah di bagian belakang masjid kalau dilihat dari arah Jl. Jenderal Soedirman

(Dok. Bambang Budi Utomo)

12 July 2010

Kue Gomak Khas Palembang

Foto : cookpad.com
Ini dia kue kesukaan saya, kue gomak. Bagi anda yang ingin mencari cara membuat kue gomak anda berada di tempat yang tepat karena kali ini kami akan berbagi resep cara membuat kue gomak. Kue gomak adalah kue yang dibuat dari singkong dan di kombinaskian dengan beberapa bahan dan bumbu yang membuatnya enak dan lezat. Berikut ini adalah cara membuat kue gomak.

Bahan
  •         1 kg singkong
  •         2 butir telur
  •         1/2 kaleng susu kental
  •         1 ons gula pasir
  •     1 sendok makan garam
  •          1/4 butir kelapa

Cara membuat
  •  Singkong di kupas, diparut dan diperas untuk dibung airnya.
  •  Kalapa diparut, lalu campurkan dengan parutan dingkong.
  • Kocok telur dan masukkan kedalam adonan tadi, masukkan susu kental dan aduk hingga rata. Buat bulatan bulatan dengan adonan tadi kemudian goreng hingga matang.
  • Demikian tadi resep membuat kue gomak yang enak mudah dan praktis, temukan resep masakan khas daerah, resep kue baik resep kue basah maupun resep kue kering lainnya dengan menuju kategori sesuai dengan anda inginkan.

10 July 2010

Djohan Hanafiah

Djohan Hanafiah dilahirkan di Palembang pada 5 Juni 1939 dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah. Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak remaja Djohan Hanafiah senang berpetualang. Menggunakan kereta api atau kapal laut, Djohan sering mengunjungi banyak tempat di Sumatera dan Jawa. Selama perjalanan itu, dia menikmati segala kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia.

Rasa senangnya akan kebudayaan Indonesia ini dipengaruhi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan di Perguruan Taman Siswa—Djohan Hanafiah sekolah SD, SMP, SMA di Perguruan Taman Siswa. Selain itu, juga didorong pemikiran Bung Karno dan AK Gani mengenai nasionalisme atau Indonesia. Pada zaman revolusi berkisar tahun 1945-1946, Djohan Hanafiah dititipkan ke keluarganya di 26 Ilir, sementara kedua orangtuanya bergerilya ke pedalaman Sumatera Selatan melawan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie).  

Ternyata keluarga yang ditumpangi Djohan Hanafiah ini pro kepada Belanda. Hal ini yang menyebabkan jiwa Djohan saat itu memberontak. Dia banyak bermain di luar rumah. Buat mengekspresikan rasa kecewanya, dia bersama anak-anak lainnya di kampung itu, membuat perang-perang. Djohan selalu menjadi pasukan Indonesia yang berperang melawan Belanda.

Mengapa ada keluarga Djohan Hanafiah yang berpihak Belanda? Menurut Djohan, saat itu kaum ningrat di Palembang lebih setuju bergabung dengan Belanda yang akan membentuk Negara Sumatera Selatan. Kenapa? Sebab selama Belanda berkuasa, kaum ninggrat ini, sebagian hidupnya makmur dan tentram, sebab dilindungi oleh Belanda. Saat itu pula Belanda berjanji akan menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam melalui Negara Sumatra Selatan itu. Jadi menurut Djohan Hanafiah, saat itu konflik terjadi pada wong Palembang (kaum ninggratnya) bukan memilih antara Indonesia dengan Belanda, tapi bergabung ke Indonesia atau menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam.

Saat aktif sebagai mahasiswa Universitas Sriwijaya, Djohan aktif di organisasi pemuda (GMNI) dan wartawan di koran Panji Revolusi. Djohan juga dikenal sebagai wartawan yang garis politiknya ke PNI. Selama itu pula Djohan banyak menulis tentang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Palembang. Saat perploncoan mahasiswa baru Universitas Sriwijaya, tahun 1962, Djohan kali pertama bertemu dengan Taufiq Kiemas, yang kemudian diajaknya bergabung dengan GMNI.

Tugas pertama Taufiq Kiemas yakni mengumpulkan sumbangan dana untuk membiayai fakultas kedokteran Unsri yang baru dibuka. Sejak itu Djohan dan Taufiq terus bersama, baik melakukan diskusi maupun aksi-aksi terkait dengan perjuangan GMNI saat itu. Tetapi, saat itu, Djohan juga banyak menulis soal budaya dan sejarah.

Saat transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, Djohan ditangkap selaku wartawan, dan Taufiq ditangkap selaku aktifis GMNI.

Hampir bersamaan, pada era tahun 1970-an, baik Djohan maupun Taufiq lebih banyak aktif di dunia bisnis. Baru di tahun 1980-an, keduanya kembali terjun ke dunia politik. Bedanya Taufiq di PDI—kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan—dan Djohan di Partai Golkar.

Djohan dikenal sebagai teman dan juga “guru” politik dari Taufiq Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Djohan Hanafiah sering disebut sebagai bapak “penggali sejarah dan budaya Palembang”, sebab dialah sosok yang banyak menulis artikel, buku, serta menjadi narasumber mengenai sejarah dan budaya Palembang.

Salah satu teori Djohan Hanafiah yang sudah diterima di kalangan akademisi yakni soal “Palembang buntung”. Ternyata ujaran “Palembang buntung” itu menunjukkan akar budaya Palembang yang arti negatifnya buntung atau tidak selesai, merupakan perwujudan dari perpaduan dua kebudayaan yakni Melayu dan Jawa, secara kebudayaan wong Palembang itu tidak jelas identitasnya, disebut wong Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan.

Sayang, keinginannya untuk menulis sebuah buku tentang kebudayaan Palembang tersebut terhenti. Ini sebagai akibat situasi politik Indonesia berkisar 1965. Baru setelah sekian puluhan tahun kemudian, tahun 1995, kegelisahannya mengenai “Palembang Buntung” diwujudkan dalam sebuah buku berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta.

Di masa awal rezim Orde Baru, Djohan akhirnya lebih banyak bergelut di dunia bisnis. Dia ingin membangun kekuatan ekonomi. Sebab menurut Djohan masyarakat yang selamat dalam perubahan politik adalah mereka yang sebagian besar memiliki kemampuan atau basis ekonomi yang baik.

Tahun 1967-1971, Djohan Hanafiah menjadi Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya pindah menjadi Sales Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun 1973, lalu membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer VOLKSWAGEN di Palembang hingga tahun 1975. Lalu Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia).

Bisnisnya terus berkembang hingga memimpin sejumlah perusahaan di Palembang. Dan, terakhir dia sebagai Direktur Utama PT.Tejacatur Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun ke politik dan memberikan waktu yang lebih banyak buat melacak dan menggali sejarah dan budaya Palembang. Sejak 1992-1997 Djohan Hanafiah menjadi anggota DPRD Sumatera Selatan, dan kembali terpilih menjadi wakil rakyat sejak 1999-2004.

Beberapa tahun menjelang Soeharto turun, Djohan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja kebudayaan. Dia menulis sejumlah buku sejarah dan budaya, termasuk menjadi tokoh penggerak kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.

Basis ekonomi ini pula yang mendukung suami dari Napisah (almarhum) untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah, baik berupa buku maupun dokumen lainnya. Djohan pun melakukan sejumlah perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, maupun perjalanan ke ke luar negeri seperti Belanda, guna mendapatkan dokumen sejarah budaya Palembang.

Setelah mengundurkan diri sebagai pengusaha, Djohan mulai menerbitkan banyak buku, artikel, esai, mengenai sejarah dan budaya Palembang. Bersamaan dengan itu, pelacakan sejarah atau bukti-bukti baru mengenai sejarah Palembang dan Sumatra Selatan terus diburu mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan ini.

Buah dari totalitasnya ini Djohan Hanafiah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004. Penghargaan juga datang dari Malaysia yakni 3rd Malay and Islamic World Convention di Melaka 2002, oleh Dr.M. Mahatir, Prime Minister Malaysia, serta sejumlah penghargaan lainnya. Dapat dikatakan pelacakan kembali sejarah Palembang yang mulai marak tahun 1980-an akhir, semua bermula dari pembacaan atas buku atau artikel sejarah dan budaya yang ditulis Djohan Hanafiah.

Budayawan dan sejarawan Palembang ini meninggal dunia di RSCM Jakarta, Kamis (15/04/2010) sekitar pukul 01.15, lantaran penyakit jantung koroner setelah sempat dirawat selama 12 hari dan dikebumikan di pemakaman keluarga di TPU Puncaksekuning, Palembang pukul 13.30 siang, setelah sebelumnya disemayamkan di rumah orangtuanya di Jalan Talang Semut Lama nomor 3, Palembang. Meninggalkan seorang putra dan tiga orang putri, Revi Vereyanthi, Resi Stantiawati, Reli Everyanti, dan Mohamad Iksan. Sedangkan istrinya, Hj Nafisah, meninggal tahun 2008 lalu.

Bapak Sejarah dan Budaya Palembang

Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan budaya, buat sebagian besar wong Palembang Djohan Hanafiah adalah “bapak penggali sejarah dan budaya Palembang”. Berbagai seminar dan diskusi, baik lokal, nasional, maupun international dihadiri Djohan Hanafiah. Pemikiran atau informasi sejarah yang diungkapkannya membuat sejumlah intelektual, tokoh masyarakat, maupun pekerja seni di Palembang, terinspirasi menggali dan memperkenalkan kebudayaan Palembang.

Misalnya lahirnya organisasi Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) tahun 1997, sebuah organisasi yang menggali seni, adat-istiadat Palembang. Termasuk pula lahirnya organisasi Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Iskandar dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Lalu, mulai muncul mahasiswa di Palembang yang membuat skripsi mengenai sejarah Palembang, termasuk lahirnya sejumlah doctor yang mengupas sejarah dan budaya Palembang. Sejumlah karya seni pun lahir, yang beranjak dari kebudayaan Palembang, baik sastra, teater, musik, maupun seni lainnya.

Pandangan Djohan Hanafiah mengenai sejarah cukup menarik. “Sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah yang jelek secara moral juga harus ditulis, tidak hanya yang baik-baik. Ini penting, sebab ini akan menentukan sejarah selanjutnya. Sejarah di Indonesia banyak ditulis yang baik-baik saja, sehingga sering berbenturan dengan realitas hari ini. Dampaknya orang ragu menjadikannya sebagai pijakan buat menyusun sejarah ke depan,” katanya.

Bermula dari Perang

Buku pertama yang ditulis Djohan Hanafiah yakni mengenai sejarah peperangan antara VOC dengan Palembang pada 1819-1821. Judulnya “Perang Palembang 1819-1821” yang diterbitkan Pariwisata Jasa Utama tahun 1986.

“Saya menulis soal sejarah perang ini, sebab hanya perang itu yang terus membangun rasa nasionalisme wong Palembang,” kata Djohan Hanafiah.

Buku ini mendapat respon cukup bagus dari masyarakat, terutama kalangan akademisi dan pekerja budaya di Palembang. Hal ini terbukti dari sejumlah diskusi mengenai buku tersebut.

Setahun kemudian, 1987, Djohan Hanafiah menulis buku mengenai sejarah pergolakan di Palembang Lamo atau di Kuto Gawang. Judul bukunya, “Kuto Gawang: Pergolakan Politik dalam Kesultanan Palembang Darussalam” yang juga diterbitkan Pariwisata Jasa Utama. “Dari buku ini saya ingin melacak dari awal soal Kesultanan Palembang Darussalam,” katanya.

Masa produktif Djohan Hanafiah tidak berhenti. Tahun berikutnya dia menulis “Masjid Agung Palembang, Sejarah dan Masa Depannya” yang diterbitkanMasagung Jakarta.
Tahun 1989 ada tiga buku Djohan Hanafiah yang diterbitkan. Yakni “82 Tahun Pemerintah Kota Palembang” dan “Palembang Zaman Bari, Citra Palembang Tempo Doeloe”, yang diterbitkan Humas Pemda Kotamadya Palembang. Lalu buku “Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan” yang diterbitkan Masagung – Jakarta.
Setelah itu Djohan Hanafiah melakukan pelacakan sejarah yang baru. Dia memburu sejumlah data, baik di Palembang, Belanda, maupun daerah lain di nusantara. Dia pun melakukan sejumlah diskusi dengan arkeolog, penliti sejarah, dan para pekerja budaya lainnya.

Tahun 1995, bukunya berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta. Buku ini lebih menyoroti soal identitas budaya wong Palembang, yang biasa disebut “wong buntung”, yakni masyarakat yang tidak memiliki akar budaya yang jelas. Disebut Melayu bukan, disebut Jawa juga bukan. “Buku merupakan cermin kegelisahan saya sejak remaja mengenai identitas wong Palembang. Ya, identitas wong Palembang itu yakni Melayu-Jawa,” katanya.
Dari buku inil Djohan Hanafiah mendapat pengakuan sebagai budayawan dari publik di Palembang, dan kemudian meluas secara nasional maupun international. Djohan dinilai telah mampu merumuskan identitas wong atau masyarakat Palembang yang sebelumnya seakan tidak memiliki identitas atau “buntung”.

Tahun berikutnya, 1996, Pemda Sumatra Selatan menerbitkan buku Djohan Hanafiah mengenai “Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Sumatera Selatan”.
Selanjutnya “Sejarah Perekembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tk II Palembang” (Pemerintah Kotamadya Daerah Tk.II Palembang – 1998.), “Perang Palembang Melawan VOC” (Millenium Publisher Jakarta(cet. Ke 2) – 2002.), “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang” (Pemda Kota Palembang – 2001.), “Perkembangan Kota Palembang dari Wanua Sriwijaya menuju Palembang Modern”.

Karya bersama Bambang Budi Utomo & Prof.Dr.Hasan Muarif Ambari (Pemda Kota Palembang – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan – 2005.), “Sejarah Keraton-keraton Palembang – Kuto Gawang” (Pemerintah Kota Palembang – Dinas Pariwisata & Kebudayaan – 2005.), “Dicari Walikota yang Memenuhi Syarat” (Kerukunan Keluarga Palembang – 2005.), “Perkembangan Palembang dari Wanua sehingga kota Modern” (Pemda Kota Palembang – 2006), “Keraton-Keraton Kota Palembang – Kuto Gawang” (Pemda Kota Palembang 2006).

Selain itu Djohan Hanafiah juga menjadi editor sejumlah buku, seperti “Pasemah Sindang Merdika 1821-1866 (Pustaka Asri, Jakarta -1999), “Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad ke 19, Catatan Perang Pasemah 1866” (Millenium Publisher, Jakara – 2000), ”Kesan-Kesan Dalam Kehidupan dan Berkarya H.M.ALI AMIN, Pengalaman Pegawai Tiga Zaman” (Pemda Propinsi Sumsel, Bengkulu dan Pemda Kota Palembang 1999).

Djohan Hanafiah juga menjadi kontributor sejumlah buku, misalnya artikel berjudul “Sriwijaya di antara Mitos, Legenda dan Sejarah” yang dimuat dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah” (Pemerintah Daerah Propinsi Tk.I Sumatera Selatan – 1993.), lalu artikel “Palembang Masa Pasca Sriwijaya” yang ditulis bersama Bambang Budi Utomo di dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah”. (Pemerintah Daerah tk.I Propinsi Sumatera Selatan – 1993.).

Artikel “Palembang: Aspek Sejarah dan Budaya” di dalam buku “Musi Riverside Tourisme Development” (Penerbit ITB – Bandung, 1999.). Artikel “Pembangunan Sumbagsel: Pandangan Masa Depan dengan Refleksi Saat Ini dan Masa Lampau” di dalam buku “Untukmu Negeriku: Sumbagsel Membangun dan Pengabdian Kodam II/Sriwijaya” (Penerbit Universitas Sriwijaya – Palembang 1998.). Artikel “Pulau Berhala, Orang Kaya Hitam dan Si Gunjai: Suatu Mitos Ideologi dan Politik Jambi” dalam buku “Seminar Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992” (Penerbit Pemda Tk.I Propinsi Jambi – 1992.). Artikel “Perjuangkan, Penuhi dan Isilah” dalam buku buku “20 Tahun HIPMI” (HIPMI Jakarta 1992.).

Selanjutnya artikel “Kebudayaan Daerah Sumatera Selatan dalam Kehidupan Masyarakat Pendukungnya” dalam buku “Kongres Kebudayaan 1991, Laporan Penyelenggaraan, Jakarta 29 Oktober – 3 November 1991” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1992/1993.). Artikel “Kebangkitan Rumpun Melayu, Melalui Upaya Kerjaama Budaya dan Pariwisata” pada buku “Prosiding Lokakarya Dunia Melayu Dunia Islam, Kesatuan dan Perpaduan, Palembang 20-23 Mei 2001.” (Penerbit Unsri Palembang.).

Artikel “Potensi Budaya di Sumatera Selatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” di dalam buku “Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan” (Penerbit Universitas Sriwijaya 2001.). Kemudian artikel “Chengho, Pelayarannya ke Nusantara” (PITI dan Dewan Kesenian 2005), dan artikel “Kesenian di Sumatera Selatan” di dalam buku “Direktori Kesenian Sumatera Selatan” (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prop. Sumatera Selatan 2006.)

Sementara buku yang diterbitkan pihak luar atau asing, buku “Guguk, Lembaga Sosial Ekonomi di Kota Palembang Abad 18 dan 19 dalam Jambatan “, Tijdschrift voor de Geschiedenis van Indonesie, jaargang 7, nummer 2. Amsterdam, 1989.

”Tari Zapin Nusantara: Sejarah Perkembangannya di Palembang dalam buku Zapin Melayu di Nusantara (ed.DR.Moh.Anis MD Nor)” (Penerbit Yayasan Warisan Johor, Johor Malaysia – 2000.). “Adat Perkawinan Palembang dalam Buku Adat Melayu Serumpun, Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” (ed. Prof.Dr.Abdul latif Abubakar). (Penerbit Kerajaan Negeri Melaka, Perbadanan Muzium Melaka, 2001.).

”Kesultanan Palembang Darsussalam dalam buku Kesultanan Melayu Nusantara” (Penerbit Museum Negeri Pahang, Kuantan 2005).

Sejak tahun 1988 hingga saat ini, sekitar 288 artikel sejarah dan budaya karya Djohan Hanafiah yang dipublikasikan di media massa dan jurnal.***
Wallahua’lam

***Referensi:
http://www.beritamusi.com – detikNews – beberapa sumber lainnya

Sumber : https://putrasriwijaya.wordpress.com