Kuto Besak adalah pusat Kesultanan Palembang Darussalam.Sebagai pusat kekuasaan
tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya mnenuju zaman baru
di abad ke-19, baik perubahan nilai-nilai tradisional maupun encekamnya doktrin
Barat tentang kapitalisrne dan kolonialisme, yang saling bertentangan dan
berkepentingan, menjadikan sejarah Kuto Besak mempunyai keunikan sendiri.
Benteng Kuto Besak terletak di belahan sisi utara sungai Musi, pada bidang tanah yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang-Darussalam yang ketiga setelah Kuto Gawang dan Beringin Janggut. Pada saat Kuto Besak dibangun, di sebelah timurnya terdapat bangunan keraton Kuto Lama. Kompleks keraton ini dikelilingi oleh sungai dan parit. Di sebelah selatan terdapat sungai Musi, di sebelah barat mengalir sungai Sekanak, di sebelah utara mengalir sungai Kapuran yang bersambung dengan sungai Sekanak di sisi barat dan sungai Tengkuruk di sisi timur, dan di sebelah timur mengalir sungai Tengkuruk.
Sungai Tengkuruk pada tahun 1928 ditimbun, dan pada saat ini telah menjadi Jl. Jendral Soedirman yang bersambung ke Jembatan Ampera. Pada lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai tersebut, pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-18-20) terdapat bangunan Kuta Lama (Kuta Tengkuruk), Masjid Agung, dan Kuta Besak. Sementara itu, di sisi utara dari Kuto Lama dan Kuto Besak serta di sisi barat Mesjid Agung merupakan tanah kosong (lapangan). Peta situasi ini dapat dilihat pada peta yang dibuat tahun 1811.
Sketsa Kota Palembang tahun
1811 oleh Jaekes. Di sebelah kanan tampak gapura pintu masuk Kuta Lama dan di
sebelah kiri gapura pintu masuk Kuta Besak. Di sebelah kanan gapura Kuta Lama
tampak bagian puncak menara Masjid Agung
Sebagaimana umumnya kota-kota
yang bernuansa Islam, di dekat keraton biasanya terdapat bangunan masjid. Pada
keraton di Jawa, di sebelah utara terdapat alun-alun, dan bangunan masjid
biasanya terletak di sebelah barat alun-alun. Bangunan keraton menghadap ke
arah utara. Di Palembang keadaannya berbeda dengan di Jawa. Bangunan keraton di
jaman Kesultanan Palembang dibuat di tepi utara sungai Musi (bangunan
keraton menghadap ke selatan), sedangkan bangunan masjid terletak di sebelah
timur laut keraton.
Mesjid Agung Palembang pada mulanya disebut Mesjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian mesjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa yang sampai kepada kita, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.
Pada awal pembangunannya
(1738-1748), sebagaimana mesjid-mesjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini
pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan
Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah
di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng
dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara
terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk mesjid yang sekarang dikenal dengan nama Mesjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Bentuk mesjid yang sekarang dikenal dengan nama Mesjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo sebelum membangun Mesjid Agung, beliau membangun keraton Kuta Lama atau dikenal juga Kuta Tengkuruk. Entah pada tahun berapa keraton ini mulai dibangun karena tidak ada data sejarah yang menyebutkan awal pembangunannya. Keberadaan bangunan fisik keraton ini berlangsung hingga tahun 1821. Akibat kekalahan Palembang pada perang besar tahun 1819 dan 1821, bangunan keraton Kuta Lama dihancurkan Belanda.
Sketsa Masjid Agung Palembang tahun 1848. Sketsa ini dibuat setelah renovasi oleh Belanda pada tahun 1823 (Sumber: Cultureel Indie 1939) |
Di atas runtuhan puing keraton
dibangun rumah Komisaris (regeering commisaris) Belanda. Bahan bangunannya
seperti lantainya diambil dari lantai bekas keraton. Komisaris Belanda yang
pertama kali menempati bangunan ini pada tahun 1825 adalah J.L. van Sevenhoven.
Pada saat ini bangunan ini telah berubah fungsi menjadi bangunan Museum Sultan
Mahmud Badaruddin II.
Kuto Besak pembangunannya dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 21 Februari 1797. Hingga saat ini belum diketahui arsiteknya karena data tertulis yang sampai kepada kita belum ditemukan. Pemrakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I, tetapi pelaksanaan dan penyelesaian pembangunannya dilakukan oleh Sultan Muhammad Bahauddin. Biaya pembangunannya cukup besar dan harus dikeluarkansendiri oleh Sultan dari perbendaharaannya.
Lawang Buratan (gerbang sisi
barat) Benteng Kuto Besak yang masih tersisa
Foto : gahetna.nl |
Ketika Kesultanan Palembang-Darussalam diperintah oleh Sultan Mahmud Badaruddin II (putra Sultan Muhamad Bahauddin), di Palembang terjadi perang besar melawan Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin II membuktikan ketangguhan kekuatan Benteng Kuto Besak dalam perang Menteng (1819), yaitu sewaktu peluru korvet-korvet armada Belanda tidak dapat menggetarkan dinding-dinding Kuta Besak tersebut. Bukan itu saja, bahkan pada kelanjutan perang ini melalui benteng dan benteng pendukung lain di Pulau Bangka dan Plaju, armada Belanda berhasil dipukul mundur. Pada akhirnya di tahun 1821, setelah dipertahankan mati-matian benteng ini jatuh ke tangan Belanda. Kuta Besak tidak diruntuhkan, tetapi Kuta Lama diratakan dengan tanah untuk dibangun rumah kediaman Komisaris Belanda.
Keadaan Masjid Agung Palembang
setelah renovasi tahun 2000. Bentuk asli bangunan masjid masih dipertahankan,
tetapi letaknya seolah-olah di bagian belakang masjid kalau dilihat dari arah
Jl. Jenderal Soedirman
(Dok. Bambang Budi Utomo)
No comments:
Post a Comment