CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

23 October 2018

Pesona Puteri "Yang" dari Muntok Isteri Sultan Palembang


Sebagaimana diketahui, dulu, Pulau Bangka Belitung termasuk dalam bagian wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak timah di Pulau Bangka telah di ketahui sekitar abad ke 17, timah menjadi salahsatu andalan sumber kekayaan bagi kesultanan selain lada. Produksi dan eksploitasi tambang timah mengalami peningkatan yang pesat setelah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB l) menggarapnya secara serius dengan mengrekrut dan menambah jumlah tenaga kerja manusia (SDM). Sebagian besar SDM tersebut adalah orang-orang Cina peranakan Siantan dari Kepulauan Natuna-Riau. Jumlah mereka sekitar 1000 orang ditempatkan di Muntok, yang dikenal ahli dalam pertambangan. Komunitas keluarga Cina ini beragama Islam. Setiap kaum prianya bergelar "Abang", sedang perempuannya bergelar "Yang". Puteri Yang ini menjadi salahsatu isteri sultan-sultan Palembang dan mendapat gelar kehormatan 'Masayu Ratu'.

Selain itu, Muntok agaknya merupakan tempat spesial dan mempunyai kenangan tersendiri bagi Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Menurut sejarahnya, baginda sendiri yang memberikan nama untuk tempat tersebut. Waktu itu belum bernama Muntok. Menurut RM Akib, dalam buku Sejarah Melayu Palembang (1929), diceritakan ketika Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo bersama isteri dan pengikutnya kembali dari rihlah ke Siantan menuju Palembang, mereka terlebih dulu singgah di Muntok. Waktu baginda pulang, disebutnya tempat itu "Mantuk", dalam bahasa Palembang asli/bebaso artinya balik atau pulang (Mantuk = Muntok).

Di Pulau Bangka Belitung waktu itu berlaku Undang-Undang Bangka produk yang dirancang dan disusun oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Undang-Undang ini sebetulnya mengacu kepada perundangan yang telah dibentuk dan berlaku sebelumnya di zaman Sunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706) dan mertuanya Bupati Nusantara, penguasa Bangka waktu itu. Memang, setelah Sultan Abdurrahman menikah dengan puteri Bupati Nusantara, Pulau Bangka diwarisi oleh anaknya yang menjadi permaisuri Palembang terutama jika ayahnya wafat. Dengan demikian, Bangka menjadi bagian wilayah kesultanan dan takluk kepada Palembang.

Peraturan Undang-Undang Bangka tersebut menetapkan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Bangka yang meliputi semua aspek, termasuklah di antaranya aturan pemerintahan, para pekerja tambang timah, dan perkawinan. Dari 45 perkara yang tercantum dalam perundangan ini, yang menarik dan paling mendapat perhatian serius ialah masalah perkawinan. Dalam salahsatu pasalnya menetapkan bahwa dilarang keras menikahi puteri Muntok bangsa "Yang" kecuali sultan Palembang.

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, mempersunting puteri Yang Zamiah (Lim Ban Nio) binti Datuk Dalem Abdul Jabar (Lim Piauw Kin) bin Datuk Nandam Abdul Hayat (Lim Tauw Kian) dalam tahun 1715. Begitu pula selanjutnya dengan sultan-sultan Palembang lainnya.

Nampaknya, pesona puteri "Yang" begitu memikat, memiliki karisma dan keistimewaan tersendiri, di antaranya:
- Peranakan Cina muslim asal Siantan, Kepulauan Natuna Riau.
- Zuriat bangsawan/ningrat Melayu.
- Ahli dalam bidang pertambangan timah.
- Membantu perjuangan Sultan Palembang.
- Mendapat gelar kehormatan 'Masayu Ratu'.
- Hingga akhir hayatnya jasadnya dimakamkan bersanding bersama Sultan. 

Adapun Sultan-Sultan Palembang beristerikan puteri "Yang", yaitu:
1. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1757), menikah dengan puteri Yang Zamiah Masayu Ratu binti Datuk Dalem Abdul Jabar bin Datuk Nandam. Menikah tahun 1715, melahirkan putera-puteri: Raden Ayu Jendul, Pangeran Arya Rustam, Pangeran Adipati Banjar Kutama Raden Pelet, RA Fatimah, dan RA Aisyah.

2. Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1757-1776), menikah dengan Yang Mariam Masayu Ratu. Juga memiliki keturunan.

3. Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804), menikah dengan Yang Pipah Masayu Ratu Dalem binti Abang Ismail Temenggung Karto Menggalo.

4. Sultan Mahmud Badaruddin ll (1804-1821), menikah dengan Yang Mas Irah Masayu Ratu Ilir binti Abang Haji Abdullah bin Temenggung Karto Menggalo. Melahirkan: Pangeran Prabu Menggala Umar, Pangeran Prabu Diwangsa Zen, RA Azizah, Raden Masyhur, RA Maryam, Pangeran Idrus, RA Cik, Pangeran Prabu Nata Menggala Alwi, dan RA Alawiyah.

5. Sultan Husin Dhiauddin (w.1825), menikah dengan Masayu Ratu Yang, juga memiliki keturunan.

Pernah terjadi satu kasus yang dialami oleh Pangeran Syarif Muhammad di masa SMB II. Dalam naskah diceritakan, Pangeran Syarif Muhammad yang merasa termasuk bagian dari keluarga kesultanan, rupa-rupanya terpesona akan kemolekan puteri pembesar Muntok bernama Yang Amanda, dan dengan secara diam-diam menikahinya. Setelah beritanya tersebar, 'perkawinan terlarang' ini kemudian diceraikan oleh SMB ll, isterinya di bawa ke Palembang, sedang ia melarikan diri ke Semenanjung Malaya (Kedah-Malaka) karena melanggar adat istiadat dan aturan perjanjian dalam Undang-Undang Bangka tersebut.
Wallahu a'lam

Palembang, 14/10/2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Di sadur dari sebuah halaman facebook Ustadz Kms.H. Andi Syarifuddin

14 October 2018

BUYUT CILIK (CILI) Keramat Guguk Kumpe Berayun

Seorang tokoh kharismatik masa silam yang dikenal oleh masyarakat banyak memiliki karomah, terutama ketika ia telah wafat. Makamnya sering dikunjungi warga.

Nama lengkapnya Kemas Cilik Ibrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Buyut Cili (Cilik/kecil). Ayahnya Pangeran Krama Diraja bin Syekh Kms. Muhammad bin Syekh Kms. Ahmad bin Kms. Abdullah bin Kms. Nuruddin bin Kms. Syahid bin Sunan Kudus.
Sedang ibunya bernama Raden Ayu Krama Diraja binti Sultan Mahmud Badaruddin Ternate (SMB ll).

Putera tunggal dari dua bersaudara, adiknya bernama Nyimas Maimunah menikah dengan Pangeran Nato bin Pangeran Kramo Jayo Perdana Menteri.

Sedangkan Kms. Cilik sendiri menikah dengan Masayu Chodijah binti Mgs.H Abdul Choliq dari guguk Kumpe Berayun. Dari pernikahannya ini beliau mempunyai seorang putera yang diberi nama Kms. Jalal Ismail.

Ayahnya, Pangeran Kramo Dirajo, selain ulama ia juga seorang pembesar keraton, pahlawan, Panglima Perang, Komandan Buluwarti sektor ulu BKB, Komandan Benteng Tambakbaya di Sungai Komering Plaju dengan memegang sejata pusaka Meriam Sri Palembang, Komandan Benteng Pulau Manguntama, Juru bicara (jubir) sekaligus menantu SMB II. Makamnya terletak di ungkonan Gubah Talang Keranggo.

Pun kedua kakek dari sebelah orang tuanya masing-masing, merupakan orang-orang hebat pula. Kakek dari sebelah ayahnya, adalah Syekh Kms. Muhammad (w.1837) bin Kms. Ahmad seorang tokoh ulama besar di Kesultanan Palembang Darussalam, mursyid Tarekat Sammaniyah dan guru utama sekaligus mertua SMB II. Makamnya juga di Talang Keranggo. Sedangkan kakek dari pihak sebelah ibunya adalah Sri Sultan Mahmud Badaruddin bin Sultan Muhammad Bahauddin, Sultan Palembang Darussalam (memerintah: 1803-1821). Dengan demikian beliau adalah cucu SMB II.

Buyut Cili wafat dan dimakamkan di guguk Kumpe Berayun jalan Pulo Palembang. Makamnya ini terletak di atas pulau kecil, sebab daerah tanah wilayah lingkungannya dikelilingi cabang Sungai Kemenduran yang bertemu dengan Sungai Sekanak. Oleh karena itu disebut dengan Pulo (pulau). 

Sedangkan penamaan guguk Kumpe Berayun, Kumpe adalah tumbuhan enceng gondok, sejenis tanaman air yang memenuhi permukaan air seakan berayun-berayun di sungai.

Lingkungan guguk ini berada di belakang Keraton Kuto Besak (BKB) di bagian arah Barat Daya. Di lokasi ini dulu sebagai tempat pemeliharaan kuda serta istal-istalnya. Di lapangan belakang keraton Kuto Besak ini pula Sultan melatih para pasukan berkuda. Daerah ini di masa kolonial disebut Kampung 21 ilir, tapi sekarang masuk dalam bilangan Kampung 22 ilir.

Menurut keterangan manda Mgs. Anwar Ali (75 th), sesepuh guguk Kumpe Berayun, makam Buyut Cili ini diyakini oleh masyarakat memiliki keramat. Di antara kekeramatannya yaitu:
- Burung akan jatuh jika melintas di atas makamnya.
- Waktu air pasang naik makamnya tidak kebanjiran, sedangkan rumah-rumah warga dan sekitarnya kacap terendam air.
- Sewaktu terjadi kebakaran besar, gubah makamnya yang terbuat dari kayu waktu itu tidak terbakar.
- Tanah di makamnya meninggi (tanah mungguk).
- Jika ada orang kencing sembarangan di makamnya, orang tersebut akan jatuh sakit.
- Makam keramatnya sering dikunjungi para peziarah.
- dll.
Wallahu a'lam.

Palembang, 7/10/2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Di sadur dari halaman facebook Ustadz Kms.H. Andi Syarifuddin

05 October 2018

Asal Mula Guguk Talang Ratu

Tipikal keadaan tanah di Palembang setidaknya dikenal dengan 3 sebutan, yaitu: Tanah Endep, Talang, dan Bukit. Tanah endep adalah tempat permukaan tanah yang rendah yang selalu dimasuki air terutama pada waktu air pasang, daerah rendah ini biasa disebut lebak atau rawa-rawa. Talang, ialah tempat yang lebih tinggi dari tanah endep, sulit dimasuki air meskipun hujan sangat lebat. Dengan kondisi tanah yang cukup tinggi, talang sering juga dimanfaatkan untuk saluran penampung air hujan. Oleh karena itu, daerah ini biasanya cocok digunakan sebagai lahan untuk berkebun atau bercocok tanam. Sedangkan Bukit, ialah permukaan tanah yang lebih tinggi lagi dari talang. Di antaranya bukit yang terkenal di Palembang adalah Bukit Siguntang, Bukit Sangkal, dll.

Di Palembang banyak terdapat daerah-daerah atau tempat yang disebut talang, di antaranya: Talang Semut, Talang Keranggo, Talang Jawo, Talang Kelapo, Talang Betutu, Talang Buruk, Talang Jambe, Talang Makrayu, Talang Banten, Talang Ratu, dsb. Salahsatu tanah talang yang terkenal sejak doeloe yaitu Talang Ratu.

Talang Ratu dinisbatkan kepada Sultan Muhammad Mansur bin Sunan Abdurrahman Candi Walang yang bergelar Sultan Ratu (berkuasa: 1706-1714). Diceritakan ketika Sultan Ratu pulang dari sebuah ekspedisi ke Jambi, dalam perjalanannya beliau singgah di suatu lokasi tanah talang. Talang tersebut kemudian oleh Sultan Ratu ditanami pohon-pohon Bidara dan dibuatlah sebuah benuaran. Benuaran merupakan “Kebun Raya” yang di dalamnya banyak terdapat berbagai jenis pohon-pohon rindang dan tanam-tanaman yang menghasilkan beraneka buah-buahan, di antaranya pohon Bidara. Bidara adalah pohon yang terkenal yang banyak sekali manfaat dan khasiatnya dapat menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani.

Talang ini kemudian disebut dengan Talang Ratu sesuai dengan nama Sultan Ratu. Sekarang guguk ini terletak di lingkungan wilayah Palimo (Km. 5). 

Benuaran Talang Ratu ini kemudian diserahkan sebagai pemberian hadiah oleh Sultan Ratu Muhammad Mansur kepada anaknya, Pangeran Cakra Diningrat. Selain itu, Pangeran Cakra Diningrat membuat pula benuaran di dalam batanghari kumbang di area Sungai Kumpi. Dalam manuskrip Palembang disebutkan:

“…Bermula Pangeran Cakra Diningrat putera Sultan Muhammad Mansur ibn Suhunan Abdurrahman, maka Pangeran Cakra Diningrat itulah yang punya benuaran Talang Ratu itu. Sekalian pohon-pohon itu Bidara pemberian Sultan Muhammad Mansur kepada Pangeran Cakra Diningrat. Syahdan, kemudian dari itu maka Pangeran Cakra Diningrat membuat pula benuaran di dalam batanghari kumbang di kiri mudik di dalam Sungai Kumpi….”

Pangeran Cakra Diningrat adalah putera Sultan Ratu Muhammad Mansur Jayo ing Lago bin Sunan Abdurrahman Candi Walang. Ibunya bernama Ratu Mas Pertiwi. Pangeran Cakra Diningrat mempunyai beberapa orang isteri, di antaranya ialah Denayu Cakra Diningrat binti Pangeran Dita Kesuma bin Pangeran Sido ing Rajek. Dari pernikahannya ini mempunyai beberapa orang anak, yaitu: RM. Hasan Seno, RM. Husin, R. Barik, R.A. Suma Sari, R.A. Mariah, Mgs. Rakit, dll.
Wallahu a’lam.#


Plg. 30/9/2018
Kms. H. Andi Syarifuddin

Sumber:
RM. Akib bin R. Idris, Manuskrip Sejarah Keturunan Raja2 Palembang, th 1267H.

Di sadur dari sebuah halaman facebook Ustadz 
Kms. H. Andi Syarifuddin