Djohan Hanafiah dilahirkan di Palembang
pada 5 Juni 1939 dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning
Fatimah. Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak remaja Djohan
Hanafiah senang berpetualang. Menggunakan kereta api atau kapal laut, Djohan
sering mengunjungi banyak tempat di Sumatera dan Jawa. Selama perjalanan itu,
dia menikmati segala kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia.
Rasa senangnya akan kebudayaan Indonesia
ini dipengaruhi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan di
Perguruan Taman Siswa—Djohan Hanafiah sekolah SD, SMP, SMA di Perguruan Taman
Siswa. Selain itu, juga didorong pemikiran Bung Karno dan AK Gani mengenai
nasionalisme atau Indonesia. Pada zaman revolusi berkisar tahun 1945-1946,
Djohan Hanafiah dititipkan ke keluarganya di 26 Ilir, sementara kedua
orangtuanya bergerilya ke pedalaman Sumatera Selatan melawan tentara NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie).
Ternyata keluarga yang ditumpangi Djohan Hanafiah ini pro kepada Belanda. Hal ini yang menyebabkan jiwa Djohan saat itu memberontak. Dia banyak bermain di luar rumah. Buat mengekspresikan rasa kecewanya, dia bersama anak-anak lainnya di kampung itu, membuat perang-perang. Djohan selalu menjadi pasukan Indonesia yang berperang melawan Belanda.
Mengapa ada keluarga Djohan Hanafiah yang
berpihak Belanda? Menurut Djohan, saat itu kaum ningrat di Palembang lebih
setuju bergabung dengan Belanda yang akan membentuk Negara Sumatera Selatan.
Kenapa? Sebab selama Belanda berkuasa, kaum ninggrat ini, sebagian hidupnya
makmur dan tentram, sebab dilindungi oleh Belanda. Saat itu pula Belanda
berjanji akan menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam melalui
Negara Sumatra Selatan itu. Jadi menurut Djohan Hanafiah, saat itu konflik
terjadi pada wong Palembang (kaum ninggratnya) bukan memilih antara Indonesia
dengan Belanda, tapi bergabung ke Indonesia atau menghidupkan kembali
Kesultanan Palembang Darussalam.
Saat aktif sebagai mahasiswa Universitas
Sriwijaya, Djohan aktif di organisasi pemuda (GMNI) dan wartawan di koran Panji
Revolusi. Djohan juga dikenal sebagai wartawan yang garis politiknya ke PNI.
Selama itu pula Djohan banyak menulis tentang kebudayaan Indonesia, khususnya
kebudayaan Palembang. Saat perploncoan mahasiswa baru Universitas Sriwijaya,
tahun 1962, Djohan kali pertama bertemu dengan Taufiq Kiemas, yang kemudian
diajaknya bergabung dengan GMNI.
Tugas pertama Taufiq Kiemas yakni
mengumpulkan sumbangan dana untuk membiayai fakultas kedokteran Unsri yang baru
dibuka. Sejak itu Djohan dan Taufiq terus bersama, baik melakukan diskusi
maupun aksi-aksi terkait dengan perjuangan GMNI saat itu. Tetapi, saat itu,
Djohan juga banyak menulis soal budaya dan sejarah.
Saat transisi pemerintahan Orde Lama ke
Orde Baru, Djohan ditangkap selaku wartawan, dan Taufiq ditangkap selaku
aktifis GMNI.
Hampir bersamaan, pada era tahun 1970-an,
baik Djohan maupun Taufiq lebih banyak aktif di dunia bisnis. Baru di tahun
1980-an, keduanya kembali terjun ke dunia politik. Bedanya Taufiq di
PDI—kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan—dan Djohan di Partai Golkar.
Djohan dikenal sebagai teman dan juga
“guru” politik dari Taufiq Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Djohan
Hanafiah sering disebut sebagai bapak “penggali sejarah dan budaya Palembang”,
sebab dialah sosok yang banyak menulis artikel, buku, serta menjadi narasumber
mengenai sejarah dan budaya Palembang.
Salah satu teori Djohan Hanafiah yang sudah
diterima di kalangan akademisi yakni soal “Palembang buntung”. Ternyata ujaran
“Palembang buntung” itu menunjukkan akar budaya Palembang yang arti negatifnya
buntung atau tidak selesai, merupakan perwujudan dari perpaduan dua kebudayaan
yakni Melayu dan Jawa, secara kebudayaan wong Palembang itu tidak jelas
identitasnya, disebut wong Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan.
Sayang, keinginannya untuk menulis sebuah
buku tentang kebudayaan Palembang tersebut terhenti. Ini sebagai akibat situasi
politik Indonesia berkisar 1965. Baru setelah sekian puluhan tahun kemudian,
tahun 1995, kegelisahannya mengenai “Palembang Buntung” diwujudkan dalam sebuah
buku berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan
Rajagrafindo Persada Jakarta.
Di masa awal rezim Orde Baru, Djohan
akhirnya lebih banyak bergelut di dunia bisnis. Dia ingin membangun kekuatan
ekonomi. Sebab menurut Djohan masyarakat yang selamat dalam perubahan politik
adalah mereka yang sebagian besar memiliki kemampuan atau basis ekonomi yang
baik.
Tahun 1967-1971, Djohan Hanafiah menjadi
Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya pindah menjadi Sales
Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun 1973, lalu
membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer VOLKSWAGEN di
Palembang hingga tahun 1975. Lalu Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI
(Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia).
Bisnisnya terus berkembang hingga
memimpin sejumlah perusahaan di Palembang. Dan, terakhir dia sebagai Direktur
Utama PT.Tejacatur Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun
ke politik dan memberikan waktu yang lebih banyak buat melacak dan menggali
sejarah dan budaya Palembang. Sejak 1992-1997 Djohan Hanafiah menjadi anggota
DPRD Sumatera Selatan, dan kembali terpilih menjadi wakil rakyat sejak
1999-2004.
Beberapa tahun menjelang Soeharto turun,
Djohan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja kebudayaan. Dia menulis
sejumlah buku sejarah dan budaya, termasuk menjadi tokoh penggerak kebudayaan
Melayu di Asia Tenggara.
Basis ekonomi ini pula yang mendukung
suami dari Napisah (almarhum) untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah, baik
berupa buku maupun dokumen lainnya. Djohan pun melakukan sejumlah perjalanan ke
berbagai daerah di Indonesia, maupun perjalanan ke ke luar negeri seperti
Belanda, guna mendapatkan dokumen sejarah budaya Palembang.
Setelah mengundurkan diri sebagai
pengusaha, Djohan mulai menerbitkan banyak buku, artikel, esai, mengenai
sejarah dan budaya Palembang. Bersamaan dengan itu, pelacakan sejarah atau
bukti-bukti baru mengenai sejarah Palembang dan Sumatra Selatan terus diburu
mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan ini.
Buah dari totalitasnya ini Djohan
Hanafiah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Megawati
Soekarnoputri tahun 2004. Penghargaan juga datang dari Malaysia yakni 3rd Malay
and Islamic World Convention di Melaka 2002, oleh Dr.M. Mahatir, Prime Minister
Malaysia, serta sejumlah penghargaan lainnya. Dapat dikatakan pelacakan kembali
sejarah Palembang yang mulai marak tahun 1980-an akhir, semua bermula dari
pembacaan atas buku atau artikel sejarah dan budaya yang ditulis Djohan
Hanafiah.
Budayawan dan sejarawan Palembang ini
meninggal dunia di RSCM Jakarta, Kamis (15/04/2010) sekitar pukul 01.15,
lantaran penyakit jantung koroner setelah sempat dirawat selama 12 hari dan
dikebumikan di pemakaman keluarga di TPU Puncaksekuning, Palembang pukul 13.30
siang, setelah sebelumnya disemayamkan di rumah orangtuanya di Jalan Talang
Semut Lama nomor 3, Palembang. Meninggalkan seorang putra dan tiga orang putri,
Revi Vereyanthi, Resi Stantiawati, Reli Everyanti, dan Mohamad Iksan. Sedangkan
istrinya, Hj Nafisah, meninggal tahun 2008 lalu.
Bapak Sejarah dan Budaya Palembang
Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan budaya, buat sebagian
besar wong Palembang Djohan Hanafiah adalah “bapak penggali sejarah dan budaya
Palembang”. Berbagai seminar dan diskusi, baik lokal, nasional, maupun
international dihadiri Djohan Hanafiah. Pemikiran atau informasi sejarah yang
diungkapkannya membuat sejumlah intelektual, tokoh masyarakat, maupun pekerja
seni di Palembang, terinspirasi menggali dan memperkenalkan kebudayaan
Palembang.
Misalnya lahirnya organisasi Kerukunan
Keluarga Palembang (KKP) tahun 1997, sebuah organisasi yang menggali seni,
adat-istiadat Palembang. Termasuk pula lahirnya organisasi Himpunan Zuriat
Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Iskandar dengan gelar Sultan
Iskandar Mahmud Badaruddin.
Lalu, mulai muncul mahasiswa di Palembang
yang membuat skripsi mengenai sejarah Palembang, termasuk lahirnya sejumlah
doctor yang mengupas sejarah dan budaya Palembang. Sejumlah karya seni pun
lahir, yang beranjak dari kebudayaan Palembang, baik sastra, teater, musik,
maupun seni lainnya.
Pandangan Djohan Hanafiah mengenai
sejarah cukup menarik. “Sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah yang jelek
secara moral juga harus ditulis, tidak hanya yang baik-baik. Ini penting, sebab
ini akan menentukan sejarah selanjutnya. Sejarah di Indonesia banyak ditulis
yang baik-baik saja, sehingga sering berbenturan dengan realitas hari ini.
Dampaknya orang ragu menjadikannya sebagai pijakan buat menyusun sejarah ke
depan,” katanya.
Bermula dari Perang
Buku pertama yang ditulis Djohan Hanafiah
yakni mengenai sejarah peperangan antara VOC dengan Palembang pada 1819-1821.
Judulnya “Perang Palembang 1819-1821” yang diterbitkan Pariwisata Jasa Utama
tahun 1986.
“Saya menulis soal sejarah perang ini,
sebab hanya perang itu yang terus membangun rasa nasionalisme wong Palembang,”
kata Djohan Hanafiah.
Buku ini mendapat respon cukup bagus dari
masyarakat, terutama kalangan akademisi dan pekerja budaya di Palembang. Hal
ini terbukti dari sejumlah diskusi mengenai buku tersebut.
Setahun kemudian, 1987, Djohan Hanafiah
menulis buku mengenai sejarah pergolakan di Palembang Lamo atau di Kuto Gawang.
Judul bukunya, “Kuto Gawang: Pergolakan Politik dalam Kesultanan Palembang
Darussalam” yang juga diterbitkan Pariwisata Jasa Utama. “Dari buku ini saya
ingin melacak dari awal soal Kesultanan Palembang Darussalam,” katanya.
Masa produktif Djohan Hanafiah tidak
berhenti. Tahun berikutnya dia menulis “Masjid Agung Palembang, Sejarah dan
Masa Depannya” yang diterbitkanMasagung Jakarta.
Tahun 1989 ada tiga buku Djohan Hanafiah
yang diterbitkan. Yakni “82 Tahun Pemerintah Kota Palembang” dan “Palembang
Zaman Bari, Citra Palembang Tempo Doeloe”, yang diterbitkan Humas Pemda
Kotamadya Palembang. Lalu buku “Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang
Menegakkan Kemerdekaan” yang diterbitkan Masagung – Jakarta.
Setelah itu Djohan Hanafiah melakukan
pelacakan sejarah yang baru. Dia memburu sejumlah data, baik di Palembang,
Belanda, maupun daerah lain di nusantara. Dia pun melakukan sejumlah diskusi
dengan arkeolog, penliti sejarah, dan para pekerja budaya lainnya.
Tahun 1995, bukunya berjudul “Melayu-Jawa,
Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta.
Buku ini lebih menyoroti soal identitas budaya wong Palembang, yang biasa
disebut “wong buntung”, yakni masyarakat yang tidak memiliki akar budaya yang
jelas. Disebut Melayu bukan, disebut Jawa juga bukan. “Buku merupakan cermin
kegelisahan saya sejak remaja mengenai identitas wong Palembang. Ya, identitas
wong Palembang itu yakni Melayu-Jawa,” katanya.
Dari buku inil Djohan Hanafiah mendapat
pengakuan sebagai budayawan dari publik di Palembang, dan kemudian meluas
secara nasional maupun international. Djohan dinilai telah mampu merumuskan
identitas wong atau masyarakat Palembang yang sebelumnya seakan tidak memiliki
identitas atau “buntung”.
Tahun berikutnya, 1996, Pemda Sumatra
Selatan menerbitkan buku Djohan Hanafiah mengenai “Sejarah Perkembangan
Pemerintahan di Sumatera Selatan”.
Selanjutnya “Sejarah Perekembangan
Pemerintahan Kotamadya Daerah Tk II Palembang” (Pemerintah Kotamadya Daerah Tk.II Palembang
– 1998.), “Perang Palembang Melawan VOC” (Millenium Publisher Jakarta(cet. Ke
2) – 2002.), “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang” (Pemda Kota
Palembang – 2001.), “Perkembangan Kota Palembang dari Wanua Sriwijaya menuju
Palembang Modern”.
Karya bersama Bambang Budi Utomo & Prof.Dr.Hasan Muarif
Ambari (Pemda Kota Palembang – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan – 2005.),
“Sejarah Keraton-keraton Palembang – Kuto Gawang” (Pemerintah Kota Palembang –
Dinas Pariwisata & Kebudayaan – 2005.), “Dicari Walikota yang Memenuhi
Syarat” (Kerukunan Keluarga Palembang – 2005.), “Perkembangan Palembang dari
Wanua sehingga kota Modern” (Pemda Kota Palembang – 2006), “Keraton-Keraton
Kota Palembang – Kuto Gawang” (Pemda Kota Palembang 2006).
Selain itu Djohan Hanafiah juga menjadi
editor sejumlah buku, seperti “Pasemah Sindang Merdika 1821-1866 (Pustaka Asri,
Jakarta -1999), “Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad ke 19, Catatan Perang
Pasemah 1866” (Millenium Publisher, Jakara – 2000), ”Kesan-Kesan Dalam Kehidupan
dan Berkarya H.M.ALI AMIN, Pengalaman Pegawai Tiga Zaman” (Pemda Propinsi
Sumsel, Bengkulu dan Pemda Kota Palembang 1999).
Djohan Hanafiah juga menjadi kontributor
sejumlah buku, misalnya artikel berjudul “Sriwijaya di antara Mitos, Legenda
dan Sejarah” yang dimuat dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan
Sejarah” (Pemerintah Daerah Propinsi Tk.I Sumatera Selatan – 1993.), lalu
artikel “Palembang Masa Pasca Sriwijaya” yang ditulis bersama Bambang Budi
Utomo di dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah”.
(Pemerintah Daerah tk.I Propinsi Sumatera Selatan – 1993.).
Artikel “Palembang: Aspek Sejarah dan
Budaya” di dalam buku “Musi Riverside Tourisme Development” (Penerbit ITB –
Bandung, 1999.). Artikel “Pembangunan Sumbagsel: Pandangan Masa Depan dengan
Refleksi Saat Ini dan Masa Lampau” di dalam buku “Untukmu Negeriku: Sumbagsel
Membangun dan Pengabdian Kodam II/Sriwijaya” (Penerbit Universitas Sriwijaya –
Palembang 1998.). Artikel “Pulau Berhala, Orang Kaya Hitam dan Si Gunjai: Suatu
Mitos Ideologi dan Politik Jambi” dalam buku “Seminar Melayu Kuno Jambi, 7-8
Desember 1992” (Penerbit Pemda Tk.I Propinsi Jambi – 1992.). Artikel
“Perjuangkan, Penuhi dan Isilah” dalam buku buku “20 Tahun HIPMI” (HIPMI
Jakarta 1992.).
Selanjutnya artikel “Kebudayaan Daerah
Sumatera Selatan dalam Kehidupan Masyarakat Pendukungnya” dalam buku “Kongres
Kebudayaan 1991, Laporan Penyelenggaraan, Jakarta 29 Oktober – 3 November 1991”
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1992/1993.). Artikel “Kebangkitan Rumpun
Melayu, Melalui Upaya Kerjaama Budaya dan Pariwisata” pada buku “Prosiding
Lokakarya Dunia Melayu Dunia Islam, Kesatuan dan Perpaduan, Palembang 20-23 Mei
2001.” (Penerbit Unsri Palembang.).
Artikel “Potensi Budaya di Sumatera
Selatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” di dalam buku “Sejarah dan Budaya
Masyarakat Sumatera Selatan” (Penerbit Universitas Sriwijaya 2001.). Kemudian
artikel “Chengho, Pelayarannya ke Nusantara” (PITI dan Dewan Kesenian 2005),
dan artikel “Kesenian di Sumatera Selatan” di dalam buku “Direktori Kesenian
Sumatera Selatan” (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prop. Sumatera
Selatan 2006.)
Sementara buku yang diterbitkan pihak
luar atau asing, buku “Guguk, Lembaga Sosial Ekonomi di Kota Palembang Abad 18
dan 19 dalam Jambatan “, Tijdschrift voor de Geschiedenis van Indonesie,
jaargang 7, nummer 2. Amsterdam, 1989.
”Tari Zapin Nusantara: Sejarah
Perkembangannya di Palembang dalam buku Zapin Melayu di Nusantara (ed.DR.Moh.Anis MD
Nor)” (Penerbit Yayasan Warisan Johor, Johor Malaysia – 2000.). “Adat
Perkawinan Palembang dalam Buku Adat Melayu Serumpun, Adat Bersendi Syarak,
Syarak Bersendi Kitabullah” (ed. Prof.Dr.Abdul latif Abubakar).
(Penerbit Kerajaan Negeri Melaka, Perbadanan Muzium Melaka, 2001.).
”Kesultanan Palembang Darsussalam dalam
buku Kesultanan Melayu Nusantara” (Penerbit Museum Negeri Pahang, Kuantan
2005).
Sejak tahun 1988 hingga saat ini, sekitar
288 artikel sejarah dan budaya karya Djohan Hanafiah yang dipublikasikan di
media massa dan jurnal.***
Wallahua’lam
***Referensi:
http://www.beritamusi.com –
detikNews – beberapa sumber lainnya
Sumber : https://putrasriwijaya.wordpress.com
No comments:
Post a Comment