Sketsa Perang Menteng 1819 sumber : Google |
PERANG
MENTENG
Kemas
Said keluar menyerbu
amat
gembira di dalam kalbu
mati
sepuluh baris seribu
dekat
pintu kota Kemas nan rubuh
Datanglah
satu opsir mendekati
membedil
Kemas tiada berhenti
pelurunya
datang menuju hati
di
sanalah tempat Kemas nan mati
PETIKAN
tersebut adalah bagian dari Syair Perang Menteng. Syair sepanjang 260 bait itu,
menurut Muhammad Akib dalam Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II
(1979), ditulis oleh RM Rasip, juru tulis pribadi Sultan Mahmud Badaruddin II,
dalam bahasa Arab Melayu, seusai Perang Menteng tahun 1819.
Perang
Menteng adalah istilah setempat untuk menamai perang yang terjadi antara
pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II dan pasukan Komisaris Edelheer Muntinghe.
Djohan
Hanafiah dalam Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan
(1989) menyebutkan, babak pertama pertempuran yang terjadi 12-15 Juni 1819
dimenangi secara gemilang oleh Palembang.
Belanda
kembali menggempur Palembang dengan kekuatan berganda, yang
dipimpin langsung Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda JC Wolterbeek pada
21-30 Oktober 1819.
Akan
tetapi, dalam kurun waktu empat bulan, Palembang bersiap dengan baik dan
menewaskan 259 tentara dari 1.130 personel Wolterbeek serta ratusan lainnya
luka-luka. Untuk kedua kalinya pada tahun itu Belanda kalah telak di Palembang.
Syair
Perang Menteng menyebutkan banyak nama tokoh, ulama, bangsawan, dan pemuka dari
berbagai kalangan masyarakat yang turut berperan dalam pertempuran itu.
Persenjataan dan posisi pertahanan pasukan kesultanan juga digambarkan. Suasana
benteng Kuto Besak, benteng pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II, terkesan
"hidup" dalam syair tersebut.
Hingga
saat ini, tembok benteng Kuto Besak tersisa di jantung Kota Palembang. Tembok
benteng setebal dua meter itu terbukti tidak dapat ditembus peluru meriam
Belanda.
Kuto
Besak pada masa kini merupakan gambaran bagaimana masyarakat dan pemerintah di
daerah ini memperlakukan warisan budaya dan sejarah.
KUTO
Besak adalah pusat pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini
berdiri pada abad ke-17 hingga 19. Wilayah kekuasaan Palembang pada masa itu
meliputi kawasan "batanghari sembilan", yakni Sumatera Selatan,
Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Jambi, Lampung, dan Bengkulu.
Selama
dua abad masa kesultanan, keraton sultan berpindah beberapa kali. Kesultanan
mula-mula berpusat di kawasan Plaju, dinamai Kuto Gawang. Djohan Hanafiah
menjelaskan Kuto Gawang sebagai kota yang dilindungi pagar dinding
berstruktur kayu.
Perlawanan
Palembang kepada VOC atas kecurangan perusahaan dagang Belanda itu dalam
perdagangan timah dan lada berujung pada pengusiran dan pembongkaran loji
Belanda di Sungai Aur atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun
1811. Perlawanan itu berujung pada penyerangan keraton.
Pusat
kesultanan pun dipindahkan lebih ke arah hulu, antara Sungai Tengkuruk dan
Sungai Rendang. Kawasan ini kini dikenal sebagai Beringin Janggut. Namun, jejak
keraton di kawasan ini belum banyak ditemukan. Beringin Janggut hanya tersisa
pada nama jalan di kawasan tersebut.
Bangunan
batu pertama kali digunakan pada Keraton Kuto Lamo yang berada di tepi Sungai Musi.
Keraton ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo pada tahun
1737. Pada saat yang hampir bersamaan Jayo Wikramo memulai pembangunan Masjid
Agung Palembang. Pembangunan masjid sultan ini selesai pada tahun 1748.
Hingga
saat ini, Masjid Agung Palembang menjadi landmark kota ini.
Perluasan dan renovasi terus dilakukan. Terakhir, perluasan masjid sekaligus
untuk memulihkan bagian-bagian asli dari masjid ini, yang diselesaikan Juni
2003, dan diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kuto
Lamo bukan keraton terakhir Kesultanan Palembang. Pada tahun 1780 Sultan Mahmud
Bahauddin, cucu Jayo Wikramo, mendirikan keraton baru yang dikenal sebagai Kuto
Besak. Keraton baru ini dibangun berdampingan dengan Kuto Lamo.
Menurut
Retno Purwanti, peneliti pada Balai Arkeologi Palembang, pembangunan Kuto Besak
lebih dimaksudkan sebagai perluasan keraton. Pembangunan keraton yang sekaligus
menjadi benteng pertahanan terkuat ini memakan waktu 17 tahun.
Setelah
Kuto Besak selesai dibangun tahun 1797, sultan menempati keraton ini, sedangkan
putra mahkota menempati Kuto Lamo. Namun, pada masa kepemimpinan putra
Bahauddin, Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821), dua keraton ini tidak lagi
seiring sejalan. Kuto Lamo bahkan menjadi kantong pertahanan Muntinghe sebelum
diusir oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada Perang Menteng tahun 1819.
Kuto
Besak bagaikan dibangun di atas "pulau". Keraton ini menghadap ke
Sungai Musi yang berada di sisi selatan. Sungai Sekanak membatasi bagian barat,
bagian timur dibatasi Sungai Tengkuruk, dan bagian utara dibatasi Sungai
Kapuran.
Kecuali
Sungai Musi, tiga sungai yang lain ditimbun menjadi jalan pada masa penjajahan
Belanda. Nama sungai-sungai itu pun kini hanya tersisa menjadi nama jalan di
lokasi itu.
Kesultanan
Palembang mulai runtuh pada tahun 1821, setelah pasukan Belanda di bawah
pimpinan Jenderal deKock akhirnya dapat "membayar" kekalahan mereka
terhadap kesultanan itu, dua tahun sebelumnya.
No comments:
Post a Comment