Kelenteng Candra Nadi di kawasan 10 Ulu 1947 Foto : palmboom.devise.nl |
Klenteng yang dibangun di kawasan 10 Ulu pada tahun 1733, sebagai
ganti klenteng di kawasan 7 Ulu yang terbakar setahun sebelumnya itu, menyimpan
banyak cerita melalui berbagai masa.
Menurut Princeps, Sekretaris III Yayasan Dewi Pengasih Palembang,
selaku pengelola klenteng Chandara Nadi, klenteng itu digunakan umat dari tiga
agama dan kepercayaan untuk berdoa. Ketiga agama dan kepercayaan yang
diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu.
Memasuki Klenteng Chandra Nadi, aroma hio wangi langsung menusuk ke
hidung. Hio-hio itu dipasang di altar Thien. Thien secara harfiah berarti
’langit’. Namun oleh sebagian penganut Konghucu dan Buddha, thien juga disebut
sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Melangkah masuk ke dalam, di altar Dewi Maco Po atau penguasa laut
(juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan
Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut. Di altar
Dewi Maco Po sering diadakan upacara Cio Ko untuk meminta izin membuka pintu
neraka agar dapat memberi makan kepada arwah yang kelaparan.
Setelah altar Dewi Kwan Im, para pengunjung klenteng dapat melihat
altar Sakyamoni Buddha (Sidharta Buddha Gautama), altar Bodhisatva Maitreya
(calon Buddha), altar Dewi Kwan Tee (pelindung dharma), altar Dewi Paw Sen Ta
Tee atau dewi uang dan pemberi rezeki. Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang
atau Dewi Mak Kun Do, altar Giam Lo Ong (raja neraka), dan altar Dewa Toa Pek
Kong berbentuk macan. Di bagian belakang klenteng terdapat satu altar yang
berisi kumpulan berbagai patung titipan umat dan altar Ju Sin Kong, pelindung
Kota Palembang dan diyakini beragama Islam.
Dewi penyembuh
Bagi mereka yang percaya, Dewi Kwan Im di klenteng ini dapat
dimintai tolong untuk penyembuhan penyakit. Menurut Princeps, ada seorang umat
yang menderita kanker rahang dan berdoa ke Dewi Kwan Im, lalu umat itu minta
obat kepada petugas klenteng.
Obat diberikan dengan cara mengocok sekumpulan batang bambu kecil
yang diberi nomor. Nomor yang terambil akan ditulis di kertas semacam resep
untuk ditukarkan dengan racikan obat di toko obat yang ditunjuk.Menurut
Princeps, obat itu ternyata manjur dan mampu menyembuhkan umat yang menderita
kanker rahang.
Sementara di altar Dewi Mak Kun Do, biasanya, disinggahi para
wanita untuk meminta anak. Riana, warga Kenten, Palembang mengatakan, dia
berdoa di altar Mak Kun Do untuk meminta anak laki-laki karena ia sering
mendengar banyak doa minta anak dikabulkan.
Salah satu keunikan klenteng itu adalah ramalan nasib. Seperti
untuk
mendapatkan kesembuhan, umat perlu bersembahyang lebih dahulu
sebelum mengocok ramalan nasib. Ramalan itu terdapat di bambu kecil yang diberi
nomor. Setiap nomor yang keluar dari tempatnya, akan diambil dan dicocokkan
dengan buku petunjuk ramalan.
”Selain itu Klenteng Chandra Nadi memegang peranan penting dalam
berbagai upacara keagamaan masyarakat Tionghoa. Pada zaman para kapitan masih
memegang kendali, semua upacara hari raya besar, termasuk Imlek, diadakan di
klenteng Chandra Nadi, dan diteruskan ke klenteng di Pulau Kemaro di Sungai
Musi,” kata Princeps.
Bahkan, tradisi itu masih tetap diteruskan hingga sekarang.
Masyarakat Tionghoa penganut Buddha, Tao, dan Konghucu, terutama yang mempunyai
leluhur di Palembang selalu merayakan Imlek di Chandra Nadi dan dilanjutkan ke
Pulau Kemaro.
Meskipun tetap berdiri utuh sampai sekarang, keberadaan klenteng
Chandra Nadi bukan tanpa gangguan. Menurut Princeps, pada zaman Jepang, dua
pesawat Jepang pernah mencoba mengebom klenteng itu karena dianggap sebagai
basis gerakan bawah tanah masyarakat Tionghoa. Namun, tidak ada bom yang
mengenai sasaran.
Pascatahun 1966, ketika kebencian terhadap masyarakat Tionghoa
memuncak, sepertiga lahan klenteng diambil paksa untuk dijadikan
Pasar 10 Ulu. Para pengurus klenteng tidak dapat berbuat apa-apa karena ada tekanan
politik masa itu.
Ketika kerusuhan rasial pecah pada tahun 1998, massa juga sudah
mulai bergerak untuk membakar klenteng tertua di Palembang itu. Namun, polisi
dan masyarakat setempat berhasil menghadang gerakan massa sehingga mereka tidak
sempat membakar apa pun.
Klenteng Chandra Nadi tetap terbuka
bagi setiap umatnya untuk beribadah. Sayang, jalan masuk ke klenteng itu
melalui pasar tradisional yang kumuh dan macet sehingga turis akan kesulitan
untuk mendatangi klenteng itu. (sumber:kompas.com/IM)
No comments:
Post a Comment