CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

17 November 2016

Konflik Elit Politik Kesusltanan Palembang Darussalam Tahun 1803-1821

Lukisan yg menggambarkan perang menteng

PERISTIWA PERANG 1819

Babak I (Perang Menteng)
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali semua koloninya di seberang lautan kepada Belanda (Hanafiah,1989:72). Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall (Mahruf,1999:9). Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badaruddin  II dan Ahmad Najamuddin II. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik tahta kembali. Sementara itu, Ahmad Najamuddin II yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur (PemProv,1986:39).
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas, ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota (Mahruf,1999:13).
Ultimatum Muntinghe untuk menyerahkan Putra Mahkota diikuti dengan mendaratnya pasukan tambahan Belanda dari Batavia sebanyak 209 orang di bawah pimpinan Mayor Tierlam dengan kapal Elizabet. Palembang telah menyiapkan diri dengan memobilisasi persenjataan dan pasukan. Sebanyak 242 puncak artileri yang terdiri dari 105 pucuk meriam dan 139 pucuk lela (meriam kecil) dan rantak siap dibidikkan. Dengan alasan, tidak ada tempat penampungan bagi pasukan Mayor Tierlam di seberang Hulu maka pasukan tersebut ditempatkan di Keraton Lama, bersebelahan dengan Kraton Dalam jantungnya pertahanan Palembang. Membaca situasi ini, maka Sultan Mahmud Badarudin II menggambil taktik segera menyerahkan Putra Mahkotanya, asal pasukan tersebut di tarik dari Keraton Lama pernyataan ini dikeluarkannya tanggal 11 Juni 1819. Kesiagaan Palembang, mencapai puncaknya dilihat penempatan pasukan berserta penanggungjawabnya. Di keraton di setiap sudut (Baluarti) ditentukan orangnya, yaitu Komandan Baluarti sebelah Ilir, adalah Panggeran Karamajaya, sebelah Ulu (Barat) adalah Pangeran Keramadiraja, sedangkan Baluarti sebelah Utara adalah Panggeran Citra Saleh (Hanafiah,1989:75-77).

Insiden pertama terjadi dengan ditembaknya seorang miji (pegawai) Sultan di daerah Keraton Lama oleh pihak Belanda insiden ini diprotes oleh Sultan. Protes ini di sampaikan kepada Muntinghe melalui Panggeran Dipati Tua dan Panggeran Dipati Muda. Protes ini tidak digubris oleh Muntinghe. Malahan Muntinghe mengancam Sultan dan menahan kedua utusan itu dengan tegas kedua utusan itu mengingatkan etik keperwiraan dan menutut melepaskan diri mereka. Akhirnya Mungtihe melepaskan mereka, dan sekali lagi memerintahkan untuk segera menyerahkan Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Di samping itu diperingatkan  pula bahwa Belanda mengetahui kesibukan di Keraton Sultan. Muntinghe menegaskan bahwa dia telah mempersiapkan kapal perang dan pasukannya untuk menggempur Palembang (Hanafiah,1989:77).
Pasukan Belanda telah siap membuat gerakan meninggalkan Keraton Lama. Tetapi pada saat itu terjadi lagi insiden, dimana seorang perwira Belanda yang ingin tahu kesibukan keraton, yaitu mendengar zikir dengan lafaz tahlil diusir dan dikejar oleh priyayi-priyayi Palembang. Melihat keadaaan ini pasukan Belanda melepaskan tembakan dan menewaskan tiga orang. Kematian tiga orang tersebut akhirnya menimbulkan pertentangan dan konflik Kesultanan Palembang Darussalam dengan kolonial Belanda dengan lahir peperangan yang kemudian dikenal dengan Perang Menteng (Hanafiah,1989:78).
Sementara itu Kesultanan Palembang Darussalam melakukan persiapan dengan mengajak rakyat dan para ulama untuk berzikir menyatukan kekuatan mengusir kolonial. Zikir dengan lafaz tahlil menjadi pengerak jihad bagi Kesultanan Palembang Darussalam bersama para mujahid dan rakyat untuk mengusir kolonial. Zikir yang dilakukan oleh para mujahid dan rakyat merupakan tata cara yang dilakukan oleh Tarekat Sammaniyah. Tampak ada ikatan khusus antara Tarekat Sammaniyah dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Hubungan erat tersebut digambarkan oleh Peeters (1997:23-24), ia menyebutkan bahwa ada dua petunjuk yang menandakan penyebaran Tarekat Sammaniyah di Palembang dan mendapatkan perhatian yang sangat istimewa dari Sultan Palembang, antara lain pertama dijumpai dalam versi Palembang Hikayat Shekh Muhammad Saman. Di dalamnya disebutkan bahwa sebuah zawiyah Tarekat Sammaniyah yang didirikan di Jeddah oleh Sultan Mahmud Bahauddin sebagai wakafnya pada tahun 1776 dengan menggunakan pemberian mulia 500 real (Purwadaksi,2004:321-322 dan lihat juga Zulkifli,2001:79). Jeddah merupakan pelabuhan terpenting untuk jemaah haji dalam perjalanan ke Mekkah, zawiyah ini sekaligus berfungsi sebagai penginapan jemaah dari Palembang dalam perjalanan mereka menuju kota suci. Kedua, hubungan antara keraton dan Sammaniyah dijumpai dalam bentuk naskah yang berasal dari keraton Palembang. Dalam terjemahan bahasa Melayu Bahr al-Ajaib di dalamnya disebutkan nama pengarangnya yaitu Kemas Muhammad Ibn Kemas Ahmad yang menulis naskah ini atas perintah Sultan Mahmud Bahauddin yang juga menulis naskah tentang Hikayat Kramat Shekh Muhammad Samman.
Bruinessen menyatakan bahwa dalam syair Perang Menteng, yang melaporkan konfrontasi pertama dengan orang Belanda pada tahun 1818. Di dalamnya disebutkan bahwa atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin II, para haji melakukan ratib di luar dinding keraton, suatu perbuatan saleh yang disponsori Sultan. Besar kemungkinan ratib yang dimaksud di sini ialah ratib Samman, suatu uraian religius yang terdiri dari sejumlah bacaan antara lain syahadah, ayat-ayat Al-Qur’an dan berbagai latihan dzikir yang semuanya disertai gerak dan sikap yang khas untuk tarekat ini (Bruneissen,1992:3).
Dalam naskah sya’ir Perang Menteng  menceritakan bagaimana kaum putihan ("haji") mempersiapkan diri untuk ber-jihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai "fana". Dalam keadaan fana mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi, serta dibalut semangat dan keberanian (Bruneissen,1992:3). Berikut kutipan Sya’ir Perang Menteng:  

            Delapanbelas harinya Sabtu
                        bulan Sya`ban ketika waktu
                        pukul empat jamnya itu
                        haji berzikir di pemarakan tentu
                        Haji ratib di pengadapan
                        berkampung bagai mengadap ayapan
                        tidaklah ada malu dan sopan
                        ratib berdiri berhadapan
                        La ilaha illa'llahu dipalukan ke kiri
                        kepada hati nama sanubari
                        datanglah opsir meriksa berdiri
                        haji berangkat opsirpun lari
                        ......

                        Haji berteriak Allahu akbar
                        datang mengamuk tak lagi sabar
                        dengan tolong Tuhan Malik al-Jabbar
                        serdadu Menteng habislah bubar
                        ......
                        Haji berteriak sambil memandang
                        hai kafir marilah tandang
                        syurga bernaung di mata pedang
                        bidadari hadir dengan selendang
                        Di situlah haji lama terdiri
                        dikerubungi serdadu Holanda pencuri
                        lukanya tidak lagi terperi
                        fanalah haji lupakan diri

Dari kutipan Sya’ir Perang Menteng di atas, zikir telah menjadi motivasi bagi pergerakan rakyat melawan kolonial tanpa rasa takut dan gentar. Dalam perang menteng tahun 1819 ini, Islam menjadi landasan umat Islam di Palembang melakukan jihad fi sabilillah. Tarekat dan metode pengamalannya menjadi motor perlawanan rakyat dan ulama dalam perang melawan orang-orang kafir.
Keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi penjajah. Jumlah kasus seperti ini, jika dikehendaki, dapat dideret lebih banyak lagi. Pertanyaan patut diajukan: apakah sikap militan itu memang melekat pada tarekat, atau hubungan itu kebetulan saja? Apakah ada faktor dalam ajaran, amalan dan organisasi tarekat yang mendorong kepada militansi politik? Atau contoh-contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat biasanya cenderung untuk menjauhkan diri dari urusan politik? Ikhwal tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. Para pejabat jajahan Belanda, Perancis, Italia dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena - dalam pandangan mereka - fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Untuk ini, bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel daripada penelitian ilmiah (Bruneissen,1992:10).  Oleh karena bahaya politik yang mereka cerna, banyak pejabat telah menganjurkan larangan atau pembatasan terhadap kegiatan tarekat. Meskipun kecurigaan terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial.
Persepsi kedua, sebaliknya, menganggap perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggungjawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia. Para pengkritik tarekat menekankan aspek asketis (zuhud) dan orientasi ukhrawi. Dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat konon lazim menjauhkan diri dari masyarakat (khalwah, uzlah). Kalau kalangan Islam "tradisional" (Aswaja) dianggap lebih kolot, akomodatif dan apolitik dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik. Pandangan ini, terlalu sederhana dan sempit. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi Islam (seperti yang terlihat di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir) dan suburnya proses perkembangan tarekat.
Sebagai pengamatan Bruneissen (1992:11) mencatat bahwa dua persepsi tentang tarekat ini berkenaan dengan situasi-situasi yang berbeda. Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat yang telah dikenal berlangsung terhadap penguasa yang bukan Muslim atau sekuler (Turki). Dalam negara Muslim merdeka jarang terjadi pemberontakan atau sikap oposisi radikal dari kalangan tarekat. Dalam hal ini, kaum tarekat tidak berbeda dari kalangan Islam "tradisional" pada umumnya. Malahan - ini merupakan pengamatan kedua - orang tarekat seringkali begitu dekat kepada penguasa. Daripada menjauhi urusan politik, syaikh-syaikh tarekat cenderung mendekati penguasa. Syaikh Yusuf Makassar menjadi penasehat dan menantu Sultan Ageng Banten; Syaikh Abdussamad melalui surat menasehati Sultan Mataram. Para penguasa, sebaliknya, tidak jarang mencari dukungan moral dan spiritual dari syaikh tarekat. Tak terkecuali Tarekat Samanniyah di Kesultanan Palembang Darussalam.
Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Kesultanan Palembang Darussalam sekitar tahun 1819-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan yang dinamakan "beratip be`amal"- barangkali suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong-bondong datang dibaiat dan diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tanpa mempedulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan menjadi jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum beratip be`amal tewas tertembak. Dalam kasus ini tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan (Bruneissen,1992:12).
Dari uraian di atas, konflik atas nama agama menurut Ibnu Khaldun terjadi karena pengaruh orientasi idealistik yang tidak pada tempatnya. Bila mengkaji lebih dalam konflik panjang antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan kolonial ditemukan keterseretan agama dan Tuhan dalam persoalan yang sesungguhnya sangat manusiawi dan berdimensi sosial, ekonomi dan politik (Affandi,2004:77).  
Kembali peristiwa yang ditimbulkan oleh konflik, konfrontasi fisik tidak dapat dielakkan lagi, pembukaan salvo dari baluarti Pangeran Citra Saleh ke arah Keraton Lama, tanda dimulainya peperangan tahun 1819 babak pertama. Korvet Avac dan Eendragt menyambut salvo ini dengan siraman peluru-peluru meriam kea rah keraton. Pasukan Belanda yang belum sempat diseberangkan kocar-kacir masuk kembali ke Keraton lama. Ke esokan harinya, tanggal 13 juni 1819 pasukan Belanda menyerang Keraton Kuto Besak. Pasukan yang dipimpin oleh Muntinghe mengira bahwa pasukan Palembang sudah mulai kendor dan tidak berbahaya. Kemudian diperintahkan pasukannya untuk menyerbu masuk ke keraton. Tetapi pasukan Belanda terjebak dan masuk perangkap dalam strategi perang Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian pasukan Kesultanan Palembang dengan mudah menghabisi pasukan musuh (Hanafiah,1986:36).
Kondisi tersebut membuat pasukan Belanda kehabisan peluru, mesiu, logistik prajurit. Kondisi tersebut memaksa Muntinghe mengambil inisiatif untuk berdamai dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Melalui utusannya Raja Akil (Seorang Pangeran Siak) dan Tumenggung Suro, Belanda meminta diadakan perdamaian atau setidak-tidaknya genjatan senjata selama empat hari. Melalui juru bicaranya Pangeran Adipati Tua, Sultan menolak untuk berdamai, tetapi sepakat untuk mengadakan genjatan senjata. Tanggal 15 Juni 1819, genjatan senjata ini dimanfaatkan oleh Muntinghe dan pasukkannya untuk mengundurkan diri ke Mentok dan kemudian menuju Batavia. Dengan pengunduran diri pasukan Belanda merupakan kemenangan besar bagi Kesultanan Palembang (Hanafiah.1989:77-79).

Babak II
Sebagai pihak kalah, pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menuntut balas. penguasa Belanda mengirim ekspedisi di bawah komando Laksamana C. Wolterbeek. Armada yang dikerahkan terdiri dari kapal perang dan pengangkut, antara lain kapal WilhelminaIreneIrisTrompArinusMarinusAdmiraal BuyskesDe EmmaWaterbikBlucherAjax, dan Henriette Betthy. Total serdadu yang dilibatkan sebanyak 1500-an orang yang dikumpulkan dari Batavia, Semarang, Surabaya, dan tambahan orang-orang Melayu (Farida,2000:2). Melihat besarnya armada yang dikerah dan banyak serdadu, menunjukkan bahwa ekspedisi itu dipersiapkan dengan matang dengan kemanangan sebagai tujuan utama. Kekalahan dalam perang Juni 1819 merupakan tamparan berat bagi supremasi Belanda di Nusantara.
Di sisi lain, Sultan Mahmud Badaruddin II mempersiapkan diri guna menghadapi serangan balasan dari pihak Belanda. Sultan memasang meriam-meriam, dan peluru-peluru (dari Sungsang sampai Pulau Kemaro disiapkan 60 lobang tembakan), menyiapkan rakit-rakit yang mudah dibakar, rakit-rakit inilah yang akan menghantam armada Belanda, membuat benteng pertahanan di Sunsang (dua kubu dengan luas bangunan berkisar 15.24 meter sampai 22.86 meter), benteng di Pulau Keramat, Pulau Salanama, Pulau Gombora (Kembara atau Kemaro, di bagian tenggara pulau ini disiapkan 12 lobang tembakan), Plaju dan benteng di pulau buatan di tengah Sungai Musi (benteng ini dilengkapi tiga lobang tembakan). Di tiap sudutnya ditempatkan meriam dengan masing-masing dua lobang tembak. Tiap benteng diperkuat dengan 50 meriam dengan ukuran 8 pon sampai 24 pon, sedangkan sisi darat dibangun pagar yang sangat kokoh, tertutup pula oleh pohon-pohon besar yang rindang. Pertahanan lain adalah menutup Sungai Musi dengan memasang tonggak-tonggak dari Pulau Kemaro sampai Plaju garis, dengan garis tengah 61 sentimeter. Tonggak-tonggak itu ditancapkan di sungai pada kedalaman 24,4 meter. Pertahanan semakin lengkap dengan disiagakannya sebuah kapal layar tiga tiang dan beberapa perahu bersenjata (Farida,2000:2).  
Di muara Plaju dan di bagian belakang bentengnya, dan di depan benteng Kemaro disiagakan rakit-rakit yang siap dibakar. Sedangkan di sisi kiri-kanan Sungai Musi banyak terdapat rawa-rawa dan anak-anak sungai (ibu kota Palembang terkenal sebagai kota yang dialiri oleh 20 sungai). Semua itu menjadi pertahanan alam yang sangat baik, sekaligus untuk melakukan penyerangan terhadap musuh. Keraton Kuto Besak, sebagai pusat kekuasaan Sultan, dilengkapi dengan meriam-meriam berbagai ukuran (Farida,2000:2).
Benteng-benteng pertahanan dipimpin oleh orang-orang kepercayaan Sultan Mahmud Badaruddin II, diantaranya:
1.      Benteng Tambakbaya ditempatkan Pangeran Kramadiraja, berkekuatan 168 meriam dengan “penghulu meriam” bernama Sri Palembang berkaliber 24 pond.
2.      Benteng Martapura yang bersebelahan dengan Tambakbaya, ditempati oleh Pangera Ratu, sebagai komandan dia dibantu oleh Pangeran Adipati.
3.      Benteng Pulau Kembaro dipimpin oleh Pangeran Suradilaga.
4.      Benteng Manguntama dipimpin oleh Pangeran Wirasanteka.
5.      Benteng Kuto Besak diperkuat dengan 110 meriam.
6.      Benteng sepajang Kuto Besak ke Sungai Tengkuruk juga dilengkapi dengan meriam ukuran sedang.
7.      Benteng Kurungan Nyawa di Hulu Sungai Komering dibuat untuk menjaga perembesan pasukan Belanda dari Lampung (Hanafiah,1989:82).
Armada Belanda tiba di Mentok pada 30 Agustus 1819, sasaran awal kolonial Belanda memberantas para bajak laut di Bangka Kota. Serangan kapal  Adm Buykes dengan infanteri bermaksud mengepung melalui daratan. Namun usaha ini sia-sia Belanda memperoleh perlawanan sengit dari pejuang-pejuang Bangka. Peristiwa tersebut Belanda kehilangan setengah dari 230 pasukannya. Kemudian Belanda mengadakan pelayaran ke Sungai Musi selama satu bulan. Setelah memasuki Plaju Kapten Van der Wijk memerintahkan pengintaian atas pertahanan di Plaju-Kembaro (Hanafiah,1986:80-82). Pengintaian tersebut melaporkan bahwa:
“Setiap kubu pada tepi air ditutup dengan tiang-tiang dan penghalang dari pohon-pohon kayu. Melalui daratan tidak mungkin dicapai karena rawa-rawa yang ada di tepian sungai induk maupun cabang-cabangnya. kubu-kubu dilindungi dengan batang-batang kayu yang besar dan tiang-tiang dirangkai satu sama lain dengan kayu pengikat yang kuat. Lubang-lubang untuk menembak dilengkapi dengan alat-alat panahan peluru untuk menembak di atas kapal serta tembok-temboknya sangat tebal 18 dan 24 m (Hanafiah,1986:84).”

Wolterbeek memerintahkan untuk melakukan penyerangan dari atas kapal Fregat Wilhelmia, serangan tersebut mendapat sambutan dari Benteng Palembang.  Kolonial Belanda dan Kesultanan Palmbang terus saling serang. Kondisi alam Palembang menjadi faktor pendukung bagi Kesultanan Palembang, Kapal Fregat Wilhelmina terbawa arus angin dan menjadi sasaran pasukan terapung. Strategi yang telah disusun oleh Laksamana Wolterbeek menjadi kacau. Kapal Korvet Eendragt mencoba melindungi Kapal Fregat Wilhelmina, usaha ini pun memperoleh serangan yang memojokan Belanda. Sedangkan formasi kapal-kapal lain berubah menjadi di belakang. Pasukan Kesultanan Palembang memanfaatkan kondisi ini dengan baik. Sehingga tidak ada alternatif lain bagi Laksamana Wolterbeek dan pasukannya selain mundur (Hanafiah,1989:84-85).
Setelah eskalasi konflik memuncak dengan lahirnya peperangan, dan peperangan yang mendesak kekalahan bagi Belanda. Dalam situasi seperti ini, Belanda berupaya kembali membangun komunikasi dengan melakukan usaha problem solving (Fruiit dan Rubin,2011:292). Laksamana Wolterbeek mengirim utusannya mengadakan isyarat damai dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Namun strategi yang dibangun oleh Wolterbeek ditolak tegas oleh Sultan (Hanafiah,1989:85). Mengamati hal tersebut, secara psikologis Sultan tidak mempercayai lagi berbagai strategi yang dibangun oleh kolonial Belanda. Karena berbagai macam strategi yang dibangun oleh Belanda pada akhirnya merupakan strategi contentious yang hanya menguntungkan bagi Belanda. 
Sikap tegas Sultan Mahmud Badaruddin II yang menolak itikat Belanda untuk gencatan senjata dalam upaya perdamaian dan gigihnya perjuangan pejuang Palembang, membuat Laksamana Wolterbeek mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Tanggal 3-4 November, Wolterbeek dan armadanya mengundurkan diri menuju Mentok (Hanafiah,1989:86).  
Menurut teori perang Cina Sun Tzu dalam bukunya The Art of War  untuk memperoleh kemenangan salah satunya menggunakan teori military disposition (disposisi militer) yaitu sebagai suatu metode militer maka yang pertama mengukur medan, kemudian estimasi kekuatan, berikutnya jumlah prajurit, selanjutnya menambah kekuatan relatif dan terakhir kemenangan (Mansur,tth,32). Dengan demikian, secara teori di atas kolonial Belanda dengan kekuatan perangnya yang lebih besar dapat dengan mudah mengalahkan Kesultanan Palembang Darussalam. Namun dalam fakta sejarahnya kekuatan kolonial Belanda yang begitu besar dalam perang 1819 dapat dikalahkan oleh Kesultanan Palembang. Tampaknya hal ini meruntuhkan teori perang Sun Tzu. 
Dalam buku The Art of War yang terdiri dari enam bab, Sun Tzu lebih menekankan kemampuan diri untuk bertahan, menghindar dan menghancurkan sehingga lebih menggunakan fisik dan intelektual. Kasus perang 1819 di Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam tidak hanya menggunakan fisik dan intelektual belaka. Dalam memenangkan peperangan ini Kesultanan Palembang juga bergerak atas nama kenyakinan spiritual. Tarekat Sammaniyah  merupakan motor pengerak spiritual para mujahid Palembang (Bruneissen,1992:30). Konsep perang atas kenyakinan spiritual ini telah digunakan oleh panglima perang handal Islam yaitu Nabi Muhammad. Nabi Muhammad  menggerakkan para mujahidnya untuk berperang atas keyakinan spiritualitas, hal yang tidak ada dalam ke 6 bab seni perang Sun Tzu. Hal ini jugalah yang membantah beberapa teori tentang Sun Tzu, yang menghindar ketika jumlah musuh lebih besar, dan menyerang ketika jumlah lebih kecil. 
Dalam catatan sejarah Islam Nabi Muhammad membuktikan bahwa jumlah kecil atau besar bukan menjadi efek penting dan dominan dalam peperangan. Perang Badr menyatakan jumlah kaum Muslim yang jauh lebih kecil ternyata mampu memukul mundur tentara Quraisy, sedangkan Perang Uhud menujukkan sebaliknya. Jumlah kaum Muslimin yang besar ternyata justru membuat kaum muslimin lengah dan merasakan kekalahan untuk sementara (Al-Mubarakfury,1997:270-271).
Selain itu, faktor geografi juga ikut memberikan kemenangan bagi Kesultanan Palembang Darussalam hal ini telah diungkapkan oleh Carl van Clauswits dalam bukunya On War yang dikutip oleh Djohan Hanfiah (1989:86) menurutnya:
“… Pihak yang diserang mendapat simpati politik dan keuntungan moril yang lahir dari kenyataan bahwa dia mempertahankan negerinya sendiri. Dia juga mendapat keuntungan dari medan perang. Benteng-benteng, posisi-posisi dan semua kejadian yang tidak diharapkan, dari keletihan musuh, dari kegagalan mencapai tujuan dan sebagainya. pendek kata pertahanan adalah bentuk yang lebih kuat karena sifat pertahanan itu sendiri, mempertahankan sesuatu adalah lebih mudah daripada mendapatkan sesuatu.”


Peristiwa Perang 1821

Setelah perang 1819 berakhir, kemenangan gemilang yang diperoleh Kesultanan Palembang merupakan sebuah kemenangan besar. Berbeda halnya dengan Belanda  kekalahan perang tahun 1819 merupakan sebuah pelajaran berarti untuk melanjutkan gagasan dan taktik untuk menjatuhkan Kesultanan Palembang Darussalam. Kemenangan melawan kolonial Belanda bukan berarti Kesultanan mengabaikan adanya serangan balik dari kolonial Belanda. Berbagai persiapan untuk mempertahankan kedaulatan Kesultanan Palembang Darussalam. Upaya meruntuhkan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam merupakan misi besar kolonial Belanda. Mereka mempersiapkan semua pasukan, persenjataan, dan strategi. Komposisi pasukan dalam perang 1821 M terbagi dalam dua bagian yaitu angkatan laut dan angkatan darat (Hanafiah,1986:18). 
Tabel 1. Jumlah Pasukan Perang Kolonial  Belanda
Pasukan
Eropa
Pribumi
Jumlah
Angkatan Laut
1.218
1.362
2.580
Angkatan Darat
1.567
112
1.679
Jumlah
4.259

Dalam hal ini tidak termasuk awak kapal
Angkatan darat meliputi:

Panglima  staf                  30 orang
Infanteri                      1.250 orang
Arteleri                          249  orang
Zeni dan pioner              148 orang
Kesehatan                        52 orang
Jumlah                         1.679 orang
Persenjataan dilengkapi arteleri angkatan darat terdiri dari 18 pucuk meriam dari berbagai macam ukuran, masing-masing dilengkapi dengan 3 sampai 4.000 persenjataan kapal (meriam).
Tabel 2. Jumlah Meriam Pasukan Kolonial Belanda
Ukuran (pond)
Banyaknya
Berat     30. 24. 28
192
Sedang  12. 8. 6.
118
Kecil      3. 2. 1.
104
Jumlah
         414 pucuk

Armada laut terdiri dari jenis kapal :
Tabel 3. Jenis Kapal Kolonial Belanda
No
Jenis Kapal
Jumlah
1
Kapal perang
19
2
Kapal Pengangkut
12
3
Kapal Meriam 
15
4
Kapal Pendarat
84
5
Kapal Medis
6
6
Jumlah
136 Kapal

Dengan jumlah kekuatan sepuluh kali lipat dari perang 1819 dapat dipastikan bahwa pasukan kolonial Belanda mampu untuk mengalahkan pasukan Kesultanan Palembang Darussalam. Strategi ini belum dirasakan ampuh oleh kolonial Belanda.  Kemudian kolonial Belanda yang dipimpin oleh Mayjen Markus de Kock melakukan sebuah strategi baru. Dalam strategi tersebut Mayjen Markus de Kock mencoba untuk melumpuhkan mental dan memecah belah kesatuan dan persatuan Kesultanan Palembang Darussalam dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Saudara kandung Sultan Mahmud Badaruddin II yaitu bekas Sultan Husin Diauddin dibujuk. Belanda menjanjikan  kedudukan sultan buat puteranya tertua (Prabu Anom) dengan gelar Sultan Ahmad Najamudin IV.  Sedangkan Husin Diauddin menjadi Susuhunan. 
  2. Pangeran Ratu Jambi yang gagah berani dan gigih dalam perang 1819 melawan Wolterbeek, dibujuk dengan suapan sebesar 2.000 uang Spanyol. Pangeran Ratu Jambi menolak bujukan ini. Dia tetap berpihak dengan Sultan Mahmud Badaruddin II.
  3. Pangeran Syarif Muhammad, keturunan Arab, ditugaskan untuk membujuk orang-orang Arab yang dekat dengan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk meninggalkan dan berpihak kepada Belanda. Demikian pula dengan orang Cina yang dijanjikan keuntungan-keuntungan.
  4. Beberapa pangeran dan priyayi Palembang diadakan kontak-kontak rahasia atas ekspedisinya tahun 1821.  Diupayakan rahasia-rahasia pertahanan dan kekuatan Palembang dibocorkan.
  5. Pulau Bangka adalah pusat timah, merupakan sumber dana bagi Belanda maupun Palembang (Hanafiah,1986:17).
Demikian strategi yang diupayakan oleh kolonial Belanda untuk menjatuhkan dan meruntuhkan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Dari berbagai persenjataan, pasukan dan strategi perang benar-benar dipikirkan secara matang. Hal ini merupakan misi besar Belanda untuk memiliki sebuah tanah imperium yang subur dan kaya. 
Strategi yang dibangun kolonial Belanda secara teori merupakan strategi yang dibangun oleh Sun Tzu dalam bukunya The Art of War yang menjelaskan “pinjam tangan seseorang untuk membunuh” maksudnya serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain karena kekuatan yang minimal atau tidak ingin menggunakan kekuatan sendiri. Perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok pegawai musuh untuk menjadi pengkhianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri (Mansur,tth:33).
Setelah kalahnya kolonial Belanda dalam perang 1819 tidak membuat Kesultanan Palembang Daurussalam berbangga dan puas. Karena dalam perang-perang sebelumnya kolonial Belanda terus gencar menyerang Kesultanan Palembang Darussalam. Oleh karena itu, Sultan Mahmud Badaruddin II mempersiapkan semua kekuatan dalam perang yang akan terjadi berikutnya. Jumlah “pasukan” Palembang tidak ada catatan pasti. Karena yang disebut “pasukan” Palembang adalah sukarelawan bukan militer secara reguler. Sistem ini sesuai dengan sistem kesultanan secara tradisional, dimana kesultanan hanya melaksanakan  mobilitas rakyat.
Mengutip dari buku Perang Palembang 1819-1821 M  Perang  Laut Terbesar di Nusantara karangan Djohan Hanafiah (1986:17). bahwa Radermacher, J.C.M. dalam bukunya “Bechhriving van Het Eilland Sumatra-1842 M” menjelaskan;
Raja tidak mempunyai tentara yang teratur ( yang dinamakan Korps Grenaider juga termasuk di situ). Dalam keadaan darurat tiap orang menurut kemampuannya harus menyerahkan semua bawahannya untuk berperang. Demikian pula dalam armada laut, dimana para pangeran dan pembesar harus melengkapi beberapa perahu untuk itu.

Jumlah pasukan dapat dihitung dari pertahanan benteng. Setiap Pangeran, Menteri, Tumenggung, Rangga, Ngabehi, Persirah, Perwatin Uluan dan seterusnya. Untuk mengawasi satu meriam dan satu lela dan dibantu 40 orang. Dengan membandingkan jumlah meriam dan lela sebanyak 383 pucuk, diperkirakan jumlah pasukan tersebut berjumlah 7.500 sampai 8.000 orang. Hal ini sesuai dengan jumlah penduduk kota Palembang saat itu (tahun 1821 M) berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Formasi meriam di tempatkan di benteng antara Pulau Kembaro dan Muara Plaju, sebanyak kurang lebih 200 pucuk. Di keraton sebanyak 110 pucuk dan sisanya bertebaran di benteng-benteng kecil lainnya (Hanafiah,1986:17). Persenjataan utama dalam pertempuran di laut (Sungai Musi) tahun 1821 berupa meriam dan lela. Mengenai jumlah persenjataan, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 383 meriam dan lela.
            Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II membentuk strategi baru. Perombakan pimpinan pasukan diadakan, yaitu pergantian personalia dari perang 1819. Susunan perubahan tersebut sebagai berikut:
  1. Benteng Tambakbaya (Plaju), diserah terimakan dari Pangeran Kramadiraja kepada Kramajaya.
  2. Benteng Pulau kemaro, diserah terimakan dari Pangeran Suradilaga kepada Pangeran Kramadilaga.
  3. Benteng Manguntama tetap dipimpin oleh Pangeran Wirasantika.
  4. Benteng paling ujung Pulau Kemaro dipimpin oleh Pangeran Ratu dari Jambi.
  5. Benteng Martapuro menjadi Benteng komando, tetap dipimpin oleh Sultan Ahmad Najamudin III (Pangeran Ratu) dan didampingi oleh pewira perang handal Pangeran Bupati Panembahan Hamim (Adik kandung Susuhan Sultan Mahmud Badaruddin II).
  6. Pertahanan yang dibuat dari rakit dan terapung terletek di balik pagar /cerucup dipimpin oleh Cik Nuak.
  7. Setiap benteng dibantu sepenuhnya oleh kepala-kepala masyarakat dari pedalaman bersama rakyatnya dan juga tidak ketinggalan keturunan Arab dan Cina yang menetap di Palembang(Ari,2006:159-160).
Armada perang kolonial Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Markus de Kock dilepaskan dengan upacara kebesaran militer tanggal 8 Mei 1821 oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen dan mulai bertolak ke Batavia tanggal 9 Mei 1821. Tanggal 13 Mei 1821 sebagian besar pasukan Belanda telah mencapai di Mentok, kemudian menyusun strategi untuk masuk ke Sungai Musi dan memblokade Selat Bangka. Tanggal 15 Mei 1821, pasukan kolonial Belanda meninggalkan Mentok dan menduduki Sungai Musi melalui Sungsang. Tanggal 22 Mei 1821, mereka telah mempersiapkan seluruh meriam di dekat Pulau Panjang. Melihat persiapan tersebut pertahanan garis depan Kesultanan Palembang Darussalam mengutus seorang untuk mengirim surat kepada Mayor Jenderal Markus de Kock, isi surat tersebut menanyakan maksud dan tujuan pasukan tersebut. Tak berlangsung lama Mayor Jenderal Markus de Kock membalas surat tersebut. Isi surat balasan menyatakan bahwa kehadiran mereka untuk “misi perdamaian”. Tugasnya bukan untuk memusuhi rakyat Palembang, tetapi akan menghukum penguasa yang “sewenang-wenang” (Hanafiah,1986:20).
            Belajar dari peristiwa sebelumnya, pasukan pertahanan Kesultanan Palembang mulai mempersiapkan peralatan perang. Kedatangan kapal-kapal perang kolonial Belanda mendapat tantangan dari alam, sebagian kapal tidak dapat berlayar menuju Sungai Musi seperti kapal Van der werff, Nassau dan Ayak. Hal ini disebabkan karena kapal tersebut berada dalam endapan lumpur dan hanya dapat ditolong pada saat Sungai Musi pasang. Kedatangan kapal-kapal perang tersebut kondisi Sungai Musi sedang mengalami surut. Hanya kapal-kapal kecil yang dapat masuk ke Sungai Musi.
            Mendekatnya kapal-kapal perang kolonial membuat ketegangan mulai memuncak. Demikian juga dengan Kapal Psywar dan intrik yang dilancarkan oleh Belanda mendapat pelawanan. Melalui bantuan priyayi-priyayi yang dapat dimanfaatkan oleh Belanda yang di pusatkan Benteng Tambakbaya, sehingga 8 meriam tersumbat di moncongnya (Hanafiah,1986:20). Tanggal 9 Juni 1821 pasukan benteng terdepan Palembang Darussalam memberikan tembakan peringatan atas mendekatnya armada kolonial Belanda. Kapten laut L. van Arnold mengerahkan pasukannya ke daratan untuk memantau dan menghalau pertahanan pasukan Palembang Darussalam. Kolonial Belanda juga menghalau pasukan yang sedang memperbaiki cerucup di tengah Sungai Musi. Tindakan kolonial Belanda membuat meriam-meriam Kesultanan Palembang Darussalam dengan gencar menembaki pasukan kolonial Belanda yang dipimpin L. van Arnold dan kolonial Belanda menarik mundur pasukannya (Hanafiah,1986:20).
            Jenderal Mayor Markus de Kock kembali menyusun strategi untuk penyerbuan pertahanan terdepan Palembang Darussalam dengan menunjuk Kolonel Bischoff Riesz dengan disertai 500 orang infanteri, 4 pucuk mortir tangan dan 50 orang pasukan arteleri serta Kolonel Cochins dengan pasukan pionir (Hanafiah,1986:21). Jenderal Mayor Markus de Kock juga membuat strategi pendaratan dengan menunjuk Kolonel de La Fontaine dan Letkol T. van Amerongen sedangkan penunjuk jalan adalah Ki Rangga Wirasentika. Mencium gerak kolonial Belanda,  Pangeran Kramajaya sebagai  Panglima Benteng Plaju (Tambakbaya), membuat taktik serangan. Dengan mengirimkan pasukan ampilan (pasukan perahu dengan meriam-meriam kecil dan lela). Gempuran dari pihak Kesultanan Palembang Darussalam membuat pasukan armada Belanda menjadi panik, tembakkan-tembakkan meriam dari Benteng Tambakbaya membuat pasukan kolonial Belanda berjatuhan. Pertempuran sengit tersebut membuat pasukan Kolonial Belanda menarik mundur armadanya (Hanafiah,1986:20). 
Kekalahan tersebut tidak membuat Jenderal Mayor Markus de Kock menyerah. Tanggal 17,18 dan 19 Juni 1821 pasukan armada kembali menyerang pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi penyerangan tersebut kembali tidak berhasil.  Tanggal 20 Juni 1821, pasukan resimen 18 dan pasukan pionir yang dipimpin oleh Kapten van der Wijck dan Kapten Keer ditugaskan untuk pencabutan cerucup-cerucup yang menghalangi gerak kapal. Dini hari, sekoci-sekoci Belanda mengendap-ngendap mendekati benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam. Serangan kembali dilakukan, meriam pertahanan Kesultanan menghalangi gerak laju kapal-kapal perang kolonial Belanda. Serangan balasan kolonial Belanda lebih genjar. Benteng pertahanan Palembang melepaskan rakit-rakit api yang di arahkan untuk menambrak kapal-kapal perang kolonial Belanda. Rakit-rakit tersebut mempersulit gerak pasukan kolonial Belanda. Tak berselang lama, Mayor Jenderal Markus de Kock mengerahkan 16 pasukan pribumi yaitu perahu Raja Akil dan perahu-perahu Santa Maria. Perahu-perahu pribumi tersebut didampingi juga oleh Kapten Georges dan Letnan de Stuers (Hanafiah,1986:23).
Kolonel Bischoff telah siap dengan 300 orang ditambah satu detasemen arteleri dan pioner untuk menyerbu. Tetapi, Serangan meriam dan rakit api dari pertahanan Kesultanan mampu merubuhkan kapal van der Werff. Kapal Dageraad tidak dapat membantu kapal van der Werff dari serangan tersebut. Begitu juga dengan kapal pendarat yang berlapis baja menjadi sasaran bagi Benteng Manguntama. Sehingga Mayor Jenderal Markus de Kock memerintahkan untuk menarik mundur pasukannya.
Kekalahan tersebut diungkapkan oleh Mayor Jenderal Markus de Kock dalam catatan hariannya:
“…Kedudukan musuh yang sangat kuat, terutama disebabkan oleh tiang-tiang yang dipancang dalam sungai dan tembakan-tembakan musuh ke arah tali sauh kapal kita, adalah penyebab utama yang menghalangi kita untuk memperoleh kemenangan (Hanafiah,1986:23)..”

            Kekalahan yang sangat besar membuat Mayor Jenderal Markus de Kock menjadi geram. Berbagai strategi perang telah dilakukan, tetapi hanya mampu menembus benteng pertahanan Tambakbaya. Melihat gigihnya perjuangan rakyat Palembang, Mayor Jenderal Markus de Kock kembali mengisyaratkan bahwa kedatangannya untuk “misi damai” dengan rakyat Palembang. Dia hanya datang untuk menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II.
            Jum’at tanggal 22 Juni 1821 bertepatan dengan bulan Ramadhan, Mayor Jenderal Markus de Kock tidak melakukan penyerangan, Untuk menghormati rakyat Palembang  yang sebagian besar adalah umat Muslim. Pasukan Palembang yang sebagian besar rakyat mengira bahwa Mayor Jenderal Markus de Kock telah menghormati hari suci dan bulan suci, tetapi di balik semua itu pasukan Belanda mempersiapkan pasukan dan senjata-senjatanya.
            Hari Minggu tanggal 24 Juni 1821, pasukan Mayor Jenderal Markus de Kock melakukan penyerangan. Melalui kapal Nassau tembakan meriam dikerahkan ke benteng-benteng pertahanan disusul juga serangan dari Kapal Van Der Werff dan Kapal Degeraad. Serangan tersebut membuat pasukan Kesultanan menjadi kewalahan. Dengan pasukan seadanya benteng-benteng harus menghadapi serangan kolonial Belanda. Hal ini disebabkan karena rakyat mengira bahwa hari Minggu adalah hari suci bagi umat Kristiani, sehingga tidak banyak rakyat yang siap untuk mengahadapi pertempuran tersebut  (Hanafiah,1986:23).
            Serangan di Benteng Pulau Kemaro sangat mudah untuk dipatahkan. Pangeran Kramadilaga dan pasukannya kewalahan menghadapi serangan tersebut. Sehingga dengan mudah pasukan Belanda menduduki benteng pertahanan Pulau Kembaro. Kemudian Mayor Jenderal Markus de Kock mengerahkan beberapa kolonel dan letnan untuk menyerang benteng pertahanan berikutnya. Kolonel Bischoff, Letkol Riesz, Kapten Georges dan Letnal Schenk melakukan penyerangan ke Benteng Manguntama dan benteng-benteng terapung di sekitarnya. Penyerangan tersebut mendapat perlawanan sengit dari Pangeran Wirasantika dan pasukannya. Pertempuran satu jam tersebut dimenangkan oleh pihak Belanda.  Kemenangan Belanda harus dibayar mahal, Kolonel Riesz mendapat tusukan tombak dipahanya,  Kapten Georges mendapat empat tusukan ditubuhnya dan Letnal Schenk dalam keadaan sekarat (Hanafiah,1986:24).
            Pangeran Wirasantika dan pasukannya dapat meloloskan diri dan bergabung ke Benteng Martapuro atau dikenal dengan Benteng Komando. setelah Benteng Manguntama telah diduduki pasukan Belanda. Mayor Jenderal Markus de Kock mulai mengerahkan pasukannya ke Benteng Martapuro. Di Benteng Martapuro telah siap pasukan Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Pangeran Ratu dan  Pangeran Bupati Panembahan Hamim untuk menghadapi serangan kolonial Belanda. Perlawanan di Benteng Martapuro merupakan peperangan yang dasyat. Pangeran Bupati Panembahan Hamim sebagai seorang seorang ahli perang laut terbuka mengerahkan pasukannya dan kemampuannya untuk melakukan serangan ke kapal-kapal perang Belanda. Akan tetapi serangan-serangan meriam dan lela dari pihak Kesultanan dapat dibalas oleh Belanda. 
            Perjuangan Pangeran Ratu dan Pangeran Bupati Panembahan Hamim dalam memperjuangkan Benteng Martapuro merupakan sebuah perjuangan yang harus di menangkan. Hal ini disebabkan karena, jika Benteng Martapuro jatuh ke tangan Belanda, maka Keraton Kesultanan dapat dikuasai oleh Belanda. Setelah perperangan yang panjang, Benteng Martapuro dapat diduduki oleh Belanda. Setelah Benteng Martapuro telah diduduki Belanda seluruh pertahanan sultan di perairan Sungai Musi lumpuh (Ari,2006:162). Semua sultan dan pangeran mundur ke keraton demi melindungi Kesultanan Palembang Darussalam. Setelah itu, Belanda mulai menyerang Keraton Kuto Besak. Serangan tersebut merupakan serangan terbesar yang dilakukan Belanda terhadap Kesultanan Palembang Darussalam.
            Tanggal 26 Juni 1821, pasukan Belanda melakukan maneuver di sepanjang Sungai Musi, mereka mengunci hulu Palembang yaitu pertemuan Sungai Ogan dengan Sungai Musi (Kertapati). Di lain pihak, Benteng Keraton Dalam tetap siaga dengan barisan meriam dan pasukan di atas tembok benteng (Hanafiah,1986:24). Jika pertempuran tetap diteruskan atau diakhiri maka peperangan terbuka dapat diperhitungkan bahwa pasukan Belanda belum tentu menang dan Palembang pun dipastikan akan binasa. Sebagaimana telah ditulis oleh A. Meis tentang situasi tersebut:
“…Suatu pertempuran yang tidak mempunyai harapan atas penyerangan luar biasa keraton. Sebaliknya kita sama sekali tidak dapat menentukan apakah Sultan Mahmud Badaruddin II dapat dikuasai, Jenderal memutuskan untuk mengirimkan Sultan peringatan…(Hanafiah,1986:24).” 

            Surat peringatan yang berisi agar Sultan Mahmud Badaruddin II untuk menyerahkan kekuasaan Kesultanan demi keselamatan rakyat dan kota Palembang, surat tersebut dikirim melalui Depati tua. Sultan Mahmud Badaruddin II menghadapi suatu dilema. Jika bertahan sampai titik darah penghabisan akan terjadi pertempuran yang dahsyat, yang mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya (Trioyono,2007:di-akses 21 Juli 2010). Sultan Mahmud Badaruddin II menyatakan bahwa penyerahan kekuasaan akan dibicarakan melalui saudaranya Ahmad Najamuddin II dan putranya. Tanggal 1 Juli 1821, serah terima kekuasaan dengan seluruh kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dilaksanakan oleh putera Sultan Mahmud Badaruddin II yaitu Pangeran Prabukusuma dan Pangeran Kramajaya serta bendera Belanda di kibarkan di atas keraton.
            Sultan Mahmud Badaruddin II menyerahkan diri pada kolonial Belanda, pada 13 Juli1821  menjelang tengah malam. Sultan Mahmud Badaruddin II beserta kerabatnya menaiki Kapal Dageraad menuju ke Batavia. Dari Batavia, Sultan Mahmud Badaruddin II dan kerabatnya diasingkan ke Ternate hingga akhir hayatnya (Wikipedia,2008:di-akses pada 21 Juni 2010).Kemenangan kolonial Belanda terhadap Kesultanan Palembang Darussalam merupakan kemenangan besar yang selama ini diharapkan. Kemenangan tersebut merupakan misi suci untuk menyelamatkan masyarakat Palembang dari raja atau sultan yang sewenang-wenangdan memperbaiki sifat susila masyarakatJL. Van Seven Hoven menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang” yang diterjemahkan oleh Sugarda Purba Kawatja bahwa:
            “Tjara memperbaiki keadaan jang menjedihkan ini adalah penjelengaraan suatu pemerintahan jang adil dari sendirinja akan menghentikan dari semua perbuatan sewenang² dari orang² lain dan hasil dari pada itu adalah perbaikan susila dari penduduk...(Hoven,1971:59)

            Kekalahan Kesultanan Palembang Darussalam dalam perag 1821, menurut penulis merupakan kekalahan yang sangat mudah bukan berarti kekalahan tersebut tanpa perlawanan. Sebenarnya kolonial telah membaca strategi yang telah dibangun oleh Kesultanan dari perang-perang terdahulu dan orang-orang pribumi yang dijadikan sekutu. Sehingga pada perang 1821 kolonial Belanda dengan waktu relative singkat mampu meruntuhkan kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II. Mengutip pemikiran Ibn Khaldun mengenai kekuasaan oleh seseorang atau sekelompok penguasa (yang memiliki kekuatanan yang lebih besar) terhadap sekelompok lain, baginya hal tersebut merupakan harga dari hukum sosial, sekalipun dalam bentuk yang kejam (Affandi,2004:61)
Sumber : http://ilmupolitikuinpalembang.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment