Perjalanan menjelajah tentang keberadaan Negara Belanda di kota Palembang, semua ini berawal dari keinginan saya dapat melanjutkan pendidikan master di negara Kincir Angin. Destinasi saya untuk membuka satu elemen dari negara Belanda yaitu elemen Api dimana menjelasakan secara detail pengaruh besar Belanda terhadap Negara Indonesia. Berbagai tempat salah satu sejarah kehidupan Belanda dimasa lalu saya telusuri lewat bangunan – bangunan. kata bung karno pernah berkata JAS MERAH “Jangan sekali kali melupakan sejarah”.
dukungan dari orang orang disekitar saya yang selalu mensupport. Elemen Api disini menggambarkan pengaruh ilmu hukum belanda yang sampai sekarang masih melekat dengan Republik Indonesia dan disamping itu bangunan – bangunan sejarah yang telah di wariskan Belanda menggambarkan sebuah kobaraan api yang membara tanpa menghilangkan satu gumpalan asap.
ebuah kelompok hiburan yang berpakaian ala nelayan Neapolitan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wihelmina di Palembang tahun 1930 Foto : Kitliv |
Bangunan pertama yang saya kunjungi adalah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II sebuah Museum ini terletak di tepi sungai Musi di dekat Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Museum ini terdiri dari dua lantai berarsitektur kolonial dengan atap rumah limas khas Palembang. rumah yang dibangun rencananya diperuntukkan bagi komisaris karajaan Belanda di Palembang , J. L. Van Seven Hoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi komisaris di Palembang selama November 1821 – Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal sebagai gedung siput.
Bangunan ini selesai didirikan kembali dengan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dengan arsitektur Palembang sendiri. Dibangun bergaya indis sebagai bangunan yang lazim pada masa itu dan sudah menggunakan bangunan baja beton dan kaca sebagai imbas dari revolusi industri di Eropa. Pada tahun 1825 dan selanjutnya dijadikan Komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatera Bagian Selatan, sekaligus sebagai kantor Residen Belanda.
Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, Fungsi bangunan ini teah silih berganti, mulai dari markas Jepang pada masa pendudukan, Teritorium II Kodam Sriwijaaya di awal kemerdekaan yang kemudian berpindah pengelolaan ke Pemerintah Kota Palembang sebelum akhirnya menjadi Museum.
Meskipun telah mengalami renovasi, bentuk asli bangunan tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung.
Bangunan Kedua yang menjadi tempat kunjungan saya saat itu adalah Jacobson Van Den Berg Pendiriaan Untuk NV Jacobson van den Berg & CO di Palembang sendiri masih belum jelas kapan di dirikannya, karena merupakan cabang dari perusahaan dagang Belanda yang berpusat di Batavia. Perusahaan dagang milik Belanda yang beroperasi sejak tahun 1860 dan dinasionalisasikan pada kisaran tahun 1957-1958. perusahaan ini bergerak di bidang asuransi dan perdagangan (Expor Import) termasuk membentuk perusahaan kongsi di Palembang untuk pembelian karet dan kopi. Dengan menenmpati gedung di kawasan sekanak tepat beseberangan dengan Sekanak Jetty (BekangDam II/SWJ), yang kala itu menjadi sarana pendukung dalam distribusi barang-barang yang keluar masuk kota Palembang.
Gedung yang berlantai 2 ini, juga merupakan saksi perkembangan zaman baik dari zaman Belanda. Setelah melakukan nasionalisasi perusahaan menjadi BUMN Niaga, yakni PT. Dharma Niaga, PT. Pantja Niaga dan PT. Cipta Niaga. PT. Dharma Niaga dan PT. Cipta Niaga dan pada tahun 2003-an ke 3 perusahaan tersebut melakukan peleburan menjadi PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) atau ITC (Indonesia Trade Company), yang dulunya gudang PT Dharma Niaga menjadi salah satu gudang ITC di Palembang, tetapi saat ini yang sekarang pun seluruh gedung sudah tidak terpakai dan di biarkan terlantar lagi. Perusahaan yang pernah besar pada zamannya, sekarang tinggal bangunan tua yang sudah tidak terawat, apakah sejarah itu akan lenyap seiring dengan perkembangan zaman.
Sebuah perusahaan dagang Belanda yang besar, didirikan di Denhaag, Belanda pada 1 Juni 1860. NV Jacobson van den Berg & Co atau Jacoberg bergerak di bidang perdagangan, jasa asuransi, dan industri. Memiliki jaringan bisnis yang luas dan kuat. Kantor-kantornya tersebar di seluruh dunia seperti New York, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Buenos Aires, Montevideo, Singapura, Kuala Lumpur, Penang, Hongkong, Tokyo, Osaka, Kobe, Sydney, Melbourne, Brisbane dan Batavia (Jakarta). Javobson van den Berg merupakan salah satu dari The Big Five, lima perusahaan raksasa milik Belanda, selain Internatio, Lindeteves, Borsuimi; J dan Geo Wehry. The Big Five juga membentuk sebuah Trading House yang kuat dan menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri serta distribusi di berbagai negara. Di Hindia Belanda (Indonesia) Jacoberg memiliki sejumlah kantor cabang, antara lain di Medan, Sibolga, Padang, Bengkulu, Jambi, Palembang, Teluk Betung, dan Pangkal Pinang, untuk kawasan Sumatera. Di Jawa, terdapat di Cirebon, Bandung, Semarang dan Surabaya. Di Kalimantan terdapat di Banjarmasin, Samarinda, Balikpapan, dan Pontianak. Selain itu, kantor cabangnya di Makassar, Manado, Ambon, Denpasar dan Ampenan.
elanjutnya tempat yang menjadi bangunan sejarah Belanda yaitu Menara air dimana instalasi pengolahan air bersih pada masa Walikota Palembang dijabat Ir. R.C.A.F.J. Le Cocq d Armandville dapat dikatakan sungguh luar biasa. Pasalnya, saat itu keuangan Haminte (Gemeente) Palembang sedang dalam kondisi yang sangat buruk. Ketika tercetus ide untuk membangun Menara Air, akhirnya dikenal sebagai Kantor Ledeng. pada tahun 1928, utang Haminta Palembang sudah menumpuk. Untuk pajak jalan dan jembatan saja, mencapai 3,5 ton emas, Ini belum lagi keterpurukan akibat parahnya sistem administrasi. Setahun kemudian, 1929, setelah pembuatan master plan kotyaoleh Ir. Th. Karsten, dibangunlah sarana air bersih. Selain bangunan berupa menara saat ini, Bangunan yang dibangun pada tahun 1928 selesai di bangun pada 1931 ini didirikan dengan gaya de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar. dengan menghabiskan biasa +/- 1 ton emas.
Orang Belanda di Palembang 1915 Foto : Kitlv.nl |
pendidtribusiannya dikenal sebagai sistem gravitasi setinggi 35 meter dan luas bangunan 250 meter persegi. Bak tampungnya berkapasitas 1.200 meter kubik merupakan cara yang efektif pada saat itu untuk pendistribusian air sampai ke daerah klonial dan daerah pasar 16 ilir, segaran dan sekitranya Arsitek yang menangani pembangunan gedung juga dimanfaatkan sebagai Kantor Haminte dan Dewan Kota ini adalah Ir. S. Snuijf. Dipilihlah lokasi gedung di tepi Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak. Sehingga pada masa itu, posisi Kantor Ledeng tepat di tepian air.
Bangunan ini berdiri pada tahun 1928 yang dulunya dikenal dengan sebutan Water Torren (Menara Air) atau disebut masyarakat Palembang sebagai Kantor Ledeng.Pada Zaman Jepang pada tahun (1942 – 1945) Balai Kota (Kantor Menara Air) dijadikan Kantor Syuco-kan (Kantor Residen) dan terus dimanfaatkan sebagai balaikota sampai dengan tahun 1956. Sampai saat ini Bangunan ini kokoh dan dijadikan Kantor Walikota Palembang.
Dan Tempat terakhir atau tempat yang sangat menakjubkan bagi saya di saat saya memasuki beberapa ruangan yang ada yaitu Museum Tekstil itu sendiri atau gedung Eks BP7 itu telah dibangun pada masa kolonial Belanda untuk kantor gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Dalam perjalanan waktu, gedung ini dimanfaatkan pula menjadi berbagai kantor. Pada 1961 menjadi kantor Inspektorat Kehakiman, kemudian sebagai rumah dinas KejaksaanTinggi Sumsel, rumah ketua DPRD Sumsel, kantor Pembantu Gubernur, kantor Badan Kepegawaian Daerah, kantor BP7, dan terakhir sebagai Museum Tekstil Palembang. Tulisan : http://hwc2015.nvo.or.id/
No comments:
Post a Comment