CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

26 November 2016

Tradisi Menamatkan Al-Quran/ Khataman Al-Quran Di Palembang Yang Mulai Di Tinggalkan Masyarakat

Hasil gambar untuk mengaji
Mengaji Foto : http://www.harnas.co/
Adat yang paling utama dan masih dipakai oleh anak negeri waktu itu adalah tentang pemeliharaan anak . Anak yang telah berusia kira-kira 4-5 tahun, maka ia dibawa kepada seorang ustaz untuk belajar mengaji Alquran. Orangtua atau wali anak tersebut membawa satu rago (bakul/keranjang) berisi 20 keping opak, satu tandan pisang mas, sepiring nasi gemuk (uduk) dengan sebutir telor ayam yang direbus dibenamkan di tengah-tengah nasi itu dan satu botol minyak pasang yang maknanya supaya anak itu terang hatinya.

Kalau anak itu sudah dapat pertengahan Quran mengajinya, maka guru itu pun diberi pula nasi kunyit panggang ayam, opak, dan pisang mas selamatan. Setelah khatam (tamat) Alquran, apabila orangtuanya ada keluasan rezeki, maka anak itu diselamatkan tamat Quran. Waktu gurunya diberi sekurang-kurangnya 6 piring juadah (kue), 1 nasi dengan 6 piring gulai ayam, 2 gogok/geleta serbat (air jahe), 12 cangkir srikaya, 1 helai kain, baju, kopiah, dan satu sejadah petamatan namanya serta diberi uang. Jika anak itu laki-laki, maka sekaligus ia langsung dikhitan (sunat), agar supaya tidak terlalu repot mengerjakannya dua tiga kali.

Lebih kurang satu minggu sebelum anak itu akan ditamatkan, orang tua sianak tersebut memberitahu sekaligus mengundang sanak saudaranya dan para sesepuh bahwa pada hari itu ia akan menamatkan anaknya. Perlunya orang diberi tahu terlebih dahulu ialah supaya tuan rumah nantinya bisa mendapat pertolongan disaat membersihkan dan menghiasi rumahnya (majang).

Anak yang akan ditamatkan nanti disuruh istirahat di rumah dan dilarang untuk berjalan-jalan lagi, karena dikhawatirkan kalau-kalau anak itu mendapat bahaya dan terhambat akan tamat pada hari yang ditentukan. Dalam pada itu seluruh tubuhnya dibedaki serta jari tangan dan kakinya diberi pacar (inai). Orang yang setiap hari ikut mendekorasi/majang rumah tersebut disediakan pula makanan seperti beras ketan digoreng dengan kelapa diberi gula yang dinamakan cengkaruk.

Sehari sebelum anak itu ditamatkan, maka orang tua anak itu menyuruh pula memanggil orang-orang sanak saudara dan sahabat kenalannya yang laki-laki, supaya datang besoknya. Sedangkan yang perempuan dipanggil empat lima hari sebelum itu, gunanya agar dua hari sebelum waktunya mereka datang dan dapat membantu mempersiapkan dan mengumpulkan seluruh alat keperluan masak-memasak.

Sehari sebelum pelaksanaan, maka kaum ibu-ibu pun mulailah memasak. Karena sehari itu seluruh makanan baik itu kuah-kuah, gulai, dan kue-kue harus sudah siap, karena esok harinya tidak sempat lagi, melainkan tinggal nasinya saja yang dimasak.
Hari yang ditetapkan telah tiba. Pagi-pagi disuruh oleh orang tua anak itu beberapa orang suruhan laki-laki perempuan untuk mengulangi memanggil (ngulemi). Orang panggilan itu diundang dari pukul 8 sampai 12 siang.

Antara jam 10 dan 11 siang, nasi sudah masak, semua gulai sudah dibagi-bagi dan sudah dilainkan pada suatu tempat. Selanjutnya anak tersebut dibawa kelain rumah yang jauhnya menurut mufakat orang banyak. Disitu ia dihiasi dengan pakaian Aesan Gede atau dengan Aesan Haji. Antara jam 11 - 12 anak itu diarak orang sambil berziki Hadera/ syarofal anam memakai terbangan (rebana), gamelan dan tabuhan-tabuhan lain.

Setelah sampai di rumah, anak itu pun disuruh membaca turutan (juz Amma) di muka penghulu atau khatib dan orang-orang alim, para santeri serta orang tua-tua yang hadir.

Dengan demikian ia dianggap tamat dan cukup untuk dapat menjalankan perintah agama. Acara ditutup dengan doa yang dibacakan oleh salah seorang pemuka agama serta akan tamat tadi disuruh sujud-sujudan (cium tangan) minta berkat keselamatan dari orang tua-tua, setelah selesai lalu ia masuk. Selanjutnya barulah jamuan dihidangkan.
Lagipula kalau tidak diberi tahu seperti ini, maka orang-orang tua tidak mau datang pada hari yang ditentukan. Tiga hari sebelum hari H, ia sudah mulai siap-siap menghias rumah (majang) dengan dibantu oleh para sanak saudara dan teman-temannya terutama yang muda-mudah. Hiasan/dekorasi yang dipakai waktu itu biasanya bermacam-macam langsi (gordijnen) dan pelisir. Tempat melekatkannya pada loteng dan tiang-tiang rumah yang diatas. Pada rumah yang tidak bercat, maka tiang itu dibungkus dengan kain pelangi atau selendang-selendang yang bagus warnanya.

Sumber : Sripo

No comments:

Post a Comment