CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

11 November 2016

Peran Sayyid dalam dunia Pendidikan Islam di Palembang 1938



PERAN SAYYID dalam dunia Pendidikan Islam di Palembang 1938


"ULAMA PENGULON PALEMBANG" berfoto di Masjid Agung th.1935, tengah dari kanan:
1. Hoofd Penghulu Kgs.H.Nang Toyib
2. Habib Salim Jindan (Jakarta)
3. Ki.Kms.H. Umar 19 ilir (datuk kulo)
4. Demang Cek Bakri
 

Sumber : andi.s.kemas

Perkembangan Pendidikan Islam di Palembang

Persaingan yang terjadi antara pedagang kaya di ibukota Keresidenan Palembang menyebabkan perubahan struktural di bidang pengajaran agama. Sesudah tahun 1925, pengajaran agama di Palembang masih bersifat tradisional. Pengajaran hanya diberikan di langgar dan masjid kepada kelompok murid dari usiayang berbeda-beda. Pertama-tama diajarkan mengaji Al-Quran tanpa terlalu memperhatikan pemahamannaskah yang dibaca maupun lagu yang tepat. Tahap awal ini kemudian disusul dengan pengajaran bahasa Arab yang terutama terdiri dari menghafal naskah sederhana. Mereka yang dengan cara ini telah menguasai bahasa Arab, diizinkan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan ulama terkemuka, yang membacakan kitab kuning dalam bahasa Arab dan memberikan komentar dalam bahasa Melayu.

Sesudah tahun 1900, bentuk tradisional demikian makin dikritik. Untuk dapat bersaing dengan sektor pendidikan kolonial, guru agama Islam mulai mengadakan pembaharuan sehingga isi maupun organisasi pengajaran agama berubah banyak sekali. Dalam dasawarsa pertama abad ke-20, di Jawa dan di Minangkabau didirikan madrasah, yang untuk pertama kali memberikan pelajaran di dalam kelas. Di sekolah baru ini, perhatian banyak diberikan kepada pelajaran bahasa Arab, supaya murid lebih mengerti naskah, dan untuk itu dikembangkan bahan pelajaran baru dibantu alat didaktis yang lain, seperti papan tulis dan bangku sekolah, yang untuk pertama kali diperkenalkan di kelas. Di berbagai sekolah agama sebagian dari kurikulum disediakan untuk mata pelajaran umum seperti sejarah dan ilmu bumi.

Pada awal abad ke-20, bentuk pengajaran baru seperti ayng dikembangkan di Jawa, belum mendapat banyak perhatian di Palembang. Di ibukota Keresidenan Palembang pendidikan agama Islam baru menerima impuls pembaharuan ketika pada tahun 1924 beberapa saudagar berkumpul untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan Perkoempoelan Dagang Islam Palembang. Pada rapat pertama, dirumuskan dwi-tujuan organisasi yang akan memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota, sekaligus meningkatkan kualitas pengajaran agama Islam di Palembang (IPO 1924: 370). Pada tahun berikut, dimulai pengumpulan uang, dan dengan dana ini PDIP kemudian mendirikan madrasah di Kampung Sekanak, dekat dermaga perdagangan. Madrasah Diniyah Aliyah ini bukan saja contoh yang baik dari hubungan erat antara perdagangan dan lembaga Islam, melainkan juga merupakan ilustrasi nyata dari peranan bentuk perlindungan dalam proses Islamisasi, dan persaingan antara pelindung agama yang meningkat pesat selama periode konjungtur tinggi.

Pada awalnya madrasah ini dimaksudkan sebagai proyek kolektif kaum dagang di Palembang. Pada rapat pertama pengumuman pendirian sekolah agama disambut dengan penuh antusias, kemudian diadakan acara buka dompet guna mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung sekolah. Sayangnya antusiasme para pendiri PDIP cepat berkurang, sehingga dalam praktiknya Madrasah Diniyah Aliyah semata-mata mengandalkan bantuan firma H. Akil , suatu perusahaan besar yang aktif dalam perdagangan kopi dan karet di pelabuhan Palembang. Perkoempoelan Dagang Islam Palembang dengan cara halus kemudian diubah menjadi Perkoempoelan Dagang Bangsa Melajoe.

Bagi masyarakat Palembang yang didominasi minoritas Arab, perubahan nama ini bukan tanpa arti. Pada tahun 1907, beberapa keluarga Arab telah mengembangkan prakarsa baru di bidang pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab yang bernama Al-Ihsan. Inisiatif ini agak dirangsang oleh rasa persaingan yang kuat dengan minorits Cina, yang terlebih dahulu telah membuka sekolahnya. Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan nama sama demi kepentingan pendidikan kaum sayid. Selain sekolah Al-Ihsan, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Arabiyah di Kampung 13 Ulu, tempat tinggal marga Al-Munawar, yang termasuk sayid kelas tinggi.Sekolah yang dibiayai keluarga Al-Munawar ini, terutama dikunjungi oleh anak-anak (Arab) dari kampung-kampung sekitar 13 Ulu. Di kedua madrasah ini, pengajaran masih diatur menurut model tradisional sehingga tidak jauh berbeda dengan isi kurikulum seperti yang diberikan di langgar. Oleh karena itu, minat masyarakat Palembang di luar kampung Arab untuk mengikuti pelajaran di madrasah ini tidak terlalu besar sehingga sekolah itu hidup agak lesu.

Persaingan dari Madrasah Diniyah Aliyah yang dibiayai Perkoempoelan Dagang Bangsa Melajoe mengakhiri keadaan ini, dan dengan begitu rangsangan baru diberikan kepada lembaga pendidikan kaum sayid. Dua puluh tahun sesudah pendirian Madrasah Al-Ihsan yang pertama, perkumpulan ini didirikan lagi dan kemudian disusun suatu panitia sekolah yang terdiri atas anggota muda bangsa Alawiyin yang terutama berasal dari bagian ilir kota.Di sekolah baru ini pengajaran diberikan dengan sistem kelas, berdasarkan kelompok umur, kepada anak lelaki maupun perempuan di tingkat sekolah dasar (ibtidaiyah). Di bagian Ulu kota, prakarsa Al-Ihsan diambil alih oleh Sayid Muhammad Al-Munawar, yang pada tahun yang sama mengadakan reorganisai di Madrasah Arabiyah. Guna meningkatkan mutu pendidikan, didatangkan guru dari Jamiat Al-Khair di Betawi, dan kemudian pengetahuan umum seperti bahasa Belanda dan Inggris, dimasukkan dalam kurikulum Madrasah Arabiyah.

Walaupun madrasah-madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 berhasil melakukan pembaharuan di bidang pendidikan agama, jika ditinjau dari segi sosial, lembaga ini masih mewakilki pola lama yang telah dikembangkan selama abad ke-19. Hampir semua madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 menggantungkan diri pada dukungan pelindunganya. Ketergantungan ini tidak hanya terasa di bidang keuangan tetapi juga mendapat ekspresi secara simbolis. Para pelindung madrasah menjadi pusat perhatian masyarakat, dan rangkaian seremoni baru diperkenalkan untuk menegaskan martabat dan penampilan mereka.

Pendidikan Islam di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya, menurut Mahmud Yunus, lebih banyak mengikuti pendidikan Islam di Jawa ketimbang Minangkabau. Pesantren-pesantren lama yang ada di Sumatera Selatan hampir sama dengan pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Di Sumatera Selatan tidak dikenal kitab Dlammun, sebagaimana juga di Jawa. Begitu juga kitab Safinatun Najah yang tidak dikenal di Minangkabau dikenal di Sumatera Selatan dan Jawa.

Pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah di Palembang banyak bermunculan semenjak berkembangnya agama Islam. Yang termasyhur di antaranya adalah:
1. Madrasah Al-Quraniah. Madrasah ini didirikan oleh Kamas Kiyai H. Muhd. Yunus pada tahun 1920 di Palembang. Madrasah ini terdiri dari bagian Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pada masa keemasannya murid-muridnya bisa mencapai 400 orang dengan guru berjumlah lima orang. Madrasah ini masih hidup sampai sekarang.
2. Sekolah Ahliah Diniah. Madrasah ini didirikan oleh K. Masagus H. Nanang Misri pada tahun 1920 di Palembang. Madrasah ini terdiri dari dua tingkatan, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
3. Madrasah Nurul Falah. Madrasah ini didirikan K.H. Abu Bakar Al-Bastari pada tahun 1934 di Palembang. Nurul Falah terdiri dari tiga tingkatan, yaitu; (a) Tingkatan Ibtidaiyah, lama pelajarannya lima tahun; (b) Tingkatan Tsanawiyah, lama pelajarannya tiga tahun; (c) Tingkatan Aliyah, lama pelajarannya dua tahun. Pada masa keemasannya, murid-murid madrasah ini mencapai 600 orang. Madrasah ini masih hidup sampai sekarang.
4. Madrasah Darul Funun. Madrasah ini didirikan oleh Kiyai H. Ibrahim pada tahun 1938 di Palembang. Dahulu Darul Funun ini terdiri dari bagian Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, tetapi sekarang hanya terdiri dari bagian Ibtidaiyah saja.

Lain daripada itu, banyak lagi madrasah-madrasah di Sumatera Selatan mulai dari kota-kota sampai ke dusun-dusun, seperti madrasah-madrasah: iSalathiah, Diniah, Tarbiah Islamiah, Nurul Huda, dan lain-lain. Pada zaman kemrdekaan Indonesia telah didirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) di Palembang.

Kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren Sumatera Selatan hampir sama dengan kitab-kitab yang dipakai pesantren-pesantren di Jawa seperti: Ajrumiah, Syekh Khalid, Azhari, Qathrun Nada, Ibnu Aqil, Matan Bina, Kailani, Sanusiah, Ummul Barahin (Dusuqi), Safinatun-Najah, Fathul Qarib, Fathul-Muin, dan lain-lain. Begitu juga kitab-kitab yang dipakai di madrasah-madrasah Sumatera Selatan hampir sama dengan kitab-kitab yang dipakai di Jawa, terutama Jakarta, karena dekatnya perhubungan antara Sumatera Selatan dengan Jakarta.

Perguruan Tinggi Islam yang ada di Palembang di antaranya adalah Fakultas Hukum Islam yang didirikan pada bulan September 1957 oleh Yayasan Perguruan Islam Tinggi Sumatera Selatan. Fakultas Hukum Islam ini terdiri dari; (a) Persiapan (propaediuse) selama satu tahun; (b) Bacalaureat I dan II selama dua tahun (lengkap); dan (c) Doktoral I dan II selama dua tahun (tamat). Jumlah keseluruhannya adalah lima tahun.

Fakultas Hukum Islam menganut sistem bebas dalam studinya bukan sistem terpimpin. Mahasiswa yang telah mengikuti kuliah pada satu tingkat selama satu tahun diberi kebebasan untuk mengikuti kuliah pada tingkat yang lebih tinggi, kecuali untuk tingkat doktoral. Fakultas Hukum Islam ini mula-mula dipimpin oleh A. Gani Sindang, kemudian oleh K.H. Abu Bakar Bastari sampai tahun 1959. Dosennya pada tahun 1959 berjumlah 12 orang. sumber : http://witrianto.blogdetik.com/

No comments:

Post a Comment