Kesenian yang sudah tergerus zaman ini sudah sangat jarang untuk di temukan pementasannya terutama di perkotaan, kesenian yang di perkenalkan oleh Wan Bakar ini minim penerus dan peminat.....akankah terus bertahan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pria
bertubuh tegap ini dilahirkan di Kampung Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir,
Sumatera Selatan, 68 tahun lalu. Dia merupakan adik kandung seorang aktor
Dulmuluk yang sekaligus penggubah cerita Zubaidah Siti, yakni Arjo Kamaluddin.
Ujuk Saidi, panggilan akrab Saidi ini, pernah mengecap sekolah rakyat namun tak
selesai karena Ujuk Saidi lebih mementingkan bermain Dulmuluk ketimbang
sekolah. Bapaknya, Kamaluddin, merupakan perintis Dulmuluk di Sumatera Selatan.
Kamaluddin
merupakan murid Wan Bakar. Wan Bakar adalah seorang saudagar keturunan Arab
yang mepopulerkan Syair Abdoel Moeloek karya Raja Ali Haji. Dari masa Wan Bakar
inilah cikal bakal adanya Teater Tradisional Dulmuluk. Pada awalnya, adalah
pembacaan syair yang disebut juga teater mula atau teater tutur.
Pada
masa sebelum zaman kesultanan Palembang pembacaan syair sangat disukai
masyarakat. Di Palembang dikenal dengan pembacaan syair Abdul Muluk. Ternyata
pembacaan syair tersebut sangat digemari oleh masyarakat, karena itu pada tahun
1854 dibentuklah perkumpulan pembacaan syair oleh Wan Bakar di kampung Tangga Takat
(16 ulu). Sebagai teater tutur, penyampaiannya dibawakan oleh seorang pembaca
di hadapan pendengar atau penontonnya di Rumah Wan Bakar yang berbentuk rumah
limas Palembang. Rumah limas ini terdiri drai lantai yang bertingkat yang
disebut bengkilas. Antara bengkilas yang satu dengan yang lain dibatasi oleh
sekeping papan tebal yang dinamai kekejeng. Pembaca syair duduk pada bengkilas
yang lebih tinggi dari pendengar atau penonton.
Sebagai
calon aktor Dulmuluk saat Ujuk berusia 7 tahun, maka Ujuk Saidi belajar dari
abangnya. Di usia delapan tahun Saidi Kamaluddin bermain Dulmuluk untuk pertama
kalinya. Tak tanggung-tanggung dia memerankan tokoh perempuan. Di masa itu
memang kaum perempuan agak tabu bermain Dulmuluk, itu sebabnya setiap tokoh
perempuan, seperti tokoh Siti Rofiah dimainkan oleh pria. “Saat aku maen
pertamokali, aku hanya dibayar selawe rupiah,” kenang Saidi yang pernah
mendapat anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2001. Di usianya yang sudah
tua ini, Ujuk Saidi bahkan masih terus bermain Dulmuluk ke pelosok-pelosok
desa. Kesetiaan Saidi terhadap dunia kesenian tradisional itu menjadikan
Asosiasi Tradisi Lisan, sebuah lembaga yang konsern terhadap seni tradisi
mengajukan Saidi bersama Sailin untuk menerima penghargaan Maestro dari pemerintah
pusat. Bakat besarnya di bidang keaktoran kini diikuti oleh anaknya, yakni
Yudhi yang beberapa waktu lalu ikut tampil bersama ayahnya di Gedung Kesenian
Jakarta. /apb/
No comments:
Post a Comment