Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah
teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang
sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan
yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar
Putra Bayu, di Palembang, Selasa (28/2), mengungkapkan, salah satu syair Raja
Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang
mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah
Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair
tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu
menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik,
pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah
iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad
ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang
menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk
sempat menjadi alat propaganda Jepang.
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari
masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon,
syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam,
sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat
itu,” kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai,
pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung
dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons
percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan
bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika
alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar
lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan
lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan
energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
”Dulmuluk terlambat beradaptasi dengan zaman yang berubah begitu
cepat. Hanya bermodalkan cerita yang monoton dan manajemen ala kadarnya,
dulmuluk sulit bersaing dengan hiburan modern,” katanya.
Sebenarnya, beberapa kelompok seniman berusaha melestarikan dan
membina generasi muda menekuninya. Beberapa acara digelar: festival, pelatihan,
siaran di televisi, dan pementasan dulmuluk secara terbuka. Namun, sedikit
generasi muda yang tertarik, sedangkan generasi tua terus berkurang.
”Kalau mau bertahan, dulmuluk hendaknya memperbarui diri dengan
menciptakan kreasi cerita, pendekatan, dan tema yang lebih sesuai dengan
kehidupan sekarang. Pakem lama tidak sakral sehingga bisa diadaptasikan dengan
perubahan zaman,” kata Zulkhair Ali, dokter spesialis penyakit dalam di RS
Muhammad Hoesin, Palembang. Dokter yang dikenal sebagai ZA Nara Singa ini aktif
menghidupkan spirit dulmuluk dalam teater modern pada berbagai pementasan. (ilham
khoiri) Kompas
No comments:
Post a Comment