CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

10 June 2010

Ngarak Pengantin

Ngarak Penganten


Dari satu buku yang ditulis oleh Hj Anna Kumari berjudul Tujuh Hari Tujuh Malam, rangkaian adat nikahan masyarakat Palembang di zaman Kesultanan Palembang Darussalam dimulai dengan sebutan akad nikah, yang oleh masyarakat Palembang Darussalam biasanya dilangsungkan Jumat. Akad nikah dilangsungkan di rumah mempelai pria. Calon mempelai wanita hanya boleh diwakilkan ayah atau wali pria yang lain. Begitu penghulu menasbihkan sah, resmilah si pria menikahi wanita pujaannya.
 
Malam hari setelah akad nikah, dilangsungkan upacara ngarak pacar. Dalam acara ini, mempelai pria mengajak keluarga dan kerabat berkunjung ke rumah mempelai wanita sembari membawa nampan beralaskan kain sutera yang berisikan keris pusaka nenek moyang. Rombongan mempelai pria diarak dengan musik gambus menuju rumah mempelai wanita. Nampan ini diserahkan ibu mempelai pria kepada mempelai wanita, yang sudah menanti kedatangan di dalam kamar pengantin. "Menurut masyarakat zaman dulu, keris dan bunga merupakan lambang pertemuan yang disebut dengan istilah nemuke perkawinan. Keris simbol pria, dan bunga simbol wanita," kata Anna di dalam bukunya.

06 June 2010

Kue Engkak Ketan Khas Palembang

Foto : Cookpad.com

Engkak adalah sajian kue dari campuran bahan tepung ketan, santan kelapa dan beberapa bahan lainnya yang kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam loyang lalu dipanggnag secara berlapis-lapis dengan melewati beberapa tahapan.
Kue engkak ini adalah sajian kue lezat yang berasal dari Sumatera Selatan lebih tepatnya Palembang , Lampung juga beberapa kota lainnya di sekitar sumsel yang memiliki sajian rasa jempol alias top markotop atau enak bangeut. Karena melewati tahap pemanggangan dalam penyajiannya menjadikan kue engkak ketan lapis, begitu sebutannya, kue yang tergolong tahan lama atau bisa disimpan dan disantap kembali di lain waktu.
Untuk membuat sajian kue engkak ketan lapis ini ada beberapa bahan yang harus disiapkan terlebih dahulu dan semuanya dapat didapat dengan mudah di warung-warung, mini market atau juga swalayan. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kue engkak ketan lapis serta cara pembuatannya dapat dilihat dalam sajian resep cara membuat kue engkak ketan lapis rasa jempol berikut ini.
Resep Kue Engkak Ketan Lapis
Bahan-bahan
  • Gula pasir 1 kg
  • Tepung ketan 1 kg
  • Santan kelapa 1.5 liter, didihkan
  • Susu kental manis 1 kaleng
  • Mentega 250 gr, lelehkan
  • Telur ayam 10 butir
  • Vanili sesuai kebutuhan
Cara Mudah Membuat Kue Engkak Ketan Lapis Rasa Jempol
  1. Larutkan tepung beras ketan ke dalam santan kelapa, aduk merata kemudian sisihkan.
  2. Sementara itu pecahkan telur dalam wadah kemudian taburi dengan gula lalu kocok lepas dengan menggunakan whisk.
  3. Setelah itu, campurkan kocokan telur ke dalam campuran tepung beras ketan dan santan kemudian saring sampai tak tersisa.
  4. Selanjutnya tuangkan sebagian campuran bahan ini ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan taburan tepung sebelumnya juga bentangan kertas roti pada bagian bawahnya.
  5. Masukkan ke dalam pemanggangan, tunggu sampai setengah matang kemudian tumpuk lagi dengan sebagian adonan yang masih ada kemudian panggnang kembali sampai setengah matang dan lakukan hal yang sama sampai menjadi kue engkak yang berlapis-lapis dan matang.
Selesai sudah pembuatan kue engkak dengan beberpa lapisan adonan yang disajikan. Sekarang saatnya bagi anda untuk mencobanya di rumah.

02 June 2010

Sahilin, Pelestari Irama Batanghari Sembilan

Oleh Muhamad Nasir (Sinar Harapan).

PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi ciri khas daerah ini.

Sekalipun untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini. 

Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan penelitian tahun 1992.

”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.

Sumber : Youtube 

Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan Kesenian Batanghari Sembilan. Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.

Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari, mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi, sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu penuh ratapan. Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca mata hitam untuk menutup matanya yang buta.

Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya. Pedih dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.
Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua) ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini. 
Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang mencapai 20-30 bait.

Gitar dari Ayah

Bakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang. Pemberian gitar ayahnya menjadi kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang. Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia menghibur diri dengan bermain gitar.

”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini, mengenang. Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan.

Dari sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab, Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.

Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.

“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.
Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21), Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran 5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.


Sahilin - Ikon Seni Batanghari Sembilan
/Ilham Khoiri / Kompas

Umak-umak belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah malas tiduk dewek.
Lemak pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali lah meluk bantal. 

Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Sumatera Selatan.

Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.

Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian. Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas Palembang.

Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.

Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit, salah satunya Sahilin.

Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan gitarnya yang unik.

Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.

Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai, Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.

"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering terlupa," katanya.

Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.

Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.

Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang, sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap, dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.

Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan mendengar dari sana-sini.

Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang. Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman yang tenar.

Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun. Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.

Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe. Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari sembilan yang telah meninggal.

Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.

Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.

Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.


"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras.