CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

15 January 2019

Guguk Kepandean



Pada mulanya wilayah pemukiman penduduk Kota Palembang di zaman Kesultanan berpusat kepada Keraton. Sedang pemukiman penduduk saat itu dibentuk menurut sistem struktur masyarakat tradisional setempat. Keseluruhan sistem atau lembaga ini, sebagaimana diutarakan Djohan Hanafiah, berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama Guguk (gogok). Setiap Guguk biasanya mempunyai tugas, keahlian dan fungsinya tersendiri. Paling tidak ada 3 sektor menurut sifatnya, yaitu: Sektor Profesi (kedudukan/jabatan), Sektor Usaha, dan Sektor Fungsinya. Disetiap wilayah Guguk ini dipimpin oleh pemimpinnya, baik karena kedudukannya dia menjadi golongan bangsawan ataupun karena kebangsawanannyalah ia sebagai pemimpin.

Salahsatu guguk yang terpenting dan bersejarah adalah Kepandean. Kepandean berarti pandai besi, jadi lingkungan guguk Kepandean ini maksudnya ialah kampung yang dikaitkan dengan sektor usaha atau keahlian khusus dalam bidang kerajinan pandai besi. Orang yang mempunyai kepandaian atau keahlian dalam suatu pekerjaan tangan baik dengan alat atau bahan yang tertentu seperti batu, besi, kayu dan lainnya ini dalam istilah wong Palembang disebut 'tukang'.

Menurut naskah arsip lama, memang di Kesultanan Palembang dikenal banyak para tukang yang mempunyai keterampilan dan keahlian khusus, di antaranya seperti: 
- Tukang pembuat Payung, pengrajinnya ialah Masagus Basyar bin Mgs. Bawah bin Pangeran Cakra Wijaya bin Sultan Muhammad Mansur.
- Tukang Ukir, ialah Pangeran Nato Wikramo Mahjub bin Sultan Muhammad Bahauddin.
- Tukang Keris (empu), yaitu Kiagus Empu.
- Tukang Bangunan (arsitek), adalah Ki. Ranggo Wiro Sentiko.
- Tukang Rakit Api, dikerjakan oleh Raden Kijing.
- Pinakawan Sultan, yaitu Pangeran Wirakrama Gubir.
- Tukang Meriam, ialah Raden Keling bin R. Prabu Jaya.

Disamping membuat bermacam peralatan seperti pedang, parang, keris, lela, senapan, peluru dan lainnya, juga salahsatu hasil produksi di Guguk Kepandean yang sangat menonjol adalah pembuatan senjata meriam.

Guguk Kepandean terletak di wilayah lingkungan belakang keraton Palembang. Lokasinya membentang di antara Keraton Beringin Janggut dan Keraton Tengkuruk ataupun Keraton Kuto Besak (BKB) yang dikelilingi oleh Sungai Tengkuruk, Sungai Ketandan dan Sungai Kebon Duku. Oleh karena itu tempat ini dikenal pula dengan sebutan Kepandean Darat dan Kepandean Laut. Sekarang kawasan Kepandean ini masuk dalam lingkungan kampung 18 ilir.

Salah seorang pengrajin yang ahli dalam membuat senjata seperti meriam di masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah Raden Keling. Beliau merupakan priyai, bangsawan kerabat kesultanan. Nama lengkapnya Raden Muhammad Keling bin Raden Prabu Jaya bin Pangeran Adipati Peninjauan bin Sultan Muhammad Mansur. Keahliannya dalam membuat meriam tidak diragukan lagi. Banyak sekali meriam lokal yang telah dihasilkannya dan ternyata menjadi senjata yang ampuh dan jitu dalam beberapa pertempuran mempertahankan kedaulatan Kesultanan Palembang. Ratusan meriam produknya telah diletakkan di benteng-benteng pertahanan dan Keraton Palembang. Salah satu inskripsi pada meriam tersebut bertuliskan dalam huruf Arab berbunyi:
"Alamat Raden Keling ibnu Raden Prabu Jaya fi Baladi Palembang Darussalam sanah 1225 (1811)."

Meriam Palembang ini bahannya terbuat dari besi ataupun tembaga. Biji besi sebagai bahan membuat meriam dan pelurunya di antaranya didatangkan langsung dari Belitung, di cor di guguk Kepandean, tempat sentral pembuatan persenjataan Kesultanan Palembang. Sedang bahan-bahan pembuat obat mesiu diambil dari daerah uluan terutama di Tebing Tinggi. Setidaknya ada tiga tipe kaliber atau ukuran meriam, yakni ukuran kecil, sedang, dan besar.

Selain itu, menurut Frieda Amran dalam tulisannya, di pertengahan abad ke-19 (masa kolonial), terdapat tukang pandai besi sekitar 155 orang. Komunitas mereka sebagian besar tinggal berdekatan di Kampung 18 ilir. Pengrajin-pengrajin besi ini biasanya membuat parang, beliong dan tengkuit (arit). Mereka juga membuat keris dan kampak. Seorang pandai besi biasanya dibantu oleh dua orang kenek, yang berganti-gantian menarik puputan. Waktu yang diperlukan untuk membuat 50 buah parang itu adalah selama 10 hari, sehingga dalam jangka sebulan dapat dihasilkan sebanyak f60,- perbulan. Dalam sejarahnya, sejak dulu wong Palembang sudah biasa membuat senjata api, senjata tersebut luar biasa kuatnya, namun cukup berat dan berkwalitas. Kunci gembok dan paku juga diproduksi di Guguk Kepandean ini, meskipun lama kelamaan pekerjaan para tukang pengrajin ini semakin sedikit.

*Rujukan: dikutib dari berbagai sumber.

Plg, 13/1/2019
Kms.H. Andi Syarifuddin

***disadur dari sebuah tulisan di laman facebook Ust. Kms. Andi Syarifuddin

24 November 2018

Macan Lindungan


Penamaan tempat atau kampung-kampung di Palembang tempo doeloe tentunya sarat akan nilai historis serta memiliki makna sejarah lingkungan tersebut masing-masing. Dalam buku Peringatan Kota Pelembang 1272 tahun dan 50 tahun Kotapraja (Haminte) Palembang oleh RHAMA, 1956, bahwa Kota Palembang didirikan dengan undang-undang kelahirannya yaitu Instellingordonnatie Gemeente Palembang, Staatblad No.126 tanggal 1 April 1906 yang mengatur luas daerahnya, keuangan, hak, kedudukan, kewajiban, Dewan Perwakilan Rakyatnya, penyerahan beberapa kekuasaan, lalu lintas, kesehatan, pengawasan dan penguasaan atas pekuburan umum, dan lain-lain.

Luas kawasan wilayah di Kota Palembang akan semakin nampak batasan-batasannya ketika kita melihat dan membaca peta-peta lama Kota Palembang, di antaranya peta tahun 1917. Dalam peta tersebut nampak sebuah nama kawasan yang tidak asing terdengar di telinga kita yaitu Macan Lindungan.

Di samping itu, berdasarkan catatan arsip lama, dulu kawasan wilayah Macan Lindungan ini sangat luas membentang sejauh ratusan kilo meter meliputi Bukit Lama, Bukit Besar, Bukit Baru hingga Talang Kelapa. Nama guguk Macan Lindungan sudah ada sejak jaman kerihin.

Kondisi agraris kawasan Macan Lindungan tipikal tanahnya termasuk dataran tinggi atau talang. Selain berfungsi sebagai kebon yang memiliki beraneka jenis tanaman seperti pohon Tembesu dan lainnya, juga terdapat berbagai spesies hewan ternak maupun hewan liar seperti macan dan lain-lain merasa dilindungi di kawasan ini.

Menurut informasi laporan Demang RM. Hasir, di Palembang sampai tahun 1917, banyak sekali binatang-binatang yang terdapat di Palembang di antara: rusa, kijang, kancil, napuh, pelanduk, landak, macan, beruang, babi hutan, badak, tenuk, ular, monyet, buaya, ular berbisa dan lainnya. Semua hewan liar tersebut menjadi incaran bagi para pemburu untuk ditangkap. Kebanyakan binatang seperti rusa, kijang, kancil dan pelanduk ditangkap dengan jaring atau jerat terbuat dari rotan, atau sesekali diburu dengan anjing. Ada pula dibunuh dengan tombak atau senapan. Sedang buaya dan ular berbisa habitatnya hidup di rawa-rawa. Untuk membunuh macan atau harimau yang merusak ternak ditangkap dengan perangkap khusus yang disebut belantik. Agaknya keberadaan 'macan' ini perlu mendapat per'lindungan' dari tindakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dari kepunahan. Bahkan gajah, macan dan badak dijual ke luar negeri, dan ditempatkan di area Candi Angsoko untuk selanjutnya diangkut ke luar negeri. Kampung Candi ini dulu banyak ditumbuhi oleh pohon nangka besar.

Di samping itu, masyarakat wong Palembang selain pekerjaannya sebagai tukang dan pengrajin, juga ada yang beternak. Ternak yang dipelihara antara lain: sapi, kerbau, kambing, babi, ayam, itik, angsa dan kuda. Sapi diternak betul-betul oleh warga, lokasinya di sekitar kampung 5 ilir, 8 ilir, 20 ilir, 24 ilir, Talang Kerangga dan Bukit. Kerbau terdapat di Kampung Jawa (20 ilir), Talang Kerangga dan Bukit. Kambing, hampir di setiap kampung ada. Babi hanya diternak oleh orang Cina kebon di kampung 5 ilir, 8 ilir, 17 ilir, 20 ilir, Talang Kerangga dan Bukit. Ayam, itik dan angsa diingon hampir disetiap rumah warga. Sedang kuda sangat sedikit habitatnya.
Demikianlah gambaran keberadaan flora dan fauna masa itu. 

Salahsatu arsip catatan lama yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu tentang keterangan nama Macan Lindungan di antaranya ditulis oleh Pangeran Haji Nata Diraja. Pangeran Haji Nata Diraja adalah tokoh priayi Palembang yang pernah menetap di lingkungan wilayah guguk Talang Macan Lindungan. Beliau putera Pangeran Krama Jaya Perdana Menteri, penguasa terakhir Palembang di masa kesultanan. Pangeran Haji Nata Diraja wafat dalam tahun 1896. Dalam catatannya Pangeran Haji Nata Diraja menjelaskan tentang nama dan batas-batas daerah ini sebagai berikut:
"Kebon Macan Lindungan bertapal watas Sungai Segenap, Solok Gajah Mati, Sungai Sahang, Durian Padu, Gandaraya Payung, watas Talang Kelapa terus Kali Musi, Langbidara, Sungai Rambutan, Pulau Salam sampai di Solok Gajah Mati. Apa-apa yang tersebut di dalam itu pohon Tembesu kata punya lain orang tidak boleh seteru ganggu di dalam kebon tersebut."

Kini nama jalan Macan Lindungan yang melintas kawasan Bukit sebagian dirobah menjadi nama lain yakni jalan Parameswara.
wallahu a'lam

Palembang, 18-11-2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Di sadur dari sebuah halaman facebook Ustadz Kms. H Andi Syarifuddin

23 October 2018

Pesona Puteri "Yang" dari Muntok Isteri Sultan Palembang


Sebagaimana diketahui, dulu, Pulau Bangka Belitung termasuk dalam bagian wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak timah di Pulau Bangka telah di ketahui sekitar abad ke 17, timah menjadi salahsatu andalan sumber kekayaan bagi kesultanan selain lada. Produksi dan eksploitasi tambang timah mengalami peningkatan yang pesat setelah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB l) menggarapnya secara serius dengan mengrekrut dan menambah jumlah tenaga kerja manusia (SDM). Sebagian besar SDM tersebut adalah orang-orang Cina peranakan Siantan dari Kepulauan Natuna-Riau. Jumlah mereka sekitar 1000 orang ditempatkan di Muntok, yang dikenal ahli dalam pertambangan. Komunitas keluarga Cina ini beragama Islam. Setiap kaum prianya bergelar "Abang", sedang perempuannya bergelar "Yang". Puteri Yang ini menjadi salahsatu isteri sultan-sultan Palembang dan mendapat gelar kehormatan 'Masayu Ratu'.

Selain itu, Muntok agaknya merupakan tempat spesial dan mempunyai kenangan tersendiri bagi Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Menurut sejarahnya, baginda sendiri yang memberikan nama untuk tempat tersebut. Waktu itu belum bernama Muntok. Menurut RM Akib, dalam buku Sejarah Melayu Palembang (1929), diceritakan ketika Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo bersama isteri dan pengikutnya kembali dari rihlah ke Siantan menuju Palembang, mereka terlebih dulu singgah di Muntok. Waktu baginda pulang, disebutnya tempat itu "Mantuk", dalam bahasa Palembang asli/bebaso artinya balik atau pulang (Mantuk = Muntok).

Di Pulau Bangka Belitung waktu itu berlaku Undang-Undang Bangka produk yang dirancang dan disusun oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Undang-Undang ini sebetulnya mengacu kepada perundangan yang telah dibentuk dan berlaku sebelumnya di zaman Sunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706) dan mertuanya Bupati Nusantara, penguasa Bangka waktu itu. Memang, setelah Sultan Abdurrahman menikah dengan puteri Bupati Nusantara, Pulau Bangka diwarisi oleh anaknya yang menjadi permaisuri Palembang terutama jika ayahnya wafat. Dengan demikian, Bangka menjadi bagian wilayah kesultanan dan takluk kepada Palembang.

Peraturan Undang-Undang Bangka tersebut menetapkan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Bangka yang meliputi semua aspek, termasuklah di antaranya aturan pemerintahan, para pekerja tambang timah, dan perkawinan. Dari 45 perkara yang tercantum dalam perundangan ini, yang menarik dan paling mendapat perhatian serius ialah masalah perkawinan. Dalam salahsatu pasalnya menetapkan bahwa dilarang keras menikahi puteri Muntok bangsa "Yang" kecuali sultan Palembang.

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, mempersunting puteri Yang Zamiah (Lim Ban Nio) binti Datuk Dalem Abdul Jabar (Lim Piauw Kin) bin Datuk Nandam Abdul Hayat (Lim Tauw Kian) dalam tahun 1715. Begitu pula selanjutnya dengan sultan-sultan Palembang lainnya.

Nampaknya, pesona puteri "Yang" begitu memikat, memiliki karisma dan keistimewaan tersendiri, di antaranya:
- Peranakan Cina muslim asal Siantan, Kepulauan Natuna Riau.
- Zuriat bangsawan/ningrat Melayu.
- Ahli dalam bidang pertambangan timah.
- Membantu perjuangan Sultan Palembang.
- Mendapat gelar kehormatan 'Masayu Ratu'.
- Hingga akhir hayatnya jasadnya dimakamkan bersanding bersama Sultan. 

Adapun Sultan-Sultan Palembang beristerikan puteri "Yang", yaitu:
1. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1757), menikah dengan puteri Yang Zamiah Masayu Ratu binti Datuk Dalem Abdul Jabar bin Datuk Nandam. Menikah tahun 1715, melahirkan putera-puteri: Raden Ayu Jendul, Pangeran Arya Rustam, Pangeran Adipati Banjar Kutama Raden Pelet, RA Fatimah, dan RA Aisyah.

2. Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1757-1776), menikah dengan Yang Mariam Masayu Ratu. Juga memiliki keturunan.

3. Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804), menikah dengan Yang Pipah Masayu Ratu Dalem binti Abang Ismail Temenggung Karto Menggalo.

4. Sultan Mahmud Badaruddin ll (1804-1821), menikah dengan Yang Mas Irah Masayu Ratu Ilir binti Abang Haji Abdullah bin Temenggung Karto Menggalo. Melahirkan: Pangeran Prabu Menggala Umar, Pangeran Prabu Diwangsa Zen, RA Azizah, Raden Masyhur, RA Maryam, Pangeran Idrus, RA Cik, Pangeran Prabu Nata Menggala Alwi, dan RA Alawiyah.

5. Sultan Husin Dhiauddin (w.1825), menikah dengan Masayu Ratu Yang, juga memiliki keturunan.

Pernah terjadi satu kasus yang dialami oleh Pangeran Syarif Muhammad di masa SMB II. Dalam naskah diceritakan, Pangeran Syarif Muhammad yang merasa termasuk bagian dari keluarga kesultanan, rupa-rupanya terpesona akan kemolekan puteri pembesar Muntok bernama Yang Amanda, dan dengan secara diam-diam menikahinya. Setelah beritanya tersebar, 'perkawinan terlarang' ini kemudian diceraikan oleh SMB ll, isterinya di bawa ke Palembang, sedang ia melarikan diri ke Semenanjung Malaya (Kedah-Malaka) karena melanggar adat istiadat dan aturan perjanjian dalam Undang-Undang Bangka tersebut.
Wallahu a'lam

Palembang, 14/10/2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Di sadur dari sebuah halaman facebook Ustadz Kms.H. Andi Syarifuddin

14 October 2018

BUYUT CILIK (CILI) Keramat Guguk Kumpe Berayun

Seorang tokoh kharismatik masa silam yang dikenal oleh masyarakat banyak memiliki karomah, terutama ketika ia telah wafat. Makamnya sering dikunjungi warga.

Nama lengkapnya Kemas Cilik Ibrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Buyut Cili (Cilik/kecil). Ayahnya Pangeran Krama Diraja bin Syekh Kms. Muhammad bin Syekh Kms. Ahmad bin Kms. Abdullah bin Kms. Nuruddin bin Kms. Syahid bin Sunan Kudus.
Sedang ibunya bernama Raden Ayu Krama Diraja binti Sultan Mahmud Badaruddin Ternate (SMB ll).

Putera tunggal dari dua bersaudara, adiknya bernama Nyimas Maimunah menikah dengan Pangeran Nato bin Pangeran Kramo Jayo Perdana Menteri.

Sedangkan Kms. Cilik sendiri menikah dengan Masayu Chodijah binti Mgs.H Abdul Choliq dari guguk Kumpe Berayun. Dari pernikahannya ini beliau mempunyai seorang putera yang diberi nama Kms. Jalal Ismail.

Ayahnya, Pangeran Kramo Dirajo, selain ulama ia juga seorang pembesar keraton, pahlawan, Panglima Perang, Komandan Buluwarti sektor ulu BKB, Komandan Benteng Tambakbaya di Sungai Komering Plaju dengan memegang sejata pusaka Meriam Sri Palembang, Komandan Benteng Pulau Manguntama, Juru bicara (jubir) sekaligus menantu SMB II. Makamnya terletak di ungkonan Gubah Talang Keranggo.

Pun kedua kakek dari sebelah orang tuanya masing-masing, merupakan orang-orang hebat pula. Kakek dari sebelah ayahnya, adalah Syekh Kms. Muhammad (w.1837) bin Kms. Ahmad seorang tokoh ulama besar di Kesultanan Palembang Darussalam, mursyid Tarekat Sammaniyah dan guru utama sekaligus mertua SMB II. Makamnya juga di Talang Keranggo. Sedangkan kakek dari pihak sebelah ibunya adalah Sri Sultan Mahmud Badaruddin bin Sultan Muhammad Bahauddin, Sultan Palembang Darussalam (memerintah: 1803-1821). Dengan demikian beliau adalah cucu SMB II.

Buyut Cili wafat dan dimakamkan di guguk Kumpe Berayun jalan Pulo Palembang. Makamnya ini terletak di atas pulau kecil, sebab daerah tanah wilayah lingkungannya dikelilingi cabang Sungai Kemenduran yang bertemu dengan Sungai Sekanak. Oleh karena itu disebut dengan Pulo (pulau). 

Sedangkan penamaan guguk Kumpe Berayun, Kumpe adalah tumbuhan enceng gondok, sejenis tanaman air yang memenuhi permukaan air seakan berayun-berayun di sungai.

Lingkungan guguk ini berada di belakang Keraton Kuto Besak (BKB) di bagian arah Barat Daya. Di lokasi ini dulu sebagai tempat pemeliharaan kuda serta istal-istalnya. Di lapangan belakang keraton Kuto Besak ini pula Sultan melatih para pasukan berkuda. Daerah ini di masa kolonial disebut Kampung 21 ilir, tapi sekarang masuk dalam bilangan Kampung 22 ilir.

Menurut keterangan manda Mgs. Anwar Ali (75 th), sesepuh guguk Kumpe Berayun, makam Buyut Cili ini diyakini oleh masyarakat memiliki keramat. Di antara kekeramatannya yaitu:
- Burung akan jatuh jika melintas di atas makamnya.
- Waktu air pasang naik makamnya tidak kebanjiran, sedangkan rumah-rumah warga dan sekitarnya kacap terendam air.
- Sewaktu terjadi kebakaran besar, gubah makamnya yang terbuat dari kayu waktu itu tidak terbakar.
- Tanah di makamnya meninggi (tanah mungguk).
- Jika ada orang kencing sembarangan di makamnya, orang tersebut akan jatuh sakit.
- Makam keramatnya sering dikunjungi para peziarah.
- dll.
Wallahu a'lam.

Palembang, 7/10/2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Di sadur dari halaman facebook Ustadz Kms.H. Andi Syarifuddin