Oleh : Epy Buchari
Pagi tadi dari status bung Zanial Mazalisa di Face Book saya membaca bahwa hari ini tanggal 17 Juni 2009 kota Palembang genap berusia 1326 tahun. Dengan umur yang sudah lebih dari seribu tahun itu, kota Palembang memang benar-benar sebuah kota tua yang sarat dengan berbagai kisah sejarah lintas zaman.
Saya sendiri mengenal dan akrab dengan kota yang dibelah oleh sungai Musi ini sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Awal tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI 19 Desember 1949 keluarga saya pindah ke Palembang menyususl ayah yang sudah terlebih dahulu datang ke Palembang beberapa bulan sebelumnya.
Semula kami tinggal sementara di rumah pamanku di Jalan Hang Tuah sebelum pindah ke rumah di jalan Batu Hitam. Rumah di jalan Hang Tuah ini bersebelahan dengan rumah bapak Malik, mantan “Presiden Negara Sumatera Selatan” di zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) sebelumnya.
Daerah Talang Semut pada zaman itu sangat identik dengan kawasan elite Menteng di Jakarta. Rumah (disebut Istana) Gubernur, kantor Residen, kantor-kantor militer, mess SVPM, Hotel Sehati, kolam renang, dan rumah-rumah (yang sebelumnya dihuni) Belanda terletak di kawasan cantik Talang Semut yang dilengkapi dengan 2 buah kolam yang asri dengan pohon cemara sepanjang pinggirannya : Kambang Iwak Besak dan Kambang Iwak Kecik.
Pada tahun 50an awal itu masih banyak Belanda, Belanda Indo, dan orang asal Maluku/Ambon yang tinggal di Palembang. Sejumlah kawan-kawan saya di SD Beatrix yang terletak di jalan Merdeka terdiri dari campuran Belanda, Indo, dan Maluku ini.
Pada masa itu menyebut guru di sekolah itu masih dengan sebutan meneer, mevrow dan jefrow, sejumlah buku masih berbahasa Belanda, sebagaimana halnya juga dengan penggunaan sejumlah istilah dalam pelajaran yang masih banyak menggunakan bahasa Belanda.
Orang tua mereka kebanyakan bekerja di STANVAC/SVPM (Standard Vacum Petroleum Matschapij) dan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij anak perusahaan Royal Dutch Shell), dua perusahaan minyak besar yang memiliki kilang refinery yang terletak di Sungai Gerong dan Plaju, serta sumur-sumur produksi yang tersebar di sejumlah lokasi
di sekitar Prabumulih, Pendopo, dan Jambi, dan lain-lain. Sebagian lagi bekerja di berbagai perusahaan perkebunan, perdagangan (Borsumij), perkapalan (KPM), pegawai Dinas Pemerintah, dan lain-lain.
Teman-teman Ambon dan Indo ini secara berangsur terus berkurang dengan pindahnya mereka ke Negeri Belanda sejak tahun 1950 tersebut, sampai dinasionalisasikannya perusahaan Belanda oleh Bung Karno pada medio 1950an tersebut. Mereka tampaknya lebih memilih kewarganegaraan Belanda daripada Indonesia.
Kalau kita berkendaraan menuju Prabumulih, Pendopo, Betung, atau Jambi, pada malam hari tampak mencolok pemandangan sejumlah ”obor” raksasa di tengah semak/hutan, yang berasal dari pipa pembakaran gas yang keluar dari lubang pemboran yang pada saat itu sama sekali belum dimanfaatkan. Sejak dibangunnya pabrik pupuk Sriwijaya
(PUSRI) pada medio tahun 60an, barulah gas yang semula hanya dibakar ini diolah menjadi pupuk urea yang sangat diperlukan oleh petani sampai saat ini.
Inilah salah satu berkah kemerdekaan dalam bentuk kemajuan berfikir dan bertindak di Sumatera Selatan.
Menyusul kemudian pembangunan pabrik ban di Sungai Buah. Karet yang semula dieksport dalam bentuk mentah kemudian sudah bisa diberi nilai tambah dalam bentuk produk ban tersebut.
Pada masa itu semua minyak mentah masih diolah langsung di Sungai Gerong dan Plaju menjadi bensin, minyak tanah, avtur, dan by-product lainnya seperti minyak bakar dan lilin.
Sungai Gerong mirip dengan sebuah kota kecil Amerika yang cantik dan bersih, sebagaimana halnya juga dengan Plaju yang merupakan kota kecil khas Belanda.
Satpam SVPM (dulu disebut Polisi SVPM) memakai pakaian dan atribut persis sama dengan polisi Amerika, sebagaimana juga dengan bis khusus untuk angkutan pegawai dan anak sekolah yang menggunakan bis khas Amerika.
Di Plaju semuanya serba Belanda, termasuk juga kendaraannya yang selalu dalam keadaan baik dan bersih. Kedua kota kecil ini dilengkapi dengan sarana olahraga dan rekreasi yang sangat baik, seperti lapangan sepak bola, kolam renang, lapangan tennis, basket, dan lain-lain.
Karena sebagian karyawan perusahaan minyak ini tinggal di Palembang, bagi mereka disediakan bis angkutan untuk membawa mereka ke pelabuhan ferry di Sungai Lais dan di depan Benteng Kuto Besak.
Sebelum ada jembatan Ampera (diresmikan 1964) terdapat 4 buah pelabuhan kecil (disebut boom) di muka Benteng tersebut, yaitu boom untuk ferry khusus SVPM, ferry khusus BPM, ferry penyeberangan umum, dan ferry PJKA untuk membawa penumpang kereta api yang akan berangkat/datang ke/dari stasiun Kertapati.
Pelabuhan ferry yang lain terdapat di Sungai Lais yang berhadapan langsung dengan Sungai Gerong. Sekitar pelabuahan ferry ini terdapat restoran/warung yang selalu ramai dan meriah.
Sebelum Sungai Lais terletak kawasan Sungai Buah yang merupakan daerah kediaman karyawan SVPM dengan rumah-rumah mereka yang asri, yang terletak di sepanjang jalan ke lapangan terbang militer Jepang Sekojo.
Perusahaan Belanda yang lain adalah perusahaan perkebunan dengan kebun karet dan kelapa sawit yang terletak di daerah Betung dan jalan menuju Jambi (Oud-Wassenar)
Fasilitas olahraga lain yang terkait dengan keberadaan warga Amerika, Belanda, dan Inggris ini adalah lapangan golf Kenten, dimana sepanjang bagian kanan jalan Kenten ini terdapat pula perumahan bergaya tropis dengan halaman masing-masing yang luas.
Rumah Bola (bowling) terletak di societeit yang terletak di belakang Kantor Ledeng, disebelah bioskop Initium.
Rumah sakit terbesar dan terlengkap saat itu adalah Rumah Sakit Charitas. Belum ada rumah sakit lain di bagian Ilir kota. Rumah Sakit Umum yang terletak di km 3 belum dibangun.
Fasilitas hiburan yang utama di kota Palembang adalah gedung bioskop. Terdapat bioskop bioskop Oriental di jalan Merdeka (kemudian bernama bioskop Saga), Initium di belakang Kantor Ledeng, Capitol di jalan Tengkuruk di seberang mesjid Agung, Rex dekat pasar Sekanak, serta Elite & Chunghua bioskop kembar di jalan Sayangan.
Bioskop Internasional di jalan Sudirman dan bioskop Mayestik dibangun belakangan sekitar tahun 1955.
Film-film yang diputar didominasi oleh film Hollywood.
Taman rekreasi yang terbesar terletak di km 6 berupa kawasan hutan cemara yang dilengkapi dengan jalan setapak dan fasilitas bermain. Kawasan ini terasa teduh dan asri untuk Palembang yang berhawa panas. Taman ini diberi nama Taman Sari Syailendra, dimana nama “Syailendra” khabarnya diambil dari nama salah seorang anak dari ”presiden” Malik yang disebutkan diatas. (Syailendra yang dikenal dengan nama panggilan “Alen” ini pada akhir tahun 70an kuliah di ITB dan meninggal dalam kecelakaan perahu karet pada waktu perlombaan arung jeram di sungai Citarum). Ada juga yang mengatakan bahwa nama itu diambil dari Raja Syailendra, raja Sriwijaya yang terkenal itu.
Fasilitas pendidikan yang menonjol yang terkait dengan keberadaan dua buah perusahaan minyak internasional ini adalah sekolah Methodist yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Sekolah yang sama juga terdapat di Medan. Sekolah ini benar-benar dikelola dengan gaya belajar dan mengajar yang khas Amerika. Kelasnya terdiri dari kelas 1 sampai dengan kelas 12 (setara SD sampai SMA)
Buku-buku pelajaran berupa textbook tebal-tebal berbahasa Inggris yang dipinjamkan oleh sekolah. Kalau sekarang mungkin setara dengan sekolah-sekolah Internasional semacam JIS dan lain sebagainya.
Sekolah ini sudah ada sejak zaman Belanda, dimana sejumlah karyawan SVPM saat itu banyak yang merupakan tamatan sekolah Methodist.
Sekolah SMA Negeri I di Bukit Besar baru dibangun kira-kira tahun 1955, sebagaimana halnya juga dengan SMA Xaverius yang di jalan Bango yang baru dibangun sekitar tahun yang sama.
Pada tahun 1950 itu berbagai jenis kendaraan bekas perang dunia II (dump) dan kendaraan lain tentara kerajaan Belanda dikumpulkan di bekas lapangan terbang Sekojo di Sungai buah dan di tanah kosong dekat kantor DPLAD di ujung jalan Bukit Kecil. Kendaraan-kendaraan bekas (dump) ini dijual kepada umum. Kendaraan-kendaraan inilah yang kemudian dijadikan truk angkutan barang dan opelet (di Palembang opelet ini disebut “taksi”) yang terbuat dari bekas jeep
dengan body konstruksi kayu (semacam Jeepney di Manila dengan ukuran lebih kecil). “Taksi” Palembang didominasi oleh jeep hasil rekonstruksi dan renovasi yang kreatif ini.
Secara berangsur dengan mulai beroperasinya kembali perusahaan dealer yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan, seperti Koek & Co yang memasukkan kendaraan merek Chevrolet, kendaraan barupun mulai bermunculan, termasuk juga merek Fiat, Austin, Dodge, Fargo, dan lain-lain.
Bagi anak-anak seumurku waktu itu, kehidupan di Palembang terasa sangat menyenangkan.
Umpamanya dalam bermain sepeda. Tidak banyak anak-anak yang punya sepeda sendiri, tapi kalau akan main bersepeda, kendaraan yang satu ini sangat mudah disewa di bengkel sepeda di simpang 26 Ilir, di ujung jalan Bukit Kecil. Prosesnya sangat mudah : bayar dan sepeda langsung bisa dibawa. Rasa saling percaya masih sangat besar.
Begitu juga halnya sesudah saya beranjak besar dan sudah bisa dengan kawan-kawan mendayung dan mengemudikan perahu, perahu bisa disewa dengan sangat mudah di jembatan di Lorong Budi, Tangga Buntung dan tempat-tempat lainnya.
Menyewa dan bermain mendayung sendiri perahu tersebut merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan dengan memudiki anak-anak sungai Musi yang sangat banyak itu. Yang harus diingat adalah saatnya air sungai pasang naik dan turun. Di bagian hulu, permukaaan air bisa turun sangat drastis jika sedang pasang turun. Di sepanjang aliran sungai terdapat bermacam buah-buahan hutan seperti rukem, gandaria, manggis, rambutan, dan lain-lain.
Permainan anak laki-laki yang utama adalah bermain layang-layang.
Layang-layang ini diadu dengan benang yang sudah diberi “gelasan” yang dibuat dengan kaca yang ditumbuk (kaca terbaik adalah kaca bekas thermos) dan dimasak dengan “katak-katak” semacam lem kayu yang bisa dipakai waktu itu.
Layangan yang diadu tanpa menggunakan buntut (ekor) guna membedakannya dengan layang-layang bukan aduan yang diberi buntut panjang. Layangan berbuntut ini ada pula yang digunakan untuk menangkap layangan yang putus, dengan melengkapi benangnya dengan lilitan kawat halus pada jarak tertentu.
Permainan kedua yang merupakan “permainan wajib” adalah berenang di anak-anak sungai Musi yang tersebar di seluruh bagian kota. Pada waktu itu adalah sesuatu yang “memalukan” kalau tidak bisa berenang. Permainan ini terkait dengan main perahu diatas dan memancing ikan.
Sungai Musi dan anak-anak sungainya pada masa itu airnya masih relatif bersih. Bermacam ikan masih terdapat di sungai tersebut dan di rawa-rawa di sekitar kota. “Iwak Sluang” yang sekarang mahalnya luar biasa di restoran khas Palembang, pada masa itu nyaris tidak berharga. Ikan ini terkategorikan sebagai “makanan kucing”. Begitu juga dengan ikan gabus yang sangat mudah dipancing di rawa-rawa.
Permainan lain yang digemari adalah mengadu buah karet (di Palembang disebut buah “para”). Permainan ini disebut “pedekan”, dimana para itu para kita dan para lawan dipegang bertumpuk pada salah satu tangan dan kemudian dipukul dengan tangan lainnya. Para yang menang adalah para yang tidak pecah.
Permainan lainnya adalah main kasti, ketapel, bulu ayam, patak lele, dan cak ingkling (untuk anak perempuan).
Pergaulan di Palembang juga sangat menyenangkan. Warga Palembang terdiri dari berbagai suku, baik yang berasal dari daerah Sumatera Selatan sendiri, maupun pendatang dari daerah lain.
Berbeda dengan Sumatera Barat umpamanya yang punya sejumlah dialek dalam bahasanya, bahasa-bahasa di Sumatera Selatan tidak hanya berbeda dialek, tapi juga berbeda dalam kosakata secara menyeluruh. Antara lain ada bahasa Komering, Kayu Agung, Sekayu, Pasemah.
Walau berbeda, seluruh warga Palembang bergaul sehari-hari dengan kehangatan yang sangat khas. Mereka relaks, senang bercanda (bahasa Palembangnya “ucak-ucak”), dan sangat egaliter. Kata sebutan “aku” dan “kau” digunakan secara umum pada semua tingkatan dalam kehidupan, walau ada juga digunakan kata ganti yang lain seperti “awak”,“tobo”, “kami”, dan “kamu”.
Dua teman lama yang baru bertemu, kalau di daerah lain saling menyapa dengan “apa khabar”.
Wong kito Palembang saling menyapa dengan kalimat sangat khas “apo lokak” atau “apo buka’an ma’ini”, yang bisa diartikan sebagai “apa bisnis sekarang”. Ya, sebagian besar orang Palembang adalah saudagar.
Pada awal tahun 1950an yang disebutkan diatas, saya punya kawan yang terdiri dari orang Ambon, Cina, bermacam etnis Sumsel (Komering, Kayu Agung, Sekayu, dan lain-lain), Padang, Jawa, Menado, dan Batak. Semua bergaul sehari-hari tanpa suatu sekat pembeda. Semuanya “wong kito galo”.
Inilah “Indonesia kecil” yang menyenangkan. Seingat saya tidak pernah kerusuhan rasial atau pertentangan etnis terjadi di Palembang.
Mungkin ini berkah dari sama-sama minum air Musi.
Atau mungkin ini merupakan hasil dari suatu budaya maju yang
sudah berkembang sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu, di kerajaan besar yang bernama Sriwijaya yang terkenal ke seantero jagad.
Di kerajaan besar inilah konon sudah ada fasilitas pendidikan yang bernama Sakyakirti, dan wangsa Syailendra inilah yang konon mendirikan candi Borobudur di Jawa. Luar biasa….
Pada awal tahun 1950an itu terdapat sejumlah “kuburan raja-raja” yang tyerletak di berbagai bagian kota sepert Candi Walang, Bukit Kecil, Talang Kerangga, dan lain-lain. Kompleks makam ini biasanya dipagar tinggi dan beratap, dan diberi papan nama “Kuburan Raja-Raja Palembang”.
Saya menjadi warga Palembang sampai tahun 1967 untuk melanjutkan sekolah ke Bandung, bersama-sama sekitar 40an orang mahasiswa FT Unsri lainnya yang dikirim untuk menyelesaikan studinya di sana. Salah seorang dari kawan ini kemudian berhasil menjadi Rektor Unsri, seorang lagi menjadi Direktur dari PT (Persero) jalan tol, sebagian kembali menjadi dosen, dan yang lainnya tersebar diberbagai instansi dan perusahaan di negara ini. Sejumlah teman-teman Palembang inilah yang menjadikan ikatan bathin dengan Palembang tidak pernah terputus sampai hari ini. Kami masih tetap membina dan menjaga hubungan silaturahim sampai sekarang. Saya tetap bisa dan biasa berbahasa Palembang secara fasih, disamping kegemaran dengan makanan Palembang yang menular pada seluruh keluarga.
Kenangan ini untuk kali ini diakhiri dulu di sini.
Selamat Ulang Tahun Kota Palembang, semoga selalu menjadi kota yang menyenangkan bagi penghuninya, mampu memberi kehidupan yang aman dan layak bagi mereka, serta mampu bergerak maju sejajar dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan di dunia. Amiin. [eb] sumber : http://kadaikopi.com/
Terima kasih banyak atas catatan pengalaman ini. Sangat berharga. Salam
ReplyDeleteSama-sama pak semoga bermanfaat
Deleteartikel yg menarik, sedikit koreksi BPM bukan British Petroleum Matschapij melainkan Bataafsche Petroleum Maatschappij anak perusahaan Royal Dutch Shell
ReplyDeleteTerima kasih atas koreksinya mas...
Delete