Salah satu blok rumah susun di Palembang |
MUSIBAH kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981 menimbulkan
dampak yang cukup besar pada wajah kota ini. Sebanyak empat kampung
tradisional masyarakat lenyap dari permukaan Bumi Sriwijaya ini.
Peristiwa ini, paling tidak, juga telah mengubah pola hidup Wong Pelembang
lewat perkenalan dengan rumah bertingkat-tingkat yang di sebut rumah
susun (Rusun). Kawasan pertokoan Internasional Plaza (IP) hingga ke IBP
paling tidak hingga awal 1980-an, belum memiliki jalan aspal, sementara
IP, ketika itu masih merupakan Bioskop Internasional dengan beberapa
toko disekitarnya. Di ujung jalan (tanah merah keras) dari Internasional
terdapat Pasar Mambo yang dibuka pada malam hari.
Saat ini, bangunan di sekitar kawasan itu umumnya baru kecuali toko
foto – copy Remifa. Penghubung kawasan Cinde Welan (Candi Walang) adalah
Jl Candi Walang, yang di mulai dari Jl. Jend. Sudirman — Kebon Duku —
hingga tembus ke belakang Pasar Cinde saat ini. Di kawasan 24 Ilir itu
pula, terdapat Sungai Candi Walang (kini telah ditimbun). Kawasan Candi
Walang, ketika itu posisi tanahnya menanjak. Bahkan jauh sebelum itu,
pada masa Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda, kawasan
ini posisi tanahnya menanjak hingga ke RS RK Charitas saat ini. Karena
pembuatan jalan dan sebagian pemukiman, dataran tinggi itu “dipangkas”
hingga posisi tanahnya tampak seperti saat ini.
Sebagian kawasan, masih berupa rawa dan aliran sungai. Dengan
topografi seperti itu, sebagian besar rumah di kawasan ini berbentuk
panggung berbahan kayu. Kondisi ini, paling tidak, dapat kita saksikan
dalam karya pelukis asal Sumsel Amri Yahya, yang berjudul Sungai
Limbungan (1954). Lukisan bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran
80×50 cm itu menggambarkan suasana Sungai Limbungan (sekarang kawasan
Rusun). Lewat lukisan ini dapat di lihat kondisi “almarhum” Sungai
Limbungan yang dahulu dapat dilalui perahu dan kini menjadi “sarang
nyamuk” itu. Paruh awal 1980-an, Sungai Candi Walang dapat dimasuki
perahu. Bahkan, masih terdapat banyak buaya di sungai itu.
Menurut beberapa warga yang berdiam lama dikawasan ini, sepanjang
tepian Sungai Candi Walang, masih ditumbuhi pohon para (karet) dan pohon
kemang. Saat menyusuri sungai di kawasan Bank Mandiri saat ini. Buaya
besar berlumut sering muncul bergaya “kalem” itu diyakini sebagai Raden
Tokak. Ini merupakan salah satu tokoh legenda dalam cerita rakyat
Palembang yang konon dapat muncul se waktu-waktu. Bahkan, hingga kini
pun. Dengan “wilayah kekuasaan” dari 35 Ilir sampai Sungai Sekanak,
masyarakat Palembang masih sering melihat penampakannya.
Kampung Yang Hilang
Salah seorang saksi mata dalam kebakaran yang terjadi pada Agustus
1981, H. Mouthalib Adams menggambarkan, peristiwa kebakaran itu sangat
tiba-tiba dang begitu mengejutkan. “Saat itu, pukul 09.00 WIB, saya
sedang memfotocopy. Tiba-tiba, saya dengar ada yang mengatakan
kebakaran. Begitu sampai di rumah, api telah membesar,” kata Mouthalib,
yang saat itu bekerja di Radar Selatan. Api berasal dari salah satu
rumah di Gg Buntu, yaitu bedeng pembuat kasur. Api dengan demikian cepat
menjalarnya dengan pola menyebar tak hanya kawasan 24 Ilir yang
terkena. Api merambat cepat ke 23 Ilir, 22 Ilir, dan 26 Ilir. Pola
rembetan api memanjang di kawasan 26 Ilir membuat repot petugas pemadam
kebakaran. Kepanikan warga akibat musibah itu, tidak dapat digambarkan
lagi. Karena cepatnya api menjalar, Try Sutrisno yang saat itu menjabat
Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV — kini Kodam II —
Sriwijaya, membuat “blok” dengan menjatuhkan bom di dua titik kebakaran
kawasan 26 Ilir. “Begitu bom dijatuhkan, lokasi kebakaran langsung
langsung terpecah dan rembetannya dapat di cegah,” kata Mouthalib.
Penggunaan bom untuk pemecah api ini, mengingatkan pada penggunaan TNT
(2,4,6-trinitron toluena) yang dipakai Polda Sumsel saat membantu
memudahkan pemadaman api dalam “tragedi Heppi.”
Selain menjatuhkan bom, sebagai upaya mempercepat pemadaman api juga
dilakukan dengan membongkar dan merobohkan beberapa rumah. Salah satunya
rumah limas yang kini berada di salah satu sisi blok Rusun. Api baru
dapat dijinakkan sekitar tengah malam. Saat itu, diperkirakan lebih dari
400 unit rumah hangus. Meskipun tak ada korban jiwa, yang jelas empat
kampung ludes dari permukaan tanah. Hilanglah empat kampung tradisional
Palembang. Sebagian dari kampung itu, kini berubah menjadi “kampung
modern” dengan rumah tinggal bersusun-susun.
Yudhy Syarofie, Sriwijaya Post — Sabtu, 13 Juli 2002
No comments:
Post a Comment