CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

07 January 2015

Mewahnya Pernikahan Wong Kito Jaman Dulu


Masyarakat Palembang di zaman Kesultanan Palembang Darusalam, mengenal adat nikahan dengan sebutan tujuh hari tujuh malam. Sesuai sebutannya, upacara pernikahan wong kito di jaman dulu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam yang dilakukan dengan prosesi berbeda-beda dari hari ke hari. Namun, seiring berjalannya waktu, adat nikahan tujuh hari tujuh malam ini sudah sangat sulit dijumpai di Palembang di jaman sekarang. Pasalnya, adat ini butuh biaya banyak dan tenaga ekstra untuk melakukannya. Belum lagi, persoalan kesibukan sehari-hari yang jelas sudah sangat berbeda dengan jaman dulu. Tak heran, hanya segelintir masyarakat asli Palembang yang masih melakukan adat nikahan ini. "Adat nikahan itu tidak wajib dilakukan orang Palembang. Kalau punya uang banyak dan tidak terganggu dengan kesibukan sehari-hari, sah saja dilakukan," kata salah satu masyarakat Palembang asli, H Roni, belum lama ini.

Timbangan 

Dari satu buku yang ditulis oleh Hj Anna Kumari berjudul Tujuh Hari Tujuh Malam, rangkaian adat nikahan masyarakat Palembang di zaman Kesultanan Palembang Darussalam dimulai dengan sebutan akad nikah, yang oleh masyarakat Palembang Darussalam biasanya dilangsungkan Jumat. Akad nikah dilangsungkan di rumah mempelai pria. Calon mempelai wanita hanya boleh diwakilkan ayah atau wali pria yang lain. Begitu penghulu menasbihkan sah, resmilah si pria menikahi wanita pujaannya.

Malam hari setelah akad nikah, dilangsungkan upacara ngarak pacar. Dalam acara ini, mempelai pria mengajak keluarga dan kerabat berkunjung ke rumah mempelai wanita sembari membawa nampan beralaskan kain sutera yang berisikan keris pusaka nenek moyang. Rombongan mempelai pria diarak dengan musik gambus menuju rumah mempelai wanita. Nampan ini diserahkan ibu mempelai pria kepada mempelai wanita, yang sudah menanti kedatangan di dalam kamar pengantin. "Menurut masyarakat zaman dulu, keris dan bunga merupakan lambang pertemuan yang disebut dengan istilah nemuke perkawinan. Keris simbol pria, dan bunga simbol wanita," kata Anna di dalam bukunya.

Satu hari usai akad nikah, acara pernikahan wong kito berlanjut dengan istilah ngocek bawang yang dilakukan di rumah mempelai wanita. Acara ini merupakan acara memasak untuk perayaan munggah, yang akan dilakukan lusa usai akad nikah. Dalam acara ngocek bawang, tetangga dan kerabat mempelai wanita biasanya akan membawa bahan-bahan masakan sebagai bentuk kepedulian dan gotong royong terhadap tetangga yang akan menikah.

Di hari munggah, yang dapat diartikan resepsi pernikahan, dilangsungkan di rumah mempelai wanita. Acara yang merupakan puncak acara dari tujuh hari tujuh malam ini dahulunya diisi dengan khatam quran yang dilakukan mempelai wanita, ngarak penganten, pencak silat, kandang adat, jeramba songket, bukak lawang bukak langse, sirih penyapo, nulangi penganten, cacap-capan, timbang penganten, dan berakhir denganngidangke. Meski lelah setelah melaksanakan upacara munggah, kedua mempelai dan orangtua melanjutkan rangkaian acara di malam hari dengan nganter bangking. Acara ini merupakan dimana perwakilan mempelai pria membawakan pakaian mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Setelah itu, rombongan kembali dihibur dengan kesenian gambus dan tarian.

Satu hari berlalu dan rangkaian cara pernikahan dilanjutkan dengan perayaan. Perayaan hanya dihadiri oleh kaum wanita ke rumah kedua mempelai, yang berada di rumah orangtua mempelai perempuan. Acara ini dimulai dengan ceramah agama dan dilanjutkan dengan bedana dan menari. Acara berakhir setelah tamu menyantap hidangan tradisional semacam tekwan, model, atau mie celor.

Keesokan harinya, acara berlanjut dengan Ngale Turon, yang artinya kedua mempelai yang berada di rumah mempelai wanita dijemput ke rumah mempelai rumah pria. Kedua mempelai diantar ke rumah mempelai pria oleh wanita yang sudah menikah sembari mengenakan songket. Rombongan yang mengantar wajib menginap satu hari di rumah mempelai pria sembari melakukan berbagai hiburan.

Usai menginap di rumah mempelai pria, kedua mempelai serta rombongan yang mengantar kembali pulang ke rumah mempelai wanita keesokan harinya. Rangkaian acara ini disebut dengan penganten balek. Begitu tiba di rumah mempelai wanita, kedua mempelai melakukan acara mandi simburan. Dalam acara ini, kedua mempelai didudukkan dalam suatu kursi khusus untuk dimandikan. Adapun air yang akan digunakan untuk memandikan kedua mempelai sudah dicampur dengan kembang tujuh warna, yang dilengkapi dengan mayang yang terbuat dari daun kelapa. Kedua mempelai lalu disiram oleh orangtua dan kerabat. Setelah itu, kerabat kedua mempelai saling siram hingga akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

Usai acara mandi simburan, kedua mempelai untuk pertama kalinya tidur bersama di atas satu ranjang. Meski sudah resmi menikah usai akad nikah, kedua mempelai belum sekalipun tidur seranjang. Barulah di upacara penganten bae'an, keduanya tidur seranjang. Sebelumnya, keduanya dipandu oleh seorang instruktur yang disebut tunggu jero. Tunggu jero mengajar dan memberitahu apa-apa yang harus dilakukan kedua mempelai dalam upacara penganten bae'an.


Tunggu jero akan kembali membimbing kedua mempelai keesokan harinya untuk melakukan upacara tepung tawar. Dalam upacara ini, tunggu jero membimbing kedua mempelai untuk sujud kepada orangtua mempelai perempuan dan para tua-tua yang masih ada di rumah mempelai perempuan. Sementara, pegantin pria pulang ke rumah untuk sujud dengan keluarga. Ia lalu dibekali upal-upalan berupa emas oleh orangtua. Setelah menerima, ayah mempelai pria membacakan doa sebelum si mempelai pria pulang ke rumah mempelai wanita.

Rangkaian upacara tujuh hari tujuh malam berakhir dengan upacara ratif saman. Upacara ini dilakukan kaum pria dengan membersihkan rumah di kediaman mempelai wanita. Upacara ini simbolisasi rasa syukur telah terhelatnya upacara pernikahan tujuh hari tujuh malam dengan selamat dan lancar. "Sebagian keluarga ada yang masih melakukan hiburan di hari penutup, biasanya berupa panjat jambe (panjat pinang). Ini dilakukan oleh keluarga yang masih sanggup dalam segi ekonomi," kata Anna.

Sumber : http://kesenianwongkito.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment