CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

04 December 2012

Makam Sultan Mahmud Badarudin II di Ternate


Sultan Mahmud Badaruddin II (Lahir: Palembang, 1767, wafat: Ternate, 26 November 1862) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu).

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810.

Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.

Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Makam sultan Mahmud Badaruddin II di ternate

Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of Yorks Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.

Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.

Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.

Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal Van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayjen Herman Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.

SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.

Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.

SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.

Makam para pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II di ternate

Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.

Sumber : http://kesultanan-palembang.blogspot.co.id/

06 November 2012

Sate Wak Din Khas Palembang

Sate Wak Din Khas Palembang

Selain pempek, kerupuk kemplang ataupun martabak har, ada lagi salah satu kuliner khas Palembang yang cukup unik yaitu sate. Sate manis bergitu orang menyebutnya karena memakai paduan bumbu kecap dan paduan rasa cuka yang cukup eksotik. Penjual sate manis tidak banyak, salah satu yang cukup terkenal adalah warung sate Wak Din di Jalan Hasyim Ashari atau Pasar Klinik, 7 Ulu.

Warung sate Wak Din terletak sekitar 50 meter dari kaki Jembatan Ampera atau dari pangkal proyek. Lokasi warung sate yang sederhana itu mudah ditemukan karena tampak berbeda dengan warung makan lainnya, yaitu ada alat memanggang sate di depan warung dengan aroma yang khas. Lahan parkir di depan warung sate Wak Din yang cuma secuil itu pun sering terlihat penuh. Mulai dari sepeda motor sampai mobil mewah diparkir di depan warung sate Wak Din.Kesan warung tradisional yang mengabaikan penampilan langsung menyergap pengunjung. Namun, jangan buru- buru menilai rasa masakan hanya dengan melihat kondisi warung.

Aroma daging yang dibakar di atas arang begitu kuat. Aroma itu bahkan masih tetap menempel di baju dan tangan beberapa jam setelah kita makan di warung sate Wak Din.Ciri khas sate manis Wak Din terbuat dari daging sapi. Setiap porsi sate hanya lima tusuk. Meskipun cuma lima tusuk, tetapi cukup mengenyangkan karena ukuran dagingnya besar. Daging sapinya tidak dibakar terlalu lama sehingga masih terasa kenyal saat dikunyah.

Setiap porsi sate manis dihidangkan dalam sebuah piring kecil. Dalam piring itu sudah terdapat bumbu kecap untuk melumuri sate dan rasa cuka, ini yang membuat sate ini memiliki keunikan dari sate yang lainya baik sate Madura ataupun sate Padang. sehingga dengan perpaduan rasa itulah yang menimbulkan rasa manis sehingga sate ini juga di kenal dengan "Sate Manis".

Sate manis bisa disantap dengan nasi putih, dicampur dengan kuah pindang, atau dicampur dengan kuah soto, yang terbuat dari santan sesuai selera. Penjual juga menghidangkan sambal buah dan acar mentimun di atas meja. dengan harga Rp.3.000,- pertusuknya cukup bersahabat dengan kantong kita.

Rasa khasnya inilah yang membuat Sate Wakdin ini selalu ramai di datangi oleh "pemburu kuliner" dari baik dari dalam atau luar kota juga , tanpak sepeti yang terpajang di dinding rumah makan ini foto-foto selebritis ataupun pejabat di kota ini, seperti Gubernur Alek Noerdin dan keluarga, begitu juga Wakil walikota  Romi Herton, atau praktisi kuliner Bondan 'Maknyus" Winarno, artis cilik imel dan masih banyak lagi.
Dengan konsep kesederhanaan inilah justru membuat rumah makan ini jadi ramai di kunjungi, seperti beberapa even yang ada di kota Palembang beberapa waktu yang lalu baik berupa ajang olahraga, pameran, seminar dan lain-lain rumah makan sate Wakdin juga ikut kecipratan berkah dari ajang-ajang tersebut.

Di rangkum dari berbagai sumber

15 October 2012

Sejarah Rumah SUSUN Palembang

Salah satu blok rumah susun di Palembang
MUSIBAH kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981 menimbulkan dampak yang cukup besar pada wajah kota ini. Sebanyak empat kampung tradisional masyarakat lenyap dari permukaan Bumi Sriwijaya ini. Peristiwa ini, paling tidak, juga telah mengubah pola hidup Wong Pelembang lewat perkenalan dengan rumah bertingkat-tingkat yang di sebut rumah susun (Rusun). Kawasan pertokoan Internasional Plaza (IP) hingga ke IBP paling tidak hingga awal 1980-an, belum memiliki jalan aspal, sementara IP, ketika itu masih merupakan Bioskop Internasional dengan beberapa toko disekitarnya. Di ujung jalan (tanah merah keras) dari Internasional terdapat Pasar Mambo yang dibuka pada malam hari.

Saat ini, bangunan di sekitar kawasan itu umumnya baru kecuali toko foto – copy Remifa. Penghubung kawasan Cinde Welan (Candi Walang) adalah Jl Candi Walang, yang di mulai dari Jl. Jend. Sudirman — Kebon Duku — hingga tembus ke belakang Pasar Cinde saat ini. Di kawasan 24 Ilir itu pula, terdapat Sungai Candi Walang (kini telah ditimbun). Kawasan Candi Walang, ketika itu posisi tanahnya menanjak. Bahkan jauh sebelum itu, pada masa Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda, kawasan ini posisi tanahnya menanjak hingga ke RS RK Charitas saat ini. Karena pembuatan jalan dan sebagian pemukiman, dataran tinggi itu “dipangkas” hingga posisi tanahnya tampak seperti saat ini.

Sebagian kawasan, masih berupa rawa dan aliran sungai. Dengan topografi seperti itu, sebagian besar rumah di kawasan ini berbentuk panggung berbahan kayu. Kondisi ini, paling tidak, dapat kita saksikan dalam karya pelukis asal Sumsel Amri Yahya, yang berjudul Sungai Limbungan (1954). Lukisan bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran 80×50 cm itu menggambarkan suasana Sungai Limbungan (sekarang kawasan Rusun). Lewat lukisan ini dapat di lihat kondisi “almarhum” Sungai Limbungan yang dahulu dapat dilalui perahu dan kini menjadi “sarang nyamuk” itu. Paruh awal 1980-an, Sungai Candi Walang dapat dimasuki perahu. Bahkan, masih terdapat banyak buaya di sungai itu.

Menurut beberapa warga yang berdiam lama dikawasan ini, sepanjang tepian Sungai Candi Walang, masih ditumbuhi pohon para (karet) dan pohon kemang. Saat menyusuri sungai di kawasan Bank Mandiri saat ini. Buaya besar berlumut sering muncul bergaya “kalem” itu diyakini sebagai Raden Tokak. Ini merupakan salah satu tokoh legenda dalam cerita rakyat Palembang yang konon dapat muncul se waktu-waktu. Bahkan, hingga kini pun. Dengan “wilayah kekuasaan” dari 35 Ilir sampai Sungai Sekanak, masyarakat Palembang masih sering melihat penampakannya.

Kampung Yang Hilang

Salah seorang saksi mata dalam kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981, H. Mouthalib Adams menggambarkan, peristiwa kebakaran itu sangat tiba-tiba dang begitu mengejutkan. “Saat itu, pukul 09.00 WIB, saya sedang memfotocopy. Tiba-tiba, saya dengar ada yang mengatakan kebakaran. Begitu sampai di rumah, api telah membesar,” kata Mouthalib, yang saat itu bekerja di Radar Selatan. Api berasal dari salah satu rumah di Gg Buntu, yaitu bedeng pembuat kasur. Api dengan demikian cepat menjalarnya dengan pola menyebar tak hanya kawasan 24 Ilir yang terkena. Api merambat cepat ke 23 Ilir, 22 Ilir, dan 26 Ilir. Pola rembetan api memanjang di kawasan 26 Ilir membuat repot petugas pemadam kebakaran. Kepanikan warga akibat musibah itu, tidak dapat digambarkan lagi. Karena cepatnya api menjalar, Try Sutrisno yang saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV — kini Kodam II — Sriwijaya, membuat “blok” dengan menjatuhkan bom di dua titik kebakaran kawasan 26 Ilir. “Begitu bom dijatuhkan, lokasi kebakaran langsung langsung terpecah dan rembetannya dapat di cegah,” kata Mouthalib. Penggunaan bom untuk pemecah api ini, mengingatkan pada penggunaan TNT (2,4,6-trinitron toluena) yang dipakai Polda Sumsel saat membantu memudahkan pemadaman api dalam “tragedi Heppi.”

Selain menjatuhkan bom, sebagai upaya mempercepat pemadaman api juga dilakukan dengan membongkar dan merobohkan beberapa rumah. Salah satunya rumah limas yang kini berada di salah satu sisi blok Rusun. Api baru dapat dijinakkan sekitar tengah malam. Saat itu, diperkirakan lebih dari 400 unit rumah hangus. Meskipun tak ada korban jiwa, yang jelas empat kampung ludes dari permukaan tanah. Hilanglah empat kampung tradisional Palembang. Sebagian dari kampung itu, kini berubah menjadi “kampung modern” dengan rumah tinggal bersusun-susun.

Yudhy Syarofie, Sriwijaya Post — Sabtu, 13 Juli 2002

05 October 2012

Jalan Selero Palembang

Jalan Selero. Selain dikenal sebagai pusat percetakan, kawasan ini juga sering dianggap sebagai tempatnya one stop wedding. Lantas seperti apa sejarahnya sampai kawasan ini bisa berkembang seperti sekarang?

Kalau punya waktu menyusuri Jalan Serelo atau kini disebut Jalan AKBP HM Amin, Anda pasti akan langsung disuguhi petakpetak kios percetakan. Mulai dari skala kecil hingga besar, semua bercampur baur menjadi satu di tempat ini.

Keberadaannya pun menyebar tak hanya di Jalan AKBP HM Amin tapi juga sampai ke Jalan Cek Syeh dan Jalan Faqih Jalaludin. Diperkirakan tak kurang ada ratusan percetakan yang beroperasi di tempat ini. Hidayat Senen,56, salah seorang pengusaha sekaligus perajin yang cukup lama mendiami kawasan itu mengatakan, terbentuknya pusat percetakan di lokasi tersebut terjadi begitu saja.Seingatnya, kios percetakan mulai muncul sekitar akhir tahun 80- an. Sebelumnya, kawasan itu merupakan perkampungan biasa layaknya jalan-jalan lain di Kota Palembang.

Selain keluarga besar Mir Senen, di lokasi itu sepengetahuannya banyak juga didiami oleh keluarga Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet SBY. Namun sebelum ramai oleh pengusaha percetakan seperti sekarang ini, kawasan itu hanyalah merupakan kampung biasa. Selanjutnya oleh seniman alm Gathmyr Senen,kawasan itu dibuat menjadi tempat mengumpulkan para seniman. Baik itu seniman lukis, perajin laker maupun kaligrafi.

”Saat itu, usaha kerajinan dan seni Mir Senen lagi naik daun. Jadi setiap ada tamu gubernur dari dalam dan luar selalu diajak berkunjung di sentra kesenian ini,”ujar Hidayat. Khusus untuk kerajinan laker, kata Hidayat, di lokasi ini menjadi tempat finishing saja. Usaha kerajinan itu didominasi para pendatang dari Kota Padang. Nama Jalan Serelo itu sendiri lanjutnya sudah diganti beberapa kali. Dimana Jalan Serelo terkenal pada tahun 70-an. Karena dianggap belum resmi, nama itu kemudian diubah oleh pemerintah menjadi Jalan Abdullah dan terakhir menjadi AKBP HM Amin.

Dia memperkirakan, ramainya pengusaha percetakan ini lantaran pengaruh galeri seni yang dibuka oleh Mir Senen. Sebab selain melestarikan seni kontemporer, tarian, dan kerajinan ukiran Palembang, almarhum juga mulai memperkenalkan usaha pelaminan pengantin menggunakan laker Palembang. Bahkan di galerinya almarhum Mir Senen juga menyediakan jasa penari untuk keperluan pesta pernikahan. ”Saya pikir itu juga memengaruhi. Soalnya banyak pasangan pengantin yang menggunakan jasa EO-nya pada waktu itu. Jadi mulai banyak yang datang kesini,”kata dia.

Nah saat itu,almarhum Mir Senen memiliki bengkel seni. Di tempat itu pula almarhum Mir Senen membuka kios-kios kecil sisa tanah untuk disewakan. Awalnya satu dua percetakan saja yang hadir di tempat ini. Namun karena langsung direspon oleh konsumen yang memanfaatkan jasa wedding di Galeri Seni milik Mr Senen. Lama kelamaan, usaha percetakan khususnya untuk undangan dan hajatan pun mulai ramai.”Belum terlalu lama, sekitar tahun 1989. Setelah itu baru tambah ramai,” ujar dia.

Konsumen galeri Senen pun terbantu, sebab mereka tak perlu repot-repot membuat undangan untuk keperluan hajatan mereka. Karena semakin ramai dan diketahui masyarakat luas, pemilik usaha percetakan pun ikut mengembangkan usaha. Tak hanya undangan pernikahan, kini di tempat tersebut semua jenis bahan cetak bisa dibuat misalnya kalender, nota, banner hingga buku dan Yasin,semua tersedia lengkap. Bahkan belakangan ini, banyak juga pengusaha yang menyediakan aneka suvenir pernikahan. Tak heran kawasan ini kerap disebut sebagai one stop wedding.

”Konsumen banyak yang tanya. Makanya pengusaha mulai mengembangkan usaha. Konsumen juga makin terbantu sebab mereka tak perlu repot-repot lagi mencari kebutuhan untuk keperluan pesta pernikahan,”jelasnya. Hidayat mengatakan, saking banyaknya orderan, tingginya aktivitas bisnis di tempat ini bahkan kerap dijadikan para “pengulo” dengan sistem simbiosis mutualisme dengan pedagang. ”Yang ngulo juga banyak. Jadi mereka yang cari order buat kita. Mereka gak punya kios tapi bisa dapet untung.Mereka ini datangnya siang dan kumpul di salah satu kios depan,” katanya.

Sementara itu, salah seorang pengusaha percetakan, Syahril Edi mengatakan, kawasan tersebut memang sangat menjanjikan bagi pengusaha seperti mereka. Karena kawasan serelo sudah sangat terkenal. Sehingga selalu banyak didatangi konsumen. Dengan begitu mereka tak perlu repot-repot lagi mencari orderan. ”Selain ramai, toko kertas terbesar juga dekat dari tempat ini. Jadi kami lebih mudah menjalankan usaha,”jelas pria yang sudah membuka percetakan sejak tahun 80-an di lokasi ini.

Saking banyaknya konsumen, setiap bulan tak kurang ada puluhan ribu eksemplar undangan pesanan konsumen dicetaknya di tempat ini.Jenis percetakan itu bermacam-macam datangnya, baik dari kebutuhan pribadi maupun instansi pemerintahan. Sementara itu,menurut pengamat budaya di Sumsel Yudi Syarofi, kawasan Serelo bisa dijadikan salah satu unsur kebudyaan, mengingat di kawasan itu bukan hanya industri percetakan yang berkembang tapi banyak juga kerajinan seperti ukiran Palembang.

Menurut dia,lebih tepatnya kawasan itu cocok disebut sebagai cikal bakal industri kreatif di palembang. Karena dari tempat ini banyak lahir handycraft- handycraft bernuansa seni dan kerajinan yang punya nilai jual. ”Lebih tepatnya ini bisa kita sebut cikal bakal industri kreatif di Palembang. Untuk itu pemerintah harus jeli memanfaatkan ini sebagai salah satu potensi wisata,”katanya. Posisinya yang strategis, kata yudi, bisa saja dimaksimalkan dengan bantuan dana dari pemerintah.

Sehingga ke depan, kawasan itu bisa disulap jadi sentra kerajinan Palembang. ”Tinggal promosinya. Kita bisa berdayakan masyarakat di sana untuk membuka usaha serupa dengan sistem lintas sektor. Jadi kawasannya bisa lebih lengkap dan sempurna,”pungkasYudi. komalasari 

Sumber tulisan : www.seputar-indonesia.com/