Akrab: Tradisi rumpak-rumpakan hingga kini tetap lestari di kalangan masyarakat keturunan Arab di Kampung Arab Kuto Palembang. Seperti halnya pada 2013 lalu, usai shalat Id, tradisi ini digelar dengan mengunjungi rumah warga |
Tradisi saat merayakan Idul Fitri
memunculkan keunikan tersendiri di tengah masyarakat. Salah satunya adalah
mengunjungi keluarga, kerabat, tetangga, dan teman untuk bersilaturrahmi dan
saling bermaaf-maafan.
* * * * * * * * * * * * * * *
Di Palembang, tradisi berupa sanjo atau
rumpak-rumpakan tetap lestari. Bahkan, dipertahankan turun-temurun. Tak hanya
di kalangan masyarakat Palembang, ternyata tradisi tersebut dilakukan juga oleh
masyarakat keturunan Arab Hadramaut di Metropolis.
Rumpak-rumpakan merupakan tradisi
silaturrahmi yang dilakukan secara beramai-ramai yang sudah dilaksanakan sejak
ratusan tahun lalu. rumpak-rumpakan sendiri dilaksanakan selama dua hari bagi
keturunan Arab Hadramaut di kawasan Ilir.
Dimulai langsung setelah dilaksanakannya
shalat Idul Fitri, yang biasanya dimulai dari rumah keturunan yang dituakan.
Silaturrahmi dilakukan di seluruh rumah keturunan yang berada di kawasan Kuto
sehingga baru selesai dua hari.
Tokoh agama setempat, Ustadz Agil bin
Abdul Qadir Barakbah mengatakan tradisi rumpaK-rumpakan sudah dilaksanakan
sejak ratusan tahun yang lalu. Dan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki.
“Maknanya adalah silaturrahmi, jadi selama bulan puasa kita mempererat hubungan
dengan Allah SWT (habluminallah), nah sekarang setyelah menjalankan puasa
selama satu bulan maka saatnya mempererat hubungan antarsesama manusia
(hambluminannas),” ujarnya.
Tradisi ini dilakukan oleh keturunan Arab
Hadramaut di Palembang khususnya di kawasan Ilir yang sebagian besar berada di
Kuto. “Tradisi rumpak-rumpakan ini dilakukan oleh dua kelompok yang biasa
disebut dengan kelompok Sungai Bayas dan kelompok Sungai Buntu. Kelompok Sungai
Bayas merupakan keturunan Syahab sementara kelompok Sungai Buntu merupakan
keturunan Bin Syech Abu Bakar atau Ustadz Nagib,” bebernya.
Tradisi ini memang sengaja dilakukan
beramai-ramai sehingga bisa dilihat oleh banyak orang yang pada dasarnya
dilakukan sebagai syiar bahwa silaturrahmi antarmanusia tidak boleh putus.
“Dahulu tradisi ini banyak ditiru masyarakat yang melakukan silaturrahmi secara
bersama-sama, namun sekarang budaya yang baik itu sudah mulai luntur dan hanya
sebagian saja yang melaksanakan,” ungkpanya.
Ustadz Agil menjelaskan bahwa tradisi
rumpak-rumpakan tidak pernah luntur dan tetap dipertahankan hingga saat ini
meskipun keturunan Arab sudah banyak yang keluar dari kawasan Kuto.
Rumpak-rumpakan dilakukan langsung setelah melaksanakan shalat Id, dimana
rombongan berkumpul lalu satu persatu rumah didatangi.
“Di setiap rumah yang didatangi dibacakan
qqasidah dan ditutup dengan Al-Fatihah dan doa. Untuk tuan rumah juga tidak
perlu secara khusus menyiapkan makanan karena tujuannya bukan untuk makan-makan
melainkan silaturrahmi, namun biasanya tuam rumah menyiapkan minuman dan makan
kecil,” bebernya.
Melaksanakan rumpak-rumpakan bekan
berarti tidak melaksanakan silaturrahmi dengan keluarga dekat, karena dilakukan
hanya hingga siang hari maka setelahnya bisa melaksankan silaturrahmi dengan
keluarga. “Biasanya kalau hari pertama hanya sebagian rumah saja yang didatangi,
pada hari kedua lebih banyak lagi rumah yang didatangi bahkan hingga kawasan
Veteran yang dilakukan dengan berjalan kaki startnya di terakhir yang didatangi
di hari pertama,” ulasnya.
Tradisi yang ada di Kampung Arab tidak
hanya sampai di rumpak-rumpakan melainkan juga pernikahan sesama keturunan Arab
dikenal dengan istilah habaib. “Nah, kalau rumpak-rumpakan dilakukan hingga
Lebaran kedua, maka Lebaran ketiga secara berturut-turut ada pernikahan hingga
berakhirnya bulan Syawal. Pernikahan itu mengikuti hal yang dilakukan oleh
Rasulullah Muhammad SAW yang bertemu dan menikahi istrinya ‘Aisyah di bulan
Syawal,” terangnya.
Tradisi sanjo juga masih melekat pada
warga 26 Ilir dan 32 Ilir, yang merupakan masyarakat dengan budaya Palembang
yang masih kental dengan rumah-rumah panggung lama bercorak Palembang. Setiap
rumah warga sudah menyediakan makanan. Menurut Kiagus Faisal (30), salah
seorang warga 26 Ilir, usai menunaikan shalat, beberapa kepala keluarga dalam
lingkungan satu kampung di situ berkumpul di masjid. Lalu bersama-sama
mendatangi tempat tinggal tetangga di sekitar tempat tinggal mereka satu
persatu untuk bersilaturrahmi dan bermaaf-maafan. (cj8/roz/asa/ce1)
Menjaga Kearifan Lokal
“Kami fokus pada pelestarian nilai budaya
dengan mendorong dihidupkannya kembali kearifan lokal.” Ahmad Zazuli,
Sekretaris Disbudpar Palembang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Kota Palembang Yanurpan Yani melalui Sekretaris Ahmad Zazuli,
mengatakan, budaya sanjo mayarakat Palembang saat Lebaran, merupakan salah satu
bentuk kearifan lokal yang patut dilestarikan. Tradisi tahunan setiap Idul
Fitri ini merupakan salah satu warisan budaya turun-temurun sejak zaman dahulu.
Disbudpar Palembang sangat mendukung
setiap pelestarian budaya sanjo ini. Meski begitu, pihaknya masih akan
menginventarisir setiap kearifan lokal di Palembang. termasuk budaya sanjo ini.
“Kami fokus pada pelastarian nilai budaya dengan mendorong dihidupkannya
kembali kearifan lokal,” ucap Zazuli, saat ditemui di ruang kerjanya kemarin.
Apakah sanjo ini akan masuk paket wisata
Palembang? Zazuli mengatakan, hal tersebut bisa saja, namun harus melalui
sebuah proses inventarisir dan dokumentasi dalam bentuk visual, audiovisual,
buku dan sebagainya.
“Tahap awal mesti harus didefnisikan
terlebih dahulu terkait isltilah sanjo ini, apakah sudah sesuai dan baku atau
ada istilah lainnya, termasuk kaitannya dengan wilayah di luar Palembang.
Apakah di luar Palembang juga ada istilah sanjo ini. Untuk bisa masuk dalam
program wisata Kota Palembang, tentu perlu pengkajian yang mendalam dan kami
akan membuat film dokumenter terkait budaya sanjo ini,” ucapnya.
Tradisi sanjo nyaris terdapat di semua
pelosok masyarakat di Palembang, terutama warga asli Pelembang yang terdapat di
Ulu Laut, 13 Ulu, Kampung Arab, Pasar Kuto, Kampung Kapitan, 26 ilir, dan
Kertapati.(roz/asa/ce1)
Sumber : Sumatera Ekspres, Sabtu, 26 Juli
2014
No comments:
Post a Comment