CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

07 June 2016

Enaknya Gelenak, Camilan Langka Favorit Orang Tionghoa

Hasil gambar untuk Enaknya Gelenak, Camilan Langka Favorit Orang Tionghoa
Kue Gelenak Khas Palembang
Liputan6.com, Palembang - Palembang yang kondang sebagai salah satu kota wisata makanan di Indonesia kini masih merawat makanan tradisional yang sudah mulai langka. Selain camilan Gula Puan yang sudah sangat jarang ditemui, kini ada camilan Gelenak yang juga termasuk langka dan semakin jarang ditemui.

Dari teksturnya, Gelenak hampir mirip dengan wajik atau dodol. Bentuknya sedikit kenyal dan manis, tapi terasa banyak elemen rempah-rempah saat mencicipinya. Warnanya juga cokelat kehitaman dan dicetak dalam ukuran bulat kecil.

"Susah mencari orang yang bisa membuat Gelenak ini karena dibuat dari rempah-rempah asli Indonesia dengan takaran tertentu. Kalau saya sudah dari kecil diajarkan orang tua agar mahir membuat makanan khas Palembang ini," ujar Rofika (58), salah satu penjual Gelenak yang tersisa, kepada Liputan6.com di Palembang, Jumat (6/5).


Camilan tradisional ini ternyata dibuat dari berbagai jenis rempah-rempah, seperti gula, pala, jahe, sahang, kayu manis, engkeh, cabai Jawa, kelapa, tepung, dan bahan lainnya. 

Proses pembuatannya kira-kira memakan waktu dua jam, mulai dari pencampuran rempah-rempah, penghalusan, sangrai dan kukus serta pencetakan. 

Untuk memperkaya rasa, Gelenak juga dicampur dengan taburan tepung tanpa rasa yang dibuat dari beberapa bumbu tradisional.

Setiap hari, Rofika mampu membuat hingga 150 bungkus Gelenak untuk kemudian ia jajakan di pasar-pasar tradisional. Barulah pada hari Jumat, utamanya setelah salat Jumat, ia berjualan di halaman Masjid Agung Palembang.


Favorit Warga Tionghoa


Kendati merupakan makanan khas Palembang, Gelenak seakan dilupakan oleh warga Palembang. Banyak warga lokal generasi tahun 2000 yang tidak tahu dengan camilan ini. Sesekali cemilan ini hanya hadir saat bulan puasa Ramadan saja. 

Alasan inilah yang membuat pemasaran cemilan tradisional ini semakin langka dan sulit diedarkan. Namun Rofika tidak berputus asa. Meskipun banyak yang sudah melupakan Gelenak, masih ada langganannya yang selalu ketagihan mengonsumsi cemilan ini. 

"Kebanyakan pelanggannya adalah warga Tionghoa yang tinggal di kawasan Pasar Kentut, Sayangan, Palembang," ujar dia.

"Mereka rutin memesan ke saya. Bahkan setiap saya berjualan di daerah Sayangan Palembang, Gelenak dengan cepat habis dibeli. Beda dengan dijual di pasar atau di kawasan warga lokal, sulit untuk laku semua. Mereka banyak yang tidak tahu makanan apa ini," kata Rofika.

Tidak seperti Gula Puan yang hanya bisa bertahan selama seminggu, Gelenak lebih tahan lama. Keawetan Gelanak bisa bertahan hingga satu bulan. Karena proses pemasakannya dilakukan sebanyak dua kali, sehingga bahan-bahannya matang dengan sempurna.


 "Bisa sampai sebulan awetnya, tidak perlu dimasukkan ke dalam kulkas," ucap Rofika.
Tetap Lestarikan Gelenak


Sudah 40 tahunan Rofika menggantungkan hidupnya dari berjualan Genelak. Sempat beberapa kali Rofika berganti profesi menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Namun ia lebih nyaman mandiri berjualan Gelenak daripada ikut kerja dengan orang lain.

Pendapatan dari hasil penjualan Gelenak juga tidaklah banyak, Rofika hanya mendapatkan untung sekitar Rp 25.000 dalam sehari. Tak jarang saat jualannya tak laku, ibu lima anak ini hanya mengantongi beberapa ribu rupiah saja.

Meskipun penghasilannya hanya sedikit, Rofika tetap senang menggeluti usaha ini. Tidak hanya sebagai penghasilan, tapi ini menjadi cara Rofika untuk kembali menghadirkan makanan Palembang yang nasibnya di ujung kepunahan. 

"Dari keluarga besar, tinggal saya yang bisa membuat Gelenak ini. Karena jarang yang jual, makanya saya memilih menjual Gelenak. Saya ingin melestarikan makanan Palembang, walau pemerintah sendiri tidak peduli dengan kepunahan makanan ini," kata dia.

Rofika menjajakan Gelenak dengan berjalan kaki, dari rumahnya di kawasan Tangga Buntung, 35 Ilir Palembang. Ia tetap bersemangat menjajakan makanan yang dulunya sangat terkenal Palembang. 

Ia juga menggantungkan hidupnya di cemilan ini karena suaminya sudah meninggal enam tahun lalu dan anak-anaknya yang juga hidup serba pas-pasan tidak bisa membantu kehidupan Rofika. sumber : http://regional.liputan6.com/

30 May 2016

Ziarah Kubro Tahun 2016

Sumber : Youtube

Kota Palembang, saat mendekati bulan Ramadhan. Ribuan warga kota ini dan para habaib dari berbagai kota, berkumpul menjadi satu dan membentuk barisan panjang. Mereka menyebutnya sebagai ziarah kubro, yakni kegiatan mendatangi makam para wali atau auliya di kota ini secara massal. Tujuannya, adalah untuk menaburkan doa-doa, sambil mengenang perjuangan dan kemuliaan para fisabilillah, atau orang-orang yang berjuang untuk Yang Mahatinggi.

Fenomena berziarah ke makam para wali atau keluarga dekat, kerap dianggap sebagai warisan pra-Islam. Karena itu, fenomena itu bisa ditemui di negara Islam mana pun. Termasuk, tempat asal-muasal agama Islam dikembangkan, yakni kawasan Timur Tengah, dengan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam, sebagai tokoh sentralnya. Setelah sang Rasul wafat, para keturunannya yang disebut ahlul ba’it, memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam. Sisi lain, mereka juga kerap dianggap sebagai pewaris spiritual Rasulallah, dan berhak mencantumkan gelar-gelar syarif atau sayyid sebagai simbol bangsawan spiritual.

Garis keturunan secara lahiriah ini, kerap diangap sebagi jembatan langsung untuk menjangkau sang Nabi terakhir. Bahkan, mereka pun dianggap sebagai wali, sang pelindung, yang mencintai dan dicintai oleh Dzat Yang Mahasempurna. Karena itu, makam para wali, atau secara jamak disebut auliya, dianggap memiliki barokah untuk mendapatkan syafaat dari Rasulallah. Sehingga, ziarah ke makam para wali pun menjadi tradisi tahunan sejak tahun 70-an.

Hampir setiap mendekati Ramadhan, kota ini menjadi pusat perhatian umat Islam dari mana pun. Lebih khusus lagi, para habaib, atau orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulallah. Karena, komunitas habaib itulah yang merasa paling berkepentingan untuk mengunjungi makam-makam para wali, yang ternyata merupakan para leluhurnya sendiri.

Kota Palembang di masa silam adalah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di masa pra-Islam, dan kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-13. Kesultanan Palembang Darussalam berkembang, setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya dan kekosongan kekuasaan selama sekitar dua abad. Pimpinan Islam yang pertama kali berkuasa di Palembang adalah Sultan Mughni. Saat itu, Palembang juga masih bagian dari Kerajaan Majapahit.

Kesultanan Palembang Darussalam makin semarak, setelah Sultan Mahmud Badaruddin I berkuasa. Genderang syiar Islam terus terdengar, dan tatanan budaya yang bersendikan Islam di kota ini pun, kian kokoh. Nama besar sang Sultan, ternyata masih berkaitan dengan wali songo dan sultan-sultan di Kesultanan Demak Bintoro.

Sumber : Youtube

Begitu kuatnya hubungan darah keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dengan wali songo hingga Rasulallah salallahu ‘alaihi wassalam, maka mereka pun dekat dengan kaum pedagang atau ulama dari jazirah Arab. Sebagian besar dari para ulama itu berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan, tempat salah seorang keturunan sang Rasul bermukim. Mereka dikenal sebagai komunitas Keluarga Allawiyin, yakni keturunan ke-12 dari Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam. Dan, sebagian besar warga keturunan arab yang bermukim di kota Palembang, umumnya berasal dari Keluarga Allawiyin.

Eratnya hubungan antara keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dan para habib dari Hadramaut, adalah diangkatnya para habib itu sebagai guru di lingkungan istana. Penghormatan keluarga kesultanan terhadap keturunan ahlul bait itu, juga ditunjukkan dengan kehadiran makamnya yang dekat dengan makam sang Sultan. Kesatuan antara makam guru dan murid.

Pada akhirnya, para habib itu memang menjadi imam kubur, ulama yang seakan mendampingi muridnya yang sultan, sejak hidup hingga ke liang lahat. Imam kubur di dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I adalah Al Habib Abdullah bin Idrus Alaidrus. Namun, selain sang imam kubur, nama Sultan Mahmud Badaruddin I pun memiliki kemuliaan tersendiri di mata para penziarah. Karena, selain masih keturunan ahlul bait, sang Sultan merupakan ulama dan pemimpin yang arif bijaksana. Bahkan, para sejarahwan menjulukinya sebagai tokoh pembangunan Palembang modern.

Ikatan lahir dan batin antara Hadramaut dan Palembang, adalah buah sejarah panjang yang digelar para habib, ulama, atau wali, asal Hadramaut di kota Palembang, berabad-abad yang silam. Kehadiran para auliya membuat warna Islam di kota Palembang kian semarak, dan memperkuat perjuangan para wali songo dan ulama-ulama lain, untuk mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kedamaian.

Semakin siang, suasana ziarah kubro kian semarak. Iring-iringan para penziarah terus bergerak. Kali ini, tujuan mereka mengarah ke areal Pemakaman Kambang Koci, tempat dimakamnya puluhan wali dan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam.

Meski areal pemakamannya lebih sederhana, namun para penziarah merasa yakin, di tempat inilah jasad para ulama besar asal Hadramaut dimakamkan. Para habaib masih menyimpan nama-nama besar dan kemuliaan yang ditorehkan oleh para wali ini. Sejarah mencatat, para ulama yang kini namanya tengah diagungkan ini berjuang dan bergerak ke seluruh pelosok Sumatera Selatan, untuk menyiarkan Islam.

Dan, perjuangan dan kemuliaan mereka itulah, yang kini terus disimpan oleh keturunannya yang bermukim di kota Palembang dan kota-kota lain. Sehingga, mereka pun seakan menjadikan palembang seperti Hadramaut, kota penuh sejarah, makam para waliyullah, dan juga tempat kelahiran para leluhurnya.

Sehingga, mereka merasa wajib untuk terus berdatangan setiap menjelang bulan Ramadhan, meski sekedar menemui makam dan mendoakan arwah auliya. Yakni, orang-orang terpilih, yang mampu melindungi islam dan umatnya, serta senantiasa mencintai dan dicintai oleh Yang Maha Memiliki Cinta.

Palembang sebagai Hadramaut Kedua, bukan hanya tempat peristirahatan terakhir para wali dan keturunan ahlul bait. Tapi, juga tempat berseminya nuansa cinta, kaum muslim terhadap Rasul pilihannya dan para pejuang-pejuang Islam.


By : syaiful halim