CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

19 September 2018

GUGUK di Palembang

Sebelum nama-nama kampung atau tempat di Pelembang seperti peninggalan sekarang ini di tulis oleh kolonial Belanda dengan nomor-nomor angka, yaitu: 1 ilir, 2 ilir, 3 ilir, 1 ulu, 2 ulu, 3 ulu, dst. Di Pelembang sejak jaman kerihin sudah terdapat nama-nama asli wilayah pemukiman atau kampung yang secara global dan spesifik lingkungan tersebut disebut "guguk".

Kata Guguk berasal dari kosakata Jawi-Kawi (Gugu) yang artinya: diturut, diindahkan. Pada mulanya wilayah pemukiman penduduk Kota Palembang di zaman Kesultanan berpusat kepada Keraton. Sedang pemukiman penduduk saat itu dibentuk menurut sistem struktur masyarakat tradisional setempat. Keseluruhan sistem atau lembaga ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama Guguk (gogok). Setiap Guguk biasanya mempunyai tugas dan fungsinya tersendiri. Paling tidak ada 3 sektor menurut sifatnya, yaitu: Sektor Profesi (kedudukan/jabatan), Usaha, dan Fungsinya. Disetiap wilayah Guguk ini dipimpin oleh pemimpinnya, baik karena kedudukannya dia menjadi golongan bangsawan ataupun karena kebangsawanannyalah ia sebagai pemimpin.

Adapun nama kampung yang dikaitkan dengan ketiga sektor guguk menurut sifatnya itu dapat disebutkan misalnya antara lain:
1. Sektor Profesi (kedudukan/jabatan):
- Keraton = tempat Keratuan/Raja (istana)
- Keputren = tempat tinggal para puteri di dalam keraton.
- Kebumen = tempat tinggal Mangkubumi (16 ilir)
- Purban = tempat tinggal Pangeran Purbaya (16 ilir).
- Kemartan = tempat tinggal Pangeran Marta Wijaya (23 ilir).
- Kedipan = tempat tinggal Adipati (13 ilir)
- Ketandan = tempat tinggal Tandha/bendahara/pajak (17 ilir).
- Kedemangan= tempat tinggal para Demang (8 ulu).
- Kebalen = tempat tinggal orang-orang Bali.
- Kebangkan = tempat tinggal orang-orang Bangka (9 ilir).
- Depaten = tempat tinggal Pangeran Adipati/Adipatihan (27 ilir).
- Pengulon = tempat tinggal para penghulu dan alim ulama (19 ilir).
- Kampung Anyar= tempat tinggal komunitas Arab di lingkungan Masjid Agung (19 ilir).
- Jero Pager = tempat tinggal Kms. Temenggung Jumpong mertua Jero Pager, mertua SMB I (1 ilir).
- Temenggungan = tempat tinggal para Temenggung (13 ulu).
- Pedatuan = tempat tinggal para Datuk (12 ulu).
- dll.

2. Sektor Usaha:
* Kepandean = tempat Pandai Besi (18 ilir).
* Sayangan = tempat Pandai/perajin Tembaga (17 ilir).
* Pelengan = tempat perajin membuat minyak.
* Rendang = tempat pembakaran (13 ilir).
* Kuningan = tempat perajin kuningan (15 ilir).
* Pelampitan = tempat membuat lampit (18 ilir).
* Kapuran = tempat mengolah kapur (19 ilir).
* dll.

3. Sektor Menunjukkan Fungsinya (sungai, dsb):
× Segaran = tempat penyegaran (15 ilir).
× Penedan = tempat yang dipelihara/keindahan.
× Terusan = Saluran/kanal (14 ilir).
× Karang Waru = Kumpulan pohon-pohon.
× Temon = tempat Pertemuan (27 ilir).
× Sungai Tengkuruk = Sungai yang diuruk.
× dll.

Plg, 16/9/2018
Kms.H. Andi Syarifuddin

Sumber:
Demang R.M. Hasir (1917)

Di sadur dari sebuah halaman facebook ustadz Kms. H. Andi Syarifudin

28 August 2018

LAYANGAN PALEMBANG

Ku ambil buluh sebatang
Ku potong sama panjang
Ku raut dan kutimbang dengan benang
Ku jadikan layang-layang
...... 
Demikianlah sepenggal syair lagu anak-anak yang sangat populer.

Layangan atau layang-layang merupakan salahsatu permainan tradisional masyarakat Palembang sejak doeloe. Jenis-jenis permainan tradisional masyarakat adat Palembang sangatlah banyak dan beragam, di antaranya ialah layangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan "Layang" bermakna mainan yang terbuat dari kertas berkerangka yang diterbangkan ke udara dengan memakai tali (benang) sebagai kendali.

Permainan tradisional ini diminati oleh semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa, dari lapisan masyarakat biasa maupun golongan bangsawan. Di jaman Kesultanan Palembang Darussalam, layangan sudah menjadi pemandangan indah, menghias langit negeri Palembang. Selain sebagai permainan yang mengasyikkan, juga layangan sekaligus sebagai hiburan pelepas penat. Memainkan layangan di tanah lapang perlu keterampilan khusus serta peralatan layangan yang disiapkan dengan teliti dan terbaik. Para pembesar Kesultanan Palembang seperti Manteri, Raden ataupun Pangeran cukup piawai dalam bermain layangan di lingkungan keraton.

Van Sevenhoven (1821), dalam tulisannya melukiskan tentang permainan layangan di Kesultanan Palembang tempo doeloe sebagai berikut:
"Di sini lagi-lagi ada sebuah bidar atau pancalang yang membawa seorang Mantri, Raden atau Pangeran. Ia sungguh sibuk. Tidak ada yang mengalihkan perhatiannya. Ia melihat dengan tajam ke udara dan seorang yang baru akan berpikir, bahwa ia sedang mengawasi dengan seksama sesuatu yang ajaib di udara dan dari waktu kewaktu menceritakan kepada yang ada bersamanya apa yang dilihatnya. Kenyataannya adalah jauh daripada itu.
Orang itu kelihatannya begitu terhormat, kepada siapa banyak soal-soal penting harus dilaporkan, sedang menghibur diri dengan main layang-layang, yang talinya diperkuat dengan tumbukan gelas dan dicampur dengan beberapa benda tajam lainnya dengan maksud agar dapat memutuskan tali layang-layang lain semacam itu akan diputuskan oleh yang terakhir ini dengan tali yang juga diperkuat dengan cara yang sama. Itulah kesibukannya; dan tidak mengherankan! Dalam hal ini ia mengikuti rajanya yang mulia dan tuannya yang disamping itu masih mempunyai keistimewaan yang rupa-rupanya hanya dimiliki oleh keluarga raja, yaitu bahwa ia mengawasi layang-layangnya yang berada tinggi di awang-awang dengan sebuah teropong yang biasa dipakai untuk mengikuti suatu pementasan (tonel). .....yang kalah ialah orang-orang yang tali layang-layangannya dapat diputuskan oleh lawannya. Untuk memutuskan layang-layang atau untuk menghindarkannya diperlukan sedikit banyak keterampilan. Orang yang tidak ahli akan segera kehilangan layangan-layangannya."

Di dalam rumah adat Limas, layangan dan ulakannya disimpan di ruangan pawon, digantung di dinding luar sebuah pangkeng yang berada tidak jauh dari ruang makan. Pada saat ini, layangan masih menjadi permainan dan hiburan alternatif yang menyenangkan, terutama ketika musim layangan ataupun pada saat memeriahkan momen bulan Agustusan. Hampir disetiap kampung dulu terdapat tukang layangan yang memproduksi dan menjualnya secara luas. Bentuk layangan khas Palembang cukup sederhana, namun memiliki banyak corak dan variasi reko/gambar yang menarik dilukis dengan sumbo.

Istilah dalam Dunia Pe"Layangan" :
- layangan
- kuncung
- reko
- ulakan
- padek
- tali benang
- tali timbo
- cul / ngecul
- prigel
- ngepal
- sinting
- ngoter
- ngencot
- paritan
- legoo
- gelasan
- ngambul
- kukutan
- nyempret
- ngedek
- nyerucup
- mongkoti
- nganteng
- tebik
- silem
- julur
- tarik
- ngebir
- katak-katak
- putus di tangan
- ceracahan
- ngokot
- ruwet
- ngulak tali
- melawan angin 
- katek angin
- beri
- besetan
- bandelan
- gelondongan
- sumbo
- ngejer layangan
- satang
- Tukuk i
- Ser ken
- Julur
- Ngelipek
- Belamburan
- Gelas wak mo
- Kaberken
- Slentek
- Gelas blang bleng
- Anjalken
- Kertas beluang
- Kuncung kaset
- Layangan gundul
- Sinting
- Embati
- Beset
- Tarik masuk
- Tarik metu
- Cedok
- Agangi
- Bladokkan
- Gelagaran
- dan lain-lain.
Bermain layangan hendaklah jangan sampai melalaikan waktu untuk beribadah.

Palembang, 12 Agustus 2018
Kms.H. Andi Syarifuddin
(KHAS)

16 August 2018

Cara Pembuatan Telok Ukan Palembang

Sumber : http://palembang.tribunnews.com/

Telur atau bukan "Telok Ukan" begitulah masyarakat Palembang menyebut makanan khas yang dibuat turun-temurun tersebut. Telok ukan hanya ada di saat memperingati HUT kemerdekaan Republik Indonesia yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus.

Telok ukan merupakan telur yang dimasak dengan cara mengeluarkan isi telur dari cangkangnya kemudian isi telur dikocok dengan beberapa bumbu seperti pandan dan sedikit kapur sirih. Telur yang telah dibumbui tersebut dimasukkan kembali ke dalam cangkang telur dan ditutup dengan kayu gabus.

Setelah itu di rebus selama 30 menit dengan api kecil dan jika sudah dipastikan matang telok ukan bisa langsung disantap dengan nasi ketan. Noni Mariani pembuat telok ukan mengaku telah membuat selama 10 tahun ia mengatakan diajarkan oleh ibunya untuk menjaga makanan khas Palembang jangan sampai nanti makanan tersebut punah.

''Dari 10 tahun lalu diajari oleh mama karena ini makanan khas turun temurun,''katanya.

Noni mengatakan untuk harga satu butir telok ukan di hargai 5 ribu rupiah.

''Mulai dari awal bulan Agustus perharinya bisa terjual 75 butir, namun setelah dekat dengan hari HUT RI nanti akan bertambah banyak,''ujarnya.

Sumber : http://palembang.tribunnews.com/

06 June 2018

Cetakan Kue Satu

Cetakan kue satu foto : @muaraenimupdate
Cetakan kue satu itu yang sering kami sebut di dalam keluarga. Dimana pada saat kami masih kecil setiap menjelang lebaran kue yang satu ini seperti menjadi hidangan wajib di dalam "gelok" (toples). Saat ibu kami selesai mengadon adonan terigu dan parutan kelapa di tambah dengan gula maka siaplah cetakan ini beraksi. "Cetok... Cetok.....cetok" satu persatu kue mulai terbentuk dan siap di oven, saat itu kami sebagai anak mulai antri untuk membuat kue dengan alat tersebut, yg akhirnya di cetakan yg terakhir baru kita mendapat giliran. 

Rasa kuenya si biasa tapi di balik itu kebersamaan yang buat oleh "cetakan kue satu" sampai sekarang masih melekat walaupun saat ini sang cetakan sudah tidak menjalankan tugasnya lagi.