CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

19 April 2010

Makam Sabokingking Palembang

Papan nama komplek peakaman sabokingking
Kompleks Makam Sabokingking juga terdapat di dalam kawasan PT Pusri. Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Pangeran Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah Raja Palembang yang menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M) dan kedudukannya kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean (1642-143 M). 

Makam ini berdampinngan dengan makam istri Pangeran Sido Ing Kenayan, yaitu Ratu Sinuhun. Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja, Habib Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab. Hingga kini, Ratu Sinuhun diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. 

Ada pula keyakinan, Simbur Cahaya adalah pengesahan hokum adat (lisan) yang pada masa itu berlaku sudah berlaku pada masyarakat pedalaman Sumatera Selatan. Simbur Cahaya, pada dasarnya memang mengatur rakyat di luar Palembang atau dikenal dengan istilah uluan. Aturan adat ini berlaku hingga ratusan tahun sampai UU No. 5 Tahun 1979 berlaku efektif di Sumatera Selatan. Sebelumnya, Simbur Cahaya terdiri atas lima bab?ini juga telah membentuk pranata hukum dan kelembagaan di Sumatera Selatan. 


Sebuah batu diduga peninggalan Kerajaan Sriwijaya ditemukan di pemakaman Sabokingking, Palembang. Batu ini mirip bagian puncak bangunan candi atau stupa.

Batu berbentuk segi empat, berukuran 74 cm x 74 cm x 26 cm itu dalam posisi empat tingkat. Setiap sudutnya terdapat lubang sedalam 5 cm. Batu ini ditemukan sejumlah pekerja yang tengah merenovasi pemakaman Sabokingking, makam leluhur Kerajaan Palembang (kerajaan sebelum Kesultanan Palembang Darussalam) di Sungai Buah, Ilir Timur II, Palembang.



Menurut juru kunci makam Kemas Madinah Yahya (70 tahun), yang ditemui di rumahnya sekitar 100 meter dari makam, Minggu (5/11), Selasa lalu ketika sejumlah pekerja membuat lubang di belakang Pangeran Sido Ing Pasaeran atau di belakang bagian kepala Tuan Sayid Guru Muhammad Nur, tiba-tiba linggis mereka menyentuh benda keras. Saat dikorek secara perlahan ternyata sebuah batu.

Lalu, setelah berusaha selama dua hari, Rabu dan Kamis, batu tersebut akhirnya dapat diangkat. Lokasi ditemukan batu itu sendiri tetap dipasang kerangka besi untuk tiang penyanggah makam.

Menurut arkeolog dari Balai Arkeolog Palembang Retno Purwanti, yang sempat melihat batu tersebut, diperkirakan batu itu mirip bagian puncak bangunan candi atau stupa. Bila benar, itu artinya bagian penting dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Apalagi diyakini bahwa pemakaman Sabokingking memang diduga dibuat di atas bangunan candi-candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya. "Tapi kita perlu melakukan penelitian yang dalam mengenai kebenaran batu tersebut," katanya. Sementara batu itu sendiri kini berada di dalam Pemakaman Sabokingking.

Dijaga Panglima

Pada Selasa (1/11) malam, Madinah bermimpi atau mendapatkan petunjuk dari Ratu Sinuhun-kerabat dekat Kesultanan Yogyakarta. "Saya dibisiki dalam bahasa Jawa halus, yang intinya batu tersebut boleh diangkat, tapi tidak boleh dibawa keluar dari makam dan harus diletakan di dekat makam Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman," tutur Madinah.
Sementara sampai hari ini, belum ada dari pihak pemerintah yang mendatangi Pemakaman Sabokingking. Menurut Madinah, Walikota Palembang Eddy Santana Putra saat ini tengah berada di luar kota.

Makam Sabokingking merupakan makam tertua para raja atau pangeran di Palembang. Di makam ini disemayamkan Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), Sido Ing Pasaeran atau Jamaluddin Mangkurat I (1630-1652), Ratu Sinuhun-penulis kitab Simbur Cahaya-serta imam kubur Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Shahab, serta Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman. (Harian Global)

13 April 2010

Makam Sultan Agung Palembang



\Kompleks Makam Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1727 M) merupakan salah satu kekayaan arkeologi di Kota Palembang. Kompleks ini terdapat di kawasan Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur (IT) II, berbatasan dengan lingkungan PT Pusri (ada sebuah masjid, yaitu Masjid Sultan Agung yang menjadi jarak antara). 

Karena perkembangan kota, letak kompleks makam yang merupakan bagian dari Kota Plembang Lamo ini sekarang bersebelahan pula dengan Kantor Kelurahan 1 Ilir (sebelah selatan). Sebagaimana layaknya kompleks pemakaman kuno lain di Palembang, Kompleks Makam Sultan Agung berjarak sekitar 45 meter dari tepian sungai, yaitu Sungai Musi. Posisi tanahnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. 

Sultan ketiga di Kesultanan Palembang Darussalam berikut tokoh-tokoh lain yang dimakamkan di kompleks yang sama ini wafat sebelum Kompleks Kawah Tekurep selesai dibangun. Dengan demikian, makamnya pun terpisah dari kompleks makam Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo itu. 

Di kompleks makam ini, terdapat dua deret makam, yaitu deretan di sebelah utara dan selatan yang masing-masing terdiri atas empat makam. Makam di deretan utara, satu makam utama karena letak tanahnya lebih tinggi dibandingkan makam-makam lainnya saat ini dibangun pula semacam bangunan pelindung?adalah makam Sultan Agung. Makam ini diapit oleh dua makam yang nama di nisannya tidak terbaca. 

Ditambah pula dengan satu makam nisan dari unglen dan kini dalam kondisi genting yang juga tidak diketahui namanya. Di kelompok makam kedua, terdapat satu makam yang dikenal, yaitu Raden Tubagus Karang. Tokoh ini adalah panglima perang dari Banten, kakak kandung Raden (Tu)Bagus Kuning yang makamnya berada di kawasan Patrajaya, bersebelahan dengan Kompleks Pertamina Baguskuning, Kelurahan Baguskuning, Kecamatan Plaju. 

Sultan Agung memerintah di Kesultanan Palembang Darussalam selama hampir sepuluh tahun sebelum Kekuasaan dikembalikan kepada Pangeran Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo pada tahun 1727 M. Proses peralihan kekuasaan pada masa ini cukup menarik. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1718 M) merasa bahwa harus turun tahta, dia menyerahkan tahta di Kraton Beringin Janggut. 

Saat itu, putra-putranya masih sangat muda. Karena itu, tahta diserahkannya kepada adiknya, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Komaruddin Seri Teruno. Pangeran Jayo Wikramo akhirnya meninggalkan Palembang dan bertualang di wilayah Nusantara hingga mencapai Negeri Cina.
Saat berada di Malaysia, pada tahun 1727, dia merasa sudah memiliki cukup kekuatan untuk ?mengambil kembali? haknya. Sejarah mencatat, penyerahan kembali tampuk kekuasaan dari Sultan Agung Komaruddin Seri Teruno kepada kemenakannya itu berlangsung damai. 

02 April 2010

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang

Rumah Sakit Pelabuhan tahun 2008
Rumah Sakit Pelabuhan Palembang bermula dari didirikannya unit kesehatan (UKES) pada tahun 1974 yang merupakan bagian dari organisasi BPP (Badan Pengusahaan Pelabuhan) Palembang sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi karyawan dan keluarganya. Pada saat itu pelayanannya baru berupa Rawat Jalan, Rawat Inap Bersalin, dan Apotik.

Dengan adanya perkembangan Pelabuhan Palembang, maka pada tahun 1980 mulailah dibangun sebuah sarana Rumah Sakit yang terletak di Jalan Mayor Memet Sastrawirya dibekas daerah Asrama TNI AD, yang diresmikan pada tanggal 02 Oktober 1981 oleh Dirjen Perhubungan Laut dengan sarana pelayanan berupa Rawat Jalan + UGD, Rawat Inap Umum dan Kebidanan dengan kapasitas 50 bed, Apotik, Radiologi dan Laboratorium, dengan nama "Rumah Sakit Boom Baru".

Perkembangan Rumah Sakit Boom Baru tidak terlepas dari perkembangan/ perubahan status Perusahaan induknya yaitu Pelabuhan Palembang yang semula berbentuk PN. Pelabuhan, pada tahun 1984 berubah menjadi Perum Pelabuhan II, kemudian tahun 1992 berubah menjadi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, dimana Pelabuhan Palembang merupakan salah satu Cabang Pelabuhan dibawah PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia II.

Dalam rangka kemadirian dan profesionalisme usaha, maka Direksi PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia II menetapkan Rumah Sakit-Rumah Sakit Pelabuhan dijadikan unit usaha yang berdiri sendiri dan pada tanggal 1 Mei 1999 secara resmi berdiri PT.Rumah Sakit Pelabuhan dan nama "Rumah Sakit Boom Baru Pelabuhan" diganti dengan nama "Rumah Sakit Pelabuhan Palembang" yang merupakan salah satu Rumah Sakit yang berada dibawah PT.Rumah Sakit Pelabuhan.

Sejak saat itu promosi untuk pasien umum terus ditingkatkan, peralatan medis yang dibutuhkan dilengkapi secara bertahap, kopetensi tenaga medis dan paramedis terus ditingkatkan, sehingga masyarakat sudah mengenal "Rumah Sakit Pelabuhan Palembang" sebagai Rumah Sakit yang melayani pasien umum dan mudah dijangkau.

 Sumber tulisan : rspelabuhan.com

30 March 2010

Sriwijaya, Sepenggal Sejarah yang Hilang


''Sebuah kerajaan bisa saja tenggelam, namun suatu saat akan muncul lagi. Sriwijaya sejak Indonesia merdeka belum menjadi pokok pembicaraan, mungkin dari Pagar Alam ini akan dimulai.''

Ungkapan yang disampaikan Gubernur Provinsi Bengkulu, Agusrin M. Najamudin, itu mungkin ada benarnya. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang tak terlepas dari keberadaan kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan tertua Melayu kuno, dan memiliki pengaruh besar sampai ke wilayah Asia Tenggara mengingat kerajaan ini termasuk kerajaan maritim.

Sejarawan, Djohan Hanafiah dalam sebuah makalahnya yang disajikan dalam seminar bertajuk peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya di kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, Sabtu (28/1), mengungkapkan sejak sejarawan Prancis, George Coedes tahun 1918 menyatakan Sriwijaya beribukota di Palembang silang pendapatpun terjadi. 

Puluhan pakar sejarah dan praktisi berbagai disiplin ilmu telah mengungkapkan beragam pendapat dalam berbagai seminar, lokakarya, diskusi dan forum ilmiah lainnya yang tak menemui titik temu selama lebih dari 70 tahun terkait ibu kota kerajaan tersebut.

Masa kekuasaan Sriwijaya menurut Muslihun, seorang sejarawan Bengkulu, dimulai abad ke-6 sampai ke-7 masehi. Pusat kekuasaan terletak di Bukit Barisan bagian barat, masuk Kabupaten Kaur, propinsi Bengkulu. Kerajaan ini didukung sekitar 40 kerajaan wilayah yang otonom, tersebar di bekas kerajaan Srijaya dan Sribuana di pantai parat provinsi Bengkulu Selatan.

Hampir dua abad kerajaan ini berpusat di kaki Bukit Barisan bagian barat. Namun, setelah Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkuasa, ia memerintahkan untuk menutup kerajaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Palembang. Kerajaan wilayah (raja kecil) pindah menyebar dari Riau sampai Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Raja wilayah yang dipindahkan ke Jawa Tengah diminta secepatnya membangun candi guna mengalihkan perhatian, penutupan kerajaan di bukit barisan yang bertujuan untuk memajukan jagad ini. 

Proses penutupan kerajaan Sriwijaya yang berpusat di bukit barisan dan penyebaran raja-raja wilayah (raja kecil) dapat diketahui dengan mempelajari sejumlah prasasti yang dikeluarkan kerajaan pusat dan raja wilayah setelah mereka berada di wilayah yang baru.

Seperti prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di daerah Kedukan Bukit, ditepi sungai Tatang dekat Palembang dengan angka 604 Saka atau 682 Masehi berhuruf palawa. Prasasti ini berisi kepindahan raja Sriwijaya dari istana di Bukit Barisan bagian barat (sekarang daerah Bengkulu) ke Palembang.

Suku Besemah

Lalu, apa kaitan antara kota Pagar Alam dengan Sriwijaya ? Perjalanan darat sekitar enam jam yang melelahkan dari kota Palembang ke Pagar Alam berupaya mengungkap keterkaitan antara kedua kota yang berjarak 298 kilometer itu. 

Kota Pagar Alam yang diapit gunung Dempo dan pegunungan Bukit barisan, dikenal sebagai wilayah Besemah. Istilah Besemah atau Pasemah adalah julukan bagi sekelompok orang yang menghuni wilayah tersebut. Merekapun menyebar sampai wilayah Bengkulu, Jambi dan Lampung yang dahulu masih bagian dari propinsi Sumatera Selatan.

Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku Besemah, masih diliputi kabut misteri. 

Mitos Poyang Atong Bungsu, menyebutkan mereka bermukim bersama rombongan keluarga. Atong Bungsu menemukan ikan Semah di perairan dataran tinggi antara bukit barisan dengan gunung Dempo hingga wilayah ini disebut Besemah. Dalam perkembangannya disebut sebagai tanah Besemah, ranah Besemah atau jagat Besemah.

Hidayat Harun, seorang sejarawan menyebutkan suku bangsa Besemah atau Pasemah memiliki peninggalan tradisi megalitik yang jumlahnya mencapai ratusan buah. Di dataran tinggi Pasemah terdapat banyak arca atau patung yang menggambarkan manusia masa kini. 

Batu megalit Hindu-Budha juga ditemukan di tanah Pesemah oleh sejumlah ahli arkeologi tahun 1932. Arca-arca tersebut ditemukan di dusun Tegur Wangi dan dusun lain di Pasemah yang menjadi peninggalan zaman megalit.

Masyarakat Basemah juga menyimpan sejumlah benda bersejarah milik kerajaan Sriwijaya yang berbentuk emas, kain songket, senjata jaman Hindu dan sejumlah alat kesenian di abad ke-17. Bertepatan dengan pemerintahan Sultan Badarudin II yang berkuasa di Palembang sebelum dijajah Inggris maupun Belanda. 

''Keberadaan Besemah sejajar dengan Sriwijaya. Kalau bicara Kesultanan, tidak ada Besemah. Yang menjadikan sultan Palembang adalah sultan Banten dan Cirebon,'' kata Harun.

Namun menurut Noerhadi Magetsari, arkeolog dari Universitas Indonesia, Basemah memiliki peninggalan tradisi megalit, sedangkan Sriwijaya beragama Hindu/Budha. Kalau ingin dikatakan keduanya berkesinambungan dibutuhkan bukti seperti adanya peninggalan Hindu/Budha.

Secara arkeologi sebelum ajaran Hindu/Budha datang, sudah ada kebudayaan yang berkembang. Budaya baru yang datang sifatnya hanya menyesuaikan. ''Kalau dikatakan Sriwijaya adalah kelanjutan dari Besemah belum ada buktinya. Tapi kalau disitu ada sebuah peradaban memang benar,'' kata Noerhadi.

Namun, Noerhadi menambahkan tidak tertutup kemungkinan lain. Munculnya kerajaan Sriwijaya di Palembang bersamaan dengan berkembangnya Basemah sehingga keduanya hidup sejajar. ''Tapi sampai kini belum ada bukti ditemukannya peninggalan megalit di Sriwijaya. Jadi belum bisa dikatakan keduanya nyambung,'' katanya. N hir

Kesultanan Siap Bantu

Pihak keraton kesultanan Palembang akan menyiapkan bantuan berupa dana dan fasilitas lain yang dibutuhkan bagi pengungkapan misteri sejarah Besemah dan kerajaan Sriwijaya tersebut.

Ada tidaknya hubungan antara Besemah dan Palembang, akan diteliti kembali oleh Universitas Indonesia, guna menguatkan apa yang telah disampaikan di simposium tersebut. 

''Kami akan bantu karena Palembang memiliki peninggalan bersejarah seperti batu bertulis, peninggalan Melayu kuno, Sriwijaya ekspansi ke Asia Tengara. Selama ini penelitian belum mampu mengungkap misteri lantaran keterbatasan dana dan kemampuan arkeolog untuk melakukan penelitian ,'' kata Sultan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Di Palembang terdapat museum Sriwijaya dan Balaputradewa. Selain itu ada museum kesultanan yang bersebelahan dengan benteng Kuto Besak yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan Palembang abad ke-18. Benteng Kuto Besak atau keraton baru dibangun menghadapi sungai Musi. Benteng itu kini menjadi markas Kodam Sriwijaya

Hal serupa juga disampaikan walikota Pagar Alam, Djazuli Kuris yang akan menyiapkan dana khusus dari APBD setempat. Namun, pihaknya masih akan meminta persetujuan DPRD mengingat jumlah yang dibutuhkan tidaklah kecil. ''kami akan siapkan berapapun yang dibutuhkan, sesuai kemampuan. Kita serahkan ke ahlinya,''kata Kuris.

Seminar tersebut merupakan awal dari upaya panjang yang perlu dilakukan dalam mengungkap peninggalan sejarah megalitik peradaban Besemah termasuk kaitannya dengan kerajaan Sriwijaya. Tentunya upaya tersebut membutuhkan waktu, tenaga dan keseriusan dari semua pihak. ''Pengkajian Besamah merupakan upaya positif terhadap cinta pada budaya dan tanah air,'' katanya. - hir/ahi 

sumber : http://koran.republika.co.id/