CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

23 December 2006

Aku & Kamu

Angin lembut terus menerpa muka ini dengan hangatnya pelukan dari si dia yang duduk rapi di jok belakang motor. di sepanjang perjalanan ini kami hanya terdiam hanya relung hati ini yang bicara. Sambil menyusur keramaian di sepanjang jalan di kota ini, indahnya lampu yang berwana-warni menambah sejuk hati ini.
Lega rasanya hati ini saat tahu jawaban mu yang sesuai dengan harapan, impian untuk terus terbang bersama mu semakin tertanam di hati,

“Dik, maukah menikah dengan ku….?” kataku pelan dan cemas.
Hening sesaat tanpa ada jawaban, matanya menatap tajam ke arah mata ku seperti anak panah yang melesat dari busurnya dan langsung menghujam jantung ini.

Aku kegilisah dengan kehieningan ini, aku ingin segera mendapat jawaban yang pasti …tetapi dengan suasana seperti ini, keringat secara otomatis membasahi badan ini walaupun malam itu suasanya agak dingin.
“Gimana……………? desak ku biar aku bisa menyudahi suasana tegang ini.

Jujur saja aku mulai tidak nyaman dengan suasana ini, tetapi di luar dugaan ku sambil menatap tajamnya tatapannya ia mengangguk kecil, bertanda setuju, tetapi aku belum puas dengan hanya jawaban anggukan.
“jadi jawabannya….? tanyaku lagi..

“iya…” suaran merdunya keluar dari bibirnya yang mungil.
Seperti karang es yang mencair ataupun seperti turunya hujan di musim kemarau hal itulah yang ku rasakan saat itu, selesai sudah seluruh pertanyaan yang pernah di lontarkan dan jawaban malam ini merupakan rangkuman dari seluruh pertanyaan yang pernah ada.

Aku tahu dengan munculnya komitmen ini langkah ke depan bukan hal yang ringan bagi kami, tetapi roda vespa ini terus bergulir kedepan dan terus bergulir kedepan tanpa pernah ingin kembali kebelakang, sama seperti kami untuk menuju matahari kebahagiaan yang bahagia walaupun kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan….terima kasih cinta.

Dodi NP - " Selamat Menempuh Hidup Baru Bro...."

21 December 2006

Ujang Dan Fenomena Rutan Palembang

Ilustrasi Rutan
Ujang hanya tertunduk lesu di sudut kamar sambi memperhatikan si Amat yang sedang menulis di dinding sel, kasus pengeroyokan seperti itulah yang di kenakan kepadanya kasus yang di karenakan darah mudanya yang tidak terkontrol menyebabkan laki-laki yang baru 6 bulan menikah ini berkelahi dengan pemuda yang juga tinggal 5 gang dari tempat si ujang tinggal dengan dalih harga diri, di mana berujung kepada dinginnya pelukan kamar di salah satu rumah tahanan di kota ini.

Dengan menghuni kamar ukuran tidak lebih dari 5 X 5, Ujang di tempatkan di kamar tersebut dengan belasan penghuni lainnya dari berbagai macam masalah dan latar belakang yang berbeda., banyak masalah yang di hadapi dari menghadapi si “Roin” si kepala kamar yang menguasai beberapa blok yang ada di Rutan tersebut penah beliau berkelahi dengan si penguasa rutan ini tetapi yang di hadapi nya justu penganiayaan yang di lakukan oleh pengikut-pengikut si Roin, yang membuat ujang babak belur dan di masukan ke dalam kamar isolasi untuk beberapa hari.

Di dalam rutan ini banyak hal yang sudah terjadi, seperti yang namanya makanan pastilah di sudah di siapkan oleh Negara tetapi berbeda dengan yang di sini yang namanya makanan harus di beli oleh setiap napi di mana para tahanan harus membayar minimal 350 ribu Rupiah per tahanan per bulan, apabila tidak membayar maka kepala kamar mengkoordinir beberapa pengikutnya untuk menyiksa dan tidak habis di situ biasanya tahanan hanya di berikan nasi kering (nasi aking) yang untuk orang-orang yang berumur tidak akan bisa menggigitnya.

Tetapi ternyata di tahanan mereka juga membuat pertahanan sendiri juga untuk menghadapi serangan-serang seperti ini, seperti mereka mengasah ujung sendok dan ujung sikat gigi biar di buat tajam agar bisa menusuk,atau membuang bagian tengah dari garpu dan mengasah nya, jika tidak ketahuan mereka bisa mendapatkan pisau lipat kecil saat jam besuk ataupun dari sipir penjara yang sudah mereka bayar, sehingga tidak mengherankan dengan peralatan yang sederhana inilah terkadang mereka bisa meloloskan diri dari rumah tahanan tersebut, karena secara mistis walaupun kebal maka ilmu kebal yang di punyai para tahanan tidak akan berlaku di sini karena di setia kamar ada yang namanya “pecah kulit” ini seperti yang di informasikan teman dari fakultas hukum saat riset untuk skripsi yang objeknya adalah rumah tahanan .

Hidup di dalam rutan tidak seperti yang kita bayangkan, udara yang pengap, kamar yang gelap dan panyiksaan piskologis lainnya di dalam rutan tersebut terdapat juga para penjual makanan baik dari kopi, mie, nasi walaupun harganya harus di tebus dengan uang yang cukup mahal. Jadi di dalam tidak ada anggapan akan tersiksa hanya badan saja terkurung, di sinilah kelihatan dengan jelas kalau uang berperang penting.

Bagi tahanan yang banyak uang mereka dapat membeli segalanya di sini seperti kamar “VVIP”, TV, radio, laptop + jaringan internet, hp, makanan tidak kurang, kasur empuk ruang tahanan yang tidak di kunci bahkan pelayanan “batinia” dari wanita-wanita “undangan” juga bisa di dapatkan asal dengan syarat membayar uang tertentu kepada pihak penjara dan beberpa pihak lainnya yang berkepentingan di dalam tersebut, sehingga tidak heran kalau kaum miskin yang masuk kedalam tahanan pulangnya banyak koreng-koreng di badan mereka karena jeleknya sanitasi di dalam rumah tahanan tersebut.

Berbeda dengan Ujang yang tidak mempunyai uang di mana saat ini saat sang istri tercinta membesuk ujang, celakanya istrinya pun harus mengeluarkan sejumlah uang untuk melewati beberapa meja dari petugas penjara dan jika di total jumlahnya berkisar antara 20-25 ribu Rupiah, jumlah yang sangat besar bagi si istri si ujang yang saat ini berprofesi sebagai tukang cuci pakaian. Dan bagi si ujang sendiri bertemu dengan istri nya merupakan kebahagian sendiri, dia bisa melepaskan rindu walaupun harus membayar beberapa puluh ribu rupiah dan pemeriksaan petugas yang terkadang tidak terlalu sopan.

Setelah waktu berlalu si istri pun berpamitan dengan si ujang sembari menyelipkan selembar uang 50 ribuan, tetapi celakanya saat akan kembali ke kamar para sipir menjara memeriksanya kembali dan menemukan uang tersebut dan langsung menyitanya dengan alasan sebagai uang keluar kamar.

Tidak berbeda dengan Ujang kasus Amat agak sedikit berat yaitu tertangkap tangan sebagai pengedar narkoba dan saat ini keputusan sidang dari pengadilan negeri belum juga turun, tetapi dengan adanya dia bukannya kebiasannya menggunakan psikotropika bisa berhenti malahan menjadi , mengapa bisa begini ?, hal ini di karenakan di dalam sini sangat mudah mendapatkan barang-barang seperti itu seperti sabu, putau, ganja dan ekstasi, petugas bukanya tidak tahu kerjaan tahanan yang seperti ini sepertinya mereka tutup mata di karenakan sebagian dari mereka sudah tebalut lembaran-lebaran Rupiah dari para tahanan.

Seperti yang baru-baru ini seorang istri tahanan ikut di penjara karena ketahuan saat di periksa di dalam BHnya di temukan beberapa gram sabu, di mana sabu tersebut akan di berikan kepada suaminya yang ada di dalam penjara. Sungguh tragis memang padahal saat itu si ibu sedang membawa anak kecil yang umurnya kurang dari 3 tahun.

Banyak lagi fenomena yang di hadapi oleh Ujang dan Amat saat mereka mendekam di dalam penjara, ada setetes penyesalan di wajah si ujang untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi, mungkin rumah tahanan di “negeri impian” yang benar-benar bisa membina para tahanan tanpa kekerasan, tanpa kolusi , tanpa korupsi, tanpa premanisme merupakan harapan Ujang Ujang lainnya yang terus berjuang melawan hidup di dalam rutan.

Dodi NP – “Fenomena Rutan”

20 December 2006

Kojek And The Gank


Malam belum lagi larut. Pertokoan di pusat kota ini masih memamerkan dagangannya. Lima bocah ingusan tampak memadati sudut lorong. Bergulat, berebut, saling tarik. Seorang diantaranya yang berkepala botak terjungkal masuk kedalam tong sampah. Kakinya diatas yang menggantikan posisi kepala itu, ditarik empat bocah lainnya.

Saat tong sampah terguling, terbebaslah si Botak. Dengan telanjang kaki, tubuh mungil itu sigap melesat diantara orang yang melintas ditrotoar jalan. Sepertinya si Botak membawa sesuatu dalam dekapannya. Ke empat bocah lainnya tidak kalah gesit mengejar.

“Gila.” Dengan kepala sedikit bergeleng, kembali kuarahkan pandangan kepada perempuan cantik dihadapanku. “Anak-anak itu, An.” Aku jelaskan kepada Ana, yang terlihat sedikit bingung.

“Iya. Anak anak itu. Tapi kenapa gila, kan sekedar mencari dan berebut makanan.” Sergap Ana lantas menyedot minuman bersoda.

“Maksudku, kalau masa kecilku seperti itu, mungkin aku jadi orang gila sekarang. Memangnya kau bisa tidak gila, kalau seperti itu?”

“Mereka sepertinya menikmati, tuh.” Ana kembal mengarahkan pandangan ke seberang jalan. Terlihat kelima bocah itu sedang asik menyantap makanan. Ana kembali memandangku sambil tersenyum manis.

Duh, manisnya senyum itu. Dua potong ayam dan satu paket potongan kentang goreng berukuran panjang dihadapanku, sudah habis kumakan. Punya Ana belum, ia kembali menyantap makanannya. Ah, sambil makan Ana masih terlihat manis. 

Bocah-bocah itu pun sedang lahap menyantap temuannya. Mereka makan makanan dari tong sampah. Kami makan makanan yang biasa orang sebut junk food alias makanan sampah, khas negeri paman sam. Gelitik dalam benakku ; dimana keponakan paman sam ya ?.

“Ayo.” Ana beranjak dari bangkunya dan mengikuti ku. Keluar dari rumah makan khas paman sam yang berdinding kaca itu. Sebuah kantong plastik ia bawa. Berisikan satu paket hemat ; ayam dan kentang serta segelas minuman, yang sudah kami pesan sebelumnya.

“Pasti adikmu senang ya, An.”

“Iya lah. Sudah lama ia merengek ingin dibelikan ini. Gara-gara melihat di TV.”

“Lebih senang lagi, kalau adikmu nanti jadi adek iparku ya,” kataku dibalas Ana dengan pukulan manja kebahuku. Duuh, lagi-lagi senyum manis itu.

Kugandeng tangan Ana, kami menyusuri malamnya kota. Pedagang kaki lima masih menuai harapan. Pasti rasa capek akan terasa kalau berjalan sejauh ini tanpa menggandeng Ana disisi. 

Ah Ana. Kuliah sudah kau selesaikan. Kerja pun sudah kau dapatkan. Tetapi masih saja, dalam hati kasihmu menyisakan tempat untukku, serorang mahasiswa semester akhir, yang entah bisa tamat atau drop out. Ana, empat tahun sudah kita mengukir janji. Berharap berikrar sumpah disuatu hari.

“Minta pak.” Seorang bocah botak menghalangi langkah kami. “Belum makan pak.” Bocah itu mengulangi pintanya dengan lebih mengiba.

“Kau rupanya.” Kupegang kepalanya. Dia pun terkejut seketika. “Tadi kau sanggup berlari kencang. Kenapa sesudah makan malah loyo seperti ini?” kataku bukan maksud bertanya.

Si Botak tambah terkejut. Tidak berucap, pun berlari, hanya menengadahkan wajah memandangku kemudian Ana. Aku lebih terkejut lagi. Tanganku yang tadinya menggenggam halus kulit Ana, jadi lengket terkena keringat kepala botak bocah ini. Dasar botak. Kutarik bahunya. Kami menepi dari trotoar.

“Siapa nama kau?”

“Kojek pak.” Kembali kepala botaknya tertunduk.

“Pantas,” kataku sembari memperhatikan kepalanya yang memang mirip permen kojek. “Panggilan kau, jek,” walau pakai ac atau cuma e, kedengarannya hampir sama. “Keren juga.”

Ana hanya tersenyum kecil memandangi tingkah Kojek. Senyum Ana kali ini berbeda. Yang jelas, berbeda dengan senyum yang biasa Ana lepaskan untukku. Itu pasti.

Kojek tetap membisu. Kepala botaknya menoleh kiri kanan. Matanya yang tidak jelas hendak melihat apa, seakan memancarkan sinyak pangilan kepada kawan-kawannya.

Belum berapa lama ku ceramahi Kojek. Ternyata sinyal Kojek berhasil memanggil kawannya. Satu demi satu datang. Lengkap sudah 4 bocah berada dihadapanku. Mereka punya nama panggilan yang lucu ; Cil, Det, Ler, dan Cang.

Sangat mudah mengenalinya. Cil merupakan nama pangilan yang berasal dari kecil, karena tubuhnya yang paling kecil dari mereka berlima. Det, pasti berasal dari codet yang terlihat di pipi kirinya bagian bawah. Cang ?, oh entah kenapa jalan bocah yang satu ini sedikit pincang. Ler, uhh ingusnya selalu meler itu.

Umur mereka sepertinya tidak jauh berbeda, tidak ada yang melebihi 10 tahun. Selisihnya pun satu dua tahun.

Kami tidak lagi berdiri. Kojek tepat dihadapanku. Acil disebalah kiriku. Meler dan Acang disebelah kiri Kojek. Sedang Ana, disebelah kiri belakangku, duduk beralas tas ranselku yang sengaja ku kaparkan untuknya. Dan Codet, di belakang kananku dekat dengan Ana. Kami duduk membentuk lingkaran tidak beraturan di depan sebuah ruko yang sudah tutup sebelum malam menjelang.

“Bapak kamu dimana? Jek,” tanya Ana dari belakangku.

“Biasanya mangkal disimpang sana.” Kojek menunjuk perempatan jalan pasar yang tidak ada rambu lampu merahnya itu. “Tidurnya juga biasa di atas becak simpang itu. Tapi, sudah lama bapak tidak kelihatan.” Datar Kojek menjawab, sambil mencibirkan bibir.

“Kalau Bapak Acil mati ditabrak mobil,” kata Codet tiba-tiba seakan merasakan rasa ingin tahu kami masih jauh dari cukup. “Ibunya hilang,” Codet meneruskan.

“Ibunya atau Acil yang hilang,” setangah bertanya kepada Acil dan Codet.

“Kak Codet itu pak, yang mengajakku tinggal dijalan,” jawab Acil. “Dari pada dibedeng sama ibu, sudah disuruh meminta-minta dijalan, kadang dipukuli.” Acil memandang Codet yang ternyata kakak kandungnya sendiri.

Codet hanya diam. Menundukan kepala sambil mengendus edus sesuatu yang ia pegang di balik kaosnya yang kusam. Aku dan Ana memperhatikan. Kaleng kecil berisi lem rupanya.

“Ya sudah. Selain meminta-minta, apa yang kalian bisa?” tanyaku.

“Nyopet Pak.” Acuh Kojek menjawab.
“Tidak takut ketahuan dan dipukuli orang?” tanyaku kembali tidak membenarkan jawaban Codet. “Dan jangan pangil aku pak lagi. Namaku Sapta, ini pacarku Ana.”

“Tidak takut kau, jek?” ku ulangi pertanyaan tadi.

“Kepalaku kuat.” Seakan rasa takut sudah hilang dari benak Kojek.

“Benar…?” Aku tidak percaya.

“Kata bapakku ; yang penting berani.” Lanjut Kojek tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun. “Hanya itu yang ku ingat dari bapak.”

“Memang harus berani dalam menjalani hidup ini. Tapi aku yakin, maksud bapakmu itu ; keberanian yang kau miliki bukan untuk mencopet atau berkelahi.” Mulai lagi ceramahku.

Kojek sudah menunjukan keberaniannya, setidaknya ; berani hidup di jalan, tanpa malu meminta-minta, berkelahi dan mencopet. Sedang aku sendiri?. Menghadapi wajah sangar Pak Wardi, bapak Ana itu saja, lutut ku kerap bergetar.

“Jam berapa ini?” Aku bertanya dan langsung melihat jam di tangan. Sebentar lagi tengah malam. Pasti kumis sangar itu sudah keriting menunggu anaknya pulang.

Aku berdiri. “Ayo Ana !” Ana, Kojek dan yang lain ikut berdiri, kecuali Codet yang masih asik dengan kaleng lem-nya yang memabukkan itu.

“Aku ke sini lagi nanti.” Kuambil tas ku dan juga kantong berisi makanan yang sebelumnya dibawa Ana.

“Jangan berebut.” Kuambil minuman bersoda dan uang Rp10 ribu, kuberikan kepada Kojek and The Gank.

Aku menggandeng Ana bergegas menuju terpian jalan raya. Ku sempatkan menoleh kembali. Kojek and The Gank tidak berebut. Memang, mereka tidak lapar lagi. “Nanti aku kesini lagi !” teriakku.

Jalan sudah mulai lengang. Sebuah mobil angkutan umum, membawa suara menggembirakan ; “Pati, Pati,…..”. Ya, mobil itu akan melewati jalan rumah Ana.

Aku gandeng tangan Ana menaiki mobil. Ana mengikuti saja, tidak bersuara. Mungkin kepala Ana sudah terkontaminasi kumis sangar bapaknya juga. Kami hanya berdua, bersama supir dan keneknya.

“Langsung saja pir. Aku bayar empat kali lipat. Tidak usah menunggu penumpang lain.” Mendengar suaraku yang mengagetkan bak kelakson kereta api itu, Supir mobil langsung tancap gas tanpa komentar.

Dalam perjalann ku ketahui. Diamnya Ana bukan karena otaknya yang terkontaminasi bayangan kumis bapaknya. Melaikan, tanpa sepengetahuanku, Ana sempat mencicipi beberapa endusan kaleng si Codet yang berisi lem itu. Duh Ana, pastilah otakmu sedikit mengkerut.

Tiba dirumah Ana, lima menit lagi tanggal di jam tanganku bertambah satu. Ku dapati pintu yang belum lagi tertutup. Ana masuk terlebih dahulu.

“Selamat malam Pak.” Suaraku tak karuan. Indra mataku lebih dominan berfungsi. Pak Wardi memang belum mencukur kumis, tebal dan sedikit berantakan. Sambil memetikkan gitar perlahan, ia sandarkan tubuh gembulnya di bangku ruang tamu tepat menghadap pintu masuk yang tidak tertutup itu. Salam ku tak berjawab.

Ana yang sudah melepaskan sepatu dan meletakkan kantong plastik pesanan adiknya di meja ruang tamu, langsung menghampiriku yang masih terpaku.

“Aku langsung pulang Pak.” Sambil menyatukan kepalan tangan didepan selangkangan, kepala sedikit ku tundukkan.

“Ya.” Tanpa menoleh, gitarnya dipetik perlahan.
Lekas ku jauhi bibir pintu itu, melewati teras dan mencapai halaman depan. Ana membuntuti. Sial benar, Ana belum sanggup tersenyum, apalagi kecupan yang biasa ku dapati sabelum pulang, tak ada malam ini. Ana melambaikan tangan, kubalas dengan garukan di kepala ku yang tidak gatal ini. Bukan kiranya, tapi pasti otak Ana masih mengkerut karena lem tadi.

Kurang ajar kau Kojek, Codet, kurang ajar kalian semua. Merusak malam mingguku. Sudah menambah pusing otakku dengan permasalahan jalananmu, juga otak Ana kalian kerutkan. Akan kupenuhi janjiku ; untuk datang lagi. Kalau perlu, kepala botak itu akan merasakan kepalku. Perjalanan pulangku penuh dengan caci maki.

Kalian memang pemberani walaupun salah. Aku juga berani. Sayang, cuma kepalan tangan ini yang dapat kuberikan. Akan ku hajar kalian, Kojek and The Gank, agar tidak lagi meminta-minta tanpa malu, apalagi merampas milik orang lain. Dan Pak Wardi, setidaknya akan ku cukur rapih kumis itu saat ia mensakralkan sumpah sehidup semati ku dengan Ana nanti.

Aku akan datang lagi. …………..

19 December 2006

Cek Mat Ke Pasar


Sambungan dari “GESAH CEK MAT”

 Tak lama setelah menghabiskan teh dan bakwan maka berangkatlah ia ke pasar dengan senyum kemenangan , setiba di pasar tepat di depan pedagang sayur ia mulai memainkan aksinya kembali
“Cek berapo …kangkung seiket..?” tanyo cekmat penjual sayur
“500 cek” jawab pedagang sayur ramah

“Alangke mahalnyo cek..biso kurang dak,…sebenernyo akuni dak hobi makan kangkung tapi kelinci di rumah tu kalau dak di enjuk kangkung, dak galak makan….” Lobi cek mat.

“dak pacak cek,….sudah murah nian …di tempat laen dak dapet  hargo cak ini” jelas pedagang itu..
“Iyolah ….aku ambek sekebet” sambil cekmat mengeluarkan uang pecahan 25 rupiah…

setengah terkejut pedagang tersebut “cek, ado duit lain dak………madaki pake selawean galo…”.
“Katek kando namonyo untuk makanan kelinci jugo……” jawab cek mat sambil menghitung uang tersebut sejumlah 20 buah.

 Tak lama berselang cekmat pun berjalan lagi kali ini sasaran nya toko ikan asin yang terletak di tengah pasar.

“Cek berapo kepalak balur ni..” Tanya cekmat sambil menunjuk ikan asin pedo yang ingin di belinya.
“2000 semato..” jawab pedagang ikan asin tersebut.
“be alangke mahalnyo, Cuma palak iwak cak ini, aku tu Cuma untuk makanan kucing bae di rumah tu, kalau dak makan iwak asin pedo, kucing di rumah tu dak galak makan”…jelas cekmat panjang lebar.
“itulah hargonyo”…jelas pedagang tersebut

“2000 tu sudah termasuk badan ikanyo apo Cuma palaknyo bae….” Tanya cekmat lagi.
“itu galo galonyo, kalu palaknyo bae Cuma 1000” sambil pedagang tersebut menunjuk kepala ikan asin tawar

“Sudahlah aku ambek yang kepalak iwak bae semato…..biar kucing aku galak makan..”, sambil menyerahkan uang  ke pedagang tersebut.

Merasa belum lengkap yang di belinya yatiu minyak goreng maka ia pun ke toko kelontongan di pojok pasar sambil merapikan letak handuk kecil yang ada di lehernya,

“ Cek berapo sekilo minyak ni…” sambil ia agak menunduk di dekat drum minyak sayur pedagang tersebut
“5000 sekilo” kata pedagang tersebut sambil sibuk membungkus minyak sayur dalam kantung ukuran 1 kilo
“ mahal cek….aku tu nak mintak dikit bae untuk kerokan untuk wong rumah ” kata Cek mat

“jadi nak berapo?” tanyo pedagang tersebut.
“mintak 1000 bae lah” kata cekmat sambil menyerahkan selembar uang seribuan dan dengan sengaja ia menjatuhkan anduk kecil nya.

“nah gawat cek, anduk aku campak ke dalam minyak itu, padahal anduk itu banyak keringat aku,….maaf cek ye..” sambil tanganya mengambil kantong asoy yang terselip di kantong jeans nya, dan memasukan handuk kecilnya yang sudah berlumuran minyak goreng tersebut.

“Maaf nian cek dak sengajo”…..sambil ia meninggalkan pedagang minyak goreng yang bengong melihat tingkah cek mat.

Sesampai di rumah cek mat ,
“ Dindo, masak ke hari ini tumis kangkung dan gorengan “daging’ kepalak ikan pedo….” Ujar cek mat
“ Minyak gorengnyo mano kando..?’ Tanya istrinya.

“Ini dio”..seraya menunjukan kantung kresek yang berisi handuk yang sudah basah oleh minyak goreng.
“@$#%^&&@” pikir istrinya…

16 December 2006

Gesah Cek Mat

Dengan nuansa tahun 80-an di kota Palembang, Bukan “lagu” baru kalau Cek Mat saat pergi kepasar akan selalu terlihat seperti memborong seluruh baraang yang ada dipasar, seperti yang terjadi hari ini sudah sejak pagi ia keluar dengan berbekal handuk kecil dan kantong kresek bermerek “Assoy” yang terselip di kantong jeans cekmat yang lumayan lusuh, tetapi sebelum kepasar Cek Mat singgah dulu ke warung kopi Cek da,  dimana warung kopi tersebut yang terletak tidak jauh dari pasar sekanak
 
“Cek, teh manis separo…….?’ Kata Cekmat sambil makan bakwan goreng yang masih panas, tak lama kemudian datanglah teh manis separo yang di letakan oleh Cek da.
Sambil mengaduk teh manis tersebut Cek Mat bertanya “Cek,  si Ujuk sudah datang belum ?”,

“Belum Cek..”, jawab Cek da singkat.
Sambil menghirup tehnya…..” Ai Cek, alangkah manisnyo teh ini….cuba tambah dengan air lagi ……….?”, kata Cek mat sambil menyodorkan gelas tehnya, dan Cek da dengan sigap menambahkan lagi air di gelas cek mat,……dan kembali cekmat mengaduk air teh manis nya yang sekarang penuh menjadi 1 gelas..dan meminumnya kembali…”Ai, ngapo jadi teh tawar ini…….” Serunya lagi.

“Yang bener bae cek…?’ sahut Cek da
“Iyo ….kalu kurang gulo….cubo tambai lagi, cek…” kata cek mat
dan gelas teh pun sudah berpindah tangan dan di beri 1 sendok gula oleh Cek da……
“Cek cubo tambah sesendok lagi………..” kata cek mat..

“Rugi cek kalau cak ini……….”bersungut cekda  sambil menambahkan sesendok gula ke gelas teh cek mat.

“ Ini baru mantap…..cek…..pas nian rasonyo..” sambil tersenyum cek mat setelah meminum setegukan teh tersebut.

Padahal ini hanya akal-akalan dari cek mat saja di mana karena uang nya hanya cukup untuk  membayar 2 bakwan dan separoh teh tetapi karena akal-akalannya ia bisa minum 1 cangkir penuh teh manis………dasar..cek mat “ ujung lapan lancip”.

Bersambung ke CEK MAT KE PASAR

Dodi NP "Ujung 8"

05 December 2006

Radio 2 Band

Tukang Koran
“Koran….koran….koran “…teriak Yudi lantang menjual dagangannya di antara bus-bus,angkot dan kendaraan pribadi yang ada di salah satu simpang empat lampu merah di kota ini.

“Mad, sepertinya uang hasil penjualan ini akan saya belikan radio 2 band kecil untuk ibu, biar ada yang menunggu ibu saat ibu pulan mencuci”..ujar Yudi,

Madi hanya tersenyum, “ada uang berapa yud..? tanya nya
“kurang lebih 75 ribu termasuk hasil penjualan koran hari ini”…kata yudi
“nanti kalau sudah cukup temani aku untuk membeli radio, ya mad”..ujar yudi bersemangat
hanya anggukan dari Madi yang mengisyaratkan kesediaannya, karena Madi juga sedang menghitung uang hasil penjualannya hari ini.

Yudi memang di lahirkan dari keluarga yang tidak mampu, Bapaknya sudah mendinggalkan dia dan ibunya semenjak umur 6 tahun sehingga Yudi sendiri tidak tahu muka dari Bapaknya, ia hanya di asuh sendiri oleh sang ibu yang bekerja keras sebagai buruh cuci di tempat dia tinggal, di mana mereka tinggal di dalam gubuk yang reot yang merupakan warisan dari kakenya Yudi.

Mereka berdua yang tinggal di dalam gubuk tersebut dengan keterbatasan yang ada tidak membuat Yudi dan ibunya menyerah dalam kerasnya kota ini, Madi merupakan teman terdekat dari Yudi yang rumahnya tidak seberapa jauh, dan dengan Madi inilah Yudi sering bercerita mengenai impian dan angan-anganya.
“Mad, Lusa adalah hari ulang tahun emak, aku mau beri kejutan ke emak….” kata Yudi.
“kejutan apa ?’, jalan-jalan, beli kue, emang kamu punya uang..?. tanya Madi Panjang.
tanpa menjawab Yudi tersenyum…”Aku mau memberikan emak Radio 2 band,”..jawabnya
“Mad, lusa tolong temenin aku kepasar untuk membeli radio” kata Yudi lagi.
“Oke tetapi sehabis Jualan koran ya..” jawab Madi.
“Ayo….dagang lagi…biar banyak duit” kata Yudi dengan semangat.

Segera beranjak dan menjajakan koran di antara sela-sela kendaraan yang berhenti di persimpangan tersebut, terlihat benar semangat yang ada pada Yudi untuk mewujudkan mimpinya membelikan radio untuk emak, memang selama ini ulang tahun hanya sebagai pergantian hari tidak ada yang special tidak ada kue ulang tahun apalagi pesta yang meriah, tetapi tahun ini ada yang ingin Yudi ciptakan secara berbeda.
Sore harinya setelah mengembalikan sisa koran yang tidak terjual, Yudi dan Madi menuju toko elektronik tempat radio 2 band tersebut di jual, hari ini mereka rencanya melihat-lihat dulu warna dan harga yang pas, setelah di lihat ada 1 yang pas dan cocok harganya, tetapi Yudi terdiam dan di luar toko dia berkata kepada Madi

“Mad, kalau radio itu uang ku kurang 15 ribu” ucapnya
“Nanti aku tambahin Yud” kata Madi
“Emang kamu ada uang ?”, tanya Yudi
“Kalu segitu tabungan aku ada, kamu nggak usah banyak pikir, ini juga kan untuk emak” ucap Madi kembali
Tampak keceriaan di muka Yudi mendengar hal itu, satu hal yang Madi lihat pada hari itu, keceriaan untuk membahagiakan emak tercinta.

Keesokan harinya mereka berdagan seperti bisa, mendung menggelayuti kota ini dan sesekali di iringi oleh gerimis kecil, tetapi tidak membuat Yudi dan Madi kehilangan semangat untuk menjual koran, walau harus membungkus kepala mereka dengan kantong plastik agar tidak basah.

Menjelang sore mereka pun menggembalikan koran dan bergegas ke toko elektronik tak lama berselang tampaklah bungkusan plastik kresek yang berisi radio 2 band untuk emak, Yudi berceloteh sepanjang jalan bahwa emak pasti akan bahagia.

Tepat di arah seberang jalan gang menuju rumah Yudi, ia menyerahkan bungkusan radio tersebut ke Madi sambil berkata

“Mad, kamu nyebrang saja dulu, aku mau beli makanan untuk emak”..katanya
Sambil menyerahkan bungkusan radio tersebut ke Madi, dan sesaat kemudian Madi sudah berada di seberang jalan, dan terlihat oleh Madi, Yudi pun bergegas masuk ke salah satu rumah makan dan tak lama berselang keluarlah Yudi dari rumah tersebut.

Tetapi saat mau menyebrang menyusul Madi tanpa sadar dengan cepat sebuah sedan menghatam tubuh kecil itu, dan terpentalah Yudi hampri 5 meter kedepan dan dari kejahuan Madi melihat Yudi sudah tidak bergerak lagi.

“Yudi…………………………” teriak Madi yang di ikuti oleh larinya mobil penabrak.
Orang berkumpul pun melihat si Yudi tergeletak di Aspal muka dan beberapa bagian dari tubuhnya di penuhi dengan luka, “Yudi….Yudi Bangun….Bangun” teriak Madi, tetapi Yudi tidak bergerak sedikitpun.
“Yudi……..” Teriakan Madi berubah menjadi tangisan, ia tahu sahabat baik nya sudah di panggil oleh yang esa.

Tak ayal lagi pertemuan hari itu merupakan pertemuan terakhir Madi dan Yudi untuk selama-lamanya.
Setelah 3 hari penguburan jasad Yudi, Madi pun bertandang ke rumah Yudi, emak yang masih merasakan kesedihan atas hilangnya buah hati tercinta dan bukan hal yang mudah untuk di lupakan,
“Mak, emak jangan sedih terus” kata Madi

Tanpa berkata emak memeluk Madi dan meneteskan air mata.
“Mak, ini ada Hadiah dari Yudi” kata Madi sambil menyerahkan bungkusan tersebut dan sambil bercerita mengenai hadia tersebut, saat di buka bungkusan tersebut semakin meledak lah tangisan emak.

“Yudi……” tangis emak sambil memeluk radio 2 band pemberian yudi, Madi pun terdiam hanya buliran air mata juga mebasahi pipinya.

“Assalamualaikum” terdengar ucapan
“Walaikum salam” jawab Madi sambil menghapus air mata.
bergegas madi ke pintu depan dan di dapatinya sesosok pria 50 tahunan yang tampak lusuh sambil membawa tas ransel berwarna hijau.

“Bapak…………” Lirih emak yang berada di ruang tengah.
“Emak…”kata bapak tersebut sembari bersujud di pangkuan emak Yudi.
Madi Bingung, tidak tahu siapa Bapak tersebut….

“Maafkan Bapak, mak…selama ini telah mentelantarkan emak dan Yudi, Bapak salah, Bapak khilaf, ……..” tangisan Bapak itupun meledak di ikuti dengan tangisan emak.

Tak lama beselang,
“Itu Yudi ya mak……? tanya Bapak itu
“Bukan pak ..itu Madi…teman Yudi…..ceritanya panjang….pak “jawab emak
“Jadi Yudi kemana ?” tanya Bapak itu lagi..
Tanpa berkata dan menangis Emak menunjukan radio 2 band hadiah dari Yudi.

Madi baru tahu kalau Bapak tersebut adalah Bapak kandung Yudi yang sudah 10 tahun ini meninggalkan dia, sambil menarik nafas Madi mengada ke langit…..”Bahagialah engkau di sisinya Yudi……Sahabat Sejatiku”.