CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

04 January 2014

Mengenal Adat Istiadat Palembang - Baso Pelembang Alus/Bebaso

Oleh Kms H Andi Syarifuddin, SAg


SEBAGAI salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri wong kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (bebaso) saat ini sudah hampir punah Untuk itu perlu adanya usaha melestarikan dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, di antaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamus.

Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak sayang, Tak saya maka tak cinta. Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuklah dalam hal bahasa.

Asal Usul
Baso Palembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, Identitas Palembang sebagai korabolasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa laloe adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan:

Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.


Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN hingga tujuh turun lebih.

Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula.

Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH dikirim ke tanah asalh nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.


Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki, Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.


Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negar Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.


Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan Bahasa.


Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).


Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan koleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua.


Seperti dipakai koleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.


Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A di ujung diganti dengan huruf O. Seperti Apa menjadi Apo, nama menjadi namo dan seterusnya, Karena itu orang-orang datangan di Kota Palembang ini mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel. Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya nya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang yang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan bebaso adalah agak lebih sulit dan berbeda sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromo Inggil).
Sekarang ini sudah tidak banyak lagi wong Palembang yang pandai bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa. Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang.


Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun, sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinan terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga enak didengart dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.


Contoh kedua bahasa Palembang, Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
     (Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)



P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
    (O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang).

01 December 2013

Kue Putu Mayang/ Petolu

Resep Cara Membuat Kue Putu Mayang Enak Lezat
Kue Putu Mayang / Petolu
Resep Cara Membuat Kue Putu Mayang Enak Lezat – Mendapat pujian mengenai hasil masakan kue anda merupakan sebuah kebanggan tersendiri. Untuk mendapatkan hal itu tentunya bukan sesuatu yang mudah untuk dikerjakan, dan dibutuhkan referensi Info Resep Kue Tradisional yang tepat. Pada hari yang berbahagia ini ResepOnline.Infoberbagi seputar Info Kuliner untuk anda, yang mungkin dapat bermanfaat dan bisa anda terapkan dengan baik. Resep Membuat Kue Putu Mayang Enak Lezat bisa saja menjai hidangan istimewa yang nantinya akan anda sajikan
Untuk prosese pembuatan dan cara memasak hidangan ini tentunya ada langkah-langkah yang harus anda perhatikan sebelumnya. Tapi jangan khawatir karena langkah memasaknya tidak begitu merepotkan untuk anda praktekan
Bahan:
  • 150 gram tepung beras
  • 100 gram gula pasir
  • 1/2 sendok teh garam
  • 250 ml santan dari 1/2 butir kelapa
  • 50 ml air daun suji dari 30 lembar suji dan 3 lembar daun pandan
  • 50 gram tepung sagu
  • daun pisan
Bahan Taburan:
  • 100 gram kelapa parut kasar
  • 1 lembar pandan
  • 1/4 sendok teh garam
Cara membuat:
  • Taburan, campur semua bahan. Kukus diatas api sedang 15 menit hingga matang.
  • Larutkan tepung beras, gula pasir, garam, air daun suji, dan santan.
  • Masak sambil diaduk sampai bergumpal dengan api kecil.
  • Angkat. Pindahkan ke mangkuk. Tambahkan tepung sagu sedikit-sedikit sambil diuleni sampai rata
  • Masukkan dalam cetakan putu mayang. Semprot memanjang di atas daun pisang. Gulung.
  • Kukus diatas api sedang 15 menit hingga matang.
  • Sajikan dengan taburan kelapa.
  • Untuk 12 buah
Sumbe resep : http://reseponline.info/

03 September 2013

Gubah Ki Ranggo Wiro Sentiko / Gubah Penganten

Gubah Ki Ranggo Wiro Sentiko / Gubah Penganten
Gubah Ki Ranggo Wiro Sentiko atau yang biasa dikenal dengan Gubah Penganten merupakan salah satu bangunan bersejarah di kota Palembang. Terletak di Jl. Talang Keranggo tepat dibelakang kantor CPM lama. Usianya yang sudah cukup tua, membuatnya seolah sudah terlupakan.

Banyak cerita mitos yang beredar tentang gubah ini yang menceritakan tentang kematian tragis sepasang penganten yang baru menikah. Alkisah tersebutlah sepasang penganten yang baru menikah, keduanya meskipun saling mencintai namun tidak berani menunjukkannya secara terang-terangan sesuai dengan budaya Palembang di kala itu. Ketika malam datang dan mereka duduk berduaan, keduanya masih menunjukkan sifat malu-malu. Yang wanita membelakangi sang pria, yang pria tidak berani berbicara ataupun menyentuh sang wanita. Pada saat ada seekor nyamuk hinggap di punggung wanita tersebut, sang suami pun masih tak berani mengusirnya dengan tangan. Akhirnya ia mencabut keris yang terselip dipinggangnya dengan maksud mengusir nyamuk itu dengan kerisnya. Namun ia lupa, bahwa keris yang terselip dipinggangnya mengandung bisa yang sangat keras. Tak sengaja bilah tajam keris tersebut menggores kulit sang wanita dan meninggalkan racun yang mematikan. Tak lama kemudian wanita tersebut pun mati keracunan. Takut dihantui rasa bersalah sang pria akhirnya memutuskan untuk ikut mengakhiri hidupnya dengan menghujamkan keris yang sama yang telah membunuh istrinya.

Begitulah cerita mitos itu berkembang, tak tahu siapa yang memulai dan bagaimana cerita tersebut berasal. Hingga akhirnya masyarakat sekitar lebih mengenal gubah tersebut sebagai Gubah Penganten.

Padahal gubah tersebut merupakan tempat dimakamkannya salah seorang tokoh dari masa Kesultanan Palembang Darussalam yaitu di masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB I). Tokoh tersebut juga yang membangun komplek pemakaman di daerah Lemah Abang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kawah Tekurep. Beliau adalah Ki Ranggo Wiro Sentiko yang juga menjabat sebagai menteri di masa SMB I.

Asal mula dibangunnya Gubah Ki Ranggo Wiro Sentiko, yaitu ketika ia mendengar keinginan Sultan Mahmud Badaruddin untuk memiliki sebuah pemakaman. Oleh karena itu, bergegaslah beliau membangunkan sebuah gubah di tanah Talang dengan maksud menyenangkan hati sang Sultan.

Begitu selesai gubah tersebut, diberitahukannya kepada Sultan dan mereka sama-sama pergi melihat hasilnya. Namun setelah di amat-amati oleh baginda, bertitahlah ia kepada Ki Ranggo Wiro Sentiko, “Sungguh bagus kerjaanmu itu, Sentik. Tetapi gubah itu untuk perempuan kau perbuatkan. Bukan untuk aku, sebab memakai sumping. Sebab itu, ambil sajalah untukmu.”

Semenjak itu, gubah tersebut digunakan oleh Ki Ranggo Wiro Sentiko beserta keluarga dan para keturunannya. Tercatat beberapa nama anggota keluarga beliau yang dimakamkan di sana. Di antaranya yaitu Kemas Demang Wiro Sentiko Adenan, salah seorang cicit beliau yang juga menjadi adik ipar dari Sultan Mahmud Badaruddin Raden Hasan Pangeran Ratu (SMB II). Di masa beliau hidup, ia menetap di daerah Sungi Goren, Kecamatan 1 Ulu Palembang. Sehingga anak cucu beliau saat ini banyak yang menetap di sana, meskipun sebagian sudah banyak yang merantau ke daerah lain.

Gubah tersebut selesai dibangun tahun 1152 H atau tahun 1739 M, dan saat ini usianya sudah 273 tahun atau hampir 3 abad namun luput dari perhatian pemerintah kota Palembang. Hanya para keturunannya saja yang peduli hingga saat ini yang menjaga gubah tersebut dari tangan-tangan jahil para pendatang yang mulai membangun perumahan di sekitar areal makam. Semoga bangunan ini bisa tetap lestari sebagai salah satu tanda kebesaran dan keemasan zaman Kesultanan Palembang Darussalam.

Oleh Megatian Ananda Kemas, S.Psi

Daftar Pustaka

Akib, RM. 1930. Sejarah Melayu Palembang: Bandung. Druuk Ekonomi

http://kesultanan-palembang.blogspot.co.id/

13 August 2013

Dadar Jiwo

Dadar Jiwo ala Bunda F3
Bahan-bahan untuk kulit :
- 500 gram tepung terigu
- 2 butir telur
- 3 gelas air
- pewarna kuning sedikit (bia pake kunyit)

Bahan-bahan untuk isi :
- 1 buah papaya muda yang masih setengah mateng uk sedang
- 3 siung bawang putih
- 250 gram udang yang sudah dicincang
- 8 buah bawang merah (3 siung dihaluskan, 5 buah dibuat bawang goreng)
- Setengah sendok the merica halus
- 1 gelas santan kental
- Garam secukupnya

Cara membuat kulit :
- Campurkan semua bahan dan diaduk sampai rata.
- Kemudian dengan menggunakan wajan anti lengket tuang 1 sendok sup adonan ke wajan dan dibuat dadar.

Cara membuat isi :
1. Pepaya muda diparut besar.
2. Bawang merah, bawang putih, merica, garam dihaluskan.
3. 5 buah bawang merah dibuat bawang goreng.
4. Panaskan minyak makan sebanyak 2 sendok.
5. Tumis bumbu-bumbu sampai harum/kuning.
6. Masukkan cincangan udang, pepaya yang sudah diparut. Aduk sampai rata dan matang.
7. Santan kelapa dimasak sampai keluar minyaknya (disebut gelondo).
8. Ambil satu lembar dadar dan isi dengan bahan isi tadi, lalu dilipat persegi panjang
9. Tata dipiring dan bagian atasnya diberi gelando kelapa dan dihiasi dengan bawang goreng dan irisan cabe merah


sumber : http://ikamasayu.blogspot.co.id/