CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

21 January 2010

Perkembangan Jalan Tengkuruk Palembang

Sungai Tengkuruk di Palembang tahun 1900 sumber : Kitliv.nl
Sebelum "campur tangan" Kolonial Belanda terhadap alam di Palembang, sebelum abad ke-20, kawasan Pasar 16 Ilir (saat ini) dahulunya merupakan pemukiman tepian sungai. Di kawasan itu, terdapat Sungai Tengkuruk, yang merupakan salah satu anak Sungai Musi, yang salah satu bagiannya bertemu dengan Sungai Kapuran. Sementara Sungai Kapuran, bertemu pula dengan Sungai Sekanak (Peta Situasi Peperangan Palembang-Belanda; Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Baderedin Ke II; R.H.M. Akib; 1980).

Di atas sungai itu, terdapat jembatan dan tangga-tangga yang menghubungkannya dengan daratan. Jika dilihat dari arah pertigaan Jl. Masjid Lama (saat ini), di sepanjang tepian sungai sebelah kiri, berjajar pertokoan. Sedangkan di bagian kanan, tampak rumah-rumah panggung.

Di bagian lain sungai itu, tampaklah tangga raja (hingga kini masih dinamakan demikian meskipun sudah tak ada lagi sungai dan tangganya). Tangga ini berfungsi sebagai tempat naik turunnya para pembesar Kesultanan Palembang Darussalam.

Jalan Tengkuruk tahun 1935 sumber : Kitliv.nl
Seperti lazimnya perkembangan pasar saat ini, perdagangan di Pasar 16 Ilir berawal dari "pasar tumbuh", yang terletak di tepian Sungai Musi (sekarang Gedung Pasar 16 Ilir Baru hingga Sungai Rendang, Jl. Kebumen). Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang cungkukan (hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.

Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl. Pasar Baru), yang saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua, yang bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.

Untuk merealisasikan itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri --jika dilihat dari arah Sungai Musi, tampaklah jajaran pohon dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang merupakan perkantoran. Bentuk serupa ini dapat disebut bulevar.

Usai penimbunan, Sungai Tengkuruk dijadikan jalan. Hal ini terkait dengan program Pemerintah Kolonial dalam penyediaan sarana “cari angin” bagi warga Eropa (soal sarana hiburan, nanti dibahas tersendiri). Ini merupakan rangkaian dari pembangunan jalan di depan Kuto Besak (kini Jl. SMB II), Staadhuisweg (kini Jl. Merdeka), jalan di tepian Sungai Sekanak samping Kantor Walikota saat ini (sekarang, Jl. Sekanak), dan Jl. Sekitar kawasan Talangsemut.


Jalan Tengkuruk tahun 1950-an sumber : Tropen museum
Pola bulevar memungkinkan jalan ini menjadi sangat sedap dipandang. Selain trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, dan dilengkapi pula dengan lampu hias di bagian tengah (median)-nya dan pepohonan rindang di salah satu sisinya. Sisi lain, bangunan pertokoan dan perkantoran (kini di bagian Jl. Tengkuruk Permai) tetap dipertahankan. Perlakuan sama juga atas pertokoan --umumnya dua tingkat-- di Jl Pasar Baru dan blok di Jalur 11 (nama saat ini). Beberapa foto yang diambil antara tahun 1930-1958, menunjukkan, adanya penataan di kawasan itu yang mengarah kepada bentuk pusat perbelanjaan (pertokoan). Selain bangunan toko --ini tampak pula pada foto-foto yang diambil sebelum tahun 1930-an—yang berjajar, juga tampak adanya arkade. Yaitu, lorong yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan atap-atap di bagian atasnya.


Gambar terkait
Credit foto : http://dhevcaem.blogspot.co.id/ Tahun 1970-an, tampak sisi sebelah kanan Jalan Tengkuruk dan sisi sebelah kiri foto Jalan Palembang Darusalam
Update Jalan Tengkuruk tahun 2016... padat merayap



Sumber tulisan di kutip dari http://lmb35.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment