Pers Yang Merdeka
Surat kabar Pertja Selatan dicetak percetakan drukkerij Meroe di Seberang Ulu, sekarang Kelurahan 7 Ulu, Palembang. Pertja Selatan seolah terkubur tertimbun berbagai buku sejarah pers negeri ini.
Percetakan Meroe bertahan di tengah terpaan badai penguasa Kolonial Belanda dan pemerintahan Soekarno. Meroe dimatikan pelan-pelan di awal pemerintahan Presiden Soeharto, karena mencetak enam surat kabar yang kritis terhadap Orde Baru.
Pertja Selatan hadir di tengah bangkitnya kesadaran nasionalisme alam kolonial. Ia lahir dan didirikan untuk menyuarakan suara nasionalisme. Begitu catatan penting bekas perwira menengah tentara Mochtar Effendi, yang menghabiskan masa tuanya dengan menulis sejumlah buku, dalam kata pengantar buku Pers Perlawanan: Politik Wacana Antikolonial Pertja Selatan karya Basilius Triharyanto.
Basilius adalah putera kelahiran Ogan Komering Ulu (Sumsel), mendalami sejarah dan jurnalisme di Universitas Atmajaya Yogyakarta. Di akhir kuliahnya ia menulis tentang sejarah pers, kemudian mengais puing-puing sisa lembaran kertas tua di Perpustakaan Nasional untuk menyusuri jejak Pertja Selatan.
Ia membaca lembar demi lembar isi berita yang disajikan Pertja Selatan, koran fenomenal yang justeru mati tenggelam di alam kemerdekaan. Ia mengkaji isi media yang ditampilkan menggunakan metode analisis wacana kritis (CDA, critical discourse analisis) Norman Fairclough.
Basilius bukan saja mampu menggambarkan bagaimana sikap sebuah media massa berhadapan dengan kepentingan penguasa kolonial; Tetapi juga menemukan kesadaran sosial terhadap dominasi penguasa Kolonial Belanda itu.
Pertja Selatan bukan sekadar mampu membangkitkan kesadaran masyarakat yang dijejali suatu sistem, di sisi lain kolonialisme menghancurkan peradaban yang tumbuh alami di dalam kultur lokal. Pertja Selatan mencatat melalui tulisan berita (1926) tentang praktik korupsi yang dilakukan penguasa desa di Tebingtinggi. Dalam buku Jeroen Peeters, sikap koruptif itu terjadi dipicu oleh model pemerintahan yang dibentuk pemerintahan Kolonial Belanda.
Buku Pers Perlawanan tak hanya menampilkan gaya pemberitaan yang kritis, tetapi memunculkan nama-nama wartawan yang mewarnai wajah Pertja Selatan menempatkan diri sebagai oposan terhadap kebijakan penguasa ketika itu.
Basilius masih menyisakan ruang-ruang untuk didiskusikan lebih lebih lanjut. Diskursus hadirnya nama-nama penulis kritis Pertja Selatan, di tingkat kajian individual, menarik untuk dibahas lebih lanjut; Akan lebih spesifik bila menggunakan perspektif sosiologi media model Shoemaker & Reese ketika menyusuri isi media.
Bagi peminat sejarah pers dan kalangan yang tertarik dengan kajian media, tentu saja Pertja Selatan menjadi objek yang menarik untuk diteliti. Terutama dalam konteks pendekatan teori-teori kritis media --pertautan kajian sejarah, ekonomi dan politik-- yang sedang digandrungi mahasiswa komunikasi saat ini.
Paling tidak, buku ini layak dibaca oleh kalangan jurnalis dan wartawan. Memberi gambaran baru tentang latar belakang dan sejarah pers di Indonesia yang selama ini didominasi oleh teks sejarah pers di Pulau Jawa.
Lewat buku ini, penulis mengajak kita memahami kondisi sosial-ekonomi-politik pada suatu periode tertentu. Di bagian lain ada bagian individu tetap skeptik atas realitas sosial yang sedang berlangsung.
Basilius yang menyampaikan pesan, bahwa pada suatu periode tertentu sudah banyak wartawan yang mau bersusah-payah, bahkan menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk menjaga dan memperjuangkan sebuah bangsa yang merdeka. Soerat kabar jang merdika.... (Sutrisman Dinah)
Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul Pers Yang Merdeka, http://palembang.tribunnews.com/10/02/2010/pers-yang-merdeka.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak jauh berbeda dengan percetakan meru, yang sudah eksis sejak dari zaman kemerdekaan yang sempat melakukan pencetakan "MATA UANG DPDP ( Dewan Pertahanan Daerah Palembang) pada tahun 1947 dan berkahir pada periode orde baru.
Tidak berbeda lagi dengan PD Grafika Meru yang merupakan BUMD kota Palembang yang mencoba meneruskan usaha di bidang percetakan tersebut, krisis yang di alami oleh BUMD ini salah satunya adanya tidak bisa bersaing dengan percetakan-percetakan lain yang ada di kota Palembang, walaupun pada tahun 2009 mendapat suntikan dana 10, 4 Milyar dari PT. Sriwijaya Sukses Mandiri tetap tidak bisa merubah kondisi membaik sepenuhnya. Hal ini juga di pengharuhi oleh kewajiban-kewajiban yang masih banyak belum di bayar seperti pada 2008, informasi dari koran kalau 25 karyawan PD. Grafika Meru belum gajian selama setahun serta adanya kewajiban-kewajiban lainnya. Sampai saat ini pun masih belum jelas apakah perusahaan yang berdiri pada tahun 1982 sudah di lakukan liquidasi atau di serahkan pengelolaan asetnya ke BUMD lainnya di kota ini.
Palembang dalam sketsa, April 2019
No comments:
Post a Comment