CANTUMKAN SUMBERNYA JIKA MENGGUNAKAN GAMBAR ATAU ARTIKEL DARI BLOG INI - HORMATI HAK CIPTA ORANG LAIN.

06 May 2019

Kereta Kencana di Kesultanan Palembang

Oleh: Pengamat Sejarah Kota Palembang, Kms.H. Andi Syarifuddin

Sebagaimana lazimnya adat istiadat tradisi yang telah berlaku di seluruh kerajaan di tanah air, bahkan dunia, sudah barang tentu memiliki serta memanfaatkan kuda dan keretanya sebagai alat transportasi tradisional tempo doeloe yang sangat penting dan menjadi andalan. Termasuk pula di Keraton Kesultanan Palembang.

Kuda merupakan binatang yang biasa dipelihara orang baik sebagai tunggangan, angkutan, atau penarik kendaraan dan sebagainya. Dengan berkuda semua urusan menjadi mudah dan ringan.

Kuda adalah salah satu dari puluhan spesies modern mamalia. Hewan ini sudah lama menjadi binatang peliharaan yang penting secara ekonomis dan historis, serta telah memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Banyak sekali jenis-jenis kuda di belahan dunia, di antaranya: Kuda Arab, kuda Belgia, kuda Amerika, kuda Andalusia, kuda Zebra, kuda Asia, kuda Poni dan lainnya. Di indonesia juga dikenal beberapa jenis kuda yang memiliki postur rata-rata tingginya 1 – 1,35 meter, misalnya: kuda Sumbawa, kuda Flores, kuda Timor, kuda Lombok, kuda Bali, kuda Sumba, kuda Batak, kuda Sumatera dan lain-lain.

Singkatnya, kuda memainkan peran dan andil yang luas dalam kebudayaan manusia. Dalam berbagai kebudayaan, kuda dianggap sebagai simbol kebebasan, kecerdasan dan kekuatan, telah menjadi legenda dunia. Bahkan Rasulullah Saw pun sangat piawai mengendarai kuda, terutama disaat peperangan, beliau Saw menjadi panglima dan berada di barisan terdepan memimpin pasukan berkuda.

BP/IST Poto:
Sebuah lukisan yang menggambarkan keberangkatan Sultan Mahmud Badaruddin II bersama puteranya diasingkan ke Ternate pada tahun 1821, terlihat jelas Sultan Palembang dihantar menaiki kereta kuda yang kemudian dinaikkan ke kapal. Kereta kencana yang ditarik setidaknya oleh 2 ekor kuda atau lebih.

Hampir seluruh kerajaan atau keraton di Nusantara menggunakan kuda dan keretanya sebagai alat transportasi dan kendaraan perlengkapan pasukan perang. Termasuk juga Kesultanan Palembang. Dalam arsip catatan-catatan lama dan beberapa litetatur disebutkan tentang keberadaan kuda ini di Palembang.

Menurut pengamatan seorang orientalis Inggeris, W. Marsden (1771) yang pernah mengunjungi Palembang pada waktu itu, dalam buku “The History of Sumatra” menyatakan:

‘Kuda Sumatera memiliki perawakan kecil, tapi memiliki postur yang bagus dan kuat. Malahan penduduk pedalaman membawa hewan ini untuk dijual dalam keadaan setengah liar.’

Dimasa awal Kesultanan Palembang, di era Keraton Kuto Gawang Palembang Lamo, keberadaan kuda sudah ada. Menurut sejarahnya, dikatakan kuda Palembang ini berasal dari Arab (kuda Arab) sebagai hadiah. Dalam buku “Penemuan Hari Jadi Kota Palembang” (1972), diceritakan:

“Ketika Raja Palembang akan melangsungkan pernikahan cucu perempuannya dengan seorang Pangeran Jambi dalam tahun 1624, Palembang mendapatkan hadiah istimewa yang telah dijanjikan berupa seekor kuda Arab pilihan yang berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Kuda tersebut didatangkan langsung dari tanah Arab, berlayar sekian lama mengarungi lautan melalui Gujarat dengan kapal milik seorang Senopati. Kuda Arab tersebut akhirnya tiba di Palembang dengan selamat”

Memang, kuda Arab dikenal salah satu jenis ras kuda unggulan yang berasal dari daerah Arab. Karena posturnya yang tinggi, ketahanan tubuh prima, kecerdasannya dan lincah, maka kuda Arab yang istimewa ini dipakai juga untuk berperang, selain dipelihara orang untuk berbagai keperluan.

Selain itu, menurut Djohan Hanafiah dalam bukunya “Kuto Besak”, pada tahun 1639 Gubernur Jenderal Hindia Belanda ada pula menghadiahkan kepada Raja Palembang waktu itu seekor kuda Persia (Arab).

Selanjutnya di era Keraton Beringin Janggut (1660-1737), dalam naskah Palembang, terdapat kereta kencana yang bernama Denayu Kencana, yang diambil dari nama cucu Sultan Suhunan Abdurrahman Candi Walang, yakni Puteri Denayu Kencana binti Pangeran Adipati bin Sultan Abdurrahaman Candi Walang.

Sedangkan di era Keraton Kuto Besak (1780-1823) terdapat pasukan berkuda yang terlatih. Menurut laporan Mayor William Thorn, seorang serdadu Kerajaan Inggris yang ikut dalam ekspedisi ke Palembang pada tahun 1812, dalam bukunya “Penaklukan Pulau Jawa”, ia melaporkan bahwa ketika pasukan Inggeris berhasil menduduki keraton Kesultanan Palembang, banyak sekali menyita dan merampas persenjataan di keraton Palembang, di antaranya senjata pasukan berkuda kesultanan di barat daya sungai sebanyak 23 pucuk senjata. Dari informasi ini, kita dapat mengetahui jumlah pasukan berkuda Kesultanan Palembang Darussalam setidaknya berjumlah 23 ekor kuda.

Pasukan berkuda dilatih khusus oleh Sultan Mahmud Badaruddin di lapangan belakang BKB di bagian arah barat daya. Di lokasi ini pula sebagai tempat pemeliharaan kuda serta istal-istalnya. Keraton Palembang memiliki pula sebuah kereta kencana. Selain perahu atau kapal yang sering digunakan sebagai sarana transfortasi sungai (laut), di daratan Sultan diantar dengan menggunakan kereta kencana untuk bepergian dan melakukan kegiatan-kegiatan kenegaraan.

Kereta Kencana merupakan kereta pusaka yang berharga bagi setiap keraton atau kerajaan (kencana = emas), sebagaimana adat tradisi keraton di Nusantara yang sudah terkenal, seperti kereta kencana keraton Jawa di Yogyakarta, atapun kereta kencana ‘Bugi’ kereta kencana Kerajaan Melayu Medan di awal abad ke-19.

Dalam sebuah lukisan yang menggambarkan keberangkatan Sultan Mahmud Badaruddin bersama puteranya diasingkan ke Ternate pada tahun 1821, terlihat jelas Sultan Palembang dihantar menaiki kereta kuda yang kemudian dinaikkan ke kapal. Kereta kencana yang ditarik setidaknya oleh 2 ekor kuda atau lebih.

BP/IST
Sado, Kereta Kuda di Palembang Tempo Dulu

Memang, kendati tipikal tanah daratan di Palembang dikelilingi banyak aliran sungai dan rawa-rawa waktu itu. Tercatat lebih dari 100 anak Sungai Musi mengalir di Kota Palembang. Kondisi alam ini membuat Palembang menjadi kota di atas pulau-pulau kecil yang dipisahkan oleh anak-anak sungai. Dan sebagai salah satu alat transportasi air pada saat itu adalah perahu atau kapal. Namun meskipun demikian, akses jalan-jalan darat yang menghubungkan antar kampung-kampung juga ada dan tersambung. Bahkan salah satu jalan yang terletak di pinggir Sungai Tengkuruk dapat dilalui hingga ke daerah-daerah. Setiap sungai mempunyai jembatan penghubung yang dapat dilalui kereta kuda dan lainnya. Lagi pula Keraton Palembang mempunyai alun-alun yang sangat luas dimana sebuah Masjid Agung dengan megah berdiri di atasnya

Terakhir, dimasa kolonial, kereta kencana Kesultanan Palembang disimpan di rumah Pangeran Bupati Astra Diningrat Pangeran Jaksa di Guguk Kepandean 18 ilir. Pada momen-momen tertentu kereta ini masih digunakan. Namun sayangnya rumah limas milik Pangeran Jaksa ini sekarang sudah tidak ada lagi, dan kereta kencananyapun gaib entah kemana, wallahu a’lam. Sedangkan sarana umum angkutan kereta kuda atau disebut ‘sado’ di Kota Palembang masih terlihat. Setelah jaman kemerdekaan, jenis angkutan sado inipun tidak terlihat lagi.

Karena sangat berarti dan monumentalnya kuda Palembang ini, sehingga pemerintahan Belanda mengabadikannya dengan membuat patung Kuda Liar dari perunggu dengan kedua kakinya ke atas, dipancangkan di tengah-tengah bagian muka rumah Residen dalam tahun 1834 (kini Museum SMB ll). Patung kuda liar ini seakan-akan mengisyaratkan simbol Kesultanan Palembang yang sulit dijinakkan dan dikendalikan. Sejak tahun 1930-an patung kuda liar ini tidak ada lagi.

Menurut RHM. Akib (RHAMA), rumah Residen tersebut dibangun Belanda di atas lokasi bekas Istana Keraton Tengkuruk, dan di halaman belakangnya terdapat istal-istal atau kandang kuda.

Sekarang ini, Pemerintah Kota Palembang menyediakan kembali kereta kuda yang dulu pernah ada sebagai sarana wisata, dan hal ini tentunya patut kita sambut dan diapresiasi dengan baik.

Sumber : Berita pagi

No comments:

Post a Comment