Suasana Pasar 16 Ilir di tahun 1970 an sumber : kitlv.nl |
Geliat
perekonomian 16 Ilir dan sekitarnya sesungguhnya sudah dimulai sejak
Kimas Hindi Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim memindahkan pusat kekuasaan
dari 1 Ilir yang dibakar habis oleh VOC tahun 1659 ke Kuto Cerancang
(kini kawasan Beringin Janggut, Masjid Lama dan sekitarnya) pada tahun
1662. Denyut perekonomian itu makin terasa saat cucu Kimas Hindi Sultan
pertama Palembang yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin
Sayidul Imam yaitu Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo memindahkan
keraton ke Kuto Kecik, seiring pembangunan Masjid Agung pada tahun 1738.
Kawasan itu pun menjadi pemukiman tepian sungai, dengan sistem budaya tepian sungai (riverine culture) yang dianut rakyatnya. Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang yang bermuara ke Sungai Musi ersama Sungai Kapuran menjadi "benteng" bagi Masjid Agung dan Keraton Kuto
Kecik
menjadi pusat perdagangan kala itu. Rakyat dari hulu dan hilir Sungai
Musi membawa hasil alam dan menjualnya di sepanjang tepian sungai ini.
Setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821, Belanda kemudian mengangkat potensi perekonomian di kawasan itu. Dimulailah pembangunan dengan planologi yang "disesuaikan" dengan keadaan semula.
Kawasan itu pun menjadi pemukiman tepian sungai, dengan sistem budaya tepian sungai (riverine culture) yang dianut rakyatnya. Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang yang bermuara ke Sungai Musi ersama Sungai Kapuran menjadi "benteng" bagi Masjid Agung dan Keraton Kuto
Pasar 16 Ilir tahun 1980 an sumber : Tropenmuseum |
Setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821, Belanda kemudian mengangkat potensi perekonomian di kawasan itu. Dimulailah pembangunan dengan planologi yang "disesuaikan" dengan keadaan semula.
Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang “cungkukan”(hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.
Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl Pasar Baru) saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua yang di bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.
Sementara itu, muara Sungai Rendang menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Hal yang sama juga berlaku di Sungai Sekanak. Menurut W.F. Wertheim (1958), Kotapraja (Gemeente) kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk.
Pasar 16 dan Mobil yang lalu lalang sumber : Raden M Amin |
Betapa makmurnya para toke para dan pebisnis masa itu
tampaknya menjadi "wajah" Pasar 16 Ilir. Berita di Pertja Selatan, 17
Juli 1926, tertulis bahwa di kawasan Sungai Rendang, telah berdiri show
room mobil Ford. Bahkan, penjual mobil pun telah memakai surat kabar
sebagai sarana promosi dalam bentuk iklan. Dalam perkembangan
selanjutnya, yaitu zaman kemerdekaan, geliat perekonomian makin tampak
di kawasan ini. Antara lain, menurut kesaksian lisan beberapa orang yang
hidup pada masa itu, keberadaan beberapa bank di Jl Tengkuruk. Yaitu,
Nederland Indische Bank, Bank Esconto, Chinese Bank, Bank Ekonomi, dan
Bank Indonesia. Di dekat Bank Indonesia, ada Kantor Listrik yang
bersebelahan dengan Kantor Pajak. Di dekat Chinese Bank, berderat pula
bangunan bernama Cuan Ho, yaitu semacam usaha jasa angkutan (ekspedisi).
Perusahaan ini mengangkut barang dari Boombaru ke Pasar 16 Ilir. Pada
masa ini, dikenallah kuli king, yaitu orang-orang Tionghoa yang bertubuh
tegap dan kuat. Di dekatnya, terdapat Toko Dezon, atau toko matahari
menurut sebutan wong Plembang. Di bagian tepi Sungai Musi, terdapat dua
dermaga. Yaitu, dermaga perahu tambangan di bagian hilir dan Dermaga
Kapal Marie di bagian hulu (saat ini, lokasinya di bawah Jembatan
Ampera).
Pasar 16 Ilir sumber : Raden M Amin |
memindahkan pelabuhan ke kawasan di antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belebak. Pelabuhan yang dikenal sebagai Boom Baru ini ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda lewat Staadblad No. 545 Tahun 1924. Kala itu, panjang dermaganya sekitar 250 meter dan dilengkapi dengan Kantor Doane atau Bea Cukai terapung. Sebagai perbandingan, perkembangan perdagangan berskala ekspor dan impor di Palembang dapat dilihat dari total jumlah kapal yang beraktivitas serta banyaknya barang di dua pelabuhan itu pada dua masa berbeda. Pada tahun 1880, kapal yang beraktivitas di Boom Jeti sebanyak 177 unit dengan volume barang sejumlah 30.330 meter kubik (sekarang, satuan yang dipakai adalah TEUS). Sementara tahun 1929, jumlah kapal mencapai 1.559 unit dan barang sebanyak 4.050.408 meter kubik.Semua barang yang diangkut kapal berbendera Hindia Belanda, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Denmark, dan Italia itu sebagian besar dipasarkan di Pasar 16 Ilir. Ini merupakan salah satu faktor yang membuat pesatnya perkembangan kawasan ini.
bagus, hanya sangat disayangkan TIDAK DIBERI SUMBER RUJUKAN/REFERENSI SEHINGGA SUSAH UNTUK DILACAK SEPERTI BUKU, ARTKEL ATAU MAJALAH
ReplyDelete...................TERIMA KASIH ^_^
bangga sebagai warga SumSel punya kota Palembang, dan terimakasih untuk admin yang sudah mem_post sejarah Palemabng, semoga bermanfaat....ijin share.
ReplyDelete