Palembang Square Exs Taman Ria di Jalan Angkatan 45 |
Tempo Doeloe, Dihiasi Taman Ria dan Taman
Budaya, Masyarakat metropolis bisa saja dimanjakan dengan hadirnya pusat
perbelanjaan terbesar, Palembang Square (PS) sejak tahun 2004 lalu. Di sisi
lain,tak banyak mengingat wajah lama kawasan tersebut. Era tahun 70
hingga memasuki tahun 2000, kawasan tersebut merupakan kawasan taman serta
pusat kesenian, tempat seniman nongkrong. Seperti apa wajah PS Tempoe Doeloe?
Sulit membayangkan kondisi PS zaman dulu. Apalagi jika
dikatakan kawasan tersebut merupakan bekas sebuah taman, akrab disebut Taman
Ria. Saat ini, samasekali tidak ada bekas sedikit pun menunjukan adanya taman
tersebut.
Namun, bagi kalangan seniman seperti Tarech Rasyid, taman
tersebut sangat diingatnya. Wajar saja, disebelah taman ria tersebut merupakan
arena teater atau teater terbuka, tempat seniman seperti dirinya
berkumpul.
Pria berambut ikal berumur 56 tahun ini menyebut, selain
arena teater, di kompleks PS saat ini terdapat Taman Budaya. Ada juga gedung
perpustakaan dua lantai, yang diatasnya digunakan sebagai tempat pameran.
Sedangkan posisi Hotel Aryaduta berada dalam komplek PS, merupakan tanah
kosong.
Hiburan Rakyat Kecil
Kepada Sumeks Minggu ditemui tiga hari lalu, dosen Fakultas
Hukum Universitas IBA (UIBA) Palembang ini menceritakan, jika konsep Taman Ria
yang diperkirakannya kini berada di ruko PS deretan Palembang TV (Pal TV,red)
layaknya pasar malam yang kini bergeser ke pinggiran kota.
“Dikatakan taman karena tempat itu memang taman. Banyak
pohon-pohon besar. Sebagai taman, tempat itu sebenarnya tempat hiburan. Ada
roda besar yang berputar, motor-motoran, tempat hantu, banyak juga arena
permainan ketangkasan. Kurang lebih seperti arena pasar malam,” ungkap ungkap
pria berambut ikal ini.
Taman hiburan seperti ini ditegaskan Tarech merupakan
hiburan bagi masyarakat kecil. Pasalnya, sejak tahun 80 hingga usai reformasi
tahun 1998, taman tersebut tergerus, berganti mall. “Kalau mall itu konsepnya
untuk mempermudah orang belanja saja. Tapi tetap, saya melihatnya bukan untuk
kalangan masyarakat kecil,” ujarnya.
Alhasil, dalam pandangan pria berkacamata ini, selain Punti
Kayu, sebenarnya Palembang kekuarangan tempat hiburan bagi masyarakat kecil.
“Sekarang paling cocok buat masyarakat kecil itu punti kayu. Tempat ini (Punti
Kayu,red) mirip-mirip seperti taman ria, cuma kawasannya lebih luas lagi. Kalau
water boom yang sekarang marak, itukan masih untuk kalangan menengah sama
menengah keatas. Kalau BKB, itu namanya ruang publik bukan tempat hiburan,”
ujarnya.
Tergeser Akibat PON
Lalu kenapa pula taman ria sebagai aset Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Sumsel ini hilang begitu saja? Tarech mengingat kejadiannya hampir
sama dengan ketika dilaksankannya Sea Games 2011 lalu. Ketika Sea Games hendak
digeber, Pemprov melakukan BOT dan membangun Undermall serta RS Siloam. Dengan
konsekwensi menghilangkan jejak Lapangan Parkir Bumi Sriwijaya.
Begitu juga Taman Ria. Tergeser oleh rencana Pemprov,
ketika hendak menggeber PON tahun 2004 lalu. “Kejadiannya sama persis seperti
bangunan Undermall dan RS Siloam itu. Dengan alasan Sea Games Pemprov membangun
Undermall dan RS Siloam. Dulu, karena alasan PON, Pemprov mengadakan BOT
membangun PS dan menghilangkan Taman Ria,” ujarnya.
Hanya saja, nasib gedung arena teater serta Taman Budaya
oleh Pemprov di pindah ke kawasan Dekranasda Jakabaring. Meski gedungnya
lumayan baik, tetap saja, Tarech yang mantan seniman, pernah tergabung dalam
Kelompok Studi Kebudayaan Kali Musi menilai, pemindahan atau tukar guling,
gedung Taman Budaya serta area teater tidak setimpal. Dalam pandangannya, pusat
kesenian, seharusnya sudah tepat berada di kawasan Jl Angkatan 45 serta POM
IX.
Konsep Perjudian, Tak Begitu Dipedulikan
Sementara, Kgs H Roni Hanan, Pengurus Harian Dewan Pembina
Adat Kota Palembang yang sempat dihubungi koran ini tak banyak mengingat
kawasan Taman Ria. Ketika ditanya, Cek Roni, sapaan akrab Kgs H Roni Hanan
sempat berpikir lama, mencoba mengingat kawasan yang cukup lama menghilang
tersebut.
Nah, keterangan Ketua Kerukunan Keluarga Palembang (KKP),
tahun 1999 hingga 2009 ini, taman tersebut sudah ada sejak era tahun 70 an.
Awal dibuka, taman ria terbilang ramai. Maklum, samasekali tidak ada tempat
hiburan lain.
Konsepnya sama dengan diceritakan Tarech Rasyid. Lebih
menyerupai pasar malam yang kini banyak digelar di pinggiran kota. “Cuma taman
ria itu permanent. Dari pagi sampai malam. Kalau pasar malam itu berpindah
tempat dari kampung ke kampung,” ungkap Cek Roni.
Berbeda dengan Tarech Rasyid yang menilai taman tersebut
sekedar hiburan masyarakat kecil melepas penat bersama keluarga, Cek Roni
mengatakan konsep dianut Taman Ria saat itu, sudah mengarah pada judi.
Pasalnya, selain hiburan roda lambung dan hiburan lain bagi
anak, permainan ketangkasan dengan berbagai hadiah, termasuk hadiah uang,
dinilainya sudah berbau judi.
“Cuma tempat itu dulu kan resmi. Masyarakat Palembang juga
dulu kurang kritis tak begitu peduli seperti sekarang,” tandasnya.(wwn)
Sumber tulisan : sumeksminggu.com/
Palembang, PS, 0712, Dodi NP
No comments:
Post a Comment