|
Harian umum Sumatera Ekspress tahun Maret 1984
|
|
TIDAK banyak catatan mengenai
sejarah pers di Palembang. Tapi, sangat dipercaya pers di Palembang sudah ada
sejak pertengahan abad 19. Buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia (Kompas, 2002), menyebutkan pada masa kolonial Hindia Belanda di
Palembang telah terbit surat kabar Nieuws en Advertentie blad voor de
Residentie Palembang, Djambie en Banka pada 1893.
Surat kabar ini disebutkan terbit
dua kali dalam sepekan dan diperuntukan kepentingan perusahaan minyak di
Palembang. Menurut Tribuana Said dalam bukunya Sejarah Pers Nasional dan
Pembangunan Pers Pancasila (1988, halaman 26) disebutkan pada 1830 adalah
seorang pengusaha pribumi pertama di Indonesia yang memiliki mesin cetak.
Namanya Kemas Mohammad Asahari. Tapi, berbeda dengan Tirto Hadisoerjo alias
Djokomono di Bandung dan Serikat Tapanoeli di Medan, Kemas Mohammad Asahari
tidak menerbitkan koran atau surat kabar.
Siapa Kemas Mohammad Asahari? Menurut budayawan dan
sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, Kemas Mohammad Asahari seorang
konglomerat pada masanya. Dia memiliki banyak rumah dan usaha.
Diperkirakan Djohan, Kemas Mohammad Asahari ini menetap di
kampung, yang kini disebut kampung 22 Ilir, di Palembang. “Anak-anaknya banyak
sekolah hingga ke Belanda. Salah satunya Ali Asahari yang pernah menjadi dosen
saya di Universitas Sriwijaya. Dan keluarganya banyak menetap di Bandung,” kata
Djohan.
Tribuana Said yang mengutip dari arsip Perpustakaan
Nasional, menyebutkan di Palembang pada 1919 telah terbit surat kabar Teradjoe
yang diterbitkan Sarekat Islam Palembang.
Lalu, menurut Basilius, dalam artikelnya Media Cetak Jaman
Penjajahan, yang dimuat www.forumbebas.com pada 2 Juni 2008, pada tahun
1920-an, di Palembang telah terbit Obor Rakjat, Tjahaya Palembang, dan Pertja
Selatan. Dan, masa kejayaan pers di Palembang berlangsung dari tahun 1926 hingga
1939. Kejayaan tersebut dapat diwakili dari surat kabar Pertja Selatan.
Pada 1 Juli 1926 di bawah bendera N.V. Peroesahaan
Boemipoetra Palembang terbitlah surat kabar Pertja Selatan. Pada masthead tercantum KM. Adjir sebagai direktur, dan
administrateur (administrasi) Kiagoes Mas’oed. Lalu sebagai redacteur
(redaktur) atau penanggung jawab redaksi adalah Raden Mas Ario (R.M.A)
Tjondrokoesoemo.
Sejak awal,
Pertja Selatan menjadi satu-astunya surat kabar yang beredar di Palembang, yang
berani mengkritik pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Wartawan maupun
korannya beberapa kali diperingati atau mendapat sanksi oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Tjondrokoesoemo, seorang wartawan yang berani,
terpaksa diganti oleh Mas Arga, setelah mendapat tekanan dari pemerintahan
colonial tersebut.
Pertja Selatan berakhir setelah Jepang masuk ke Indonesia,
khususnya di Palembang.Sebab hampir semua surat kabar yang terbit di masa
colonial Hindia Belanda diberangus atau dibubarkan oleh Jepang.
Di masa pendudukan Jepang, di Palembang terbit
surat kabar Shimbun Palembang. Surat kabar ini tentu saja dibuat untuk
kepentingan para Jepang, sehingga selama proses pembuatan, pencetakan, hingga
penyebaran di bawah pengawasan para penguasa Jepang.
Nungcik Ar
tercatat sebagai pimpinan Shimbun Palembang. Setelah Indonesia merdeka, Nungcik
Ar bersama sejumlah wartawan lainnya yang sebelumnya bekerja di Shimbun
Palembang menerbitkan Soematra Baroe pada 5 September 1945, kemudian pada Juni
1946 namanya berganti menjadi Obor Rakjat yang salah seorang pemimpin
redaksinya Adnan Kapau (AK) Gani, yang kemudian menjadi tokoh PNI, dan menteri
dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta di Jakarta (Tribuana Said, Sejarah Pers
Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, 1988).
Sama seperti Pertja Selatan, surat kabar Obor Rakjat juga
dikenal sebagai media yang melawan atau kritis. Para redakturnya pada masa
pendudukan Inggris (NICA) di Palembang, beberapa kali dipanggil dan
diperingatkan oleh NICA. Bahkan, pada masa Agresi Meliter Belanda I, tahun
1947, kantor Obor Rakjat ditembaki oleh serdadu Belanda.
Meskipun Obor Rakjat berganti nama menjadi Harian Oemoem,
dan terakhir menjadi Soeara Rakjat, mereka tetap mendapat tekanan pihak Belanda
maupun kaum sparatis proBelanda. Bahkan seorang wartawan Soeara Rakjat yakni
Idrus Nawawi ditahan pihak meliter Belanda.
Pasca Agresi Meliter Belanda II, pers di Palembang,
seperti juga kondisi umum pers nasional saat itu, mulai melakukan apiliasi
dengan organisasi politik, dan tumbuh sesuai aliran atau ideology
masing-masing. Sejak itu pula pers di Palembang mengalami polarisasi. Misalnya
koran-koran yang diterbitkan kekuatan Masyumi, PKI, dan PNI.
Beberapa surat kabar yang terbit per 15 Juli 1948 di
Palembang, antara lain Soeara Rakjat yang terbit harian, Fikiran Rakjat yang
terbir tiga kali dalam sepekan, Kesatoean Indonesia dan Soeasana yang terbit
mingguan, serta Obor Rakjat yang terbit berkala.
Di akhir tahun 1950-an, terjadi pembreidelan sejumlah
surat kabar di Palembang.
Pembridelan ini tentu saja dinilai telah
bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Soekarno. Pada 12 April 1959, surat
kabar Pembangunan Palembang dibriedel, 29 April 1959 Suara Rakyat Sumatra juga
dibriedel dan penahanan terhadap wartawannya Idrus Nawawi. Pada 2 Agutus 1959,
Obor Rakjat dibridel. Setahun sebelumnya, di Jakarta, surat kabar Indonesia
Raja yang dipimpin Mochtar Lubis juga dibriedel, menyusul pula Pedoman dan
Abadi.
Menjelang peristiwa 30 September 1965, wartawan yang
dikenal antikomunis yakni B. Yass dan Hamdani Said, yang memimpin surat kabar
Batang Hari Sembilan, dipecat sebagai anggota PWI pada 13 Mei 1965. Satu hari
setelah peristiwa 30 September 1965, PWI memecat dan membrediel wartawan dan
surat kabar yang dinilai terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 atau pada
masa Orde Lama berada dalam satu kelompok dengan pihak komunis. Surat kabar
yang dibridel atau dilarangan terbit itu adalah Fikiran Rakjat dan Trikora
dilarang terhitung sejak 1 Oktober 1965. Beberapa hari kemudian, 23 Oktober
1965, 16 wartawan harian Fikiran Rakjat dipecat oleh PWI. Di antaranya, M Uteh
Riza Yahya, H.H. Syamsuddin, R. Abubakar H. R, dan Abdullah Hasan.
Setahun kemudian, suhu politik terus meningkat. Beberapa
pendukung Soekarno tetap melakukan perlawanan, Termasuk para wartawannya. Djohan
Hanafiah, yang tercatat sebagai wartawan surat kabar Panji Revolusi sempat ditahan,
lantaran dirinya dan beberapa wartawan dari media yang berapiliasi ke PNI itu
dituduh merusak atau merobek surat kabar yang mendukung Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto.
Tahun 1970-an, surat kabar yang terkait dengan masa
perjuangan dan kemerdekaan Indonesia tampaknya sudah mati. Beberapa surat kabar
yang baru muncul, seperti Suara Rakyat Semesta, Sumatera Ekspres, dan Garuda
Post.
Digambarkan Soleh Thamrin, pendiri harian Sriwijaya Post
atau disingkat namanya menjadi Sripo, campur tangan pemerintah terhadap pers di
Indonesia di masa Orde Baru tidaklah berbeda di masa colonial Hindia Belanda,
Jepang, maupun Orde Lama. Beberapa pers di nasional merasakan “tangan besi”
pemerintahan Soeharto. Misalnya yang dialami harian Indonesia Raja pimpinan
Mochtar Lubis yang kembali dibridel pada tahun 1974.
Bersama pula
dibriedel sejumlah surat kabar seperti Kami, Abadi, The Jakarta Times, dan
mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia. Pembriedelan ini terkait masalah Malari
(Malapetaka Limabelas Januari).
Pascapembriedelan
itu, pers di Indonesia, termasuk di Palembang, seakan “mati”. Banyak surat
kabar tidak berani mengkritik secara terbuka kepemimpinan Soeharto. Dapat dikatakan
kehidupan pers, seperti hanya melayani kemauan dari pemerintah.
Lebih jauhnya, profesionalitas para wartawan menurun.
Mereka yang “frustasi” lantaran kebebasannya tersumbat, akhirnya lebih memilih
menjadikan profesi wartawan sebagai alat “pemeras” buat para pejabat atau
pengusaha yang bermasalah. Para wartawan ini bekerja sama dengan para pemegang
kebijakan atau pemegang hukum dalam menjalankan fungsi negatifnya tersebut. “Masyarakat
benar-benar tidak mendapatkan informasi yang benar atau meluas. Mereka seakan
hanya boleh membaca informasi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Soleh.
Kondisi tersebut diperparah, banyaknya surat kabar di
Palembang, penerbitannya tidak sehat. Dapat dikatakan penerbitan sangat
tergantung dari pemasukan dana iklan yang minim, atau adanya bantuan dari
pemerintah. Tahun 1980-an akhir hingga 1990-an, muncul sejumlah wartawan muda
yang bermimpi ingin melahirkan surat kabar yang benar-benar berfungsi sebagai
media massa.
Soleh Thamrin sendiri salah satu wartawan muda di
Palembang yang memiliki keinginan tersebut. Dia pun memulai tahun 1986 dengan
menerbitkan harian Radar Selatan bersama sejumlah wartawan. Harian ini berusia
11 bulan. Harian Radar Selatan terbit bersama Sumatera Ekspres, Garuda Post,
dan Suara Rakyat Semesta, yang lebih dulu terbit di Palembang.
Selanjutnya dengan dukungan teman-teman baru yang dinilai
lebih idealis, tahun 1987, Soleh Thamrin menerbitkan surat kabar Sriwijaya
Post. Tak lama kemudian, surat kabar ini bekerjasama dengan harian Kompas.
Selama kurun waktu 1980-an akhir hingga awal 1990-an,
Sriwijaya Post menjadi satu-satunya harian di Palembang yang paling digemari
masyarakat Palembang. Sebab selain berpenampilan bagus dengan kualitas cetak
terbaik, pemberitaan di Sriwijaya Post juga lebih kritis, khususnya terhadap
sejumlah kebijakan yang dijalankan pemerintah.
Memang, kritik-kritik yang disajikan Sriwijaya Post
sedikit lebih elegan atau halus.
Jurnalisme yang dijalankan seperti
jurnalisme sastra, yang mana banyak menggunakan narasi, perumpanan dan
gambaran, tanpa menggunakan kalimat-kalimat langsung seperti halnya surat kabar
di Palembang yang sebelumnya dikenal keras seperti Pertja Selatan atau Obor
Rakjat. Di sisi lain, para pimpinan Sriwijaya Post, juga treys melakukan
komunikasi dengan oara pejabat sehingga mereka terhindar dari jeratan
pembriedelan.
Sepandai-pandainya belut berkelit, akhirnya terkena juga.
Harian
Sriwijaya Post digoyang melalui penyusupan ke dalam tubuh perusahaan. Melalui karyawannya
isu kritenisasi dan pembagian saham akhirnya membuat harian itu terhenti terbit
selama satu tahun lebih. Selanjutnya mereka mencoba bertahan hidup hingga hari
ini. Lawannya bukan lagi kekuasaan, tapi kekuatan modal.
Pesaing Sriwijaya Post yakni Sumatera Ekspres yang
sebelumnya hidupnya tak menentu, akhirnya mendapatkan nasib baiknya setelah
dikelola Harian Media Indonesia, dan kemudian dibeli dan dikelola oleh Jawa
Pos.
Setelah Soeharto jatuh, 1998, Sumatera Ekspres dan Jawa
Pos banyak melahirkan sejumlah surat kabar baru seperti Palembang Pos, Radar
Palembang, Palembang Ekspres, dan Mingguan Monica.
Kejatuhan Soeharto yang disusul bubarnya Departemen
Penerangan dan gugurnya SIUPP, memang membuat insan pers di Indonesia seperti
mendapatkan durian runtuh. Mereka pun ramai-ramai membuat surat kabar baru.
Baik harian, mingguan, tabloid atau majalah.
Di Palembang, juga terjadi booming surat kabar. Sejumlah
wartawan yang sudah berpengalaman atau baru, berkolaborasi dengan sejumlah
pengusaha kuat atau sedang, membuat sejumlah surat kabar. Surat kabar yang
diterbitkan baik berupa harian, mingguan, majalah, tabloid, hingga “tempo
terbit, tempo tidak”.
Namun, sejalan dengan persaingan bebas itu, tampaknya yang
memiliki modal kuat yang tetap bertahan. Harian yang dikelola Jawa Pos mungkin
yang dapat bertahan dengan baik. Sementara harian milik pemodal lemah, seperti
yang dibangun wartawan Afdhal Azmi Djambak, sebelumnya bekerja di Sriwijaya
Post, yakni Transparan, dapat dikatakan sebagai satu-satunya surat kabar yang
lahir setelah Soeharto jatuh yang tetap bertahan.
Kalaupun ada surat kabar baru yang bertahan baik adalah
Berita Pagi, sebuah surat kabar yang didirikan oleh Alex Noerdin, kini menjadi
gubernur Sumatra Selatan.
Selain persoalan modal, di masa era kebebasan pers ini,
ancaman kekerasan terhadap pers datangnya bukan hanya dari pemerintah. Tetapi
dari kelompok sipil. Mulai dari preman, sipil bersenjata, organisasi massa,
mahasiswa, hingga aktifis LSM.
Sriwijaya Post,
Transparan, atau Sumatera Ekspres, pernah merasakan bagaimana kantor mereka
diseruduk preman lantaran memberitakan soal perjudian illegal. Sementara di
lapangan, juga banyak terjadi aksi kekerasan terhadap wartawan.
Masa reformasi juga melahirkan banyak organisasi wartawan.
Bila sebelumnya hanya PWI yang menjadi organisasi wartawan, maka organisasi
semacam Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) yang di masa Soeharto disebut sebagai
organisasi terlarang mendapatkan pengakuan legalnya. AJI Palembang sendiri
berdiri beberapa bulan sebelum Soeharto lengser. Pada saat BJ Habibie menjadi
presiden, beberapa organisasi wartawan lainnya lahir, seperti PWI Reformasi,
Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJT), dan lainnya.
Di sisi lain, booming surat kabar tersebut
menyebabkan profesionalitas wartawannya rendah. Banyak wartawan yang
diterjunkan di lapangan, sebelumnya tidak diberikan pelatihan ilmu jurnalistik
maupun etika sebagai jurnalis oleh perusahaan tempat wartawan itu bekerja.
“Banyak wartawan yang tidak dibekali ilmu jurnalistik dan etika profesi
wartawan, sehingga saat di lapangan mereka berperilaku tidak baik, dan tidak
mengetahui batasan informasi publik dan privasi sehingga terjadi gesekan antara
mereka dengan sumber berita atau masyarakat,” kata Soleh Thamrin.
Memasuki abad millennium ketiga, surat kabar di Palembang
bukan hanya menghadapi persaingan modal, ancaman kekerasan, profesionalitas
pekerjanya, juga perkembangan teknologi yang menyebabkan persaingan penyediaan
informasi kian meningkat.
Keberadaan internet dan televisi, misalnya, menyebabkan
surat kabar harus mampu menyajikan berita lebih mendalam dan menarik, sebab
media internet atau media online dan televisi telah memberikan penyajian berita
secara cepat.
Dari puluhan media massa di Palembang dan sekitarnya,
tampaknya hanya Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres yang memanfaatkan secara
optimal atau serius. Sriwijaya Post dengan www.sripoku.com dan Sumatera Ekspres
dengan situs ww.sumeks.co.id.
Persaingan di dunia internet ini juga tidak gampang. Surat
kabar selain mengimbangi media online, juga harus berhadapan dengan weblog atau
situs pribadi, serta jejaringan social, yang terkadang memberikan pertukaran
informasi antarmasyarakat lebih cepat dari media massa online sekalipun.
Lalu, bagaimana surat kabar di Palembang akan bertahan di
masa mendatang? Mungkin terlalu sulit buat menebaknya.